Sesunggunya telah kami utus untuk tiap-tiap umat seorang rasul (yang
memerintahkan) sembahlah Allah dan jauhilah thoghut.
Ayat di atas menjelaskan makna mengesakan Allah yang meliputi dua hal,
yakni: menyembah Allah dan menjauhi thoghut. Siapa yang mengumpulkan dua perkara
ini, maka dia tergolong kaum muwahhiduun (kaum yang mengesakan Allah). Sebaliknya,
barang siapa menyembah Allah tapi tidak menjauhi thoghut, maka dia tergolong kaum
musyrikuun. Thoghut adalah setiap sesuatu yang diperlakukan sebagai tandingan Allah,
yakni makhluq yang diberi suatu hak oleh manusia, padahal hak tersebut seharusnya
hanya diberikan kepada Allah, bukan kepada makhluq. Misalnya, hak untuk disembah
merupakan hak yang khusus bagi Allah. Maka barang siapa yang memberikan hak
penyembahan itu kepada makhluq berarti dia telah menjadikan makhluq itu sebagai
thoghut. Begitu juga dengan hak untuk mengabulkan doa dan ditaati, itu merupakan hak
ekslusif bagi Allah, maka barang siapa yang berdoa dan memberi ketaatan penuh kepada
makhluq, berarti dia telah menjadikan makhluq itu sabagai thoghut. Dan siapa saja yang
memperlakukan makhluq sebagai thoghut, maka dia telah melakukan sebuah kejahatan
besar, yang disebut syirik.
Allah berfirman dalam An Nisaa ayat 48
sesunggunya Allah tidak mengampuni dosa tindakan menyekutukanNya dan
mengampuni dosa selain itu kepada siapa yang Dia kehendaki.
Allah juga berfirman dalam Al Maidah ayat 72
Sesungguhnya siapa yang menyekutukan Allah maka sungguh Allah
mengharamkan surga bagi dirinya, dan tempat mereka adalah neraka, dan tidaklah ada
penolong bagi orang-orang dholim.
Dua ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang lebih besar dari pada
menyekutukan Allah, yakni memberi hak-hak Allah kepada makhluq.
Darul Muhajirin: http://www.titok.wordpress.com
Menetapkan hukum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya
dan Dia Pemberi Keputusan yang terbaik.
Atas dasar itu, memberikan wewenang mutlak kepada makhluq untuk
menentukan hukum merupakan salah satu pelanggaran terhadap aqidah islam, bahkan itu
tergolong tindakan syirik, menyekutukan Allah Taala. Masalah inilah yang diterangkan
oleh Allah Taaalaa dalam surat At Taubah ayat 31 ,
Mereka (Yahudi dan Nasrani) telah mengambil rahib-rahib dan pendetapendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan Al Masih putra Maryam, padahal
mereka tidak diseruh kecuali untuk menyembah kepada Ilaah yang satu, yang mana tidak
ada ilaah lain selain Dia Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan,..
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya mengutarakan sebuah kisah terkait dengan ayat ini.
Suatu hari, seorang nasrani (yang belakangan menjadi seorang shohabat) bernama Adiy
bin Hatim ra. menemui Nabi saw. Dengan masih mengenakan kalung salib dari perak.
Melihat kehadirannya itu, Nabi saw. membaca At Tawbah 31 yang artinya-, Mereka
(ahli kitab) mengambil rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah dan Al Masih putra Maryam, padahal mereka tidak diseruh kecuali untuk
menyembah kepada Ilaah yang satu, yang tidak ada ilaah lain selain Dia,.
Mendengar ayat ini Adiy bin Hatim ra mengatakan,sesungguhnya mereka tidak
menyembah rahib dan pendeta-pendeta itu. Kemudian Nabi saw. membantah
pernyataan Adiy bin Hatim ra itu dengan mengatakan,yaa, sesungguhnya
mereka( pendeta-pendeta) itu mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah bagi
mereka, dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, kemudian
mereka (umat Yahudi dan Nasrani itu) mengikuti keputusan rahib-rahib dan pendetapendeta itu? Itulah penyembahan ahli kitab terhadap rahib-rahib dan pendeta-pendeta
mereka (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid II, hal 1353).
