Anda di halaman 1dari 26

IDENTITAS

Nama

: Ny. S

Umur

: 33 th

Jenis kelamin : Perempuan


Tempat tanggal lahir : Grobogan 10 agustus 1981
Alamat

: JL. Peninggaran RT 007/009, Kebayoran Lama

Agama

: ISLAM

Pendidikan terakhir : SMA


Status pernikahan

: Menikah

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Suku

: Jawa

ANAMNESIS
Berdasarkan ato/ alloanamnesis yang dilakukan pada tanggal 9 september 2014
,pukul 12;15 di poli mata RSAL Dr. Mintohardjo didapatkan

KELUHAN UTAMA :
Mata melihat benda menjadi kabur

KELUHAN TAMBAHAN :
Pegal di sekitar mata

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Pasien datang ke poli mata RSAL Dr Mintohardjo dengan keluhan penglihatan kabur
pada mata sebelah kiri apabila digunakan untuk membaca, keluhan sudah dirasakan
pasien sejak 1 minggu yang lalu, penglihatan kabur yang dialami pasien dirasakn
dalam seminggu tersebut tidak terlalu bertambah parah, dan lebih dirasakan apabila
pasien sedang dalam keadaan membaca buku/ koran. Pasien juga mengeluhkan rasa
pegal yang dirasakan di sekitar mata juga 1 minggu ini. Pasien mengaku 2 minggu
sebelumnnya mata pasien sempat sering berair , namun semenjak diberi salep oleh
dokter dekat rumahnya, keluhan berair pada mata pasien sudah mulai tidak dirasakan
lagi semenjak 1 minggu terakhir ini.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Riwayat penyakit alergi

: -

Riwayat penyakit darah tinggi

: -

Riwayat penyakit jantung

: -

Riwayat penyakit kencing manis

: -

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Di keluarganya pasien mengaku tidak ada yang sakit seperti apa yang di alami pasien.
Riwayat penyakit alergi, darah tinggi , jantung tidak di dapatkan pada keluarga
pasien, untuk riwayat penyakit DM keluarga pasien belum ada yang pernah
memeriksakan ke dokter

RIWAYAT KEBIASAAN
Pasien mengaku sangat jarang berolahraga dalam kehidupan sehari-harinya. Pasien
tidak terlalu sering makan makanan dengan kadar lemak yang tinggi, hanya sekali
kali. Jarang meminum jamu- jamuan atau minuman berenergi lainnya.

PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Generalis
Keadaan umum

: Baik

Kesan sakit

; Tidak tampak sakit

Kesadaran

: Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg


Nadi

: 80x/menit

Suhu

: 36,5 C

Pernafasan

: 20x/menit

Mata

: Status Ophtalmologi

THT

: Dbn

Thoraks

: Dbn

Ekstremitas

; akral hangat, oedema (-)

b. Status Ophtalmologi
OD
6/6,5 S -0,25 6/6

OS
Visus

6/20 S + 0,25 C-1,00 x 90 6/6


fotip ph teteap

ortoforia

Kedudukan

ortoforia

baik ke segala arah

Pergerakan

baik ke segala arah

Ptosis (-), edema (-), ektropion (-)

Palpebra

Ptosis (-), edema (-), ektropion (-) ,

, entropion (-), distrikiasis (-),

entropion (-), distrikiasis (-),

hiperremis (-)

hiperremis (-)

Injeksi konjungtiva (-), injeksi

Konjungtiva

silier (-), secret (-), perdarahan (-)


Jernih

Injeksi konjungtiva (-), injeksi


silier (+), secret (-), perdarahan (-)

Kornea

Terdapat infiltrate berbentuk


nummular di sebelah atas korne

Dalam

COA

Dalam

Coklat kehitaman,gambaran kripta

Iris

Coklat kehitaman,gambaran kripta

baik

baik

Bulat, isokor, RCL, RCTL (+)

Pupil

Bulat,isokor, RCL,RCTL (+)

Jernih

Lensa

Jernih

Tidak dilakukan

Funduskopi

Tidak dilakukan

RESUME

Pasien ,wanita 33 th dating ke RSAL Dr. Mintohardjo dengan keluhan pengelihatan


kabur/menurun apabila membaca sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan rasa
pegal di sekitar mata kiri. 2 Minggu sebelumnnya pasien juga mengeluh matanya sempat
berair ,namun sudah berkurang sekarang. Riwayat trauma pada mata disangkal, Riwayat
pemakaian kacamata sebelumnya juga disangkal pada pasien. Riwayat penyakit hipertensi,
DM, alergi, jantung disangkal oleh pasien.Dari pemeriksaan ophthalmology yang dilakukan
didapatkan visus OD 6/6,5 S -0,25 6/6 dan OS 6/20 S + 0,25 C-1,00 x 90 6/6 terdapat
injeksi silier pada mata sebelah kiri dan juga didapatkan adanya infiltrate nummular pada
mata sebelah kiri.

