Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH FIQHIYAH DAN KAIDAH USHULIYYAH

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kaidah fiqhiyah dan Kaidah ushuliyyah merupakan asas-asas atau aturan-aturan dalam ilmu
fiqh yang perlu diketahui secara umum oleh umat Islam, terutama bagi mereka yang ingin
mendalami ilmu fiqh serta para mujtahid. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang
belum mengerti sama sekali apa itu kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah.
Kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyah itu sangat penting karena merupakan alat untuk
menggali kandungan makna dan hukum yang tertuang dalam nash Al-Quran dan As-Sunnah.
Sedangkan kaidah ushuliyah itu sendiri merupakan modal utama memproduk fiqh. Tanpa kaidah
ushuliyah, pengamalan hukum Islam cenderung belum semuanya mengelupas jenis-jenis hukum
suatu perbuatan. Dengan mengetahui dan memahami kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui
benang merah dalam menguasai fiqh, karena kaidah fiqh itu menjadi titik temu dari masalahmasalah fiqh dan lebih arif dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk
kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam
menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi
terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah
fiqhiyah dan kaidah kaidah ushuliyah.

B. RUMUSAN MASALAH

1.

Apakah pengertian kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?

2. Apa metode yang dipakai untuk merumuskan kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
3. Ada berapa macam kaidah fiqiyah dan kaidah ushuliyyah?
4. Apa perbedaan dan persamaan antara kaidah fiqhiyah dan kaidah ushuliyyah?
5. Apa tujuan mempelajari kaidah fiqiyah dan ushuliyyah?
6. Apakah hubungan antara Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah?

C. TUJUAN PENULISAN

Makalah ini disusun bertujuan agar umat Islam lebih mengetahui, memahami, dan mengerti
mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kaidah fiqhiyah dan ushuliyah. Mulai dari pengertian
dari kaidah - kaidah tersebut, metode perumusan kaidah-kaidah beserta kitab-kitab sumbernya,
macam - macamnya , contoh-contoh yang termasuk dalam kaidah, dan perbedaan ataupun
persamaan antara kaidah kaidah fiqhiyah dan kaidah kaidah ushuliyah, serta tujuan dari
pembelajaran kaidah fiqhiyah dan ushuliyyah itu sendiri . Sebagai tambahan, diharapkan dengan
adanya tulisan ini dapat membantu orang-orang yang ingin mendalami hukum-hukum fiqih,
terutama bagi kalangan mujtahid.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyah


Kaidah berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa Arab, kaidah bisa diterjemahkan sebagai
qaidah atau qawaid (dalam bentuk jamak) . Kaidah juga bisa diartikan al-asas (dasar atau pondasi),
al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara).
Menurut tinjauan terminologi, kaidah punya beberapa arti. Dr. Ahmad asy-syafii dalam buku
Usul Fiqh Islami, menyatakan bahwa kaidah adalah :
Kaum yang bersifat universal (kulli) yangh diakui oleh satuan-satuan hukum juzi yang banyak.
Sedangkan mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya.
Arti fiqh secara etimologi lebih dekat dengan ilmu. Sedangkan menurut istilah, Fiqh adalah
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang bersifat amaliyah (praktis) yang diambilkan dari
dalil-dalil yang tafsili (terperinci).
Kaidah fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang di rumuskan oleh ulama fiqh yang bersumber
dari syariat dengan di dasarkan pada asas dan tujuan pensyariatan. Kata kaidah fiqhiyah terdiri dari
dua kata yakni qaidah da fiqhiyah.
Kata fiqhiyah berasal dari fiqh, yang berarti faham, yang menurut istilah berarti hukumhukum syara yang bertalian dengan perbuatan mukallaf yang di keluarkan dari dalil nya yang
terperinci. Pengertian kaidah fiqhiyah dalam susunan kata sifat dan yang di sifati, berarti ketentuan
aturan yang berkenan dengan hukum-hukum fiqh yang di ambil dari dalil-dalil terperinci.
Menurut Prof.Hasbi Ash Shiddiqy, kaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat
kully yang di ambil dari dalil-dalil kully dan dari maksud-maksud syara menetapkan hukum
(maqashidusy syariy) pada mukallaf serta dari memahami rahasia tasyri dan hikmah-hikmahnya.
Tujuan pensyariatan adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan
makna dan tujuan ungkapan yang telah di tetapkan oleh para ahli bahasa.
Itulah sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena umumnya
dibangun berdasarkan logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah ushuliyah yakni kaidah
perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya
dilarang, atau sebaliknya, suatu perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.

