Anda di halaman 1dari 14

Adanya pemikiran tentang negara tidak bersamaan dengan adanya negara, artinya negara

telah dulu ada, baru adanya pemikiran tentang negara. Misalnya sekitar abad ke XVIII Sebelum
Masehi (SM) telah ada negara-negara seperti Babylonia, Mesir dan Assyria. Namun sistem
pemerintahannya pada saat itu sangat absolut. Sedangkan adanya pemikiran tentang negara
bermula pada abad ke V SM, hal ini terjadi pada bangsa Yunani kuno, jadi bangsa Yunani kuno yang
pertama-tama memulai mengadakan pemikiran tentang negara.
Seperti tersebut diatas bahwa adanya negara lebih tua dari adanya pemikiran tentang
negara. Keadaan demikian dapat dijelaskan bahwa pada zaman kuno para raja yang memerintah
dengan sangat sewenang-wenang karena kekuasaannya absolut, sehingga orang tidak sempat
mempersoalkan tentang negara, seperti orang tidak sempat mempersoalkan mengapa seseorang
berkuasa, mengapa orang lainnya tunduk dengan kekuasaan tersebut dan apa yang menjadi dasar
kekusaaan penguasa itu. Pada dasarnya ketidak sempatan orang-orang pada zaman itu untuk
memikirkan
tentang
negara
adalah
karena
tidak
adanya
kebebasan, orang tidak mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya
secara bebas.
Oleh karena para penguasa pada zaman itu kekuasaannya bersifat absolut menguasai segala
segi kehidupan negara, tentu sangat berbahaya bagi kewibawaan dan kedudukan kekuasaanya
apabila memberi kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat pada semua orang. Maka tidak
mengherankan kalau penguasa itu kemudian menekan dan melarang adanya pemikiran-pemikiran
tentang negara.
Dari uraian diatas maka menurut Soehino (2005) bahwa :
Oleh karena ilmu kenegaraan itu menyangkut soal wewenang daripada penguasa, dasar
wewenang daripada penguasa, maka ilmu kenegaraan atau pemikiran tentang negara dan hukum
itu, baru dapat timbul dan berkembang bila susunan kenegaraannya, kemasyarakatannya, sudah
mengizinkan akan adanya kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Keadaan seperti yang
diungkapkan oleh Soehino diatas bermula terjadi pada bangsa Yunani kuno pada abad ke V SM, hal
ini terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain menurut Schmid (dalam Soehino,
2005) sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Adanya sifat-agama yang tidak mengenal ajaran Tuhan yang ditetapkan sebagai kaidah
(kanon).
Keadaan geografi negara tersebut yang menjuruskan kepada perdagangan dan perantauan
sehingga bangsa Yunani sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan bangsa-bangsa lain.
Bentuk negaranya, yaitu Republik-Demokrasi, sehingga rakyat memerintah sedikit dengan
tanggung-jawab sendiri.
Kesadaran bangsa Yunani sebagai satu kesatuan.
Semua itu (nomor 1 sampai dengan 4) menjadikan orang-orang bangsa Yunani sebagai
orang-orang ahli pikir dan bernegara.

Para pemikir atau pencetus teori-teori tentang negara bermula sejak zaman Yunani kuno antara
lain ialah Socrates, Plato, Aristoteles, Epicurus dan Zeno. Selanjutnya setelah negara Yunani
ditaklukkan oleh Romawi pada tahun 146 SM dan kemudian dimasukkan dalam kerajaan Romawi
maka pada masa itu, juga muncul para pemikir tentang teori negara, mereka ialah Polybius, Cicero

dan Seneca. Namun pada umumnya teori-teori negara pada pada zaman Romawi tidak menunjukkan
buah pikiran yang asli, karena mereka dalam banyak hal hanya melanjutkan saja ajaran-ajaran dari
para pemikir-pemikir Yunani.Kemudian setelah jatuhnya peradaban bangsa Romawi, maka sejarah
pemikiran tentang negara memasuki zaman baru, yaitu zaman abad pertengahan. Pada zaman ini
pemikir teori tentang negara yaitu pada zaman abad pertengahan bagian I sebelum perang salib dari
abad ke V sampai abad ke XII adalah Agustinus dan Thomas Aquinas. Sedangkan pada abad
pertengahan bagian II sesudah perang salib dari abad ke XII sampai abad ke XV pemikir teori tentang
negara ialah Marsilius. Pada akhir zaman pertengahan sesudah perang salib muncul zaman
Renaissance abad ke XVI para tokoh pemikir tentang negara pada zaman ini ialah Niccolo
Machiavelli, Thomas Morus, dan Jean Bodin. Selanjutnya pada zaman kaum Monarkomaken tokoh
yang paling banyak menguraikan tentang negara adalah Johannes Althusius. Pemikiran tentang
negara pada abad ke XVII dan XVIII ialah pada zaman hukum alam, zaman ini mengalami
perkembangan pada dua abad yaitu pada abad ke XVII danXVIII yang masing-masing pada abad XVII
tokohnya ialah Grotius, Thomas Hobbes, Benedictus de Spinoza dan John Locke. Sedangkan pada
abad ke XVIII tokohnya ialah Frederik Yang Agung, Montesquieu, Jen Jacques Rousseau dan
Immanuel Kant.
Disamping zaman hukum alam yang menganggap bahwa negara itu ada karena perjanjian
masyarakat, maka ada satu teori tentang negara yang menolak keadaan pada zaman hukum alam
tersebut yaitu zaman teori kekuatan (kekuasaan) yang menganggap bahwa dalam keadaan alamiah
pun sudah selalu hidup berkelompok, diantara para tokohnya ialah F. Oppenheimer, Karl Marx, H.J.
Laski dan Leon Duguit. Selanjutnya reaksi terhadap teori-teori seperti disebut diatas maka muncul
pemikiran tentang negara melalui teori positivisme. Menurut teori ini negara identik dengan hukum
karena hukum positif mudah dipelajari daripada orang hanya berpikir secara abstrak dan tidak ada
ketentuannya, adapun tokohnya adalah Hans Kelsen.
Sementara itu pandangan dari aliran modern tentang negara menyatakan bahwa untuk
menyelidiki atau mempelajari negara maka sebaiknya negara itu dianggap sebagai suatu fakta atau
suatu kenyataan yang terikat pada keadaan, tempat, dan waktu. Adapun tokoh dari aliran modern
ini antara lain adalah R. Kranenburg dan Logemann. Georg Jellinek (dalam Busroh, 1990) melihat
ilmu negara itu dari dua sisi tinjauan (Zweiseiten theorie) yakni :
I. Sisi tinjauan sosiologis terdiri dari
1. Teori sifat hakekat negara
2. Teori pembenaran hukum negara
3. Teori terjadinya negara
4. Teori tujuan negara
5. Teori type-type negara
II. Sisi tinjauan yuridis terdiri dari
1. Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
2. Teori kedaulatan

