Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata yang
patogenesisnya
masih
belum
jelas.1
Menurut
American
Academy
of
BAB II
PEMBAHASAN
2. Pterigium
2.1 Definisi
Pterigium merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada mata
yang patogenesisnya masih belum jelas.1 Menurut American Academy of
Ophthalmology, pterygium (berasal dari bahasa Yunani yaitu Pterygos
yang artinya sayap) adalah poliferasi jaringan subkonjungtiva berupa
granulasi fibrovaskular dari (sebelah) nasal konjungtiva bulbar yang
berkembang menuju kornea hingga akhirnya menutupi permukaan kornea. 2
Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi.3 Pterigium dapat
bervariasi bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular
besar yang tumbuh agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea,
dan yang selanjutnya, mengaburkan bagian tengah optik kornea.4
Dulu penyakit ini dianggap sebagai suatu kondisi degeneratif, pterigium
juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor, seperti kecenderungan untuk
menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi yang tinggi setelah
reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi premalignan sekunder.5
Banyak literatur melaporkan faktor-faktor etiologi berikut yang mungkin
menjadi penyebab terjadinya pterigium: radiasi ultraviolet (UV), radang
mata kronis, efek toksik zat kimia. Baru-baru ini, beberapa virus juga
memiliki kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi. 1 Sedangkan
sumber lain mengatakan pterygium ditandai dengan proliferasi berlebihan
fibrovaskular pada permukaan mata dan diduga disebabkan oleh paparan
sinar meningkat, debu, kekeringan, panas dan angin.6
2.2 Epidemiologi Dan Insidens
Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian
dunia, dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3% - 29%.
Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar
matahari yang kronis, dengan meningkatnya prevalensi geografis 'sabuk
9
orang
lebih dari 40
11
12
2.
Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat limfosit.
Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak
di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal
13
Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan
14
15
2.5 Patofisiologi
Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus
menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV
memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV
memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan
ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks
ekstraselular.11
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan
dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8 Pterigium
ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua
kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui
pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.12
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab
pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu
penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan
mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di
basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel),
perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan
menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi
seluler dan angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi
elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai
dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis
dan biasanya menunjukkan dysplasia.10-12
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di
samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar
ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu
pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium
dibandingkan dengan bagian temporal.12
16
kolagen
abnormal pada
daerah
degenerasi
elastotik
17
menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini
juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan
elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan
oleh elastase.12
Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi
pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. 7 Limbal stem cell adalah
sumber
regenerasi
epitel
kornea.12
Defisiensi
limbal
stem
cell
2.6 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan
tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah
episklera, yaitu: 13
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga:
- Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan
kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering
mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II
disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak
kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm,
18
Caput
20
Gambar 11. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea
yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan
bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang
menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang
vesikuler pada konjunctiva bulbi, area paling ujung7
2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari
tanpa
gejala
sampai
dengan
gejala
kemerahan
yang
signifikan,
21
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah
topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat
seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan
oleh pterigium.9
2.9 Diagnosis Banding
Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium
adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini
terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea
marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada
mata.11
a)
Pinguekula
Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang
berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau
temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena
iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada
umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat
diberikan steroid topikal.7
22
Pseudopterigium
Pterigium
umumnya
didiagnosis
banding
dengan
23
Pseudopterigium
Pinguekulum
OSSN
24
Reaksi tubuh
Sebab
Proses degeneratif
penyembuhan dari
luka bakar, GO,
difteri,dll.
Tidak dapat
Sonde
dimasukkan
dibawahnya
Dapat dimasukkan
dibawahnya
Kekambuhan
Residif
Tidak
Usia
Dewasa
Anak-anak
Subkonjunctiva
Lokasi
yang dapat
squamous
kurang.
Tidak
Tidak
Dewasa
anak
Terbatas pada
saja
konjuntiva bulbi
mencapai kornea
Di sekitar daerah
limbus
2.10 Penatalaksanaan
Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi
menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan
gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan
dalam fungsi visual.9
Terapi Konservatif
Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating
drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta
sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortikosteroid topikal antiinflamasi (misalnya, Pred Forte 1%) bila gejala lebih intens. Selain itu,
penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan
radiasi ultraviolet lebih lanjut.9
Terapi pembedahan
25
Mengganggu visus
Mengganggu pergerakan bola mata
Berkembang progresif
Mendahului suatu operasi intraokuler
Kosmetik
dan corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah
dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang
telah menyerang kornea sering dihilangkan dengan pisau bedah.
Dilakukan
usaha
memfasilitasi
untuk
penghilangan
mengidentifikasi
pterigium
bidang
sekaligus
diseksi,
yang
mempertahankan
26
dengan
permukaan
27
terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini
tidak direkomendasikan).
2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkan pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
Rekurensi pada pterigium setelah dilakukan bedah eksisi menjadi
masalah yakni sekitar 30-50%.11 Eksisi Pterigium sering dikombinasikan
dengan berbagai langkah-langkah tambahan untuk mencegah rekurensi
penyakit. Hal ini mungkin secara luas diklasifikasikan sebagai metode
medis adjuvan atau tambahan, beta-iradiasi, dan metode pembedahan.7
Transplantasi Membran Amnion
Transplantasi membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah
kekambuhan
pterigium.
Meskipun
keuntungkan
dari
28
dibawahnya.
Lem
fibrin
juga
telah
digunakan
dalam
autograft
konjungtiva.7
Terapi adjuvant
Intraoperatif dan pasca operasi mitomycin C tetap paling sering
digunakan sebagai terapi tambahan medis untuk pencegahan rekurensi
pterigium. Beberapa alternatif medis lainnya, seperti 5-fluorouracil dan
daunorubisin, juga telah dicoba.7
Terapi mitomycin C telah terbukti efektif dalam mencegah
kekambuhan pterigium primer dan untuk pterigium berulang. Tingkat
kekambuhan yang berhubungan dengan terapi mitomycin C secara
signifikan lebih rendah dibandingkan dengan eksisi bare sclera. Pada
dasarnya dua bentuk aplikasi mitomycin C yang saat ini digunakan aplikasi intraoperatif pada spons bedah yang direndam dalam larutan
mitomycin C diterapkan secara langsung ke sclera setelah eksisi pterigium,
dan penggunaan pasca operasi mitomycin C topikal sebagai obat tetes
mata. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan terkait
penggunaan mitomycin C intra operasi dan pasca operasi tidak berbeda
secara signifikan.7
Dadeya
dan
Kamlesh
mendemonstrasikan
secara
statistik
sentral,
kemerahan,
iritasi,
jaringan
parut/skar
pada
29
30
DAFTAR PUSTAKA
Available
From :
Pj.
Pterigium.
Updated
2012.
Available
From:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview#showall
Accessed September 2014.
10. Khurana Ka. Diseases Of The Conjunctiva. In:, Khurana Ka, Editors.
Comprehensive
Ophthalmology
4th
Ed.
New
Delhi:
New
Age
31
[Cited
2014
August
17].
Availble
From
http://www.v2020la.org/pub/PUBLICATIONS_BY_TOPICS/Pterigium/Pt
erigium.pdf.
12. Detorakis T, Spandidos Demetrios. Pathogenetic mechanisms and
treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review). Department Of Opthalmology, University Hospital of
Heraklion,Crete, Greece. 2009.
13. Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat. Updated : 2009.
Available
From:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6395/1/10E00178.pdf
Accessed September 2014.
14. Radhakrishnan Anil. Ocular Surface Squamous Neoplasia [OSSN] A
Brief Review. Amrita Institute Of Medical Sciences, Kochi. 2013
32