B. Metode Perumusan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah

a. Kaidah Fiqhiyah
Ada dua metode yang dijadikan dasar pengambilan kaidah fiqhiyah, yaitu dasar Formil dan
dasar Materiil. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan dasar ulama dalam merumuskan
kaidah fiqhiyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi pegangan ulama sebagai sumber
motivasi penyusunan kaidah fiqhiyah. Adapun dasar materiil maksudnya darimana materi kaidah
fiqhiyah itu dirumuskan.
1. Dasar formil
Hukum-hukum furu yang ada dalam untaian satu kaidah yang memuat satu masalah tertentu,
ditetapkan atas dasar nash, baik dari alquran maupun sunnah. Seperti dari Firman Allah pada surat al
Bayyinah yang artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.[22]

Dan dalam hadis Nabi Muhammad SAW:[23]



Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya.

Diistimbatkan hukum melakukan niat untuk setiap perbuatan ibadah. Karena persoalan niat
juga mempunyai arti penting dalam soal-soal lain, maka dirumuskannya kaidah fiqhiyah:

Setiap perkara tergantung kepada maksud mengerjakannya

Jadi perumusan kaidah fiqhiyah itu berdasarkan pada Alquran dan Sunnah dalam rangka
untuk mempermudah pelaksanaan istinbath dan ijtihad.
2. Dasar materiil
Adapun dasar materiil atau tegasnya bahan-bahan yang dijadikan rumusan kata-kata kaidah
itu, adakalanya nash hadis, seperti kaidah yang berbunyi:

Kemadlaratan itu harus dihilangkan

Kaidah ini berasal dari hadis Nabi Muhammad SAW:[26]


(
Tidak boleh membuat mudlarat diri sendiri dan tidak boleh memudlaratkankan orang lain.
Kaidah yang berasal dari hadist tersebut berlaku untuk semua lapangan hukum, baik
muamalah, ibadah, munakahat maupun jinayat. Disamping kaidah fiqhiyah yang dirumuskan dari
lafadh hadis, seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa kaidah fiqhiyah itu hasil
perumusan ulama yang kebanyakan sukar ditetapkan siapa perumusnya.
Banyak kitab yang dihasilkan oleh para ilmuwan Islam yang membahas mengenai Qawaid
Fiqhiyah. Diantanya adalah dari kalangan 4 mazhab terkenal.
Enam karya dari kalangan madzhab Hanafi antara lain :
a) Usuul al-Karkhi karya cUbaidullah ibn Hasan al-Karkhi (260-340 H)
b) Tasiis al-Nadzr karya al-Qadhi, cUbaidullah ibn cUmar ad-Dabusi (430 H)
c) Al-Ashbaah wa al-Nazhaair oleh Zainudddin ibn Ibrahim Ibn Nujaim (970 H)
d) Majaamic al-Haqaaiq yang ditulis oleh Abu Sa cid al-Khadimi. ( 1176 H),
e) Al-Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah oleh Komite Ulama Daulah cUsmaniyyah (1286 H), dan
f) Al-Faraaid al-Bahiyyah fi al-Qawaacid al-Fawaaid al-Fiqhiyyah karya Ibn Hamzah al-Husaini (1305
H).