3. Teori unsur-unsur negara


4. Teori fungsi negara
5. Teori konstitusi
6. Teori lembaga perwakilan
7. Teori sendi-sendi pemerintahan
8. Teori alat-alat perlengkapan negara
9. Teori kerja sama antar negara

1. Teori sifat hakekat negara


Secara historis zaman Yunani negara itu adalah Polis. Pada zaman itu orang-orang
mengingikan kehidupan aman, tenteram, dan lepas dari gangguan, oleh karena itu orang-orang yang
menginginkan ketenteraman menuju bukit dan membangun benteng, serta mereka berkumpul
menjadi kelompok. Kelompok inilah yang oleh Socrates dinamakan Polis. Pada abad pertengahan,
negara itu dipandang sebagai suatu organisasi masyarakat yang bernama civitas terena
(keduniawian). Sedangkan pada permulaan abad modern berpandangan bahwa negara itu adalah
milik suatu dinasti / imperium (Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007).
Jadi, pandangan tentang negara banyak diungkapkan oleh para ahlinya antara lain pada
zaman Yunani kuno seperti pandangan Socrates sebagaimana diuraikan diatas. Sementara itu Plato
menyatakan bahwa hakekat negara ialah luas negara itu harus diukur atau disesuaikan dengan dapat
atau tidaknya, mampu atau tidaknya negara memelihara kesatuan di dalam negara itu. Oleh sebab
itu negara tidak boleh mempunyai luas daerah yang tidak tertentu. Selain itu, Aristoteles
berpendapat bahwa susunan dan hakekat negara atau masyarakat adalah bahwa negara itu
merupakan suatu kesatuan, suatu organisme yaitu suatu keutuhan yang mempunyai dasar-dasar
hidup sendiri, dengan demikian negara itu selalu mengalami timbul, berkembang, pasang, surut dan
kadang-kadang mati. Kemudian Epicurus mengungkapkan bahwa pada hakekatnya negara adalah
merupakan alat bagi individu (manusia) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selanjutnya
para ahli yang mengungkapkan tentang hakekat negara pada aliran modern antara lain adalah R.
Kranenburg yang berpendapat bahwa negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi
kekuasaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut bangsa. Jadi menurut R.
Kranenburg bangsa yang seharusnya ada terlebih dahulu baru kemudian menyusul adanya negara.
Oleh karena itu R. Kranenburg menegaskan bahwa bangsa yang menjadi dasar adanya negara.
Berbeda dengan R. Kranenburg, Logemann mengatakan bahwa negara pada hakekatnya
adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang
kemudian disebut bangsa. Jadi perbedaannya adalah kalau menurut R. Kranenburg bangsa itu
menciptakan organisasi, sedangkan menurut Logemann organisasi itu menciptakan bangsa. Menurut
Kansil dan Christine S.T. Kansil (2007) berpandangan bahwa negara itu sifat hakekatnya adalah suatu
ikatan tertentu atau status tertentu (staat = state). Yaitu status bernegara sebagai lawan daripada

