Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Sepsis merupakan masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi jutaan
manusia di seluruh dunia, dengan insidens yang diperkirakan terus meningkat.
Hingga saat ini, sepsis masuk ke dalam 10 besar penyakit yang menjadi penyebab
kematian tertinggi di Amerika Serikat, dengan angka mortalitas mencapai 215.000
kasus kematian tiap tahunnya. Pada populasi anak, angka mortalitasnya di tahun
1995 berkisar 10,3% di antara anak-anak yang dirawat di bangsal anak rumah
sakit di Amerika Serikat. Sekitar 30% kasus sepsis dapat mengalami perburukan
menjadi sepsis berat dan syok septik, dengan angka mortalitas mencapai 84%. Di
Afrika, 50% kematian anak di rumah sakit dapat terjadi dalam 24 jam pertama
sejak anak masuk rumah sakit, dan syok menjadi komplikasi pada banyak kasus di
antaranya.1,2,3
Dalam sepuluh tahun terakhir telah banyak didapatkan perkembangan
dalam tatalaksana sepsis, yaitu dalam hal resusitasi cairan, terapi inotropik dan
pemberian antibiotika. Namun dalam penanganan sepsis terkini diketahui bahwa
waktu memegang peranan penting dan krusial. Early Goal Directed Therapy
(EGDT) merupakan penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik,
yang bertujuan memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka
waktu tertentu.1,2,3
Telah diketahui bahwa perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis
berat dan syok septik menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai
konsekuensi yang menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya
angka mortalitas. EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian
Rivers dkk menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu
6 jam, dengan tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada
pasien sepsis berat dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas hingga
16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar dengan
mortalitas mencapai 46,5%. EGDT kini telah banyak diterapkan di berbagai
rumah sakit, sebagai bentuk implementasi Surviving Sepsis Campaign.

Namun, dalam pelaksanaannya, seringkali masih menemui kendala akibat


kurang mendukungnya sumber daya, sarana dan prasarana yang tersedia. Agar
EGDT dapat dilakukan dengan terorganisasi maka klinisi harus memiliki
pemahaman tentang patofisiologi sepsis, teori yang mendasari EGDT, serta
memiliki keterampilan dan penguasaan prosedur medis dan teknis yang akan
dilakukan dalam penanganan pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Berikut
ini akan dibahas mengenai teori yang mendasari EGDT, prinsip EGDT, serta
aplikasinya di rumah sakit.3,4

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Perkembangan Early Goal-Directed Therapy (EGDT)
Awal mula berkembangnya tatalaksana kasus dengan pendekatan goal
oriented tampaknya didahului oleh penelitian Shoemaker dkk di tahun 1988, yang
berusaha memberikan kadar oksigen di atas normal pada pasien post operatif,
untuk meningkatkan prognosis survival pasien tersebut. Shoemaker dkk
menemukan bahwa kekurangan oksigen pada pasien bedah sakit kritis
menyebabkan terjadinya kegagalan multi-organ dan berhubungan dengan
meningkatnya mortalitas. Tindakan resusitasi dengan target spesifik meningkatkan
penghantaran oksigen ke jaringan melalui kateter arteri pulmonalis berhasil
menurunkan mortalitas sebesar 38% menjadi 4%.1,2
Rivers dkk (2001) mempublikasikan penelitian mereka tentang EGDT,
yaitu pada 263 pasien dewasa yang didiagnosis sepsis berat dan syok septik di
unit gawat darurat. Pasien tersebut mendapat resusitasi cairan kristaloid dan
koloid untuk mempertahankan tekanan vena sentral >8 mmHg, pemberian
vasodilator dan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP)
antara 65-90 mmHg, transfusi PRC untuk mempertahankan hematokrit >30%
pada pasien dengan saturasi oksigen vena sentral <70%, serta pemberian
inotropik. Resusitasi dini dilakukan dalam 6 jam pertama dan berhasil mengurangi
mortalitas selain juga berhasil mencegah terjadinya kegagalan multiorgan.1
Keberhasilan pendekatan tatalaksana pasien sepsis berat dan syok septik
dengan pendekatan EGDT yang dilaporkan oleh Rivers dkk berupa menurunnya
angka mortalitas hingga 16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat
terapi standar tanpa pendekatan EGDT dengan angka mortalitas mencapai 46,5%.2
Penelitian Han dkk (2003) menemukan bahwa penatalaksanaan syok
septik yang dilakukan dalam waktu rata-rata 75 menit berhubungan dengan
keberhasilan survival pasien hingga 96%, dan setiap tambahan waktu 1 jam
keterlambatan penanganan syok berhubungan dengan peningkatan risiko kematian
2 kali lebih tinggi. Dari ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa hal mendasar yang
menjadi fokus perhatian, adalah perbedaan waktu dilakukannya tindakan. Namun