Dari penjelasan Nabi saw ini bisa dipahami bahwa orang Yahudi dan Nasrani itu
dianggap oleh Allah sebagai kaum yang menjadikan pendeta-pendeta sebagai tuhan.
Penuhanan ahli kitab terhadap pendeta-pendeta mereka itu bukan dengan menganggap
para pendeta itu sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, tapi dengan memberikan
hak mutlak kepada pendeta-pendeta tersebut untuk menentukan mana yang halal dan
Darul Muhajirin: http://www.titok.wordpress.com
mana yang haram. Itulah yang dimaksud dengan menuhankan para pendeta. Al Hafidz
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip penjelasan Hudzaifah bin Al Yaman ra, Abdullah
bin Abbas ra serta para mufassir salaf yang lain mengenai ayat itu, mereka mengatakan
itu karena sesungguhnya mereka (yahudi dan nasrani) menuruti segala hal yang mereka
halalkan dan yang mereka haramkan. As Sudiy mengatakanmereka menaruh kesetiaan
penuh kepada (keputusan) manusia, seraya meninggalkan (hukum) Kitabullah di
belakang punggung mereka (Ibnu Katsir, Jilid II, hal 1354). Artinya, Yahudi dan Nasrani
menuhankan pendeta-pendeta itu karena mereka menuruti segala keputusan mereka tanpa
peduli terhadap hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah. Itu artinya, mereka telah
memberi hak tertinggi untuk menentukan hukum kepada para pendeta itu, maka mereka
telah menjadikan para pendeta itu sebagai thoghut (tuhan/sesembahan selain Allah).
Pemahaman ini sesuai juga dengan Firman Allah dalam An Nisaa ayat 60
thoghut itu adalah setiap kaum yang berhukum kepada selain Allah dan rasulNya, atau
kaum yang beribadah, taat dan tunduk kepada selain Allah. (hal. 45)
Dogma Demokrasi Menjadikan Rakyat Sebagai Thoghut
Jika kesimpulan dari uraian sebelumnya kita proyeksikan kepada doktrin
demokrasi, maka jelas bahwa system demokrasi telah memberikan salah satu hak
ilahiyyah kepada manusia (rakyat). Itu karena para pendukung demokrasi telah
menyatakan dengan lisan mereka sendiri bahwa rakyat adalah satu-satunya pihak yang
berdaulat dalam pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi = vox dei.
Artinya, kehendak rakyat adalah kehendak yang absolute, maka pemerintah harus tunduk
sepenuhnya kepada kehendak rakyat dalam segenap aspirasi mereka, apa yang menjadi
keinginan rakyat harus dituruti, dan apa yang tidak dikehandaki oleh rakyat harus
ditinggalkan, tidak peduli apakah itu semua sesuai dengan kitabullah dan sunnah atau pun
tidak. Bahkan, pemerintahan demokrasi memang tidak bermaksud menyesuaikan segala
kebijakannya dengan kitabullah dan sunnah. Yang terpenting bagi mereka adalah
mengabdi kepada kehendak rakyat dengan menuruti dan menghargai segala aspirasi
mereka tanpa memandang hukum Allah SWT. Inilah mafhum dari kalimat kedaulatan di
tangan rakyat. Bukankah ini yang telah disinggung oleh surat At Taubah ayat 31 dan An
Nisaa ayat 60 tadi?