status belum bernegara (status naturalis lawan status civilis atau status berhukum rimba dan status
dimana hak-hak sivil atau hak asas warga negara terjamin).
2. Teori pembenaran hukum negara
Untuk membenarkan adanya suatu organisasi negara, maka ada empat macam teori yang
menjelaskan hal tersebut antara lain teori pembenaran negara dari sudut Ketuhanan, teori
pembenaran negara dari sudut kekuatan, teori pembenaran negara dari sudut hukum, dan teori
pembenaran negara dari sudut lain-lainnya.
a. Teori pembenaran negara dari sudut Ketuhanan
Teori pembenaran negara dari sudut Ketuhanan beranggapan bahwa tindakan
penguasa/negara itu selalu benar sebab didasarkan negara itu diciptakan oleh Tuhan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Friedrich Julius Stahl bahwa negara itu timbul dari takdir Illahi (dalam Busroh,
1990). Dan bagaimanapun juga semua kekuasaan itu pada hakekatnya adalah terjadi karena
kehendak dan kekuasaan Tuhan.
b. Teori pembenaran negara dari sudut kekuatan
Dalam teori ini siapa yang berkemampuan memiliki kekuatan maka mereka akan
mendapatkan kekuasaan dan memegang tampuk pemerintahan. Kekuatan itu meliputi kekuatan
jasmani/fisik, kekuatan rohani (psychis), atau kekuatan materi (kebendaan), maupun kekuatan
politik. Menurut Duguit, yang dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak lain ialah mereka yang
paling kuat, kekuatan mana didalamnya karena beberapa faktor, misalnya keistimewaan fisik,
intelegensia, ekonomi, dan agama (dalam Busroh, 1990). Senada dengan pendapat Duguit diatas,
Von Jhering, Laband dan Jellinek pendapat mereka mengemukakan bahwa harus diterima kenyataan
yang wajar, bahwa kekuasaan dan kedaulatan adalah sepenuhnya di tangan negara dan
pemerintahan (dalam Busroh, 1990). Kemudian Franz Oppenheimer (dalam Busroh, 1990)
menyatakan negara adalah suatu susunan masyarakat yang oleh golongan yang menang dipaksakan
kepada golongan yang ditaklukkan, dengan maksud untuk mengatur kekuasaan golongan yang satu
atas golongan yang lain dan melindungi terhadap ancaman pihak lain.
c. Teori pembenaran negara dari sudut hukum
Dalam teori ini tindakan pemerintah itu dibenarkan karena didasarkan kepada hukum. Teori
ini merinci lagi tentang hukum itu, yaitu hukum keluarga (patrialchal), hukum kebendaan
(patrimonial) dan hukum perjanjian. Teori patriarchal berdasarkan hukum keluarga, pada waktu
negara belum ada masyarakat hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar yang dipimpin oleh
kepala keluarga. Penaklukan yang dilakukan oleh kepala keluarga terhadap keluarga lainnya
menyebabkan kepala keluarga tersebut menjadi raja yang berkuasa (Busroh, 1990). Kemudian hadir
hukum patrimonial, patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik. Jadi raja
mempunyai hak milik terhadap daerahnya dan semua penduduk harus tunduk kepadanya. Dalam
keadaan perang para bangsawan memberi bantuan kepada raja, kemudian setelah memenangi
peperangan sebagai tanda jasa, raja memberi hadiah kepada para bangsawan berupa sebidang
tanah. Atas dasar pemberian tanah kepada para bangsawan ini, maka berpindah hak atas tanah
tersebut kepada para bangasawan, sehingga para bangsawan mendapat hak untuk memerintah
(overheidsrechten) terhadap semua yang ada diatas tanah itu (Busroh, 1990).

Selanjutnya teori perjanjian dikemukakan oleh tiga tokoh yang terkemuka antara lain Thomas
Hobbes, John Locke dan Rousseau. Menurut Thomas Hobbes manusia selalu hidup dalam kekuatan
karena takut akan diserang oleh manusia lainnya yang lebih kuat keadaan jasmaninya. Karena itu
lalu diadakan perjanjian masyarakat dan dalam perjanjian raja tidak diikut sertakan. Busroh (1990)
menjelaskan bahwa oleh karena raja berada diluar perjanjian, dan oleh karenanya raja mempunyai
kekuasaan yang mutlak setelah hak-hak rakyat diserahkan kepadanya (Monarchie Absoluut).
Kemudian Jhon Locke beranggapan bahwa antara raja dengan rakyat diadakan perjanjian dan karena
perjanjian itu raja berkuasa untuk melindungi hak-hak rakyat. Akibat dari perjanjian antara rakyat
dengan raja maka timbul monarchie constitusionil atau monarki terbatas, karena kekuasaan raja
sekarang menjadi terbatas oleh konstitusi. Selain itu, menurut Rousseau adalah yang merupakan hal
pokok daripada perjanjian masyarakat ini adalah menemukan suatu bentuk kesatuan, membela dan
melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik dari setiap orang, sehingga
semuanya dapat bersatu, akan tetapi masing-masing orang tetap mematuhi dirinya, sehingga orang
tetap merdeka dan bebas seperti sedia kala. Akibat dari ajaran Rousseau ini adalah kedaulatan
rakyat dan kekuasaan rakyat tidak pernah diserahkan pada raja, bahkan kalau ada raja yang
memerintah maka raja itu hanya sebagian mandataris daripada rakyat (Busroh, 1990).
d. Teori Pembenaran Negara dari Sudut Lain-lain
Teori etika menurut Plato bahwa manusia tidak akan ada arti bila manusia itu belum
bernegara. Negara merupakan hal yang mutlak, tanpa negara maka tidak ada manusia, dengan
demikian segala tindakan negara dibenarkan. Menurut teori absolut dari Hegel mengungkapkan
manusia itu tujuannya untuk kembali pada cita-cita yang absolut dan penjelmaan daripada cita-cita
yang absolut dari manusia itu adalah negara. Tindakan dari negara itu dibenarkan karena negara
yang dicita-citakan oleh manusia-manusia itu tadi. Dari teori psychologis mengatakan bahwa alasan
pembenaran negara itu adalah berdasarkan pada unsur psychologis manusia, misalnya dikarenakan
rasa takut, rasa kasih sayang dan lain-lainnya, dengan demikian tindakan negara tadi dibenarkan.
3. Teori terjadinya negara
Mengenai teori terjadinya negara ada dua macam sisi pembahasan, antara lain :
a. Terjadinya negara secara primer (primaire staats wording)
Terjadinya negara secara primer adalah teori yang membahas tentang terjadinya negara
yang tidak dihubungkan dengan negara yang telah ada sebelumnya. Menurut teori ini ada empat
phase perkembangan negara, yaitu phase genootshap (genossenschaft), phase reich (rijk), phase
staat, phase democratische natie dan dictatuur (dictatum). Pada phase genootshap (genossenschaft)
merupakan perkelompokan dari orang-orang yang menggabungkan dirinya untuk kepentingan
bersama, dan disandarkan pada persamaan. Mereka menyadari bahwa mereka mempunyai
kepentingan yang sama dan kepemimpinan dipilih dari yang terkemuka diantara yang sama. Jadi
yang terpenting pada masa ini adalah unsur negara. Phase reich (rijk) merupakan kelompok orangorang yang menggabungkan diri dari pada phase genootshap (genossenschaft) tadi telah sadar akan
hak milik atas tanah hingga muncullah tuan yang berkuasa atas tanah. Jadi yang terpenting pada
masa ini adalah unsur wilayah. Kemudian pada phase staat, masyarakat telah sadar dari tidak
bernegara menjadi bernegara dan mereka telah sadar bahwa mereka berada pada satu kelompok.
Jadi yang penting pada masa ini adalah ketiga unsur dari negara yaitu bangsa, wilayah dan

