Anda di halaman 1dari 2

40 Years of Silence ; An Indonesian Tragedy

Sebuah Review
Film 40 Years of Silence ; An Indonesian Tragedy ini, merupakan suatu dokumentasi
atas korban peristiwa pembantaian komunis pada 1965. Subjek dokumentasi adalah 4
keluarga di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Bali. Pertama adalah keluarga bapak Mudakir.
Seluruh keluarganya mendapat dampak yang sangat riis. Mudakir sendiri adalah mantan
orang buangan di pulau Buru yang kemudian setelah dibebaskan menikah dengan ibu Sumini.
Karena permasalahan cinta dengan seorang gadis, Mudakir menjadi tertuduh komunis
sehingga akhirnya dibuang ke pulau Buru. Sedangkan Sumini memiliki kenangan dimana
ayahnya

menjadi

tertuduh

komunis

karena

tidak

bisa

menuruti

permintaan

atasannya.Dilanjutkan dengan permasalahan kedua anaknya, Kris dan Budi yang selalu
mendapat celaan, tindakan kekerasan dari orang-orang sekitar mereka.
Kedua adalah keluarga ibu Lanny, seorang keturunan Tionghoa di Jawa Tengah.
Ingatan yang pertama dia ceritakan adalah keterlibatan ayahnya dalam politik. Ayah Lanny
adalah seorang guru dan ingatan Lanny tentangnya adalah dia memiliki koleksi buku-buku
yang sangat bagus(pada akhirnya koleksi itu dibakar).
Berpindah ke pulau Bali, dikisahkan dua cerita dari dua tokoh yaitu Degung dan
Kereta. Degung bercerita bahwa orangtuanya memiliki peran dalam Partai Komunis
Indonesia, ayahnya seorang politikus dan ibunya adalah seorang juru ketik. Dia juga bercerita
bagaimana ketika mereka sekeluarga bersembunyi di dalam pura untuk menghindari
pembunuhan. Akan tetapi, ayah dan ibunya tetaplah ditangkap.
Lain lagi dengan cerita Kereta. Dia merupakan anggota pemusik dari Lekra, ormas
yang berafiliasi dengan PKI. Dia juga bercerita mengenai pembantaian yang dia saksikan
sendiri di balik tempat persembunyiaannya. Kemudian dia memiliki trauma yang mendalam
sehingga dia berhalusinasi tentang arwah-arwah korban.
Menonton film ini merupakan sebuah cakrawala baru bagi para peminat keilmuan.
Kita bisa merasakan bagaimana proses korban mengingat peristiwa tragis tersebut dan juga
bagaimana korban mulai menenangkan

diri atas trauma yang mereka alami. Dari cara

bercerita, Lanny dan Degung mungkin bisa dianggap telah mendapat ketenangan batin,
melihat dari sisi psikologis mereka berdua sangat tenang dalam bercerita. Akan tetapi pada

awal mulanya, mereka berdua merasa diasingkan dari lingkungan sekolahnya. Lanny menjadi
seorang pendiam dan pemarah setelah dia ditimpa peristiwa tersebut bahkan sampai dia
berani mengumpat pada mereka yang memperlakukannya semena-mena. Degung sendiri,
berpindah ke Surabaya ketika berumur 7 tahun untuk mencari keamanan dengan identitas
barunya. Dia hidup di jalanan bersama para PSK di Wonokromo dan merekalah yang
merawatnya.
Lain halnya dengan keluarga bapak Mudakir dan Kereta. Kris yang menjadi korban
secara tidak langsung mendapat tekanan batin yang sangat ketika dia selalu menjadi tertuduh
pelaku pencurian. Hingga pada puncaknya Kris dianiaya oleh aparat, dan pada saat tersebut
Budi menyaksikan hal itu. Bekas mendalam pada Budi sangat kentara, dia menjadi sukar
mengontrol emosi. Apalagi ketika Budi bicara ingin membalaskan dendam kakaknya yang
teraniaya, dan ini menandakan secara bahwa Budi menjadi korban secara mental.
Kereta telah disebutkan di\atas, mengalami halusinasi tentang arwah-arwah korban
pembantaian yang sering dia lihat. Masih terkesan rasa takut di mata Kereta ketika bercerita
mengenai pembantaian yang terjadi. Dari kesan pertama, Kereta terlihat sangat menutup diri
dengan lingkungannya. Bisa karena takut atau karena ada tekanan dari lingkungannya itu.
Dia selalu terjaga di saat malam dan merasakan korban-korban yang menghantuinya.
Dari film ini bisa dilihat bahwa dampak sebenarnya dari pembantaian komunis di
Indonesia tidak hanya menjadi sebuah kenangan atau memori saja, tetapi ada dampak lain
secara psikologis dan sosial yang membuat korban menjadi menderita. Kasus Budi mungkin
yang terparah karena dia tidak menyaksikan langsung kekejaman pembantaian tersebut, akan
tetapi dia merasakan bahwa masyarakat membunuh karakternya dengan mengucilkan dia.
Secara sosial mereka menjadi terkucilkan dari lingkungan atau mereka mengasingkan dirinya
sendiri karena rasa takut seperti yang dialami Kereta.
Perjuangan melupakan trauma masa lalu didokumentasikan dalam film ini yaitu
ketika Lanny mulai menjadi aktivis sosial. Sedangkan Degung, mencoba untuk membuka
jalan komunikasi dengan pelaku pembantaian yang dia sebut Undagi. Bisa dikatakan bahwa
proses rekonsiliasi bukan hanya dilakukan dari sisi pelaku pembantaian, bisa juga dilakukan
oleh para korban yang telah menderita di bawah tekanan selama bertahun-tahun.

Anda mungkin juga menyukai