Malaria Sere Bra L
Malaria Sere Bra L
Malaria Serebral
Oleh
AHMAD RAHMAWAN
BAB I
PENDAHULUAN
Dari 300 - 500 juta kasus klinis malaria di dunia, terdapat sekitar 3 juta
kasus malaria berat (malaria komplikasi) dan kasus kematian akibat malaria. Dari
kasus tersebut, paling banyak disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Malaria
berat atau malaria komplikasi yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum
ditandai dengan disfungsi berbagai organ. Salah satu jenis malaria komplikasi
adalah malaria serebral6. Studi terhadap populasi migran di Indonesia
menunjukkan bahwa risiko terkena malaria komplikasi setiap tahunnya 1,34 kali
pada orang dewasa (>15 tahun) dan 0,25 kali pada anak-anak (<10 tahun).
Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular
terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan
eritrosit yang mengandung parasit (rosetting), dan pengeluaran sitokin sebagai
respons terhadap substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum
yang menyebabkan kerusakan jaringan7,8. Namun, pada keadaan tertentu
pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap substansi toksik dari Plasmodium
falciparum terjadi secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan jaringan
yang sangat berat dan fatal. Dalam makalah ini, penulis akan menguraikan tentang
mekanisme imunologis yang berperan bagi terjadinya malaria serebral (malaria
komplikasi).2
1.2 Tujuan
Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan
informasi mengenai infeksi malaria falciparum dengan komplikasi malaria berat,
yaitu malaria serebral. Secara khusus, akan dibahas mengenai etiologi,
patogenesis, penegakan diagnosis, terapi, prognosis, hingga prevensi dan follow
up pasien yang menderita malaria serebral.
BAB II
ISI
yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema
jaringan.
Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, dari yang tanpa
gejala sampai dengan yang berat. Di daerah endemis malaria, manifestasi klinis
tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kesehatan bahkan penderita dapat
mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan
pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria antara lain pengetahuan
epidemiologis, status malaria daerah asal atau tempat tinggal, mengetahui riwayat
tindakan medis yang pernah didapat (transfusi darah, suntikan), riwayat penyakit
dan berpergian dari penderita tersebut.3
Gejala klinis mulai tampak setelah 1 hingga 4 minggu setelah infeksi dan
umumnya mencakup demam dan menggigil. Hampir seluruh pasien dengan
malaria akut memiliki episode demam, sesuai dengan tipikal demam masingmasing plasmodium. Menggigil dapat terjadi secara tidak teratur, terutama pada
infeksi Plasmodium falciparum. Gejala lainnya yaitu sakit kepala, keringat yang
meningkat, nyeri punggung, nyeri otot, diare, nausea, vomiting, dan batuk.7
Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut antara lain:3
1) Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan tingkat endemisitas
tempat tinggalnya.
2) Beratnya infeksi (kepadatan parasit).
3) Jenis dan strain Plasmodium (spesies, resisten obat antimalaria atau Chesson
strain).
4) Status gizi.
5) Sudah minum obat antimalaria.
6) Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain dan lainlain.
7) Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis dan lain-lain)
Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi
malaria berat lebih besar. Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita
malaria berat dengan kepadatan parasit rendah dan sebaliknya(10,11). Hal ini
dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak faktor.
Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu malaria
falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap
klorokuin maupun multidrug(2,3). Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang
lebih sulit dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh
terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria
pada anak kurang gizi sering berkembangmenjadi berat.3
c. Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh,
sampai basah temperatur turun, penderita merasa capek dan sering tertidur.
Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan
biasa.
Trias malaria secara keseluruhan dapat berlangsung antara 6-10 jam, lebih
sering terjadi pada infeksi P.vivax. Pada infeksi P.falciparum menggigil dapat
berlangsung berat atau pun tidak ada. Periode tidak panas berlangsung 12 jam
pada P.falsiparum, 36 jam pada P.vivax dan ovale, 60 jam pada P.malariae.6
Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat antimalaria atau
minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada
penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anakanak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria
pada kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat
badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi
ginjal dan hipoglikemia.3
Periodisitas serangan berhubungan dengan berakhirnya skizogoni,
bilamana skizon matang kemudian pecah, merozoit bersama dengan pigmen dan
benda residu keluar dari sel darah merah memasuki aliran darah. Ini sebenarnya
merupakan suatu infeksi protein asing. Pada infeksi akut terdapat leukositosis
sedang dangan granulositosis, tetapi dengan turunnya suhu badan maka timbul
leukopenia dengan monositosis relatif dan limfositosis. Jumlah sel darah putih
sebesar 3000 sampai 45.000 pernah dilaporkan. Pada permulaan infeksi dapat
terjadi trombositopenia jelas, tetapi hal ini bersifat sementara.5
Diagnosis malaria sering memerlukan anamnesa yang tepat dari penderita
tentang asal penderita apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke
daerah malaria, riawayat pengobatan kuratif maupun preventif. Beberapa
10
11
12
Bila tidak terdapat demam tinggi atau parasitemia yang menyertai manifestasi
neurologis, maka kemungkinan penyebabnya adalah obat antimalaria.