pemerintahan yang berdaulat sudah terpenuhi. Selanjutnya phase democratische natie, merupakan
perkembangan daripada phase staat, dimana democratische natie ini terbentuk atas dasar
kesadaran demokrasi nasional, kesadaran akan adanya kedaulatan ditangan rakyat. Mengenai phase
dictatuur timbul dua pendapat, yaitu bentuk dictatuur merupakan perkembangan daripada
democratische natie. Selain itu pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dictatuur bukan
merupakan perkembangan daripada democratische natie tetapi merupakan variasi atau
penyelewengan daripada democratische natie.
b. Terjadinya negara secara sekunder (scundaire staats wording)
Terjadinya negara secara sekunder adalah teori yang membahas tentang terjadinya negara
yang dihubungkan dengan negara-negara yang telah ada sebelumnya. Jadi terjadinya negara secara
sekunder ini adalah masalah pengakuan atau erkening. Mengenai masalah pengakuan atau erkening
ini ada tiga macam pemabahasan (Busroh, 1990) antara lain : pengakuan de facto (sementara),
pengakuan de jure (yuridis), dan pengakuan atas pemerintahan de facto. Pengakuan de facto adalah
pengakuan yang bersifat sementara karena kenyataanya negara baru itu memang ada namun
prosedur terjadinya belum melalui hukum, maka akibatnya pengakuan yang diberikan adalah
bersifat sementara. Namun apabila prosedur terjadinya negara baru itu sudah melalui prosedur
hukum, maka pengakuannya dapat ditingkatkan menjadi pengakuan de jure. Selanjutnya pengakuan
de jure adalah pengakuan yang seluas luasnya dan bersifat tetap terhadap terbentuknya suatu
negara karena terbentuknya berdasarkan hukum.
Selain pengakuan terjadinya negara seperti diuaraikan diatas, ada bentuk pengakuan hanya
terhadap pemerintahan de facto, hal ini terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia yang diciptakan oleh Van Haller seorang sarjana Belanda. Pengakuan terhadap
pemerintahan de facto adalah pengakuan hanya terhadap pemerintahan suatu negara sedangkan
terhadap wilayahnya tidak diakui. Sebagai mana unsur unsur adanya negara adalah harus ada
pemerintahan, wilayah dan rakyat. Jadi, kalau pengakuan hanya terhadap pemerintahannya saja
maka bukanlah merupakan negara karena tidak cukup unsur-unsurnya.
4. Teori tujuan negara
Mengenai masalah tujuan negara tidak ada seorang sarjana ahli pemikir tentang negara yang
dapat merumuskan dengan tepat dalam satu rumusan yang meliputi semua unsur, mereka hanya
dapat merumuskan yang sifatnya samar-samar dan umum (Soehino, 2005). Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Agustinus (dalam Busroh, 1990) yaitu tujuan negara adalah dihubungkan dengan
cita-cita manusia hidup di alam kekal yaitu sesuai yang diinginkan Tuhan. Selanjutnya masih (dalam
Busroh, 1990) Shang Yang menghubungkan tujuan negara dengan mencari kekuasaan semata,
sehingga negara itu identik dengan penguasa. Seperti yang diungkapkan oleh para ahli diatas, tujuan
negara itu hanya dapat dirumuskan secara samar-samar dan umum. Oleh karena tujuan negara itu
dalam banyak hal tergantung pada tempat, keadaan, waktu, serta sifat daripada kekuasaan
penguasa. Maka dari itu menurut Soehino (2005) kalau akan merumuskan secara samar-samar dan
umum, dan mungkin dapat meliputi semua unsur daripada tujuan negara ialah bahwa tujuan negara
itu adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya, atau menyelenggarakan
masyarakat adil dan makmur.

5. Teori tipe-tipe negara


Penggolongan negara dengan didasarkan pada ciri-ciri yang khas merupakan maksud
pembahasan dari teori tipe-tipe negara. Adapun tipe-tipe negara dapat dilihat dari tipe negara
menurut sejarah, dan tipe negara yang ditinjau dari sisi hukum.
a. Tipe negara menurut sejarah
Tipe-tipe negara menurut sejarah antara lain, tipe negara Timur Purba, tipe negara Yunani Kuno, tipe
negara Romawi, tipe negara abad pertengahan, dan tipe negara modern. Menurut Busroh (1990)
tipe negara Timur Purba adalah tirani, raja-raja berkuasa mutlak, dengan ciri-ciri :
1.
2.