kenyataannya, pemasangan kateter arteri pulmonalis seperti dalam penelitian


Shoemaker untuk tujuan resusitasi tidak praktis dan sangat sulit diaplikasikan di
unit gawat darurat. Akibatnya, pasien dengan diagnosis sepsis berat atau syok
septik yang memerlukan resusitasi cairan, sering dirujuk ke ICU untuk dilakukan
pemasangan kateter arteri pulmonalis sehingga berimbas pada penundaan
tindakan resusitasi. Pada prakteknya, justru menyebabkan kegagalan dalam
menurunkan mortalitas dan morbiditas akibat sepsis berat dan syok septik.
Kegagalan ini dapat dijelaskan karena tindakan protokol resusitasi dilakukan
setelah terjadi hipoksia jaringan berat dan lama.3,4
Dari berbagai penelitian selanjutnya, didapatkan bahwa kunci suksesnya
penanganan sepsis yaitu dengan identifikasi dan intervensi dini agresif berjenjang
dengan

target-target

resusitasi

yang

telah

ditentukan

dalam

protokol

penatalaksanaan di unit gawat darurat atau di ruang perawatan intensif maupun


non-intensif, yaitu dengan menerapkan EGDT.1
Intervensi untuk meningkatkan curah jantung meliputi resusitasi cairan
untuk

meningkatkan

preload,

pemberian

inotropik

untuk

memperbaiki

kontraktilitas jantung, serta pemberian vasopresor (atau vasodilator) untuk


optimalisasi afterload. Konten oksigen arterial dapat ditingkatkan dengan
transfusi Packed Red Cell (PRC) dan meningkatkan SaO2 dengan terapi oksigen.2,3
Kerusakan multiorgan di tingkat seluler tampaknya dipengaruhi oleh
disfungsi dan kerusakan pada mitokondria. Disfungsi dan kerusakan mitokondria
pada sepsis terjadi akibat interaksi patogen-inang, selain juga dipengaruhi
patogenisitas mikroorganisme. Mekanisme kerusakan mitokondria pada sepsis
dapat dilihat pada gambar 3. Syok yang berkepanjangan dan hipoksia jaringan
dapat menyebabkan disfungsi mitokondria. Pada keadaan sepsis berat, aktivasi
berbagai sel imunitas khususnya neutrofil, serta hipoksia jaringan berkontribusi
terhadap terbentuknya ROS (Reactive Oxidant Specifics). ROS berkontribusi
terhadap kerusakan mitokondria, dan kejadian tersebut memicu pembentukan
ROS lebih banyak lagi, yang juga menyebabkan programming kematian
mitokondria. Kematian mitokondria terjadi akibat penumpukan ROS yang
memicu sinyal untuk membuka pori-pori membran permeabilitas mitokondria
(Mitochondrial Permeability Transition, MPT), yang menyebabkan edema