-
Hiponatremia, hampir selalu terjadi pada kasus yang dialami orang tua dan
seringkali akibat muntah berlebih.
masih belum diketahui secara pasti. Meskipun dasar kelainan adalah adanya
sumbatan mikrosirkulasi serebral yang disebabkan parasit, namun mekanisme
pastinya masih merupakan hipotesis.8
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi
merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung
parasit
mengalami
perubahan
struktur
dan
biomolekuler
sel
untuk
13
14
sangat menarik. Pada anak yang mengalami malaria serebral ternyata telah
memiliki kadar antibodi antimalaria yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa
telah terjadi infeksi malaria sebelumnya. Fenomena ini memunculkan suatu
hipotesis bahwa pada anak-anak, saat infeksi pertama malaria mereka tidak
memiliki risiko tinggi untuk terkena malaria serebral. Tetapi, pada saat infeksi
kedua dan infeksi berulang berikutnya, mereka memiliki risiko tinggi untuk
terkena malaria serebral. Ada satu penjelasan yang paling mungkin mengenai hal
ini bahwa malaria serebral adalah penyakit imunologis, di mana pada infeksi
pertama terbentuk pertahanan imun yang protektif yang nantinya menyebabkan
imunopatologi pada reinfeksi berikutnya.2
Dalam mempelajari patofisiologi malaria, para peneliti menemukan
sebuah mediator yang dianggap mempunyai peran sentral dalam terjadinya gejala
klinik. Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan sitokin yang mayoritas
diproduksi oleh makrofag, dianggap dapat memperantarai timbulnya demam,
anemia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, edema paru (ARDS = adult
respiratory distress syndrome), penurunan tensi sampai syok, serta malaria
serebral.10
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat
stimulasi dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF ),
interleukin-1 IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF ).
Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar
TNF yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF, IL-1,
IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak
konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal
atau rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi.
Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free
radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam
patogenesis malaria berat 6
15
16
Keseimbangan antara sitokin yang dikeluarkan oleh Th1 seperti Tumor Necrosis
Factor- (TNF-) dan Interferon Gamma (IFN-) serta sitokin yang dikeluarkan
oleh Th2 seperti Interleukin 4 (IL-4) dan Interleukin 10 (IL-10) dapat menentukan
berat ringannya malaria falciparum.
Sebagai contoh, rasio IL-10 : TNF- sangat rendah pada penderita anakanak dengan hiperparasitemia yang disertai anemia. Hal ini menunjukkan bahwa
produksi IL-10 yang tinggi dapat mengurangi anemia dengan mengurangi efek
dari TNF-. Percobaan in vitro menggunakan sel pasien malaria menunjukkan
bahwa IL-10 dapat menghambat produksi TNF- dan IL-1. Dalam percobaan
tersebut, pada penyakit malaria akibat Plasmodium falciparum akan terjadi
peningkatan IL-12 dan IL-1014,15. IL-12 dapat meningkatkan clearence parasit
sehingga dapat meningkatkan imunitas, akan tetapi IL-12 juga mempunyai efek
yang merugikan pada beberapa tipe infeksi malaria.2
Pada malaria serebral umumnya ditemukan kadar TNF- yang sangat
tinggi dalam serum penderita. Hal ini terjadi karena adanya sel T spesifik terhadap
antigen malaria mengadakan proliferasi berlebihan. Sel T ini biasanya diperankan
oleh Th1. Respons Th1 tergantung pada IL-12. Akan tetapi, respons ini bisa
dihambat oleh IL-10 yang disekresi oleh Th2. Selain itu, juga antibodi yang sudah
terbentuk bisa menghambat aktivasi terhadap sel T dan memblok induksi
pengeluaran TNF- dari makrofag. Berdasarkan konsep ini, IL-10 dan IL-12
sangat berperan dalam patogenesis penyakit malaria.2
2.4 Diagnosis Klinis
Diagnosis malaria secara umum ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis
dini dan pegobatan cepat merupakan salah satu sasaran perbaikan strategi
pemberantasan malaria. Penegakan diagnosis malaria sedini mungkin dapat
memberikan pengobatan yang cepar dan mencegah komplikasi penyakit lebih
lanjut.3 Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan
darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat.6
17
1. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
-
2. Pemeriksaaan Fisik:
-
Demam (T 37,5C).
berikut:
-
Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per
menit pada balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir
kerins, produksi air seni berkurang.
18
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
-
Kepadatan parasit.
19
20
21
b. Obat-obat pengganti:
-
Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk
mencegah aspirasi pneumonia.
Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan
hypostatic pneumonia.
4. Monitoring
Hal-hal yang perlu dimonitor: 11
-
22
Parameter lain sesuai indikasi (misal : ureum, creatinin & kalium darah
pada komplikasi gagal ginjal).
23
24
terapeutik) anti malaria untuk semua wanita hamil di daerah endemik malaria
pada kunjungan ANC yang pertama, kemudian diikuti kemoprofilaksis teratur.
Saat ini
25
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini, antara
lain:
1. Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium.
2. Malaria dapat menimbulkan berbagai komplikasi berat, yang disebut sebagai
malaria berat. Salah satu komplikasi tersebut adalah malaria serebral.
3. Malaria serebral ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran,
kejang yang terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian
jika tidak secepatnya mendapatkan perawatan yang tepat.
4. Dasar patogenesis malaria serebral adalah abnormalitas eritrosir terinfeksi,
yang mencakup berbagai proses patologi penting, yaitu sekuestrasi,
sitoadherensi,
dan
rosetting
eritrosit,
dengan
konsekuensi
blokade
mikrosirkulasi serebral.
5. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, dimana sebelumnya pasien terbukti menderita
malaria dan terdapat lebih dari satu manifestasi neurologis.
6. Penatalaksanaan terbagi menjadi penanganan umum, penanganan malaria,
penanganan pasien tidak sadar, dan monitoring.
7. Pencegahan malaria serebral sesuai dengan pencegahan malaria secara umum,
yaitu dengan menghindari gigitan nyamuk dan memutus daur hidup nyamuk.
Prognosis umumnya buruk bila telah terjadi kegagalan lebih dari 2 organ.
3.2 Saran
Berbagai
penelitian
mengenai
berbagai
efektivitas
antimalaria
25
26
27
DAFTAR PUSTAKA
28
DAFTAR ISI
ii
29