Anda di halaman 1dari 4

Aku berjalan menyusuri jalanan sempit disebuah kota, udara dingin menyergap hingga seketika bulu

kudukku berdiri. Cuaca sedang tidak bersahabat, sejam yang lalu hujan turun, dan sekarang gerimis tiba.
Cardingan yang pas dengan tubuhku meninggalkan bekas polkadot dari gerimisnya hujan, sneakers
hitam putih yang kukenakan terlihat basah dan kotor karena becek di setiap jalanan.
Kuketuk pintu, ketika aku sudah sampai di rumahku dan seorang wanita membukakannya untukku. Ibu.
Darimana saja? Jam segini baru pulang?, sergah ibuku ketika aku tak mengatakan sepatah katapun.
Kampus ma, aku juga singgah ke toko buku tadi., ucapku sambil melepaskan sepatu dan berjalan ke
kamar.
Kurebahkan tubuhku dalam dekapan kasur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Menerawang
langit-langit rumah. Dan kemudian bangkit dan berlalu ke kamar mandi.
Kringggg
Kringggggggg
Kudengar ponselku berbunyi. Kuraih ponsel itu, dan kulihat nama yang tertera di layar, DINA. Dengan
segera kutekan tombol hijau untuk menerima panggilan itu.
Halo?! Hani?!, terdengar suara Dina berteriak.
Iya Na, ada apa?, tanyaku.
Haniii, lo pasti gak nyangka gue ketemu siapa hari ini!, jawabnya semangat.
Aku tidak bisa menebak siapa yang dimaksud oleh Dina.
Siapa Na?, jawabku datar.
Hanii, lo tau, gue tadi ketemu sama Vano dan Wenda di caf Chocolate Brown!!!
Aku tersentak mendengar nama yang disebut Dina, rasa sesak kurasakan dalam hitungan menit. Aku
terdiam tak bisa menjawab Dina yang sejak tadi terus memanggil namaku.
Haniii Lo masih denger gue kan, Han, lo gak papa? Sorry Han, gue gak bermaksud buat ingetin dia lagi,
Hanii.. Maafin guee.., isak Dina.
Na, udah gak apa-apa, gue ngerti kok, ucapku tanpa banyak kata.
Sudah hampir setengah jam aku duduk di kanebo sejak Dina menelponku dengan kabar menyakitkan itu.
Vano adalah mantan pacarku. Aku sangat mencintainya hingga saat ini. Rasa penasaranku selama
beberapa hari ini terjawab sudah, ternyata benar Vano dan Wenda sedang menjalin hubungan, lebih
dari sekedar teman. Aku masih saja tidak percaya yang dikatakan Dina. Telapak tanganku terasa ngilu,
hatiku sakit, begitu sakitnya hingga ku cengkram bajuku dan menahan ingin teriak. Mulutku ternganga
dengan rintihan yang tidak terdengar, air mataku menetes.

***
Pagi. Kubuka mataku yang terasa perih karena aku menangis semalaman. Aku memimpikan Vano. Tapi
aku lupa, yang kuingat wajahnya ada dimimpiku. Aku berjalan ke kamar mandi sempoyongan,
membersihkan diri dari rasa sakit semalam.
Aku melintasi setiap orang di jalan, menuju ke kampusku yang tak jauh dari rumah. Dengan meneteng
tas selempang, aku berjalan memasuki lorong kampus mendengarkan lagu kesukaanku melalui
earphone. Aku berhenti melangkah, ketika melihat sosok Vano berjalan bersama dengan Wenda.
Tanganku kembali terasa ngilu, dan menyesakkan melihat mereka berdua bersama. Aku segera mencari
tempat untuk menghindar, aku tak mampu menyapa mereka apalagi mengucapkan selamat untuk
hubungan mereka. Mereka melewatiku tanpa tahu aku sudah berdiri terpaku tanpa terlihat.
Pelajaran yang diberikan dosen di depan kelas tak bisa membuyarkan hal yang sedang kupikirkan. Vano.
Aku duduk di salah satu kursi yang mengarah ke jendela. Tatapanku tertuju ke dunia luar kelas.
Mau tak mau aku mulai mengingat Vano dan aku di masa lalu. Aku menyukai Vano diam-diam sejak
semester awal, kami berbeda jurusan. Vano mengambil jurusan teknik, sedangkan aku desain. Vano
seorang yang ceria, baik, dan pintar. Semuanya berbanding terbalik denganku, yang terlihat dingin, dan
tidak cukup pintar.
Perkuliahan hari ini berakhir, seperti biasa aku berjalan menuju rumah, aku jarang menghabiskan waktu
di kampus seharian untuk hal yang tidak penting, seperti menggosip dengan teman lainnya.
Di perjalanan depan kampus, ku dapati Mike bersama Siska, sontak saja aku mundur agar tidak
ketahuan. Kudekatkan diriku ke arah dinding untuk bersembunyi. Aku mengintip apa yang sedang
mereka lakukan. Semua hal berkecamuk dalam pikiranku saat melihat mereka, semuanya, negatif
ataupun positif aku tidak bisa mengendalikan pikiranku sendiri. Tapi, kulihat Siska mengenggam
setangkai mawar putih kesukaanku. Aku bisa menebak itu yang diletakkan Mike saat di loker tadi.
Terlihat sekali Siska menyukainya dan tak lama kemudian mereka bergandengan tangan dan pergi. Aku
terdiam, tersudut, dengan hati yang remuk, aku berjalan, berlari seakan ingin menghampiri mereka, dan
ingin menarik Mike darinya, tapi sosok mereka hilang sekejap bersama mobil yang di bawa Mike.
Hujan turun, aku menangis. Aku berada di gedung Tua yang tak berpenghuni, tepatnya di lantai paling
atas yang menghubungkan aku dengan langit, hujan dalam keadaan rintik, kunikmati setiap tetes yang
mengalir di tubuhku, terasa dingin, sakit ketika jatuh tepat di kulitku, tapi tak ada yang lebih sakit
dibandingkan hatiku, rasanya mual, dan aku berteriak sekencangnya tak peduli apapun.