DIAGNOSIS
Keratitis viral OS

PENATALAKSANAAN
medikamentosa
- Antiviral : salep mata acyclovir 5 dd gtt 1 OS ( selama 3-4 hari)
- Kortikosteroid : cendo xitrol 5dd gtt 1 OS

non-medikamentosa
-

Edukasi

tidak mengucek ngucek matanya

tidak menggaruk garuk daerah sekitar mata

memakai helm yang menutupi saat berkendara motor

selalu mencuci tangan sebelum memegang/menyentuh mata

Monitoring

segera control ke dokter bila keluhan semakin memburuk

PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
Kornea adalah salah satu media refraksi sehingga manusia dapat
melihat. Seorang ahli mata dapat melihat strutur dalam mata karena kornea
bersifat jernih dan memiliki daya bias sebesar 43D.
Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun
paparan patogen (virus, amoeba, bakteri dan jamur). Ketika patogen berhasil
masuk dan membuat defek epitelial di kornea, maka jaringan braditropik
kornea akan merespon patogen spesifik dengan peradangan pada kornea
(keratitis).
Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri, fotofobia, dan
adanya sekret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis bakterial.
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti
Staphylococcus

aureus,

Staphylococcus

epidermidis,

Stapylococcus

aeroginosa, dan Moarxella.

BAB II
LANDASAN TEORI
5

2.1 ANATOMI KORNEA

Gambar 1: Gambaran Kornea

Kornea adalah jaringan transparan tembus cahaya, menutupi bola mata bagian
depan. Kornea menempati 1/6 dari jaringan fibrosa bagian depan dari bola mata.
Bagian anterior dari kornea berbentuk elips dengan diameter horizontal 11,7 mm dan
diameter vertikal 11 mm. Bagian posterior berbentuk sirkular dengan diameter ratarata 11,5 mm. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,52 mm di bagian tengah
dan 0,65 mm di bagian perifer. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda : lapisan epitel, lapisan Bowman, stroma, membran
Descment dan lapisan endotel. 1,4

Gambar 2: Lapisan Kornea

Lapisan kornea
1. Epitel
-

Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih yang terdiri dari satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.

Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel
basal berkaitan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di
depannya melalui desmosom dan makula okluden.Ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.

Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman
-

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen


yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma.

Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma
-

Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur, sedangkan di bagian
perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel
stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement
-

Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea


dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai


tebal 40 m.

5. Endotel
-

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, besar 20-40


m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk ke
dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung
Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa
ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah limbus.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel
tidak mempunyai daya regenerasi. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea,
dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk dilakukan oleh kornea. 1,4
2.2 FISIOLOGI KORNEA 5
Kornea mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai medium refraksi dan untuk
memproteksi lensa intraokular. Kornea menjalankan dua fungsi utama ini dengan cara
mempertahankan sifat transparansi kornea dan pergantian dari jaringannya.
Transparansi kornea dimungkinkan oleh sifatnya yang avaskuler, memiliki struktur
yang uniform yang sifat deturgescence nya. Transparansi stroma dibentuk oleh
pengaturan fisis special dari komponen komponen fibril. Walaupun indeks refraksi
dari masing masing fibril kolagen berbeda dari substansi infibrilar, diameter yang
kecil (300 A) dari fibril dan jarak yang kecil diantara mereka (300 A) mengakibatkan
pemisahan