Diantara keenam karya tersebut, Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah merupakan satu-satunya


karya yang ditulis oleh sebuah tim yaitu para Ulama yang ditunjuk oleh Pemerintah Daulah
Usmaniyah di Turki. Majallah al-Ahkaam al-cAdliyyah terdiri dari 99 qawaid ditambah dengan
sebuah pendahuluan, yang tersusun dalam 1851 ayat.
Ushuul Al-Karkhi memuat 36 qawaid yang menurutnya disebut qawaid alAsl atauqawaid asal, yang kemudian diberikan komentar atau syarah oleh Najmuddin an-Nasafi
yang juga dari madzhab Hanafi. Sementara itu, karya Ibnu Nujaim, Al-Asybaah wanNazhaair,merupakan sebuah karya yang masyhur dari kalngan madzhab Hanafi. Karya ini terdiri dari
6 (enam) qawaid dasar (qawaid al-asasiyyah)5 (lima) diantaranya juga dimuat dalam al-Majallah
al-Ahkaam al-cAdliyyah ayat-ayat 2, 4, 17, 21 dan 36ditambah dengan 19 (sembilan belas) qawaid
cabang atau al-furuiyyah. Karya Ibnu Nujaim ini juga mendapat tanggapan luas dari berbagai
kalangan madzhab Hanafi, dengan ditulisnya beberapa ulasan atau komentar para fuqaha
terkemudian, empat diantaranya adalah:

a) Tanwiir al-Bashaair calal-Asybaah wan-Nazhaair (1005 H) oleh cAbdul-Qadir Sharif uddin al-Ghazzi;
b) Ghamzu cUyuun al-Bashaair Syarh al-Asybaah wan-Nazhaair (1098 H) oleh Ahmad ibn Muhammad
al-Hamawi;
c)

Umdatu dzawil-Basyaair li-Halli Muhtamaati al-Asybaah wan-Nazhaair(1099H.) karya Ibrahim ibn

Hussain, yang lebih dikenal sebagai Ibnu Biri al-Makkati.


d) cUmdatu an-Naadzir cala al-Asybaah wan-Nazhaair oleh Abu Su cud al-Husaini.

Dari mahdzhab Maliki, beberapa ulama juga menyumbangkan tulisan tentang qawaid
fiqhiyyah. Karya dari kalangan madzhab Maliki tidak sebanyak dari madzhab Hanafi dan Syafii. Karyakarya tersebut antara lain adalah:
a) Anwaar al-Buruuq fi Anwaar al-Furuuq atau lebih dikenal juga sebagai: Al-Furuuq; Kitab al-Anwaar
wal-Anwaa; atau Kitab al-Anwaar wal-Qawaacid as-Sunniyyah oleh al-Imam Syihabudin cAbdulAbbas Ahmad as-Sonhaji al-Qarafi (260-340 H);
b) Al-Qawaacid oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Muqarri (758 H);
c) Iidhaah al- Masaalik ilaa Qawaacid al-Imaam Maalik hasil karya Ahmad ibn Yahya ibn Muhammad
at-Tilmisani al-Winsyarinsi (914 H);
d) Al-Iscaaf bit-Thalab Mukhtasar Sharh al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid al-Madzhab karya asSyaikh Abul-Qasim ibn Muhammad at-Tiwani ( 995 H)

Karya terakhir, at-Tiwani, al-Isaaf, diulas dengan sajian ringkas oleh setidaknya AbulHasan Ali ibn Qasim al-Zaqqaq, al-Fasi, at-Tujibi dalam al-Manhaj al-Muntakhab calaa Qawaacid alMadzhab (912 H), dan dikomentari oleh Ahmad ibn cAli al-Fasi al-Maghribi
c