Masalahnya tidak berhenti dalam ranah teori, tapi memiliki penampakan yang
jelas dalam aplikasi. Mari kita lihat pemerintahan demokrasi yang menaungi umat islam
saat ini. Negara demokrasi seperti yang kita diami ini- tidak mewajibkan apa yang
diwajibkan oleh Allah, tidak menegakkan had-had Allah, dan tidak mendasari segala
kebijakan dan hukum yang diterapkannya dengan kitabullah dan sunnah. Mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, mereka tidak mengharamkan riba, tidak
mengaharamkan tabarruj, tidak mengharamkan tindakan-tindakan rusak yang
mengatasnamakan seni, bahkan juga tidak mengharamkan iklan-iklan TV yang
menawarkan kemusyrikan yang nyata (seperti ramalan dan primbon). Mereka tidak
merasa berdosa atas semua itu. Mereka merasa telah berjalan di atas jalan yang benar,
berjalan sesuai aspirasi rakyat, meski dengan itu mereka meninggalkan hukum-hukum
Allah. Ini semua karena kita hidup dalam alam demokrasi, dimana syara tidak berdaulat,
tapi manusia yang berdaulat, rakyat punya kebebasan pribadi yang tidak boleh
diinterverensi oleh kekuatan apa pun, sekali pun kebebasan itu digunakan untuk
melakukan sesuatu yang jelas-jelas melanggar hukum syara. Padahal, dalam islam,
Negara adalah penanggungjawab di dunia dan di akhirat, dan dia harus mengurus
rakyatnya dengan benar.
Allah berfirman kepada para penguasa dalam Al Maidah ayat 49 (terj), dan
hendaklah kamu putuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka (agar jangan sampai) mereka memalingkan kamu dari sebagian yang telah
diturunkan oleh Allah kepadamu.
Ayat ini turun kepada Nabi saw pada saat beliau menjadi penguasa, dan berlaku
bagi seluruh penguasa sesudah beliau. Perintah Allah kepada para penguasa dalam ayat
ini jelas kontradiktif dengan doktrin demokrasi. Demokrasi mewajibkan penguasa untuk
tunduk kepada kehendak rakyat, tapi, ayat ini justru mewajibkan penguasa untuk tetap
merujuk kepada Kitabullah dan sunnah. Bahkan ayat ini mewajibkan penguasa untuk
tidak menghiraukan aspirasi-aspirasi rakyat (baca = hawa nafsu manusia) yang tidak
Darul Muhajirin: http://www.titok.wordpress.com
berdasarkan Kitabullah dan sunnah. Dan ayat ini juga mewanti-wanti penguasa agar
jangan sampai aspirasi-aspirasi itu (hawa nafsu manusia) bisa memalingkan mereka dari
kewajiban penerapan hukum-hukum Allah. Seolah-olah dengan redaksi lain ayat tersebut
mengatakan wahai penguasa, putuskanlah segala permasalahan di antara rakyatmu
dengan hukum Allah, dan janganlah engkau menuruti aspirasi-aspirasi yang muncul dari
hawa nafsu mereka, dan jangan sampai aspirasi yang muncul dari hawa nafsu itu
memalingkan kamu dari penerapan sebagian hukum Allah yang telah diturunkan
kepadamu, (namun Allah memiliki sebaik-baik kalam)
Dari ayat itu saja jelas dapat dipahami bahwa islam tidak mengajarkan doktrin
kedaulatan rakyat, tapi islam mengajarkan kedaulatan syara (Lihat uraian Dr. Al
Kholidi dalam Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, hal. 7 sd 108). Artinya,
syariah islamlah yang berdaulat di dalam Negara. Negara dan rakyat harus sama-sama
tunduk kepada syara. Seluruh hukum dan keputusan harus didasarkan pada pendapat dan
aspirasi yang terpancar dari kitabullah dan sunnah. Maka, negara menjadikan syara
sebagai acuan utama, bukan semata-mata aspirasi rakyat. Sebab, jika kehendak rakyat
dijadikan kebenaran absolute, maka pada saat itu negara dan rakyatnya telah menjadikan
rakyat itu sendiri sebagai thoghut. Di sinilah letak pertentangan yang tidak mungkin bisa
didamaikan antara islam dengan demokrasi. Wa naudzubillaahi min dzaalik
Rujukan:
Ad Dimasyqy, Ismail bin Amr bin Katsir (Ibnu Katsir). 2005. Tafsiirul Quraanil
Adziim. Daaru Ibni Haitsam, Kairo
Al Jauziyah, Ibnu Qoyyim. 2007. Panduan Hukum Islam (Ilamul Muwaqiin an
Rabbil alamin). Pustaka Azzam. Jakarta
Al Kholidiy, Mahmud Abdul Majid. 2004. Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam
(Qowaidu Nidzomul Hukmi fil Islam). Al Azhar Press. Bogor