Bersifat theocraties (keagamaan)


Raja merangkap dianggap dewa oleh warganya.
Pemerintahan bersifat absolut (mutlak).

Selanjutnya menurut Kansil dan Christine S.T. Kansil (2007) tipe negara Yunani Kuno dan Romawi
Kuno masing-masing adalah tipe negara Yunani Kuno yang ciri utamanya ialah negara kota dan
demokrasi langsung. Sedangkan tipe negara Romawi Kuno pada mulanya berciri primus inter pares
(yang terkemuka diantara yang sama) kemudian berubah menjadi raja-raja absolut (caesar), ciri-ciri
lain ialah tradisi kodifikasi hukum.
Kemudian menurut (Busroh, 1990) ciri khas tipe negara abad pertengahan adalah adanya dualisme
(pertentangan) antara lain :
1.
2.
3.

Dualisme antara penguasa dengan rakyat.


Dualisme antara pemilik dan penyewa tanah sehingga muculnya feodalisme.
Dualisme antara negarawan dan gerejawan (secularisme).

Adapun tipe negara modern menurut Kansil dan Christine S.T. Kansil (2007) ciri utamanya ialah :

Kekuasaan tertingi bersumber dari rakyat (kedaulatan rakyat) yang dengan sendirinya timbul
pemerintahan (oleh) rakyat.
Demokrasi dan menggunakan sistem dan lembaga.
Perwakilan.

b. Tipe negara ditinjau dari sisi hukum


Tipe negara yang ditinjau dari sisi hukum dapat dilihat dari tiga tipe yaitu tipe negara policie (polizie
staat), tipe negara hukum (rechts staat), dan tipe negara kemakmuran (wohlfaart staats). Pertama,
tipe negara policie, negara bertugas menjaga tata tertib saja atau dengan kata lain negara jaga
malam, pemerintahan bersifat monarki absolut. Kedua, pada tipe negara hukum ada tiga tipe negara
yakni tipe negara hukum liberal, tipe negara hukum formil, dan tipe negara hukum materil.
Tipe negara hukum liberal menghendaki agar negara berstatus pasif artinya bahwa warga negara
harus tunduk pada peraturan-peraturan negara. Kaum liberal menghendaki agar antara penguasa
dan yang dikuasai ada suatu persetujuan dalam bentuk hukum. Pada tipe negara hukum formil
menurut Stahl (dalam Busroh, 1990) harus memenuhi empat unsur, antara lain :

Bahwa harus adanya jaminan terhadap hak-hak asasi.


Adanya pemisahan kekuasaan.
Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
Harus ada peradilan administrasi.

Perkembangan dari negara hukum formil adalah negara hukum materil. Kalau pada negara
hukum formil tindakan dari penguasa harus berdasarkan undang-undang, maka pada negara hukum
materil tindakan dari penguasa dalam hal mendesak demi kepentingan warga negaranya dibenarkan
bertindak menyimpang dari undang-undang atau berlaku asas opportunitas.
Ketiga, tipe negara kemakmuran, pada tipe ini negara mengabdi sepenuhnya kepada masyarakat.
Jadi, menurut Wahjono menyatakan bahwa tipe negara kemakmuran ini tugas daripada negara
adalah semata-mata meyelenggarakan kemakmuran rakyat yang semaksimal mungkin (dalam
Busroh, 1990).
6. Teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan
Dalam teori bentuk negara dan bentuk pemerintahan juga sekaligus para ahli membicarakan
tentang susunan negara. Mengenai teori bentuk negara, menurut Plato ada lima macam bentuk
negara yakni Aristokrasi, Timokrasi, Oligarki, Demokrasi, dan Tyranni. Sedangkan Niccolo Machiavelli
menyatakan bentuk negara bila tidak Republik, maka lainnya Monarchie. Sementara itu, Jellinek
membedakan bentuk negara Republik dan Monarchie berdasarkan pembentukan kemauan negara.
Bila pembentukan kemauan negara oleh seorang saja maka terjadilah monarchie, sedangkan bila
kemauan negara itu ditentukan oleh dewan (lebih dari seorang) maka terjadilah Republik (dalam
Busroh, 1990). Adapun bentuk pemerintahan atau sistem pemerintahan ada tiga macam. Pertama,
bentuk pemerintahan dimana adanya hubungan yang erat antara eksekutif dengan parlemen. Dalam
sistem ini rakyat tidak langsung memilih eksekutif (perdana menteri) tetapi hanya memilih anggota
parlemen. Dengan terpilihnya parlemen, maka parlemen membentuk eksekutif (perdana menteri)
dari partai/organisasi yang mayoritas di parlemen. Bentuk pemerintahan seperti ini disebut sistem
pemerintahan parlementer.
Kedua, bentuk pemerintahan dimana ada pemisahan yang tegas antara legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Dalam sistem ini eksekutif (presiden) dan legislatif sama-sama dipilih secara langsung
oleh rakyat melalui pemilihan umum. Bentuk pemerintahan seperti ini disebut sistem pemerintahan
presidensiil. Ketiga, bentuk pemerintahan dengan pengawasan langsung oleh rakyat terhadap badan
legislatif atau sistem Swiss. Dalam sistem ini parlemen tunduk kepada kontrol langsung dari rakyat,
kontrol ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan referendum dan usul inisiatif rakyat.
Mengenai susunan negara ada dua kemungkinan bentuk yaitu negara kesatuan dan negara
federasi. Menurut Soehino (2005) negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa
negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara sehingga hanya ada satu pemerintah yaitu
pemerintah pusat yang melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Dalam perkembangannya dibeberapa negara telah melaksanakan asas dekonsentrasi, desentralisasi,
dan tugas pembantuan.
Sedangkan negara federasi adalah negara yang tersusun dari beberapa negara yang semula
telah berdiri sendiri dan memiliki Undang-undang Dasar dan pemerintahan sendiri, tetapi kemudian

