Media Dan Politik
Media Dan Politik
PERPOLITIKAN DI INDONESIA
Ghina Melita
(F1C014060)
(F1C014070)
(F1C014073)
(F1C014075)
Desta Widianingsih
(F1C014076)
Ilmu Komunikasi
Universitas Jenderal Soedirman
I.
Pendahuluan
II. Pembahasan
Politik menurut Andrew Heywood, adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat,
mempertahankan, dan mengamandemen peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang
berarti tidak dapat terlepas dari gejala konflik dan kerjasama. Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa mempelajari politik berarti mempelajari konflik dan kerjasama dalam
kegiatan politik.. Sejarah politik di Indonesia dibagi menjadi lima yaitu Masa Prakolonial, Masa
Penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi
Menurut National Education Asociation (NEA): Media adalah sarana komunikasi dalam bentuk
cetak maupun audio visual, termasuk teknologi perangkat kerasnya..Media dapat dibagi menjadi
menjadi dua yaitu:
a. Media Cetak
Media cetak adalah media massa yang berbentuk printing dimana dinikmati dengan
membaca dan bentuk medianya statis. Contoh : Majalah, Surat Kabar
b. Media Elektronik
Media
elektronik
adalah
media
yang
energi
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa
demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah
parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai
politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers
partisipan.
c) Tahun 1970-an
Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi
dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang
memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI,dan PPP.
Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap
pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.
d) Tahun 1980-an
Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1
Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan adanya SIUPP, sebuah
penerbitan pers yang izin penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung
ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya.
Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah.
Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.
e) Tahun 1990-an
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun
1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang
pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru.
Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
f) Masa Reformasi (1998/1999) sekarang
Pada masa reformasi, pers Indonesia menikmati kebebasan pers. Pada masa ini terbentuk UU
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan
informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP.
3
Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan
instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja.
Berbicara mengenai politik tentunya tidak dapat dipisahkan dengan media atau pers. Pers
merupakan lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan dan melahirkan
media massa tersebut. Media dapat berbentuk media cetak, media elektronik,dan segala jenis
saluran yang tersedia. Pengaturan mengenai lembaga pers tersebut diatur dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 ayat 1 Tentang Pers (Undang-Undang Pers) disebutkan bahwa Pers
mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Mengkaji tentang sajian pers, sajian pers di Indonesia pun tidak terlepas dari kapitalisme media
di satu sisi dan euphoria publik di sisi lain. Euphoria publik dan kapitalisme media itu dibentuk
oleh terpaan globalisasi dan hedonisme, yang mengakibatkan kesenjangan komunikasi antara
pengelola lembaga media dengan berbagai pemangku kepentingannya. Dalam konteks ini sajian
pers nasional kita kurang mampu menyeimbangkan penyajian informasi. Pengelola pers sering
menyajikan informasi yang mengesampingkan kepentingan ideology media massa akibat
kuatnya dorongan pemenuhan kepentingan bisnis pers.
Media massa memiliki peran yang besar terhadap kehidupan masyarakat, karena dapat
mempengerahui dan merubah persepsi atau cara berpikir individu, kelompok, atau masyarakat
terhadap isu-isu atau fenomena politik yang terjadi di Indonesia. Media mempunyai pengaruh
yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media memberikan informasi dan
pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan persepsi mempengaruhi sikap
dan perilaku seseorang. Berbagai pemberitaan media memberikan masukan kepada kognisi
individu, dan kognisi akan membentuk sikap. Jelas Lukman Hakim.
Melihat peranan-peranan media yang ada, perlu diakui bahwa pers atau media massa didalam
negara demokrasi itu sangat besar hubungan perannya dengan masyarakat. Media menjadi
jembatan atau kendaran yang menghubungkan atau menyalurkan kepentingan-kepentingan
politik baik itu vertical maupun horizontal. Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa
sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala umum yang
terus menjalar tidak hanya di ranah nasional tetapi juga di daerah. Kondisi seperti ini merupakan
paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat demokratis, dimana setiap
orang memiliki hak untuk memperoleh informasi publik yang objektif. Sementara media massa
4
sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi oleh elit politik
tertentu yang berkepentingan mengarahkan pilihan politik masyarakat kepada apa yang dia
munculkan sebagai pilihan tunggal.
Media menjadi perpanjangan kepentingan penguasa, bahasa politik, bermakna ganda untuk
tujuan penghalusan maupun untuk kepentingan memperdayakan warga negara, keduanya adalah
bagian bagi politik hegemoni sebagai syarat untuk mengukuhkan kuasa-penguasa melalui
penggunaan media menjadi pilihan politik. Bahasa yang bermakna ganda yang hampir
menguasai media massa menjadi alat meminggirkan dan megapolitisasi warga untuk menjauh
dari arena politik formal dengan tujuan melestarikan kuasa dari elite politik (pemegang kuasa).