dan

regularitas

yang

menyebabkan

sedikit

pembiasan

cahaya

dibandingkan dengan inhomogenitas optikalnya. Sifat deturgescence di jaga dengan

pompa bikarbonat aktif dari endotel dan fungsi barrier dari epitel dan endotel. Kornea
di jaga agar tetap berada pada keadaan basah dengan kadar air sebanyak 78%.
Peran kornea dalam proses refraksi cahaya bagi penglihatan seseorang sangatlah
penting. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 43,25 dioptri dari
total 58,6 kekuatan dioptri mata normal manusia, atau sekitar 74% dari seluruh
kekuatan dioptri mata normal. Hal ini mengakibatkan gangguan pada kornea dapat
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam fungsi visus seseorang. Kornea
merupakan struktur vital dari mata dan oleh karenanya kornea sangat sensitif. Saraf
saraf kornea masuk dari stroma kornea melalui membran bowman dan berakhir secara
bebas diantara sel sel epithelial serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2
3 mm dari limbus ke sentral kornea, sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi
pada kornea.
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus. Sensasi
taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan refleks penutupan mata. Setiap kerusakan
pada kornea (erosi, penetrasi benda asing atau keratokonjungtivitis ultraviolet)
mengekspose ujung saraf sensorik dan menyebabkan nyeri yang intens disertai
dengan refleks lakrimasi dan penutupan bola mata involunter. Trias yang terdiri atas
penutupan mata involunter (blepharospasme), refleks lakrimasi (epiphora) dan nyeri
selalu mengarahkan kepada kemungkinan adanya cedera kornea.
Seperti halnya lensa, sklera dan badan vitreous, kornea merupakan struktur
jaringan

yang

braditrofik,

metabolismenya

lambat

dimana

ini

berarti

penyembuhannya juga lambat. Metabolisme kornea (asam amino dan glukosa)


diperoleh dari 3 sumber, yaitu :

Difusi dari kapiler kapiler disekitarnya

Difusi dari humor aquous

Difusi dari film air mata

Tiga lapisan film air mata prekornea memastikan bahwa kornea tetap lembut dan
membantu nutrisi kornea. Tanpa film air mata, permukaan epitel akan kasar dan
pasien akan melihat gambaran yang kabur. Enzim lisosom yang terdapat pada film air
mata juga melindungi mata dari infeksi. 5

BAB III

KERATITIS
3.1 DEFINISI
Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,
infiltrasi seluler dan kongesti siliar. 2,6

3.2 EPIDEMIOLOGI
Frekuensi keratitis di Amerika Serikat sebesar 5% di antara seluruh kasus
kelainan mata. Di negara-negara berkembang insidensi keratitis berkisar antara 5,920,7 per 100.000 orang tiap tahun. Insidensi keratitis pada tahun 1993 adalah 5,3 per
100.000 penduduk di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan tidak begitu
bermakna pada angka kejadian keratitis. Sedangkan predisposisi terjadinya keratitis
antara lain terjadi karena trauma, pemakaian lensa kontak dan perawatan lensa
kontak yang buruk, penggunaan lensa kontak yang berlebihan, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, serta higienis
dan nutrisi yang tidak baik, dan kadang-kadang tidak diketahui penyebabnya. 2,6

3.3 PATOFISIOLOGI KERATITIS


Terdapat beberapa kondisi yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry
eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan
penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Kornea mendapatkan
pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk
melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme
pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata
(lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan
epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.
Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke
dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan
bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi,
termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Streptokokus pneumonia merupakan pathogen
kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau
pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di

10

kornea.Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea


superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu:

Lesi pada kornea

Patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea

Antibodi akan menginfiltrasi lokasi invasi patogen

Hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi
pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi
kornea

Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan
berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan)

Patogen akan menginvasi seluruh kornea.

Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membarana


descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematocele dimana
hanya membaran descement yang intak.

Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi


dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforata dan
merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan
menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan bola mata akan menjadi
lunak. 5

3.3 KLASIFIKASI
Terdapat bermacam-macam pembagian dari keratitis yaitu:
1. Menurut penyebabnya :
a. Keratitis bakterial
Bakteri-bakteri yang biasa menyebabkan keratitis bakterialis, yaitu :

Streptokokus pneumonia

Pseudomonas aeroginosa

Streptokokus hemolitikus

Moraxella liquefaciens

Klebsiella pneumoniae

b. Keratitis viral
Virus lain yang dapat menyebabkan keratitis, yaitu :

Herpes simpleks

11

c.

Herpes zoster

Variola (jarang)

Vacinia (jarang)

Keratitis jamur
Jamur - jamur yang biasa ditemukan pada keratitis, diantaranya :

Candida

Aspergilin

Nocardia

Cephalosporum

12

2. Menurut tempatnya :
a. Keratitis superfisial

Keratitis epitelial
Epitel kornea terlibat pada kebanyakan jenis konjungtivitis dan
keratitis serta pada kasus-kasus tertentu merupakan satu-satunya jaringan
yang terlibat (misalnya: pada keratitis punctata superficialis). Perubahan
pada epitel sangat bervariasi, dari edema biasa dan vakuolasi sampai erosi
kecil-kecil, pembentukan filament, keratinisasi partial dan lain-lain. Lesilesi ini juga bervariasi pada lokasinya di kornea. Semua variasi ini
mempunyai makna diagnostik yang penting
-

Keratitis subepitelial
Lesi-lesi ini sering terjadi karena keratitis epithelial (missal keratitis
numularis, infiltrat subepitelial pada keratokonjungtivitis epidemika, yang
disebabkan adenovirus 8 dan 19). Umunya lesi ini dapat diamati dengan
mata

telanjang

namun

dapat

juga

dikenali

pada

pemeriksaan

biomikroskopik terhadap keratitis epitelia.

