Anda di halaman 1dari 2

Mengatasi Asam Lambung

GAYA hidup dan pola makan kembali terbukti memengaruhi kesehatan.


Kehidupan dengan stres tinggi dan makan makanan berlemak diyakini sebagai
pemicu penyakit refluks gastroesofageal (GERD).
Penyakit dengan gejala rasa nyeri dan panas di dada dan asam lambung naik ke
kerongkongan ini jika dibiarkan berlarut-larut bisa menimbulkan gangguan suara
serak, batuk kronis, sesak napas, bahkan kanker kerongkongan. Gangguan ini
bisa diatasi dengan obat- obatan yang tersedia pasaran. Jenis dan dosisnya
dibakukan dalam Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks
Gastroesofageal yang disusun Kelompok Studi GERD Indonesia.
Penyakit refluks gastroesofageal menurut definisi dalam konsensus nasional
adalah kelainan yang menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir
balik) ke kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar di
dada, kadang-kadang disertai rasa nyeri serta gejala lain seperti rasa asam dan
pahit di lidah, nyeri ulu hati, perut kembung, sering bersendawa, serta kesulitan
menelan.
Menurut dr Ari Fahrial Syam SpPD MMB dari Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) pada jumpa pers
simposium penatalaksanaan terkini penyakit dalam, Sabtu (4/12), semula
gangguan ini dikelompokkan sebagai gangguan pada lambung. Namun dalam
perkembangannya, GERD menjadi penyakit tersendiri, yaitu gangguan pada
kerongkongan dengan kriteria, pemeriksaan, dan pengobatan tersendiri.
"Makanan berlemak seperti keju atau cokelat serta faktor stres menyebabkan
produksi asam dan gas berlebihan dalam lambung. Makanan berlemak juga
memperlemah klep kerongkongan. Akibatnya asam dan gas naik ke
kerongkongan. Hal ini akan menimbulkan luka di kerongkongan," paparnya.
Kalau terus berlangsung, hal ini akan mengganggu organ lain seperti gangguan
pita suara, gatal di tenggorokan, asam yang ke paru akan menimbulkan gejala
sesak napas seperti asma. Pada kerongkongan akan terjadi penyempitan,
radang dan perubahan dinding kerongkongan, mula-mula berupa polip dan bisa
berkembang menjadi kanker.
PREVALENSI GERD dan komplikasinya di Asia termasuk rendah dibandingkan
dengan negara-negara Barat. Prevalensi di Barat berkisar 10-20 persen,
sedangkan di Asia 3-5 persen, dengan pengecualian di Jepang 13-15 persen
dan Taiwan 15 persen.
Penelitian tahun 1998 di FKUI/RSCM pada pasien dengan gejala dispepsia yang
mendapat pemeriksaan endoskopi ditemukan kasus GERD berupa radang

kerongkongan sebanyak 22,8 persen. Penelitian lain di FKUI/RSCM melaporkan


dari 1.718 pasien yang menjalani pemeriksaan dengan teropong saluran cerna
bagian atas dengan indikasi dispepsia selama lima tahun (1997-2002)
menunjukkan peningkatan prevalensi radang kerongkongan dari 5,7 persen pada
tahun 1997 menjadi 25,18 persen pada tahun 2002.
Gejala GERD sering tumpang tindih dengan gejala dispepsia (gangguan
pencernaan akibat tingginya asam lambung). Sering juga disangka gangguan
jantung karena penderita merasa nyeri, sesak, dan panas di bagian dada
sehingga ada pelbagai pemeriksaan untuk mencari kelainan pada jantung.
OBAT golongan antasida memang bisa menghilangkan gejala, tetapi tidak
menghentikan proses yang terjadi. Karenanya, demikian Ari, diperlukan obat
antiasam yang lebih kuat berupa penghambat pompa proton (proton pump
inhibitor/PPI) seperti omeprazol, esomeprazol, pantoprazol, lansoprazol.
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pompa proton pada dinding sel
parietal-yaitu sel yang memproduksi asam- sehingga terjadi penurunan produksi
dan pengeluaran asam lambung. "Keasaman lambung dipertahankan pada pH 46 untuk memberi kesempatan tubuh memperbaiki kerusakan yang terjadi,"
jelasnya.
Sebenarnya asam berfungsi membantu pencernaan dan membunuh kuman.
Namun, produksi asam yang berlebihan akan merusak dinding lambung dan
kerongkongan seperti pada kasus GERD. Upaya menurunkan tingkat keasaman
sampai pH 4-6 sejauh ini tidak membahayakan kesehatan.
Dalam konsensus nasional disebutkan, jika pasien yang mendapat PPI dosis
ganda selama satu minggu kondisinya membaik, pengobatan harus diteruskan
sampai delapan minggu agar sembuh total.
Untuk radang kerongkongan sedang dan berat perlu dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan sesuai dengan kebutuhan (bisa sampai enam bulan).
Menurut Ari, konsensus nasional didasarkan pada konsensus yang disusun
pelbagai pusat penelitian di dunia, studi kasus di Indonesia, dan pengalaman
empiris para pakar/praktisi medis yang menyusun konsensus ini. Konsensus
diharapkan menjadi pedoman para dokter dalam penatalaksanaan GERD
sehingga tercapai hasil pengobatan yang optimal.
Namun, pengobatan tak akan banyak berarti jika gaya hidup dan pola makan tak
diubah. Karena kedua hal itu yang sebenarnya menjadi kunci kesehatan kita.
(ATK)
Posted by Galih Gumelar Center at 9:40 AM

Anda mungkin juga menyukai