Case Report Kecamatann
Case Report Kecamatann
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
STATUS PASIEN
FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN : Puskesmas Kecamatan Duren Sawit
NOMOR REKAM MEDIS
: 0093/12
DATA ADMINISTRASI
Tanggal 3 Maret 2014
Nama
Umur
Alamat
Jenis Kelamin
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Status Perkawinan
Kedatangan yang ke
PASIEN
Rosi
18 tahun
Jalan Nusa Indah III
Perempuan
Islam
SMK
Pelajar
Belum Menikah
1
NIM : 09-128
KETERANGAN
Tidak
Tidak
KJS
Data pelayanan
Anamnesis (dilakukan secara autoanamnesis)
A. Alasan Kedatangan / Keluhan Utama
Hidung berair
B. Keluhan Lain/ Tambahan
Mata berair, bersin-bersin
C. Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
1
Pasien datang dengan keluhan hidung berair sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu.
Keluhan hidung berair warna bening dan secara tiba-tiba. Pasien beraktivitas sebagai
pelajar, tetapi sejak muncul keluhan sakit kepala, pasien merasa terganggu
aktivitasnya. Pasien belum meminum obat untuk mengurangi keluhan pasien.
Keluhan dirasakan jika pasien dalam lingkungan berdebu dan udara dingin. Jika sudah
tidak terpapar maka keluhan pasien berkurang. Selain keluhan diatas pasien juga
mengeluhkan bersin-bersin dan mata berair. Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan
keluhan yang sama pada bulan November tahun 2013, pasien tidak pernah berobat ke
dokter maupun meminum obat karena keluhan menghilang secara sendiri. Pada bulan
Oktober tahun 2013 pasien mengeluh batuk-batuk kering selama kurang lebih 2
minggu dan hanya meminum obat warung serta keluhan batuk tidak ada lagi. Pasien
tidak ada riwayat rawat di rumah sakit dan kecelakaan. Pasien tidak ada keluhan jika
makan makanan seafood dan bulu binatang. Didalam keluarga pasien, kakak pasien
yang ke 3 memiliki keluhan yang sama seperti pasien dan pernah melakukan terapi
obat TB di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit selama 8 bulan dan dinyatakan
sembuh dari TB. Pasien selalu menjaga kebersihan rumah setiap hari dan ayah pasien
memelihara 1 burung dara di rumahnya.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Di dalam keluarga pasien, kakak ke 3 pasien juga mengeluhkan keluhan yang sama
seperti pasien. Pasien anak ke 5 dari 6 bersaudara.
Oktober 2013 pasien pernah batuk kering kurang lebih selama 2 minggu. Riwayat
kontak dengan debu ataupun suhu dingin saat keluhan muncul dan menghilang jika
tidak ada kontak. Tidak ada riwayat rawat inap karena sakit berat.
.
F. Riwayat Perilaku dan Kebiasaan Pribadi
Pasien tidur di karpet bersama satu keluarganya. Karpet dibersihkan hanya dengan
disapu setiap hari dan dicuci 2-3 bulan sekali tetapi tidak pernah dijemur. Pasien
membersihkan rumah setiap hari. Pasien tidak pernah memakai masker jika
berpergian. Ayah pasien memelihara seekor burung dara.
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dengan kedua orang tua dan adiknya. Ayah pasien berusia 59 tahun, ibu
pasien 49 tahun dan adik pasien 15 tahun. Pasien merupakan anak ke 5 dari 6
bersaudara. Ke empat kakak pasien sudah menikah dan tinggal dirumah mereka
masing-masing. Ayah pasien seorang penjual nasi goreng pada malam hari dan ibu
pasien penjual nasi uduk pada pagi hari didepan rumah pasien. Pasien tinggal dirumah
kontrakan didekat pinggir jalan dengan pencahayaan sinar matahari kurang (karena
terhalang bangunan kios didepan kontrakan rumah pasien) dan ventilasi udara kurang
(10-15% dari luas lantai) terdapat di ruang tamu. Luas rumah pasien sekitar 30 m 2.