matriks mitokondria, ruptur membran luar mitokondria, serta aktivasi kaskade


apoptosis. Namun, kadang tanpa melalui fase MPT, kaskade apoptosis masih
dapat dipicu akibat pergerakan faktor pro-apoptosis melalui membran luar
mitokondria (Mitochondrial Outer Membrane Permeabilization, MOMP).3,4
Pada keadaan hipoksia jaringan berat akan disertai dengan menurunnya
cadangan ATP seluler, sehingga menyebabkan gangguan integritas membran sel
yang selanjutnya menimbulkan edema (MPT) serta nekrosis sel. Berbeda dengan
apoptosis, nekrosis sel menginduksi respon inflamasi lokal dan sistemik, sehingga
memperberat keadaan. Oleh karena itu, semakin jelas bahwa terapi secara dini
yang difokuskan terhadap stabilisasi hemodinamik untuk mencegah terjadinya
global tissue hypoxia dapat mencegah onset terjadinya disfungsi multiorgan yang
bertanggungjawab terhadap meningkatnya angka mortalitas pasien dengan
sepsis.1,2,3
2.2 Implementasi EGDT dalam Tatalaksana Sepsis Berat
Implementasi EGDT di unit gawat darurat dan unit perawatan intensif
dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik pada bayi dan anak diajukan dalam
bentuk diagram alur berikut ini:

Keterangan:
MAP, Mean Arterial Pressure; CVP, central venous pressure; ScvO2, central venous O2
saturation; CI, Cardiac Index; PICCO, pulse contour cardiac output; FATD, femoral
arterial thermodilution; ECMO, extracorporeal membrane oxygenation; CRRT,
continuous renal replacement therapy; IV, intravenous; IO, intraosseus; IM, intramuscular

Gambar 2.1. Penatalaksanaan Syok Septik Pediatrik (Sumber: Brierley, 2009)

Algoritme berbasis waktu ini dalam 1 jam pertama bertujuan untuk


mengembalikan dan mempertahankan denyut jantung ke nilai normal, mencapai
waktu pengisian kapiler < 2 detik, serta menormalkan tekanan darah. Dukungan
oksigenasi dan ventilasi diberikan sesuai dengan indikasi. Target-target berikutnya
diharapkan tercapai dalam waktu 6 jam di unit perawatan intensif. 2,3
2.3 Kerangka waktu: Nol sampai dengan 5 menit pertama
Dalam lima menit pertama, klinisi harus dapat mengidenfikasi pasien
dengan sepsis berat dan syok septik. Identifikasi dini sangat berhubungan dengan
menurunnya morbiditas dan mortalitas kasus sepsis berat dan syok septik. 24 Dalam
waktu lima menit pertama ini pula secara simultan dilakukan manajeman jalan
nafas (airway) dan pernafasan (breathing), serta pemasangan akses intravena
(circulation).
A. Identifikasi dini pasien dengan sepsis berat dan syok septik
Trias demam, takikardi, dan vasodilatasi umum ditemukan pada anak
dengan tanda-tanda infeksi. Syok septik harus menjadi pertimbangan diagnosis
bila trias di atas ditemukan, disertai dengan perubahan status mental yang
bermanifestasi sebagai iritabilitas, bingung, mengantuk, hingga penurunan
kesadaran yang lebih dalam. Sepsis berat dan syok septik diketahui berhubungan
dengan hipoksia jaringan yang luas. Hipoksia pada susunan saraf pusat akan
menyebabkan gangguan berupa penurunan kesadaran.2,3,5
Selain itu, klinisi juga harus dapat mengidentifikasi tanda-tanda gangguan
perfusi jaringan yang disebabkan oleh disfungsi kardiovaskuler pada sepsis. Syok
septik dibedakan ke dalam 2 jenis, yaitu warm shock dan cold shock. Warm shock
ditandai dengan curah jantung yang tinggi, kulit yang hangat dan kering, serta
bounding pulse. Sedangkan cold shock ditandai oleh curah jantung yang rendah,
kulit lembab dan dingin, serta nadi yang lemah. Stadium awal syok septik dapat
dikenali dengan ditemukannya takikardia, bounding pulse, serta gangguan
kesadaran. Produksi urin kurang dari 1 mL/kgbb/jam. Pada stadium yang lebih
lanjut, dapat ditemukan waktu pemanjangan kapiler, dan pada stadium akhir
ditandai dengan hipotensi.1,3

Mempertahankan jalan nafas dan pemberian terapi oksigen


Manajemen jalan nafas dan pernafasan dapat dilakukan dengan mengacu
pada

Pediatric Advanced

Life

Support

(PALS), di

antaranya

dengan

memposisikan kepala, serta pemberian terapi oksigen.