Sementara itu madzhab Syafii paling banyak memberikan kontribusi qawaid fiqhiyyah dalam
khazanah fiqh Islam. Pengaruhnya di Indonesia juga cukup meluas, utamanya karya salah seorang
faqih besar seperti Jalaludin as-Suyuti yang menulis al-Asybaah wan-Nazhaair dalam beberapa jilid.
Jilid 1 berisi tentang qawaid dasar (asas) sebanyak lima buah sebagaimana yang disebutkan
dalam al-Majallah di atas. Qawaid ini juga cukup popular, bukan saja di indoneisa melainkan juga di
wilayah negeri-negeri Muslim lainnya, termasuk Malaysia dan juga di Timur Tengah. Di kalangan
madzhab Syafii, kelima qawaid ini dianggap sebagai qawaid yang utama. Kitab 2 al-Asybaah wanNazhaair berisi tentang qawaid umum (amm) sebanyak 40 qawaid, sedang 20 qawaid lagi masuk
dalam kategori diperselisihkan kedudukannya, termuat dalam Jilid 3 7.
Secara lengkap, karya-karya tentang qawaid fiqhiyyah di kalangan madzhab Syafii
berdasarkan urutan sejarahnya antara lain adalah:

a) Qawaacid al-Ahkaam fi Masaalih al-Anaam oleh cIzzuddin cAbdul cAziz ibn cAbdus Salam ( 577 - 660
H);
b) Kitaab Al-Asybaah wan-Nazhaair karya Sadraddin Abi cAbdullah ibn Murahhil, Ibn Wakil al-Syafi ci
(716 H);
c) Majmuuc al-Mudzhab fil-Qawaacid al-Madzhab oleh Salahuddin Abi Sa cid al-cAlai as-Syafi ci (761 H);
d) Al-Asybaah wa al-Nazhaair oleh cAbdul-Wahhab ibn cAli Tajuddin as-Subki (771 H);
e) Al-Manthuur fi Tartiib al-Qawaacid al-Fiqhiyyah aw al-Qawaacid fi al-Furuucoleh Muhammad ibn
Bahadur Badruddin az-Zarkashi (794 H);
f) Al-Ashbaah wa al-Nazhaair karya Sirajudddin cUmar ibn cAli al-Ansari, yang lebih terkenal dengan
pangggilan Ibnul-Mulaqqin (804 H);
g) Al-Qawaacid oleh Taqiyyuddin Abu Bakr ibn Muhammad ibn cAbdul-Mumin, al-Hisni (829 H);
h) Al-Ashbaah wa al-Nazhaair oleh Jalaluddin cAbdur Rahman ibn Abi Bakr ibn Muhammad as-Suyuthi
(al-Asyuthi) (804 H); dan
i)

Al-Istighnaa fi al-Furuuq wa al-Istithnaa karya Badruddin Muhammad ibn Abi Bakr ibn Sulaiman alBakri
Di atas telah disinggung sedikit tentang karya as-Suyuthi, al-Asybaah wan-Nazhaair, yang
cukup masyhudr di kalangan madzhab Syafii. Selain karya as-Suyuthi, kitab Majmuuul
Madzhab karya al-Alai jug amendapat perhatian para fuqaha madzhab Syafii, seperti ulasan-ulasan
yang diberikan dalam kitab Mukhtashar al-Qawaacid al-Alai seperti oleh:

a) Al-Allamah as-Syarkhadi (792 H) yang merupakan kombinasi dengan tulisan al-Isnawi untuk topik
yang sama; dan
b) Al-Allamah ibn Khatib ad-Dahsyah yang mengkombinasikan dengan kuliah-kuliah dari al-Isnawi
Di kalangan madzhab Maliki, terdapat setidaknya lima kitab karya para fuqaha mulai dari
pertengahan abad ke-7, sejak karya Ibnu Taymiyyah hingga abad ke-14 Hijriyyah pada periode alQari. Mereka antara lain:
a) Al-Qawaacid al-Nuuraaniyyah al-Fiqhiyyah oleh Taqiyyuddin Abu al-cAbbas Ahmad ibn cAbd al-Halim
ibn Taymiyyah (661 - 728 H);
b) Al-Qawaacid al-Fiqhiyyah oleh Sharifuddin Ahmad ibn al-Hasan, ibn Qadhi al-Jabal al-Maqdisi (771
H);
c) Taqriir al-Qawaacid wa Tahriir al-Fawaaid (al-Qawaacid) karyacAbdurrahman Shihab ibn Ahmad ibn
Abi Rajab (Ibn Rajab) al-Hanbali (795H);