negara-negara tersebut saling menggabungkan diri untuk membentuk suatu ikatan kerjasama yang
efektif Soehino (2005). Berdasarkan sifat hubungan antara pemerintah negara federal dengan
negara-negara bagian, maka negara federasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu negara serikat
dan perserikatan negara. Adapun perbedaan antara keduanya menurut Jellinek (dalam Soehino,
2005) ada pada kedaulatannya, apabila kedaulatan itu ada pada negara federal maka negara federal
itu disebut negara serikat. Apabila kedaulatan itu masih tetap ada pada negara-negara bagian maka
negara federal ini disebut perserikatan negara.
Selain itu, perbedaan antara negara serikat dan perserikatan negara menurut Kranenburg
(dalam Soehino, 2005) adalah apabila peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah negara
federal dapat secara langsung mengikat warga negara dari negara-negara bagian maka disebut
negara serikat, dan apabila tidak dapat langsung mengikat maka disebut perserikatan negara. Dari
kedua pendapat para ahli diatas, maka menurut Soehino (2005) adalah kedua pendapat tersebut
pada prinsipnya adalah sama.
7. Teori kedaulatan
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam negara. Oleh
karena itu ada beberapa teori untuk mengetahui yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara,
yaitu teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan negara, teori kedaulatan
hukum, dan teori kedaulatan rakyat.
a. Teori kedaulatan Tuhan
Teori ini mengatakan bahwa kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah dimiliki oleh
Tuhan. Dalam perkembangannya teori ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan agama
baru yang timbul pada saat itu yaitu agama Kristen, sekitar abad ke V sampai abad ke XV, yang
kemudian diorganisir dalam suatu organisasi keagamaan yaitu gereja yang dikepalai oleh seorang
Paus. Beberapa para ahli memiliki persamaan pendapat dalam teori ini yakni bahwa yang memiliki
kekuasaan atau kedaulatan itu adalah Tuhan, namun yang menjadi persoalan adalah secara kongkrit
di dalam suatu negara itu siapa yang mewakili Tuhan, raja ataukah Paus.
Menurut Agustinus yang mewakili Tuhan di dunia ini termasuk dalam negara adalah Paus.
Sementara itu Thomas Aquinus berpendapat bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama hanya
tugasnya yang berlainan, raja dalam lapangan keduniawian, Paus dalam lapangan keagamaan (dalam
Soehino, 2005).
b. Teori kedaulatan raja
Menurut Marsilius kekuasaan tertinggi dalam negara ada pada raja, karena raja adalah wakil
daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan di dunia. Oleh sebab itu raja berkuasa mutlak
karena raja merasa merasa dalam tindak tanduknya menurut kehendak Tuhan (dalam Busroh, 1990).
c. Teori kedaulatan negara
Menurut Georg Jellinek yang menciptakan hukum bukan Tuhan dan bukan pula raja, tetapi
negara (dalam Busroh, 1990). Selanjutnya masih menurut Georg Jellinek (dalam Soehino, 2005)
mengatakan bahwa hukum itu adalah merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan

negara, jadi negara satu-satunya sumber hukum yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Di luar negara tidak ada satu organpun yang berwenang menetapkan hukum.
d. Teori kedaulatan hukum
Menurut Krabbe (dalam Busroh, 1990) mengemukakan bahwa yang memiliki kekuasaan
tertinggi dalam negara adalah hukum, jadi hukumlah yang berdaulaut bukan negara. Jadi yang
menjadi sumber hukum menurut Krabbe (dalam Soehino, 2005) ialah rasa hukum yang terdapat di
dalam masyarakat itu sendiri. Rasa hukum ini dalam bentuk yang masih sederhana, jadi yang
tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedangkan dalam tingkatan yang lebih tinggi
disebut kesadaran hukum.
e. Teori kedaulatan rakyat
Yang menjadi dasar dari teori ini adalah bahwa semula individu-individu melalui perjanjian
masyarakat membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat ini para individu menyerahkan
kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat ini menyerahkan kekuasaan tersebut kepada raja
(Soehino, 2005). Dan oleh karena raja mendapat kekuasaan dari rakyat maka kekuasaan tertinggi
dan kedaulatannya itu ada pada rakyat, raja hanya pelaksana dari apa yang dikehendaki oleh rakyat.
Oleh karena itu maka timbul kedaulatan baru, yang dipelopori oleh J.J. Rousseau yaitu kedaulatan
rakyat. Kedaulatan rakyat menurut J.J. Rousseau pada prinsipnya adalah cara atau sistem yang
bagaimanakah pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu yang memenuhi
kehendak umum (dalam Busroh, 1990).
8. Teori unsur-unsur negara
Dalam teori kenegaraan, menurut Kansil dan Christine S.T. Kansil (2007) maka secara tradisional
dikemukakan sebagai unsur negara ialah :
a. Unsur Wilayah
b. Unsur Bangsa/ Rakyat
c. Unsur Pemerintahan
Mengenai unsur wilayah dipersyaratkan bahwa kekuasaan tersebut harus secara efektif
diakui di seluruh wilayah negara bersangkutan. Dari segi hukum maka wilayah ini merupakan
wilayah hukum, yang dapat berupa wilayah ruang, wilayah orang dan wilayah soal/ bidang (Kansil
dan Christine S.T. Kansil, 2007). Mengenai unsur bangsa maka biasanya disebut natie/ nation atau
Staatvolk yang artinya keseluruhan rakyat yang sadar bernegara. Apabila dilihat secara orangseorang maka disebut warga negara. Mengenai warga negara ini menurut Kansil dan Christine S.T.
Kansil (2007) dikenal empat status, antara lain :

Status positif : memperoleh fasilitas dan jaminan untuk mendapatkan kemakmuran dari
negara.
Status negatif : negara tidak akan mencampuri hak asasi rakyatnya bila tidak perlu.
Status aktif
: memberi hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta dalam
pemerintahan.
Status pasif : tunduk pada ketentuan-ketentuan negara.