Memasang akses intravaskular
Penelitian yang dilakukan oleh Kanter dkk (1986) mendapatkan bahwa
usaha pemasangan akses intravena perifer pada pasien anak dengan sakit kritis
memerlukan waktu rata-rata 4 menit 30 detik, tercepat 40 detik. American Heart
Association bersama dengan American Academy of Pediatrics dalam PALS
merekomendasikan untuk situasi darurat, pemasangan akses intravena harus
terpasang dalam waktu 5 menit. Bila dalam jangka waktu tersebut belum berhasil,
maka dilakukan pemasangan akses intraoseus. Setelah terpasang akses intravena
segera diambil sampel darah untuk pemeriksaan penunjang.
2.4 Kerangka waktu: 5 sampai dengan 15 menit berikutnya
Pada segmen 5 menit hingga 15 menit berikut ini, dilakukan resusitasi
cairan hingga didapatkan perbaikan perfusi jaringan, dengan pemantauan terhadap
tanda-tanda overload cairan. Secara simultan pula dilakukan koreksi kelainan
metabolik seperti hipoglikemi/hiperglikemi, serta koreksi kelainan elektrolit yang
mungkin ditemukan, dan pemberian antibiotik empiris spektrum luas.
2.4.1 Resusitasi cairan pada sepsis berat dan syok septik
1. Volume cairan resusitasi
Penelitian pendahuluan telah dilakukan pada hewan percobaan dengan
sepsis berat, didapatkan bahwa resusitasi cairan hingga 60 mL/kgbb ternyata
berhasil memperbaiki curah jantung, penghantaran oksigen serta stabilitas
hemodinamik. Dari penelitian Han dkk (2003) pada pasien dengan sepsis berat
dan syok septik, didapatkan pula bahwa kelompok non-survivor menerima
volume cairan resusitasi lebih sedikit (20 mL/kgbb) dan kecenderungan
dilanjutkan dengan terapi inotropik.

Mengenai volume cairan resusitasi yang diberikan, Carcillo dkk (1991)


melaporkan penelitian mengenai resusitasi cairan pada pasien pediatrik dengan
syok septik yang diberikan dalam 1 jam pertama, pemberian cairan resusitasi
secara cepat dengan volume di atas 40 mL/kgbb (rata-rata 69 + 19 mL/kgbb)
berhubungan dengan outcome (survival) yang lebih baik. Pemberian cairan secara
cepat juga tidak berhubungan dengan kejadian Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS).
Rekomendasi dari Surviving Sepsis Campaign 2008 yaitu resusitasi cairan
inisial diawali dengan pemberian cairan kristaloid bolus 20 mL/kgbb selama 5-10
menit, dititrasi dengan pemantauan klinis terhadap curah jantung, dalam hal ini
meliputi denyut jantung, produksi urin, waktu pengisian kapiler, dan derajat
kesadaran. Biasanya defisit cairan cukup besar sehingga awal resusitasi
memerlukan volume cairan 40-60 mL/kgbb,1 namun dapat mencapai hingga 200
mL/kgbb. Pemantauan terhadap tanda-tanda overload cairan yaitu dengan
memperhatikan adanya onset baru hepatomegali, bertambahnya usaha nafas
pasien, ditemukannya rales pada pemeriksaan fisis paru, atau bertambahnya berat
badan lebih dari 10%. Untuk mengatasinya dapat diberikan diuretik. Tindakan lain
untuk mengatasi overload cairan yaitu dengan dialisis peritoneal bila didapatkan
oliguria, atau continuous renal replacement therapy (CRRT) bila diperlukan.
Untuk pemeriksaan secara bed-site, dari penelitian Pamba dan Maitland
(2004) didapatkan bahwa pemanjangan waktu pengisian kapiler > 3 detik
merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif
digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik.
2. Jenis cairan resusitasi
Pemilihan jenis cairan pada resusitasi sepsis berat dan syok septik bersifat
liberal. Secara umum, cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif
dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan sebagai cairan lini pertama
pada resusitasi.29 Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay (2005)
mendapatkan tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik yang
diresusitasi dengan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid.23 Namun hal