Pasien memiliki 1 ruang tidur dan ruang tamu yang dipisahkan oleh lemari, tetapi
pasien lebih sering tidur di karpet ruang tamu, dapur dan 1 kamar mandi. Pasien
memiliki teras yang kecil. Lantai rumah pasien terbuat dari keramik, atap rumah
terbuat dari genteng, langit-langit dalam rumah pasien nampak terawat. Sumber air
yang digunakan adalah air tanah dengan pompa. Septic tank jaraknya sekitar kurang
lebih 4 m dari sumber air. Setiap hari membuang sampah ke pembuangan sampah
yang letaknya kurang lebih 10 m dari rumah pasien. Saat ini pasien adalah pelajar.
Pendapatan kedua orang tua pasien sebulan sekitar Rp 1.500.000,- per bulan. Pasien
menghabiskan kira-kira Rp 450.000,- untuk memenuhi kebutuhan sekolah pasien
selama sebulan. Ada sebuah motor yang selalu diparkir di ruang tamu.
Nama
Umur
Status
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Sujud
(tahun)
59
Riwayat
Penyakit
Ayah
Laki-laki
Penjual Nasi
Katarak
Perempuan
Goreng
Penjual Nasi Uduk
Sehat
Sumrah
38
Ibu
3.
Abdul
15
Adik
Laki-laki
Pelajar SMP
Sehat
PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum dan Tanda-tanda vital termasuk status gizi
Kesadaran
: Komposmentis
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Tinggi badan
: 157 cm
Berat Badan
: 44 Kg
Status Gizi
: Kurang
IMT 17,850
Tanda Vital
:
Tekanan Darah: 120/70 mmHg
Nadi
: 92 x / menit
Pernafasan
: 20 x / menit
Suhu
: 36,5 C
B. Status Generalis
Kepala
: Normocephali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks cahaya langsung
+/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, ukuran pupil 3 mm/3 mm,
isokor
Telinga: Liang telinga lapang/ lapang, tidak ada serumen, sekret -/Hidung
: Tidak ada deformitas, liang hidung lapang/ tidak lapang, mukosa livid
sekret -/+, konka inferior bengkak -/+, nyeri sinus paranasal dan
maksilaris -/+, transluminasi + sinus maksilaris
Tenggorokan : Uvula ditengah, arkus faring simetris, arkus faring tidak hiperemis,
tonsil tidak hiperemis, T2-T2
Gigi dan mulut: Oral higienis kesan cukup
Leher
: JVP 5 + 2 cm
KGB : Suprasternal
: Kanan dan kiri tidak teraba membesar
Colli anterior
: Kanan dan kiri tidak teraba membesar
Colli posterior
: Kanan dan kiri tidak teraba membesar
Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris
Palpasi
: Vokal fremitus teraba simetris
Perkusi
: Paru kiri dan kanan sonor
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, Rh -/-, Wh -/Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba di ICS V kiri
Perkusi
: Batas Paru hati: ICS 6 garis mid klavikula dextra
Batas Paru Lambung: ICS 5 garis axilaris anterior sinistra
Batas Jantung kanan: ICS 5 garis parasternal dextra
Batas Jantung kiri: ICS 6 garis axilaris anterior sinistra
Kesan : Tidak ada pembesaran jantung
Auskultasi : Normal, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
4
ASPEK PERSONAL
Keluhan utama : hidung berair
Kekhawatiran : pasien khawatir hidung berair yang dirasakan akan semakin
berat
Harapan : pasien berharap agar keluhan segera hilang dan dapat beraktivitas
kembali. .
B.
ASPEK KLINIS
Diagnosa kerja : Rhinitis Alergik dan Sinusitis Maksilaris
C.
D.
E.
DERAJAT FUNGSIONAL
Derajat satu : pasien tidak memiliki keterbatasan beraktifitas dan masih dapat
melakukan pekerjaan sendiri
Rencana intervensi
Sasaran
Waktu
Evaluasi :
Pasien
40
Aspek Personal
Sasaran
diharapkan
- Keluhan pasien
menit
dan
pasien
Pasien
berkurang.