Aku tersentak seketika, seakan ada seseorang yang berteriak disini, namun tak kudapati orangnya.
Bagaimana mungkin orang berteriak di toko buku yang sepi pengunjung karena hujan sedang turun. Aku
berdiri di pojokan dekat dengan jendela masih bingung dengan suara yang sepertinya kudengar tapi
orang lain tidak. Kuperhatikan keluar jendela, memperhatikan setiap apa yang kulihat, orang-orang yang
berlari karena kehujanan, kendaraan yang berlalu lalang, serta bangunan Tua yang sepertinya tidak
mungkin ada orang disana. Karena tak kutemukan keganjilan aku teruskan membaca buku yang sedari
tadi ku baca.
Hei bro!
Tiba-tiba sebuah suara datang mengejutkanku, dan ternyata Mike, teman SMA ku.
Hei Mike, hahahaha, kurang ajar lo, ngagetin aja, long time no see bro, apa kabar lo?, ucapku sambil
memeluknya.
Bro, cukup meluk gue, dikirian homo ntar!, ronta Mike melepaskan diri.
Sorry bro, hahaha! tawaku.
Kabar baik men, lu yang kemana aja kagak ada kabar, gue hubungin, tapi nomer lu gak aktif lagi, gue
wall di facebook lu kagak bales, apalagi tweet gue, dicuekin abis!, ujarnya kesal.
Hahaha, gue harus bilang sorry lagi nih, lu tau sendiri gue kan kuliah di luar negeri karena kemauan
BoNyok gue, waktu itu keadaan gue lagi ribet banget, jadi mau kabarin lo tapi gak sempat keburu mau
kesana, yaudah deh lose contact. Tapi gak nyangka akhirnya ketemu disini ya bro, hahahaha!, ucapku
panjang lebar.
Oh, gue kirain lo mulai lupain gue! Dasar lo! Jadi kapan lo balik nih? Kenapa gak datang kerumah?!
gerutu Mike.
Gue baru balik semalam, lagi ada libur musim panas disana, jadi gue sempetin balik. Gue rencana mau
kerumah lo hari ini abis dari toko buku, eh, ketemunya malah disini, kalo gitu, mari kita senang-senang
brother!, ujarku sambil merangkulnya.
Wah, sepertinya kagak bisa Ken, gue lagi jalan sama pdkt gue nih!, ucap Mike pelan.
Lo itu ya, kagak pernah berubah! Masih aja jadi playboy!
Lo ngeledek gue? Udah deh gini aja, gue minta nomer telepon lo, ntar gue hubungin lo selesai nemenin
doi, gimana? Lo pasti gak bakal sia-siain 1 hari gak senang-senang kan, hahahaha!, tawanya meledek.
Hahaha! Oke-oke nih nomer gue, janji lo, gue tunggu!, jawabku.
Sip dah! Oke bro! Sorry kali ini gue gak bisa ngenalin lu sama dia, ntar lu samber lagi pdkt gue!, ujarnya
sambil berlari takut ku timpuk dengan buku tebal di tanganku.
Sialan lo!, ucapku dan kembali membaca buku.

Aku sudah kembali ke rumah ketika hujan sudah berhenti. Aku basah kuyup. Ibuku terkejut melihatku
saat membuka pintu, tapi aku jawab aku kehujanan dan tidak mendapatkan kendaraan disana. Ibuku
percaya meskipun terlihat wajahnya yang khawatir. Aku masuk ke kamar mandi membersihkan diri.
Aku keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, aku berjalan melihat di depan cermin
memperhatikan keadaanku sendiri, masih tersisa sedikit air mata di pelupuk mataku, kusingkap
rambutku dan mulai ku keringkan dengan handuk.
Aku menerawang kembali kejadian hari ini, masih tak percaya Mike memberikan Siska bunga mawar
putih kesukaanku. Aku menghela nafas meredakan sedikit rasa sesak.
Aku ingat sekali

Anda mungkin juga menyukai