yang berlawanan didapatkan dari penelitian Schierhout dan Roberts, bahwa


resusitasi dengan cairan koloid dapat menyebabkan efek samping berupa
gangguan hemostasis. Pada saat ini penelitian klinis banyak dilakukan untuk
mengetahui kegunaan penggunaan cairan hipertonis dalam resusitasi sepsis berat
dan syok septik.4
2.4.2 Koreksi hipoglikemia
Hipoglikemia dapat menyertai suatu sepsis dan menimbulkan gangguan
kesadaran. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan pemberian Dextrose-10% pada
cairan rumatan dengan kecepatan 8 mg/kg/menit pada neonatus, 5 mg/kgbb/menit
pada anak, dan 2 mg/kgbb/menit pada remaja. Bila disertai dengan kegagalan
fungsi hati, penderita mungkin membutuhkan kecepatan infus glukosa yang lebih
tinggi, dapat mencapai 16 mg/kgbb/menit. Hiperglikemia dapat pula menyertai
keadaan sepsis, yang didefinisikan sebagai kadar glukosa sewaktu > 140 mg/dL.
Penatalaksanaan hiperglikemia dapat dengan menggunakan cairan Dextrose-5%
dan dapat dikombinasikan dengan terapi insulin. Direkomendasikan untuk
mempertahankan kadar glukosa > 80 dan <150 mg/dL. Insulin reguler yang
digunakan dalam bentuk bolus atau infus kontinu. Dosis yang diberikan yaitu
0,025 U/kgbb/kali atau 0,025 0,1 U/kgbb/jam (2,5 U/kgbb dalam 50 mL
Albumin 4% dengan kecepatan 0,5 2 mL/jam); selanjutnya 1 U/10 gram
dextrose.
2.4.3 Koreksi hipokalsemia
Kadar konsentrasi kalsium berbeda sesuai dengan usia, berkisar 8,5 10,5
mg/dL untuk kalsium total dan 4,0 5,0 g/dL ion kalsium dalam darah.
Hipokalsemia dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas dan irama jantung,
selain juga menyebabkan hipotensi serta kelainan neuromuskuler lainnya. Koreksi
hipokalsemia dapat diberikan peroral atau intravena. Pasien dengan hipokalsemia
simptomatik dapat diberikan bolus kalsium glukonas 100-200 mg/kgbb dalam
waktu 10-20 menit. Infus kontinu kalsium glukonas sebagai alternatif diberikan
dengan dosis awal 10-30 mg/kgbb/jam, selanjutnya dititrasi sesuai dengan hasil
pengukuran serum kalsium selanjutnya.

10

2.4.5 Pemberian terapi antibiotik


Terapi antibiotik merupakan terapi utama dalam sepsis (gambar 5), dengan
penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas di awal terapi. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemberian antibiotik cepat dan sesuai berhasil
menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien dengan sepsis. Namun harus
dipertimbangkan juga bahwa penggunaan antibiotik spektrum luas dapat
menyebabkan peningkatan resistensi mikroorganisme.
Pemberian antibiotik tidak ditunda, dan faktor waktu memegang peranan
penting. Dari penelitian Houck dkk, pemberian antibiotika dalam 4 jam pertama
berhubungan dengan menurunnya mortalitas hingga 6,8% sejak pasien datang ke
rumah sakit, dan menurunkan mortalitas hingga 11,6% dalam 30 hari perawatan,
selain itu juga membantu mengurangi lama perawatan di rumah sakit hingga 42%.
Dalam SSC 2008, direkomendasikan pemberian antibiotik dalam 1 jam pertama
setelah dilakukan pengambilan kultur. Durasi terapi antibiotik yang dianjurkan
yaitu 7-10 hari, dan kemudian disesuaikan dengan hasil kultur. Namun pada
pasien dengan neutropenia, durasi terapi antibiotik dapat diperpanjang hingga 14
hari. Keputusan untuk menghentikan pemberian antibiotik bergantung pada
penilaian

klinis.