13

nummular keratitis

Keratitis stromal
Respons stroma kornea terhadap penyakit termasuk infiltrasi, yang
menunjukkan akumulasi sel-sel radang; edema muncul sebagai penebalan
kornea, pengkeruhan, atau parut; penipisan dan perlunakan yang dapat
berakibat perforasi; dan vaskularisasi.4,6,7

b. Keratitis profunda

Keratitis interstitial
Merupakan keratitis yang ditemukan pada jaringan yang lebih dalam,
yaitu keratitis nonsupuratif profunda disertai dengan neovaskularisasi.
Terjadi akibat alergi, infeksi lues, dan tuberkulosis.

Keratitis sklerotikans
Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea, terlokalisasi,
berbatas tegas unilateral yang menyertai radang sklera atau skleritis.
Kadang-kadang

mengenai

seluruh

limbus.

Kornea

terlihat

putih

menyerupai sklera. Diduga terjadi karena perubahan susunan serat kolagen


yang menetap.

Keratitis disiformis
Disebut juga keratitis sawah karena banyak mengenai petani. Keratitis
memberikan kekeruhan infiltrat yang bulat atau lonjong di jaringan
kornea. Diduga merupakan reaksi alergi ataupun imunologik terhadap
virus Herpes simpleks. 4,6,7

14

Selain keratitis yang dijelaskan di atas, masih terdapat beberapa jenis keratitis
lainnya:
.
1. Keratitis marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus akibat infeksi lokal konjungtiva. Bila tidak diobati dapat
menyebabkan ulkus kornea.
2. Keratokonjungtivitis flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva yang merupakan reaksi
imun yang mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif
terhadap antigen. Terdapat daerah berwarna keputihan yang merupakan
degenerasi hialin. Terjadi pengelupasan lapis sel tanduk epitel kornea.
3. Keratokonjungtivitis vernal
Merupakan

penyakit

rekuren,

dengan

peradangan tarsus

dan

konjungtiva bilateral. Penyebab belum diketahui, namun terutama terjadi


pada musim panas mengenai anak sebelum berumur 14 tahun. Mengenai
kelopak atas dan konjungtiva pada daerah limbus berupa hipertrofi papil
yang kadang-kadang berbentuk Cobble stone.

8. Ulkus Mooren
Etiologinya belum diketahui, tetapi diduga autoimun. Ulkus ini
termasuk ulkus marginal. Pada 60-80% kasus unilateral dan ditandai
ekstravasasi limbus dan kornea perifer, yang sakit dan progresif, yang
sering berakibat kerusakan mata.

4,6,7

15

3.4 GEJALA KLINIS


Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya
sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan
silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan
mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga
amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea
bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk refraksi
sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke mata maka lesi
pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama apabila lesi
terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama disebabkan
oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena
refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada kornea. Pasien biasanya
juga berair mata namun tidak disertai dengan pembentukan kotoran mata
yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.

2,3

3.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma, adnya
riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetic akibat infeksi herpes

16

simpleks sering kambuh, namun erosi yang kambuh sangat sakit dan keratitis
herpetic tidak, penyakit-penyakit ini dapat dibedakan dari gejalanya. Anamnesis
mengenai pemakaian obat lokal oleh pasien, karena mungkin telah memakai
kortikosteroid, yang dapat merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi, atau
virus terutama keratitis herpes simpleks. Juga mungkin terjadi imunosupresi akibat
penyakit-penyakit sistemik, seperti diabetes, AIDS, dan penyakit ganas, selain oleh
terapi imunosupresi khusus.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah
tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan
kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau. Sejumlah
tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan menentukan
penyebab dari suatu peradangan kornea seperti: pemeriksaan sensasi kornea, lokasi
dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin, neovaskularisasi, derajat defek
pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea, edema kornea, keratik presipitat, dan
keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda yang ditemukan ini juga berguna dalam
mengawasi perkembangan penyakit dan respon terhadap pengobatan.
Sangat penting untuk melaksanakan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari edema ringan dan vakuolasi hingga
erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi partial. Pada keratitis stromal,
respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi
kepada edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.
Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada keratitis
dilakukan melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent dapat
menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat dengan
inspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam pemeriksaan
kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah loup dan iluminasi
yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya refleksi cahaya sementara
memindahkan cahaya dengan hati hati ke seluruh kornea. Dengan cara ini area yang
kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat terlihat. Berikut ini merupakan jenis
keratitis dan bentuknya: 4

17

No.