d) Al-Qawaacid al-Kulliyyah wa al-Dhawaabit al-Fiqhiyyah (771 H) karya Jamaluddin Yusuf ibn Hasan
ibn Ahmad ibn cAbdul-Hadi (1309-1359 H); dan
e) (Qawaacid) Majallah al-Ahkaam al-Shar ciyyah calaa Madzhab al-Imaam Ahmad ibn
Hanbal oleh Ahmad ibn cAbdullah al-Qari (1309-1359 H)

b. Kaidah Ushuliyyah
Qawaid Ushuliyyah atau Kaidah Ushuliyyah merupakan kaidah/bahasan sebagai metodologi
untuk memahami atau memperoleh hukum-hukum Syariah yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang
rinci. Pokok bahasanya berupa dalil-dalil syara secara garis besar yang didalamnya terkandung
hukum-hukum secara garis besar pula. Banyak digunakan pendekatan filosofis di dalamnya. Seperti :
hakikat hukum Syariah, sumber-sumber hukum, tujuan hukum, logika teks hukum, posisi manusia
dalam hukum, dsb. Ushul Fiqh merupakan bagian terbesar dalam filsafat hukum Islam.
Terdapat tiga metode dalam penyusunan Ushul Fiqh, yaitu metode deduktif, metode
induktif, dan metode campuran.
Metode deduktif (Mutakallimin) disebut sebagai metode kaum teolog. Metode ini
dikembangkan oleh Asyariyah dan Imam Syafii sehingga disebut juga metode syafiiyyah.
Penerapkan teori-teori umum didasarkan atas dasar logika tanpa memperhatikan apakah ia
bertentangan dengan hukum-hukum furu (hukum fiqh pada kasus-kasus tertentu) atau tidak. Dalam
metode ini, apakah penetapan teori akan menguatkan atau melemahkan furu tidak menjadi
permasalahan.
Sebagian besar ulama Syafiiyah dan Malikiyah menulis dengan menggunakan metode
deduktif. Contoh kitab-kitabnya :
1. Al Mutamad karangan Muhammad Husayn ibn Ali Bashriy
2. Al Tarif wa al-Irsyad fi Tartib Turuq al-Ijtihad karangan Abu Bakar Muhammad al-Baqillani alMaliki
3. Al Burhan karangan Imam al-Haramyn
4. Al Mustashfa karangan Abu Hamid al-Ghazali al-Syafii
5. Al Ihkam fi Ushul al-Ahkam karangan Abu Hasan al-Amidi al-Syafii
Metode induktif (ahnaf) disebut sebagai metode kaum juris (Fuqaha) dimana penetapan
teori-teori umum didasarkan pada hukum-hukum furu. Metode ini dicetuskan oleh Imam Hanafi
dengan jalan mengadakan induksi (istiqra) terhadap pendapat-pendapat imam sebelumnya dan
mengumpulkan pengertian makna dan batasan-batasan yang mereka pergunakan sehingga metode
ini mengambil konklusi darinya.