Terapi

kombinasi

antimikroba

dilaporkan

lebih

baik

dibandingkan dengan monoterapi, sebagaimana dilaporkan dari penelitian Micek


dkk.34 Terapi awal antibiotik sangat kritis bagi pasien anak dengan sepsis, seperti
halnya pasien dewasa.
2.5 Kerangka waktu: 15 menit sampai 60 menit berikutnya
Dalam waktu 15 menit pertama, ditentukan apakah suatu syok septik
responsif atau refrakter terhadap terapi cairan. Syok dinyatakan refrakter terhadap
cairan bila belum menunjukkan perbaikan hemodinamika setelah mendapat terapi
cairan hingga 40 mL/kgbb. Langkah selanjutnya pada pasien dengan syok septik
yang refrakter terhadap terapi cairan yaitu dengan secara simultan melakukan
pemasangan akses vena sentral, memulai terapi inotropik dan vasopresor serta
melakukan pemantauan tekanan arterial.

11

Namun berbeda dengan populasi dewasa, pemasangan akses vena sentral


pada anak menjadi suatu isu karena kesulitan dalam pelaksanaannya. Pemasangan
vena sentral pada pasien pediatrik tidak familier, dalam prosedur pemasangannya
yang cukup sulit sehingga melampaui kerangka waktu (time-frame) yang
diharapkan pada EGDT khususnya di unit emergensi. Penatalaksanaan dalam
kerangka waktu 15 menit hingga 60 menit berikutnya dijelaskan sebagai berikut:
2.5.1 Memulai pemberian inotropik dan vasopresor
Hipotensi yang menetap meskipun telah dilakukan resusitasi cairan
optimal merupakan ciri dari syok septik, yang terjadi akibat gangguan
kontraktilitas miokardium selain juga terdapat gangguan pada resistensi vaskuler
sistemik. Akibat gangguan di atas, maka diperlukan pemberian vasopresor dan
terapi inotropik untuk memperbaiki tekanan darah serta mempertahankan
penghantaran oksigen ke jaringan. Dalam penatalaksanaan sepsis, harus dilakukan
usaha secepat mungkin untuk mengembalikan hemodinamika. Oleh karena itu,
vasopresor diberikan segera setelah resusitasi cairan optimal diberikan. Pemberian
vasoaktif direkomendasikan bila syok tidak teratasi dengan resusitasi cairan
sampai dengan 40 mL/kgbb. Jenis obat yang digunakan yaitu katekolamin dan
derivat sintetisnya, meliputi dopamin, dobutamin, epinefrin, norepinefrin.
Dopamin disarankan sebagai pilihan terapi pertama untuk pasien pediatrik
dengan hipotensi yang refrakter terhadap resusitasi cairan, atau pada keadaan cold
shock. Dopamin dan norepinefrin diketahui berfungsi meningkatkan tekanan
darah dan curah jantung. Dopamin lebih poten dibandingkan norepinefrin, dan
lebih sering menyebabkan takikardia. Pada dosis rendah, dopamin menyebabkan
vasodilatasi sirkulasi renal dan mesenterika. Pada dosis 2-10 mikrogram/
kgbb/menit, dopamin memiliki efek inotropik positif dan kronotropik positif,
sedangkan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Penelitian Levy dkk menemukan bahwa populasi pasien syok septik yang resisten
dengan terapi dopamin meningkatkan risiko mortalitas. Bila syok refrakter
terhadap terapi dopamin, maka diberikan epinefrin. Epinefrin diberikan dengan
dosis 0.05- 0.3 mcg/kgbb/menit.1,3