Jenis keratitis

Bentuk keratitis

1.

Keratitis stafilokok

Erosi kecil-kecil terputus fluorescin; terutama


sepertiga bawah kornea

2.

Keratitis herpetik

Khas dendritik (kadang-kadang bulat atau


lonjong) dengan edema dan degenerasi

3.

4.

Keratitis varicella-

Lebih difus dari lesi HSK; kadang-kadang

zoster

linear (pseudosendrit)

Keratitis adenovirus

Erosi kecil-kecil terpulas fluorecein; difus


namun paling mencolok di daerah pupil

5.

Keratitis sindrom

Epitel rusak dan erosi kecil-kecil, pleomorfik,

Sjorgen

terpulas fluorescein; filament epithelial dan


mukosa khas; terutama belahan bawah kornea

6.

Keratitis terpapar

Erosi kecil-kecil tidak teratur, terpulas

akibat lagoftalmus atau

fluorescein; terutama di belahan bawah kornea

eksoftalmus
7.

Keratokonjungtuvitis

Lesi mirip-sinsisium, yang keruh dan

vernal

berbercak-bercak kelabu, paling mencolok di


daerah pupil atas. Kadang-kadang membentuk
bercak epithelium opak

8.

Keratitis trofik-sekuele

Edema epitel berbercak-bercak; difus namun

HS, HZ dan destruksi

terutama di fissure palpebrae, pukul 9-3

ganglion gaseri
9.

Keratitis karena obat-

Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein dengan

terutama antibiotika

edema seluler berbintik-bintik; lingkaran epitel

spectrum luas
10.

11.

Keratitis superficial

Focus sel-sel epithelial sembab, bulat atau

punctata (SPK)

lonjong; menimbul bila penyakit aktif

Keratokonjungtivitis

Erosi kecil-kecil terpulas fluorescein di

limbic superior

sepertiga atas kornea; filament selama


eksaserbasi; hiperemi bulbar, limbus
berkeratin menebal, mikropanus

12.

Keratitis rubeola,

Lesi tipe virus seperti pada SPK; di daerah

rubella dan parotitis

pupil

18

epidemika
13.

Trachoma

Erosi epitel kecil-kecil terpulas fluorescein


pada sepertiga atas kornea

14.

Keratitis defisiensi

Kekeruhan berbintik kelabu sel-sel epitel

vitamin A

akibat keratinisasi partial; berhubungan


dengan bintik-bintik bitot

3.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium dengan melakukan kultur dari flora kornea
dilakukan selama terjadi inflamasi aktif dapat membantu dalam penelitian selanjutnya
akan tetapi hal tersebut tidak begitu signifikan dalam penegakan diagnosis dan
penatalaksana penyakit keratitis pungtata superfisial. Pemeriksaan pencitraan dengan
menggunakan fotografi slit lamp untuk mendokumentasikan inflamasi aktif dan
periode inaktivitas dapat dilakukan tapi hal tersebut juga tidak begitu penting dalam
penegakan diagnosis maupun penanganan penyakit.

3.7 PENATALAKSANAAN

a.

Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus. Salep pada
mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan juga berguna sebagai
terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat membantu pada keadaan ada
penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau dalam kasus di mana kepatuhan
terhadap rejimen pengobatan diragukan.
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan awal dari
keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau dengan defek
yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan dosis loading setiap 5
sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh aplikasi setiap 15 menit sampai 1
jam pada jam berikutnya. Pada keratitis yang kurang parah, rejimen terapi dengan