Fenomena dalam era transisi saat ini, media memiliki ruang yang lebih besar. Karena sistem
politik Indonesia berada dalam pusaran globalisasi eksistensi media yang tidak luput dari apa
yang ada dalam pendirian kaum hegemonian, menempatkan kebudayaan global yang bersifat
tunggal sebagai watak kapitalisme yang monolitik (struktur modal kapitalistik). Media tidak
berfungsi sebagai representasi maupun rekonstruksi realitas sosial politik, melainkan lebih dari
itu. Media juga berperan sebagai agen politik. Sebagai agen politik, media melakukan proses
pengemasan pesan (framing of political social messages) dan proses inilah sesungguhnya yang
menyebabkan sebuah peristiwa atau actor politik memiliki citra tertentu. Dalam proses
pengemasan pesan ini, media dapat memilih fakta yang akan (dan yang tidak) dimasukkan ke
dalam teks berita politik.
Keikut-sertaan media dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui membentuk opini
public atau pendapat umum (public opinion), yaitu upaya membangun sikap dan tindakan
khalayak megenai masalah politik dan atau actor politik. Dalam kerangka ini media
menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik kepada khalayak. Untuk pembicaraan politik
tersebut dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi didalamnya
terdapat pilihan symbol politik dan fakta politik. Karena kemampuan ini pula, media massa
sering dijadikan alat propaganda dalam komunikasi politik. Bahkan karena peranannya ini,
komunikasi politik sering diidentikkan dengan propaganda. Dalam komunikasi politik,
konstruksi realitas oleh media massa tersebut menjadi sangat khas sebab cara sebuah media
mengkonstruksikan sesuatu peristiwa politik akan memberi citra tertentu mengenai realitas
politik, yang bagi para actor dan partai politik citra ini sangat penting demi kepentingan
politiknya masing-masing. Bagi media massa, cara mereka mengkonstruksikan realitas politik
5
dapat menjadi strategi menyimpan motif-motif masing-masing media dibalik wacana yang
dibangun. Karena realitas yang dibangun bergantung pada kepentingkan maka realistas yang
tercipta adalah realitas politik semu, kebaikan yang hanya seolah-olah, kemudian disebut-sebut
sebagai ladang citra sehingga untuk penilaian apakah politik itu baik atau buruk sangat abstrak
termasuk di Indonesia.
Dalam kerangka pembentukan opini publik, media massa umumnya melakukan tiga kegiatan
sekaligus. Pertama, menggunakan symbol-simbol politik (language of politic). Kedua,
melaksanakan strategi pengemasan pesan (Framing strategis). Ketiga, melakukan fungsi agenda
media (agenda setting function). Tatkala melakukan tindakan tersebut, boleh jadi sebuah media
dipengaruhi oleh berbagai faktor internal berupa kebijakan redaksional tertentu mengenai suatu
kekuatan politik, kepentingan politik para pengelola media, relasi media dengan sebuah kekuatan
politik tertentu, dan faktor eksternal seperti tekanan pasar pembaca atau pemirsa, sistem politik
yang berlaku, dan kekuatan-kekuatan luar lainnya. Dengan demikian, boleh jadi satu peristiwa
politik bisa menimbulkan opini public yang berbeda-beda tergantung dari cara masing-masing
media melaksanakan ketiga tindakan tersebut.
Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh Presiden Suharto dalam pidatonya pada hari Pers
Nasional tahun 1989:
Sebagai bagian integral dalam masyarakat, bangsa, dan negara yang sedang berkembang,
makan pers memiliki peranan penting dalam membantu mengelola bangsa ini dengan semua
kerumitannya melalui diseminasi berita, opini, ide, harapan ke masyarakat. Media dalam
konteks ini telah mempermainkan peran membantu membangun dan melestarikan kesatuan dan
persatuan sebagai sebuah bangsa
III.
Kesimpulan
Media saat ini dijadikan alat ataupun senjata bagi individu atau kelompok yang mempunyai
kepentingan-kepentingan politik. Sebagai yang telah dijelaskan diatas, bahwa kelompok
kepentingan atau dalam hal ini adalah partai politik sangat erat hubungannya terhadap
pentingnya peran media itu sendiri. Apalagi mengingat media massa yang telah diberikan hak
kebebasan untuk mengeluarkan suara atau opini-opini public baik itu tentang kebijakan
pemerintah atau isu-isu politik yang lain. Media memiliki hubungan erat dengan politik. Media
merupakan wadah atau media yang memfasilitasi segala bentuk politik.
IV.
Daftar Pustaka
Ibnu Hamad, Realitas Politik Dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse
Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Jakarta: Granit, 2004.
Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik : Menemukan Relasi antara Dimensi
Simbiosis-Mutualisme Media dan Politik, Jakarta:Graha Ilmu,2011
Journal.unair.ac.id/filerPDF/Politik%20media%20%20demokrasi.pdf
(Jumat,
28
http://www.slideshare.net/dianmariaulfa5/sejarah-politik-di-indonesia
(Jumat,