12

Pada keadaan warm shock, diberikan titrasi norepinefrin. Norepinefrin


pada dosis 1-20 mikrogram/menit baik untuk meningkatkan MAP, resistensi
vaskuler sistemik, penghantaran oksigen jaringan. Dobutamin dapat digunakan
sebagai agen inotropik pada pasien dengan curah jantung yang rendah, diberikan
dengan dosis 2,520 mikrogram/kgbb/menit.
2.5.2 Mempertahankan jalan nafas
Dilakukan penilaian terhadap usaha nafas pasien dan komplians paru.
Keputusan untuk melakukan intubasi bergantung pada penilaian klinis usaha nafas
pasien, adanya hipoventilasi, atau akibat penurunan kesadaran. Intubasi
dipertimbangkan pada pasien dengan syok refrakter disertai dengan tanda gagal
nafas, penurunan kesadaran, serta untuk pemantauan hemodinamik invasif. Selain
itu, ventilasi mekanik juga dapat membantu mekanika sirkulasi. Diketahui bahwa
sekitar 40% curah jantung diperlukan untuk mendukung fungsi pernafasan,
sehingga ventilasi mekanik berguna untuk menurunkan beban kerja paru-paru.
Meningkatnya tekanan intratorakal juga berperan menurunkan afterload ventrikel
kiri, sehingga dapat membantu pasien dengan curah jantung rendah dan resistensi
vaskuler perifer yang tinggi.
Disarankan penggunaan ketamin dan atropin sebagai agen sedasi-intubasi
pada pasien dengan syok septik. Ketamin bekerja dengan cara menghambat
transkripsi factor-kappa B dan mengurangi produksi Interleukin-6 di sistemik,
namun mempertahankan fungsi adrenal, sehingga mempertahankan stabilitas
fungsi kardiovaskuler.23 Ketamin untuk fungsi sedasi diberikan dengan dosis 1-2
mg/kgbb i.v. Ketamin juga dapat berfungsi sebagai infus analgesia dan atau sedasi
untuk mempertahankan stabilitas fungsi kardiovaskuler pada saat dilakukan
pemasangan ventilasi mekanik.
Pada pasien anak dengan gagal nafas dan memerlukan ventilator, prinsip
lung-protective therapy perlu diterapkan sebagaimana pada pasien dewasa. Pasien
dengan Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome ditargetkan
mendapat volume tidal 6 mL/kgbb dan plateau pressure < 30 cm H2O, strategi
permissive hypercapnia untuk meminimalkan plateau pressure dan volume tidal.
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) juga diterapkan untuk mencegah kolaps

13

alveolar di akhir ekspirasi. Posisi prone pada suatu penelitian multisenter


didapatkan berguna untuk memperbaiki hipoksemia.1
2.6 Implementasi EGDT di Rumah Sakit
EGDT merepresentasikan penatalaksanaan kegawatdaruratan yang terbukti
memperbaiki prognosis pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Namun
pelaksanaannya kadang masih belum sesuai dengan protokol yang ada, dengan
latar belakang bervariasi. Pada saat ini, berbagai kendala yang ditemukan dalam
implementasi EGDT yaitu kurangnya pemahaman tentang patofisiologi sepsis,
teori yang mendasari EGDT, serta kurangnya keterampilan maupun penguasaan
prosedur medis dan teknis yang dilakukan dalam penanganan pasien dengan
sepsis berat dan syok septik. Selain itu, model rumah sakit, sarana serta prasarana
yang ada juga berperan terhadap keberhasilan implementasi EGDT. Agar
implementasinya konsisten dan terorganisir, diperlukan suatu model protokol
yang disesuaikan dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana penunjang
di rumah sakit tersebut. Implementasinya di rumah sakit dikatakan dapat
mereduksi biaya-biaya hingga 23,4%. Efektivitas biaya ini dapat tercapai bila
EGDT dilakukan mulai di unit gawat darurat atau ruang perawatan intensif
dengan respon tim yang cepat.2,3
Untuk implementasi EGDT secara optimal, maka diperlukan dukungan
mutlak institusi dalam hal penyediaan sarana dan prasarana. Klinisi juga
diharapkan meningkatkan keterampilan dalam prosedur tindakan yang diperlukan
dalam implementasi EGDT.