19

dosis yang kurang frekuen terbukti efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk
mengurangi pembentukan sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang
lebih parah pada keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata.
Terapi single-drug dengan

menggunakan

fluoroquinolone

(misalnya

ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti terapi


kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus, anaerob) dilaporkan
mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan fluoroquinolone dan prevalensi
resistensi terhadap golongan fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat.
Gatifloksasin

dan moksifloksasin

(generasi

keempat fluoroquinolone) telah

dilaporkan memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari
fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun, fluoroquinolone
generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan keratitis bakteri.
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan mata
yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih dari satu agen
mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri non-tuberkulos.
Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat diipertimbangkan pada kasuskasus yang parah di mana proses infeksi telah meluas ke jaringan sekitarnya
(misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman perforasi dari kornea. Terapi sistemik
juga diperlukan dalam kasus-kasus keratitis gonokokal.

b. Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam mengobati
beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah penekanan peradangan
dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada kornea, yang dapat menyebabkan
kehilangan penglihatan. Antara kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi
baru, imunosupresi lokal, penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan
intraokular.

Meskipun

berisiko,

banyak

ahli

percaya

bahwa

penggunaan

kortikosteroid topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi


morbiditas. Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan
kortikosteroid topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah
diberhentikan dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis minimal
kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan. Keberhasilan
20

pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi dosis secara teratur,


penggunaan obat antibiotika yang memadai secara bersamaan, dan follow-up.
Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan tekanan intraokular harus sering dipantau.
Pasien harus diperiksa dalam 1 sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal
dimulai.

c. terapi antiviral

agen antiviral yang dipakai paa keratitis karena infeksi virus adalah
acyclovir,idoxuridine,

trifluridine,vidarabine.

Untuk

penyakit

stromal

trifluridine dan acyclovir jauh lebih efektif disbanding yang lain.Idoxuridine


dan trifluridine sering menimbulkan reaksi toksik 3

c. Non Medikamentosa

Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien


keratitis. Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik
dan juga dapat terjadi kekambuhan. Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga
terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi bakteri,
virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah transmisi
penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan, membersihkan
lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue. 3

3.8 KOMPLIKASI & PROGNOSIS


Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir dengan
pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma, leukoma
adherens dan stafiloma kornea.
21

Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya dapat
dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.
Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat tanpa
menggunakan kaca pembesar.
Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat dari jarak
yang agak jauh sekalipun.
Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh ketebalan
kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea
(sinekia anterior).
Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai perforasi,
maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut
kornea yang disertai dengan sinekia anterior.
Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat
membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian dalam
mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan
menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi, iris dapat
menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi perforasi,
tekanan intraokular menurun.
Keratitis subepitel /epitel

Sembuh
tanpa bekas
Sembuh
dengan
parut
kornea
Nebula

Makula
Lekoma

Buta
kornea

Berlanjut
menjadi ulkus

Berlanjut dengan perforasi


kornea disertai penonjolan
keluar dari kornea dan prolaps
iris
Sembuh dengan parut :
Lekoma adheren
Stafiloma kornea
Phtysis
bulbi
Buta
permanen

Berlanjut dengan
terjadi

-endoftalmitis
-panoftalmitis
sembu
h

Operasi /
angkat
bola mata
Abulbi

22

BAB III
KESIMPULAN
Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya infiltrat
di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu
superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang kornea yang
mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau, epifora,
nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda beda tergantung dari jenis
pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah, penatalaksanaan
keratitis dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan etiologi penyebabnya.
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidak nya perluasan ke
23

jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),


virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada jaringan
tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan penunjang lainnya seperti kultur pathogen, dan diagnosis serta
pengobatan yang diberikan.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI Jakarta.2005.
hal 147-158
2. Paul R.E, John P.W. Cornea.Vaughan & Asburys General Ophthalmology
Sixteenth Edition. United States Of America. 2004. hal 129-153
3. Bruce J, Chris C, Anthony B. Lectures Notes Oftalmologi Edisi Kesembilan.
Blackwell Science. 2003.
4. Khurana A.K. Comphrehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi.
2007. hal 89 100.
5. Sherwood L. Eye:Vision.Human Physiology.Sixth Edition. Hal 190-208.
Thomson Higher Education. United States od America.2007
6. Fernando H. Bacterial Keratitis. Diunduh pada 25 April 2013. Tersedia dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview
24

7. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious keratitis.

INDIAN Journal of Opthalmology 2006 56:3;50-56


8.

LAPORAN KASUS
KERATITIS

25

Oleh:
Sartika Rizky Hapsari

Pembimbing : dr. Gede Eka Yudiasa Sp,M

Departemen Ilmu Penyakit Mata RSAL Dr. Mintohardjo


Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
22 Agustus 20 September 2014
Jakarta

26

Anda mungkin juga menyukai