Mengenai unsur pemerintahan biasanya dirumuskan berdaulat keluar dan kedalam, berdaulat
keluar artinya mempunyai kedudukan yang sederajat dengan negara lain. Berdaulat kedalam artinya
merupakan pemerintah/penguasa yang berwibawa (Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007).
9. Teori fungsi negara
Fungsi negara pertama kali dikenal pada abad ke XVI di Prancis, antara lain diplomacie yaitu
tugasnya adalah penghubung antar negara, difencie yaitu tugasnya adalah mengenai keamanan dan
pertahanan negara, finance yaitu tugasnya adalah menyediakan keuangan negara, justicie yaitu
tugasnya adalah menjaga ketertiban perselisihan antar warga negara dan urusan dalam negara, dan
policie yaitu tugasnya mengurus yang belum menjadi kewenangan keempat fungsi negara diatas.
Dalam teori kenegaraan dikenal tiga teori fungsi yang utama yaitu Trias politica, Catur praja, dan
Dwipraja (Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007). Teori trias politica dikemukakan oleh Montesquieu
yang merupakan penyempurnaan dari teori John Locke membagi fungsi negara dalam :
a. Fungsi legislatif
b. Fungsi eksekutif dan
c. Fungsi yudikatif
Sedangkan teori Catur praja yang dikemukakan oleh Van Vollen Hoven (dalam Busroh, 1990) fungsi
negara itu ialah :

Regeling (membuat peraturan)


Bestuur (menyelenggara pemerintahan)
Rechtspraak (fungsi mengadili)
Politie (fungsi ketertiban dan keamanan)

Kemudian teori Dwipraja (dichotomy) yang dikemukakan oleh Goodnow (dalam Kansil dan Christine
S.T. Kansil, 2007) membagi fungsi negara menjadi dua, yaitu :
a. Fungsi pembentukan haluan negara
b. Fungsi pelaksanaannya
Pada teori dikotomi dapat dilihat dengan jelas bahwa fungsi-fungsi utama daripada negara ialah
menentukan Staatswil kemudian menentukan pola-pola pelaksanaannya sesuai dengan bidang trias
politica, catur praja, maupun variasi-variasi lainnya (Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2007).
10. Teori konstitusi
Istilah konstitusi telah dikenal semenjak zaman Yunani kuno, akan tetapi belum diletakkan dalam
suatu naskah yang tertulis. Hal ini dapat dibuktikan dari paham Aristoteles yang membedakan istilah
politea dan nomoi. Politea diartikan sebagai konstitusi sedangkan nomoi diartikan undang-undang,
dimana politea mengandung kekuasaan tertinggi dari nomoi (Busroh, 1990).
Menurut Chaidir dan Fahmi (2010) bahwa misi utama pemikiran tentang konstitusi adalah
menghendaki pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan itu terutama dilakukan melalui

hukum lebih khusus lagi, yaitu konstitusi. Mengenai istilah konstitusi dan UUD masih menurut
Chaidir dan Fahmi (2010) terbagi dua, yaitu pertama pendapat yang membedakan konstitusi dan
UUD. Kedua, pendapat yang menyamakan konstitusi dan UUD. Pada saat ini nampaknya pendapat
kedua lebih diterima.
11. Teori lembaga perwakilan
Teori lembaga perwakilan muncul karena asas demokrasi langsung tidak mungkin lagi dapat
dijalankan, disebabkan bertambahnya penduduk, luasnya wilayah negara dan bertambah rumitnya
urusan kenegaraan. Menurut Fatwa (2004) perwakilan merupakan mekanisme untuk merealisasikan
gagasan normatif bahwa pemerintahan harus dijalankan dengan kehendak rakyat. Dengan demikian,
yang bekepentingan terhadap lembaga perwakilan ini adalah rakyat, karena rakyat merupakan pihak
yang diwakili atau selaku pihak yang menyerahkan kekuasaan/mandat untuk mewakili opini, sikap,
dan kepentingannya kepada lembaga perwakilan didalam proses politik dan pemerintahan.
Peran utama dari lembaga perwakilan adalah sebagai badan pembuat hukum, dan sebagai
himpunan wakil rakyat. Selain itu, peran lainnya seperti pengawasan dan sosialisasi terjadi melalui
pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga ini. Diberbagai negara terdapat perbedaan dalam merumuskan
fungsi badan perwakilan. Oleh karena ada persamaan hakekat tentang fungsi lembaga perwakilan
antar negara, maka secara keseluruhan menurut Sanit (1985) fungsi badan perwakilan ialah
perundang-undangan, keuangan, pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional.
Secara strukturalisasi lembaga perwakilan dapat dilihat dari dua bentuk pengelompokan
utama yaitu komisi dan fraksi. Komisi merupakan pengelompokan anggota secara fungsional yaitu
atas dasar tugas-tugas tertentu yang umumnya berkaitan dengan pengelompokan tugas eksekutif.
Sedangkan fraksi merupakan pengelompokan anggota lembaga perwakilan berdasarkan peta
kekuatan politik utama secara nasional, dalam hal ini adalah partai politik, maka fraksi terdiri dari
orang-orang partai.
12. Teori sendi-sendi pemerintahan
Menurut teorinya Busroh, (1990) menyatakan ada dua cara penyelenggaraan pemerintahan,
yaitu sendi wilayah dan sendi keahlian. Sendi wilayah dapat dibagi dalam dua sendi pemerintahan
yaitu sendi dekonsentralisasi dan sendi desentralisasi. Sendi dekonsentralisasi berarti wilayah negara
dibagi dalam beberapa daerah besar dan kecil, dan setiap daerah tersebut ada wakil dari pemerintah
pusat. Kewenangannya adalah atas nama pemerintah pusat dalam batas-batas tertentu. Sendi
desentralisasi berarti wilayah negara dibagi dalam beberapa daerah besar dan kecil, yang
mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan berdasarkan undangundang. Sedangkan sendi keahlian menurut Kansil dan Christine S.T. Kansil, (2007) berarti
menyerahkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah negara kepada ahli-ahli. Ada dua macam
sendi keahlian menurut Busroh, (1990) yaitu pertama, pemerintahan dijalankan dengan sistem
pegawai negeri. Kedua, pemerintahan dijalankan dengan sistem kepanitiaan.
13. Teori alat-alat perlengkapan negara
Alat perlengkapan negara dapat disebut dalam ragam istilah,yaitu organ, lembaga, forum,
instansi, institusi tambahan, maupun badan-badan independen. Menurut Busroh (1990) yakni
paham yang menguraikan tentang alat-alat perlengkapan negara ada tiga sudut pangdangan yaitu :