BAB III
KESIMPULAN

14

Sepsis merupakan masalah kesehatan utama, yang mempengaruhi jutaan


manusia di seluruh dunia, dengan insidens yang diperkirakan terus meningkat.
Hingga saat ini, sepsis masuk ke dalam 10 besar penyakit yang menjadi penyebab
kematian tertinggi di Amerika Serikat, dengan angka mortalitas mencapai 215.000
kasus kematian tiap tahunnya.
Dalam penanganan sepsis terkini diketahui bahwa waktu memegang
peranan penting dan krusial. Early Goal Directed Therapy (EGDT) merupakan
penatalaksanaan pasien dengan sepsis berat dan syok septik, yang bertujuan
memperbaiki penghantaran oksigen ke jaringan, dalam jangka waktu tertentu.
Perfusi jaringan yang buruk pada keadaan sepsis berat dan syok septik
menyebabkan terjadinya global tissue hypoxia dan berbagai konsekuensi yang
menyertainya, dan hal tersebut berhubungan dengan tingginya angka mortalitas.
EGDT mulai berkembang di tahun 2001 setelah penelitian Rivers dkk
menemukan bahwa penatalaksanaan yang agresif dalam jangka waktu 6 jam,
dengan tujuan mencapai target-target tertentu di unit gawat darurat pada pasien
sepsis berat dan syok septik ternyata berhasil mengurangi mortalitas hingga
16,5% dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi standar dengan
mortalitas mencapai 46,5%.
EGDT kini telah banyak diterapkan di berbagai rumah sakit, sebagai
bentuk implementasi Surviving Sepsis Campaign.

DAFTAR PUSTAKA

15

1. Cruz AT, et al. Implementation of Goal-Directed Therapy for Children


with Suspected Sepsis in the Emergency Department. Pediatrics
2011;127:e758-e766
2. Brierley J, et al. Clinical Practice Parameters for Hemodynamic Support of
Pediatric and Neonatal Septic Shock: 2007 Update from the American
College of Critical Care Medicine. Critical Care Medicine 2009;37:666688.
3. Gilligan, J.P. 2010. An Evaluation of Early Goal Directed Therapy In The
Management Of Sepsis And Septic Shock. USA: University of Arizona.

4. Aneja RK, Carcillo JA. Dirreferences between adult and pediatric septic
shock. Minerva Anestesiologica 2011;77:1-7.
5. Dellinger RP, Levy MM, Carlet JM, Bion J, Parker MM, et al. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe
Sepsis and Septic Shock: 2008. Critical Care Medicine 2008;36:296- 327.
6. Han YY, Carcillo JA, Dragotta MA, Bills DM, Watson RS. Early Reversal
of Pediatric-neonatal Septic Shock by Community Physicians is
Associated with Improved Outcomes. Pediatrics 2003;112:793-799.
7. Ferrer R, Artigas A, Levy MM, Blanco J, Gonzlez-Diaz G, et al.
Improvement in Process of Care and Outcome after a Multicenter Severe
Sepsis Educational Program in Spain. JAMA 2008;299:2294-2303.
8. Kisson N, Orr RA, Carcillo JA: Updated American College of Critical
Care Medicine Pediatric Advanced Life Support Guidelines for
Managementof Pediatric and Neonatal Septic Shock. Relevance to the
EmergencyCare Clinician. Pediatric Emergency Care 2010;26;867869.
9. Larsen GY, Mecham N, Greenberg R: An emergency department septic
shock protocol and care guideline for children initiated at triage.
Pediatrics 2011; 127:e1585-1992

16

Anda mungkin juga menyukai