Sebagian besar ulama Hanafiyah menulis dengan menggunakan metode induktif. Contoh
kitab-kitabnya :
1. Maakhidz al-Syarai karangan Abu Mansur al-Maturidi
2. Risalah al-Karkhi fi al-Ushul karangan Abu al-Hasan Ubaidillah
3. Ushul al-Jashash karangan Abu Bakar Ahmad
4. Kitab Zayd Ubayd Allah ibn Umar
5. Kitab Syams al-Aimmah ibn Ahmad al-Sarkhasyiy
Sedangkan metode campuran adalah metode gabungan antara dedukif dan induktif. Dalam
metode ini, penetapan teori-teori umum didasarkan pada logika sekaligus memperhatikan hukumhukum furu.
Terdapat beberapa kitab yang ditulis dengan pencampuran kedua metode (deduktifinduktif). Diantaranya :
1. Badi al-Nidham karangan Ahmad bin Ali al-Baghdadi
2. Tanqih al-Ushul karangan Shadr al-Syariat Abd al-Wahhab
3. Kitab Al Tahrir karangan Kamal al-Din
4. Kitab Jamal al-Jawami karangan Taj al-Din Abd al-Wahhab al-Subkiy.
C. Macam-macam Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah
a. Kaidah Fiqhiyah ada 5 macam, yaitu:

a). Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.


Segala urusan tergantung kepada tujuannya.
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :


{ : 5}
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
kepada-Nya agama yang lurus
Sabda Nabi SAW :


Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati.
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan
ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain.
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi itu diniati ibadah maka kita akan
mendapatkan pahala. Sama hal-nya mengeluarkan harta untuk zakat apabila tidak
dibarengi niat, maka nilai ibadahnya akan berkurang atau bahkan tidak ada.

b).

Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan.

Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.


Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw :







{
}
Artinya : Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian
sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar
dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.
Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya
berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang
bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan
dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal
itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti bukti baru atas pelunasan
utangnya.

c).

Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan.

Kaidah ini menjadi sumber adanya rukshah(kemurahan) dan takhfif (keringanan) dalam
melaksanakan tuntutan syariat yang karena sebab atau keadaan tertentu sangat sulit untuk
dilaksanakan, seperti; karena sedang bepergian, sakit, terpaksa, lupa, kurang mampu, dan kesukaran
yang umum dialami.

Kesukaran itu dapat menarik kemudahan.


Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw :

} {
Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah
Firman Allah SWT yang berarti : Seorang hamba tidak dibebani sesuatu kecuali apa yang sanggup
untuk ditanggung.

d). Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan.




Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu
perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi
hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas
keperluannya.

Adapun kaidah ini memiliki beberapa macam kaidah yaitu;


1. Keadaan darurat itu membolehkan yang dilarang.
2. Sesuatu yang dibolehkan karena darurat ditetapkan hanya sekedar kedaruratanya.
3. Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sama.
4. Menolak kerusakan harus didahulukan dari adamenarik kemaslahatan
5. Apabila dua kerusakan saling berlawanan (bertemu), maka haruslah lebih diperhatikan yang lebih
besar madharatannya dengan melaksanakan yang lebih ringan madharatannya dari keduanya.

e).

Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan.

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.


Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, Apa yang dipandang baik oleh
muslim maka baik pula disisi Allah.
Ada perbedaan antara al-adah dengan urf. Adat (al-adah) adalah perbuatan
yang terus menerus dilakukan oleh manusia yang kebenarannya logis, tapi tidak
semuanya menjadi hukum. Sedangkan urf, jika jika mengacu pada al-maruf, berarti
kebiasaan yang normatif dan semuanya dapat dijadikan hokum, karena tidak ada yang
bertentangan dengan al-quran atau hadits.
Contohnya : hukum syariah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak
ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan
pada kebiasaan.
b. Kaidah ushuliyah ada 2 macam :
a. Perintah kepada suatu adalah perintah (juga) kepada perantaranya, da bagi perantara, hukumnya
sama dengan hukum yang dituju.
b. Menutup jalan yang menuju ke perbuatan terlarang.

D. Perbedaan dan Persamaan Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah


Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan
qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyyah membahas tentang dalil-dalil umum. Sementara qawaid
fiqhiyah merupakan kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum. Jadi,
qawaid ushuliyah membicarakan tentang dalil-dalil yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyah
membicarakan
tentang
hukum-hukum
yang
bersifat
umum.

