Oleh:
Romi Novriadi, S.Pd.Kim. M.Sc
Peneliti Balai Perikanan Budidaya Laut Batam
PO BOX 60 Sekupang Batam 29422
E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id
Saat ini isu pembangunan perikanan mendadak menjadi buah bibir dan bahkan masuk
dalam salah satu prioritas utama pembangunan ekonomi kabinet kerja. Pembangunan isu ini
tentu tidak serta merta hanya dikarenakan sosok menteri kelautan dan perikanan yang selalu
bertindak lugas, cepat dan efisien, namun juga ditunjang oleh fakta bahwa pada tahun 2024
dibutuhkan 59 ribu ton stok pangan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dunia serta pada
tahun 2030, diprediksi bahwa perikanan akan menjadi salah satu dari tiga pilar pembangunan
ekonomi Indonesia selain industri jasa dan sumber daya (survey McKinsey Global Institute ,
2012). Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar tersebut adalah dengan
meningkatkan produksi perikanan baik dari sektor perikanan budidaya maupun perikanan
tangkap.
Total produksi perikanan Indonesia pada tahun 2013 mencapai 19,2 juta ton yang
berasal dari sektor budidaya dan tangkap. Sektor perikanan budidaya mampu menghasilkan
produksi sebesar 13,3 juta ton dari potensi produksi sebesar 60 juta ton per tahun, sementara
produksi perikanan tangkap tahun 2013 menghasilkan 5,81 juta ton atau mencapai 89.1 % dari
total potensi sumber daya ikan. Dalam konteks peningkatan produksi, sektor perikanan
budidaya memiliki potensi yang lebih besar untuk dikembangkan karena persentase
pemanfaatan baru mencapai 22%, sementara sektor perikanan tangkap memiliki kendala akibat
aktivitas penangkapan ikan yang berlebihan yang mengakibatkan beberapa daerah memiliki
status over fishing dan tentu saja memaksa nelayan untuk memperluas wilayah penangkapan.
Berdasarkan data diatas, konsep komersialisasi hendaknya bisa difokuskan kepada sektor
perikanan budidaya.
Konsep komersialisasi menjadi sangat menarik bila ditujukan untuk peningkatan
ekonomi masyarakan Indonesia dan tidak hanya terfokus kepada pendapatan negara bukan
pajak (PNBP). Konsep komersialisasi pada sektor perikanan budidaya dapat dilakukan mulai dari
produksi benih, pakan, sarana prasarana, pasar dan hingga kepada pemanfaatan teknologi. Dari
keempat aspek produksi tersebut, kunci untuk kesuksesan pelaksanaan konsep komersialiasi
perikanan budidaya menurut hemat penulis adalah manajemen penanganan penyakit, produksi
pakan dan dikuasainya pasar untuk hasil produksi.
untuk ditangani mengingat dengan semakin dekatnya pelaksanaan Mayarakat Ekonomi ASEAN,
maka bisa dipastikan bahwa ikan dengan nilai jual lebih rendah dengan kualitas yang tidak jauh
berbeda akan lebih menarik minat konsumen. Pakan ikan yang umumnya diproduksi di Thailand
dan Vietnam tentu akan sangat menguntungkan bagi para pembudidaya ikan di kedua negara
tersebut, karena dengan harga pakan yang lebih rendah menjadikan produksi perikanan di
kedua negara tersebut memiliki daya saing yang cukup tinggi.
Selain penyakit dan pakan, faktor pemasaran juga menjadi sangat penting bagi
komersialisasi sektor perikanan. Aspek pemasaran bisa berupa pencarian daerah penjualan
baru hingga kepada percepatan sistem transportasi produk perikanan ke sentra pengolahan
ikan. Pencarian wilayah baru untuk pemasaran ikan budidaya juga dirasa cukup penting
mengingat banyak negara mulai mencanangkan efisiensi penggunaan anggaran negara untuk
berbagai kegiatan seremonial rutin. Sebagai contoh China, jauh dari kampanye penghematan
anggaran yang dilakukan oleh Indonesia, negara tirai bambu ini sudah melakukan pengetatan
pengeluaran anggaran hingga kepada pelarangan penjamuan makan mewah bagi para pejabat
negara. Efek dari peraturan ini berdampak kepada para pelaku usaha budidaya ikan Kerapu
yang menjadikan China dan Hongkong sebagai target pemasaran hasil budidaya. Harga ikan
Kerapu, baik Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus, Kerapu bebek Cromileptes altivelis
hingga kerapu hybrid seperti Kerapu cantang dan Kerapu Cantik memiliki penurunan harga yang
cukup signifikan. Hal ini utamanya disebabkan oleh terbatasnya masyarakat dan negara yang
doyan untuk mengkonsumsi ikan yang termasuk dalam kategori mahal tersebut. Oleh karena
itu, adanya kecenderungan perubahan pola makan, seperti halnya pada masyarakat Timur
tengah, dari red meat menjadi white meat, harus disambut positif dengan gencar melakukan
penjajakan yang efektif. Selain timur tengah, negara-negara eropa dan negara lainnya yang
cukup potensial untuk pemasaran ikan hasil budidaya juga cukup mendesak untuk dijajaki,
utamanya untuk mengantisipasi jumlah produksi yang berlebihan. Seperti halnya yang terjadi
pada industri budidaya lele, mas dan gurami di wilayah Jawa Barat, dimana akibat hasil produksi
yang berlebihan menjadikan harga ikan anjlok dan permintaan menjadi lesu.
Sejatinya, konsep komersialisasi perikanan budidaya juga akan mendapatkan
keberhasilan yang optimum bila didukung oleh pemerintah dan perbankan melalui reformasi
perizinan dan pembiayaan. Paradigma yang mengatakan bahwa sektor perikanan sebagai high
risk sector sudah saatnya tidak menjadi phobia tersendiri bagi perbankan untuk mengucurkan
pinjaman investasi, karena dengan sentuhan teknologi dan pembangunan SDM di bidang
perikanan yang gencar dilakukan, sektor ini sudah berubah menjadi calculated risk sector dan
bahkan terbukti mampu bertahan dari terpaan krisis ekonomi. Kemudahan investasi dengan
merampingkan jumlah perizinan dan pembangunan infrastruktur pengolahan perikanan juga
menjadi strategi menarik untuk mengundang lebih banyak investor untuk berinvestasi di sektor
perikanan. Akhirnya, dengan komitmen bersama, melalui konsep komersialisasi perikanan
budidaya, diharapkan bahwa peningkatan ekonomi bangsa dan partisipasi dalam hal
penyediaan pangan (food security) dunia dapat kita wujudkan.