Paham Georg Jellinek


Paham yang meninjau dari segi fungsi negara
Paham yang meninjau dari segi yuridis

Georg Jellinek meninjau persoalan alat perlengkapan negara dalam dua segi. Pertama, alat
perlengkapan negara yang bersumber langsung pada konstitusi. Kedua, alat perlengkapan negara
yang tidak bersumber langsung pada konstitusi. Kemudian, paham yang meninjau dari segi fungsi
negara adalah memandang bahwa adanya alat-alat perlengkapan negara itu tergantung pada
realisasi daripada fungsi negara, jadi fungsi negara mengakibatkan timbulnya alat perlengkapan
negara.
Oleh karena itu, dengan dasar memperhatikan fungsi negara di Prancis pada abad ke XVI maka
timbul lima organ negara yaitu organ diplomacie, organ difencie, organ finance, organ justicie, dan
organ policie. Kemudian, dengan dasar memperhatikan fungsi negara menurut Montesquieu dengan
trias politica maka timbul tiga organ negara yaitu organ legislatif, organ eksekutif, dan organ
yudikatif. Juga dengan dasar memperhatikan fungsi negara menurut Van Vollen Hoven maka timbul
empat organ negara yaitu organ regeling, organ bestuur, organ rechtspraak, dan organ politie.
Selanjutnya juga dengan memperhatikan fungsi negara yang dikemukakan oleh Goodnow maka
timbul dua organ negara yakni organ policy makers, dan policy executors.
Dari segi yuridis menurut Busroh (1990) bahwa negara itu merupakan suatu organisasi jabatan, dan
dalam penilaian alat-alat perlengkapan negara dimulai dari yang terkecil yaitu jabatan. Mengenai
jabatan, maka ukuran yang dipakai ada empat kriteria, yaitu bagaimana bentuknya, bagaimana
susunannya, apa tugas/kewajibannya, dan apa wewenang yang dimilikinya.
14. Teori kerja sama antar negara
Kerja sama antar negara adalah suatu hubungan dari beberapa negara yang dalam
hubungan itu terjalin kerj asama dari negara-negara yang berkedudukan sama dan sejajar. Menurut
Busroh (1990) bahwa memahami teori kerja sama antar negara dapat ditinjau melalui bentuknya,
hukumnya, politiknya, dan sumbernya.
Ditinjau dari bentuk kerja samanya maka ada dua segi peninjauan yakni bentuk klasik dan
faham federalisme. Bentuk klasik dalam arti luas merupakan segala macam kerja sama baik yang
berdasarkan hukum internasional, geografis maupun dalam atas dasar lainnya. Dalam arti sempit
bentuk klasik merupakan persoalan dalam ilmu kenegaraan yaitu apabila negara sebagai kesatuan
politik bergabung yang kemudian membentuk pola-pola tertentu. Kemudian, peninjauan kerja sama
antar negara dari segi faham federalisme yang memandang bahwa, pertama kerja sama antar
negara yang menimbulkan alat perlengkapan negara baru. Kedua, kerja sama antar negara yang
tidak menimbulkan alat perlengkapan negara baru. Ketiga, kerja sama antar negara yang berkedok
penggabungan padahal kenyataannya tidak. Dan keempat, kerja sama antar negara yang betul-betul
merupakan penggabungan beberapa negara.
Ditinjau kerja sama antar negara dari segi hukumnya maka hukum yang berlaku adalah
hukum antar negara yang umum, dan hukum antar negara yang khusus seperti traktat. Ditinjau kerja
sama antar negara dari segi politikya maka didalamnya mencakup politik internasional dan
organisasi internasional. Ditinjau dari segi sumbernya maka sumber-sumber hukum kerja sama antar

negara adalah traktat, kebiasaan internasional, pedapat para ahli tentang sendi-sendi hukum, dan
keputusan-keputusan internasional.

Anda mungkin juga menyukai