Kekhawatiran
dapat
pasien
-Memberikan informasi
dan
keluarga pasien
penyakit
dapat
keluarga
Keluarga
Edukasi :
mengenai
yang
serta
berkurang.
Pasien
dan
keluarga
pencegahannya.
dapat
mengerti
tentang
penyakit,
pencegahan dan
pengobatan atas
penyakit
Aspek Klinis
Rhinitis
dan
Maksilaris
Evaluasi :
Alergik Melakukan
Sinusitis pemeriksaan tanda vital
Pasien
1 hari
yang
dialami pasien.
Pasien
menjalankan
terapinya
umum.
sukses
Terapi
6
menghindari
dengan
debu
Aspek
kebersihan lingkungan
Resiko Edukasi :
Internal:
-
menjaga
Pasien
sering
Memberikan
Pasien
35
dan
menit
Pasien
dapat
mencegah
kontak
tidak
agar menggunakan
menggunakan
masker
saat
penyebabnya
Pasien
dan
berpergian
atau
masker.
Pasien tidur di
lingkungan
yang
karpet
Kurangnya
pengetahuan
pasien
dan
keluarga
mengenai
rhinitis
alergika
dan
keluarga
dapat
mengerti
tentang
berdebu.
Menghindari
kontak
dengan
penyakit,
dengan
pencegahan dan
faktor penyebabnya
pengobatan atas
yaitu
penyakit rhinitis
debu
dan
udara dingin
Memberikan
alergik
sinusitis
informasi ke pasien
sinusitis
agar
maksilaris
membersihkan
karpet
dan
maksilaris
selalu
dan
menjemurnya atau
menggantinya
-
rhinitis
alergik, penyebab,
pencegahan,
prognosis
dan
penatalaksanan
dan Tetap
Lingkungan
-
Pasien
ada
Pasien
menjalin dan
Hubungan
bulan
dengan
pasien
pasien
keluarga
masalah
psikososial,
keluarga
-
dan
lingkungan.
Pasien hidup
harmonis
bersama
keluarga
HOME VISIT
TINDAK LANJUT DAN HASIL INTERVENSI
TANGGAL
Pertemuan
Pertama
3 Maret 2014
dilakukan
dan
3.
Pertemuan
Kedua
3 Maret 2014
ASPEK PERSONAL :
Pasien mengeluhkan hidung berair. Pasien berharap agar penyakitnya segera
sembuh.
ASPEK KLINIS :
Rhinitis alergi dan sinusitis maksilaris
9
DERAJAT FUNGSIONAL
Derajat satu : pasien tidak memiliki keterbatasan beraktifitas dan masih dapat
melakukan pekerjaan sendiri
Lingkungan tempat tinggal pasien yang dekat dengan jalan raya sehingga sering
kontak dengan faktor pencetus (debu) dan pasien jarang menggunakan masker
serta pasien masih tidur di karpet.
10
RHINITIS ALERGI
11
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas).
4.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction
atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
(fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,
antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul
HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0
untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia
yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
13
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik
dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil
pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat
pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi
serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama
kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya
antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
14
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau
reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3
atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi
.
E. Gejala Klinik Rinitis Alergi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis (Soepardi, Iskandar,
2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga,
faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok hidung ke atas
menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang
dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau
cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar
hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi membran
timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge,
Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan
15
nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah
marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
F. Diagnosis Rinitis Alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.
Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata
gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta
berair maka dinyatakan positif.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,
yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic
crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah.
Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa
hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang
encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung
yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula
ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis dan otitis media.
16
3. Pemeriksaan Penunjang
a) In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
b) In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin Endpoint Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.
G. Penatalaksanaan Rinitis Alergi
17
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan
eliminasi.
2. Simptomatis
a) Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang
bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan
obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
b) Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
c) Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi
dan
hiposensitasi
membentuk
blocking
antibody.
SINUSITIS MAKSILARIS
19