Perbedaan al-qawaid fiqhiyah dan kaidah ushul fiqh secara lebih rinci dan jelas dapat diamati dalam
uraian di bawah ini:[10]
1. Qawaid ushuliyyah adalah kaidah-kaidah bersifat kulli (umum) yang dapat diterapkan pada semua
bagian-bagian dan objeknya. Sementara qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum-hukum yang
biasanya dapat diterapkan pada mayoritas bagian-bagiannya. Namun, kadangkala ada pengecualian
dari kebiasaan yang berlaku umum tersebut.
2. Qawaid ushuliyyah atau ushul fiqh merupakan metode untuk mengistinbathkan hukum secara
benar dan terhindar dari kesalahan. Kedudukannya persis sama dengan ilmu nahwu yang berfungsi
melahirkan pembicaraan dan tulisan yang benar. Qawaid ushuliyyah sebagai metode melahirkan
hukum dari dalil-dalil terperinci sehingga objek kajiannya selalu berkisar tentang dalil dan hukum.
Misalnya, setiap amar atau perintah menunjukkan wajib dan setiap larangan menunjukkan untuk
hukum haram. Sementara qawaid fiqhiyah adalah ketentuan (hukum) yang bersifat kulli (umum)
atau kebanyakan yang bagian-bagiannya meliputi sebagian masalah fiqh. Objek kajian qawaid
fiqhiyah selalu menyangkut perbuatan mukallaf.
3. Qawaid ushuliyyah sebagai pintu untuk mengistinbathkan hukum syara yang bersifat amaliyah.
Sementara qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah hukum-hukum fiqh yang serupa dengan
ada satu illat (sifat) untuk menghimpunnya secara bersamaan. Tujuan adanya qawaid fiqhiyah untuk
menghimpun dan memudahkan memahami fiqh.
4. Qawaid ushuliyah ada sebelum ada furu (fiqh). Sebab, qawaid ushuliyyah digunakan ahli fiqh untuk
melahirkan hukum (furu). Sedangkan qawaid fiqhiyah muncul dan ada setelah ada furu (fiqh).
Sebab, qawaid fiqhiyah berasal dari kumpulan sejumlah masalah fiqh yang serupa, ada hubungan
dan sama substansinya.
5. Dari satu sisi qawaid fiqhiyah memiliki persamaan dengan qawaid ushuliyyah. Namun, dari sisi lain
ada perbedaan antara keduanya. Adapun segi persamaannya, keduanya sama-sama memiliki bagianbagian yang berada di bawahnya. Sementara perbedaannya, qawaid ushuliyyah adalah himpunan
sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat dipakai untuk menetapkan hukum.
Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum
fiqh yang berada di bawah cakupannya semata.

E. Tujuan Mempelajari Kaidah Fiqhiyah dan Kaidah Ushuliyyah

Kaidah fiqh dikatakan penting dilihat dari dua sudut :


1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk memahami dan
menguasai muqasid al-Syariat, karena dengan mendalami beberapa nashsh, ulama dapat
menemukan persoalan esensial dalam satu persoalan.[14]

2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang sudah dan belum
terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai salah satu alat dalam menyelesaikan
persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau kepastian hukumnya.[15]
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik telah
mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai perdata, pidana,
ekonomi dan undang-undang dasar telah sempurna dengan adanya nash-nash yang menetapkan
prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yangkulli yang tidak terbatas suatu cabang undangundang.[16]
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi berupa kaidahkaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu menjadi beberapa kelompok.
Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para mujtahid merasa lebih mudah dalam
mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di
bawah lingkup satu kaidah.[17]
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapatkan suatu kemaslahatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam alFuruqnya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan
berbeda antara furu-furu itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai
furunya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
Tujuan mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu
qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:[19]
1. Dengan mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari masalahmasalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi masalahmasalah yang dihadapi.
3. Dengan mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada dasarnya
kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Quran dan al-Sunnah, meskipun dengan
cara yang tidak langsung.
5. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.
6. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.

7. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami
permasalahan-permasalahan baru.
8. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik.

F. Hubungan Ushul Fiqh, Ilmu Fiqh, dan Qawaid Fiqhiyah

Hubungan, Fiqh, Ushul Fiqh, Kaidah Fiqh. Antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun
masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan
seperti ini dalam ilmu mantiq disebut umumun khususun min wajhin yakni: Fiqh identik dengan
Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas,
karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih
luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah
saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu. Syariah sangat lengkap, tidak hanya
berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsip-prinsip dasar dari hukum
syara, seperti: Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhyah.
Syariah lebih universal dari Fiqh. Syariah wajib dilaksanakn oleh seluruh umat manusia
sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian adanya.
Syariah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh. Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang
Imam sangat mungkin berubah. Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang
berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram
yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Produk ilmu fiqh adalah fiqh, Produk kaidah-kaidah
istinbath hukum dari sumber-sumber hukum Islam yang dipelajari dalam ilmu ushul fiqh.
Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah
dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan,
tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari
sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah
tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah
fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan
suatu hukum.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kaidah fiqhiyah itu adalah kaidah-kaidah yang bersifat kully yang di ambil dari dalil-dalil kully
dan dari maksud-maksud syara menetapkan hukum (maqashidusy syariy) pada mukallaf serta dari
memahami rahasia tasyri dan hikmah-hikmahnya. Tujuan pensyariatan adalah untuk merealisir
kemaslahatan dan menolak kemadharatan.
Kaidah ushuliyah adalah kaidah-kaidah dasar yang di pakai oleh ulama ushul berdasarkan
makna dan tujuan ungkapan yang telah di tetapkan oleh para ahli bahasa. Itulah sebagian ulama
menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena umumnya dibangun berdasarkan
logika bahasa. Adapun termasuk dalam kaidah ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena
tidaklah logis bila suatu perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya,
suatu perbuatan dilrang sedangkan perantaranya diperbolehkan.
Dalam perumusanya, kaidah menggunakan 2 metode, yaitu materiil dan formil. Sedangkan
kaidah ushuliyyah menggunakan 3 metode, yaitu deduktif,induktif dan campuran. Banyak terdapat

kitab-kitab yang memuat kaidah-kaidah tersebut. Kaidah ushuliyyah merupakan dasar dari
pembentukan kaidah fiqhiyah.
Kaidah Fiqhiyah dan Ushuliyyah merupakan bagian dari ilmu fiqh yang perlu diketahui dan
dipelajari oleh umat Islam secara lebih lanjut terutama bagi yang ingin memperdalam ilmu fiqh.
Melalui pemahaman terhadap kaidah kaidah tersebut, kita dapat mengetahui aturan-aturan yang
terkandung dalam hukum Islam dan diharapkan mampu menerapkanya dalam kehidupan seharihari.

B. SARAN
Kami sadar bahwa kesempurnaan hanyalah milik ALLAH, oleh karena itu kami sangat
mengaharapkan saran dan kritik yang membangun agar kami bisa menjadikan saran tersebut
sebagai pedoman dikesempatan mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A. Haji dkk, 2000. Ushul Fiqih Metodologi Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grasindo Persada,
cet 1.
Jamaludin, Syakir, 2010. Kuliah Fiqih Ibadah, Yogyakarta: Surya Sarana Grafika, cet 1.
Muchtar, Kamal dkk, 1995. Ushul Fiqih Jilid 2, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Nata, Abudin, 2003. Masail Al-Fiqhiyah, Bogor: Kencana, edisi 1.

Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah. Cet ke-4. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai