Anda di halaman 1dari 6

TEORI POSKOLONIAL MENGENAI PERUBAHAN SOSIAL

A.

Poskolonial: Dikotomi Barat versus Timur

Studi poskolonial merupakan sebuah studi yang relatif masih baru dalam perkembangan
ilmu sosial di dunia. Studi ini menawarkan sebuah perspektif baru dalam menganalisis
dominasi negara Barat atas kelompok negara-negara Timur. Negara Barat diposisikan sebagai
kelompok superior sedangkan negara Timur diposisikan sebagai kelompok inferior yang
tertindas. Jika teori modernisasi lebih banyak berbicara kemajuan dari kaca mata Barat, maka
studi poskolonial mencoba menganalisis posisi negar Timur akibat dominasi
budaya Barat.
Studi poskolonial yang relatif masih baru masih menimbulkan kagairahan, kebingungan
serta skeptisisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Pendalaman mengenai istilah
poskolonial menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit menjelaskan secara penuh
mengenai apa saja yang tercakup dalam kajian ini (Sutrisno dan Putranto, 2008). Moore dan
Gilbert (1997) menjelaskan bahwa teori poskolonial yang lahir pada paruh kedua abad ke-20
sering disebut sebagai metode dekonstruksi terhadap model berfikir dualis, yang membedakan
antara Timur dan Barat, meskipun mereka yang mengaku sebagai ahli dengan perspektif
poskolonial tidak benar-benar mampu lepas dari jerat ini. Sebagaimana proses kolonialisme
yang dialami Indonesia oleh penjajah Belanda, kolonialisme global juga memiliki bentuk yang
sama. Bangsa Indonesia dipaksa untuk memenuhi berbagai kebutuhan negara penjajah secara
sukarela, dalam bentuk kerja rodi, tanpa dibayar. Dengan demikian, keuntungan mutlak milik
penjajah. Proses kolonisasi di era moderen memiliki bentuk yang hampir sama, namun proses
perampasan kekayaan tidak terjadi secara terang-terangan.
Penjajahan negara Barat atas negara dunia ke-3 sampai saat ini dapat dikatakan belum
berakhir. Ekspansi budaya Barat saat ini tengah gencar dilakukan, negara dunia ke-3 seolah
semakin tidak berdaya, sehingga tepat jika dikatakan bahwa penjajah tidak akan pernah
berakhir. Istilah poskolonial mencakup masa serta kondisi setelah penjajahan dari luar, namun
meliputi juga proses adopsi sistem ataupun unsur budaya lama yang kemudian ditiru dari dalam
kemudian digunakan sebagai unsur budaya baru. Untuk itu, unsur poskolonial juga sering
dimaknai sebagai pembahasan mengenai dampak kolonialisme dan proses perlawanan
terhadap dominasi kolonial serta berbagai warisan budaya yang tetap ada sampai saat ini.
Teori poskolonial juga menganalisis praktik-praktik penjajahan yang masih berlanjut
sampai sekarang, di era modern. Selain penjajahan Barat atas Timur. Juga penjajahan yang
dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang
terpinggirkan dalam struktur masyarakat, termasuk didalamnya penjajahan laki-laki atas
perempuan. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan melahirkan hibriditas. Ada banyak
teoritikus yang mencoba menganalisis gejala poskolonial. Kita akan mencoba mempelajari
beberapa pemikiran dari teoritikus yang masuk dalam aliran poskolonial ini. Ada empat teoritikus
yang akan dibahas, yaitu: Edwar Said, Gayatri Chakravorty Spivak, Frantz Fanon, dan Homi K.
Bhabha.
B.

Edward Said dan Orientalisme

Edward William Said, dilahirkan di Jerusalem pada tahun 1935; ibunya bernama Hilda,
seorang Palestina kelahiran Nazareth, sedangkan ayahnya, Wadie Said adalah orang Amerika
Serikat kelahiran Jerusalem. Said memulai pendidikan formalnya di GPS di Lebanon. Kemudian
ia dibesarkan di Kairo dan melanjutkan sekolah di CSAC. Pada 1951 Said meninggalkan Mesir
untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi Victoria College. Setelah lulus dari CSAC, Said
melanjutkan pendidikannya di Princenton University. Said meninggal pada 23 September 2003.
Karya Said yang paling populer membahas mengenai poskolonialisme adalah orientalisme
yang terbit pertama kali pada 1978. Orientalisme merupakan buku pertama dalam suatu trilogi
yang dicurahkan untuk mengeksplorasi hubungan-hubungan yang tidak seimbang antara dunia
islam Timur tengah dan Timur di satu sisi, dan imperialisme eropa dan amerika di sisi lain.

Dalam menguraikan konsep orientalisme, Said banyak mengadopsi pemikiran Foucault


mengenai kekuasaan dan seksualitas dan untuk membongkar narsisme dan kekerasan
epistemologi Barat terhadap Timur dengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang
terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis.
Said berbeda dengan Foucault dalam memaknai kekuasaan. Foucault melihat kekuasaan
sebagai jaringan atau hubungan pemikiran yang tidak terlihat yang merupakan sebuah strategi
yang dilihat untuk meninggikan dirinya dengan berbagai alat yang memungkinkan digunakan.
Pemerintah, sebagai contoh, merupakan agen kekuasaan sederhana dan bukanlah sebuah
pihak yang berwenang. Sementara bagi Said, dominasi berat atas dunia Timur bukanlah
fenomena yang bersifat arbiter, namun merupakan sebuah kesadaran dan proses bertujuan
dengan kemauan untuk memerintah dan memiliki maksud individual sebagai lembaga yang
penting.
Istilah orientalisme menurut Said dapat didefinisikan dengan tiga cara yang berbeda.
Pertama, memandang orientalisme sebagai mode atau paradigma berfikir yang berdasarkan
epistemologi dan ontologi yang secara tegas membedakan antara Timur dengan Barat; kedua,
orintalisme dapat juga dipahami sebagai gelar akademis untuk menggambarkan serangkaian
lembaga, disiplin dan kegiatan yang umumnya terdapat pada universitas Barat yang peduli pada
kajian masyarakat dan kebudayaan Timur; ketiga, melihat orientalisme sebagai lembaga resmi
yang pada hakikatnya peduli pada Timur. Orientalisme cenderung merendahkan cara berfikir
Timur yang dianggap tidak selaras dan sederajat dengan mereka. Epistemologi dan orientalis
memosisikan dirinya sebagai subjek, sementara yang lain adalah objek.
Menurut Said, sejak zaman dulu dunia Timur memang sudah menjadi tempat yang indah,
banyak mengandung kekayaan alam yang subur, dan memiliki tradisi yang unik, dibandingkan
dunia Barat. Hal inilah yang kemudian mengundang keinginan orang-orang Barat untuk
mempelajari dunia Timur. Kajian mengenai budaya keTimuran ini dalam perkembangannya
berubah menjadi kolonisasi dan hegemonisasi. Orientalisme adalah konstruksi historis terhadap
masyarakat dan budaya Timur sebagai sesuatu yang asing, seringkali bahkan dilihat sebagai
sejenis alien atau objek yang indah dan eksotis. Akan tetapi, sebaliknya, Timur juga sering
dianggap sebagai kasar, bodoh, barbaris, irasional, bejat moral, kekanak-kanakan. Selanjutnya
orang-orang Timur ditampilkan sebagai makhluk yang mudah dikecoh, tidak mempunyai energy
dn inisiatif, suka menjilat, berpura-pura dan licik. Orang Timur adalah pembohong-pembohong
karatan, mereka malas, mencurigakan. Dengan sendirinya, Barat mengangap dirinya rasional
dan berbudi luhur. Mereka adalah penalar yang cermat, semua pernyataan mengenai fakta
bebas dari semua bentuk kekaburan (Said, 2010).
Said melihat bahwa penjajahan Barat atas Timur, baik Timur maupun Timur dekat, bukan
saja dilakukan melalui penjajahan fisik. Penjajahan sudah dilakukan melalui teks bahasa,
budaya, serta pembangunan citra negatif mengenai Timur oleh Barat. Secara perlahan-lahan,
Barat telah melakukan hegemoni secara politik maupun budaya. Begitu besarnya perhatian
Barat terhadap Timur melalui hegemoni kulturalnya. Orang-orang Timur masih memikirkan teks
dengan segala macam persoalannya dibandingkan bekerja untuk menafsirkan teks agar selaras
dengan zaman. Kondisi ini menyebabkan Barat memiliki pemaknaan yang sangat subjektif
mengenai Timur, Timur selalu dikonotasikan dengan berbagai sifat yang lebih rendah dan
terbelakang dari pada Barat. Sementara Timur tidak mampu mengimbangi upaya Barat yang
dilakukan melaluiberbagai literatur yang bias Barat. Kalaupun ada teks yang diproduksi Timur,
teks tersebut tidak banyak dikenal dan berpengaruh. Menurut Sutrisno, konsekuensi adanya
kondisi ini adalah penjajah dalam mengimaji budaya Timur sebagai wilayah penaklukan politis
juga akan mencitrakannya sebagai rana penaklukan objek eksotisme seksual hingga hasil-hasil
teks sejarah keTimuran, imaji, idiom, foto dan dokumen-dokumen yang bersumber dari orientalis,
tidak lain merupakan tekstualisasi konstruksi kolonial. Tekstualisasi ini menyadarkan
berkecambahnya pemikiran poskolonial yang mengorek, mencatat, serta mencari dampakdampak pecahnya identitas atau retaknya mentalitas serta inkonsistensi perilaku identitas.
Retaknya bangsa-bangsa yang pernah mengalami penjajahan sosial, politik, ekonomi, serta
budaya lama. Kehebatan gagasan Said adalah ia telah memperkuat hubungan secara intim dan
sejajar, ia membuka kedok budaya Barat dalam hal, pertama, orientalisme menunjuk pada
representasi utama mengenai Timur dan orang Timur yang telah dipindahkan dalam wacana

Barat sejak masa lalu, pola dasar dan penampilan yang telah menjiwai pengetahuan Barat
mengenai Timur. Kedua, orientalisme yang menunjuk pada gaya penampilan yang terkandung
dan ditunjukkan, oleh Said disiapkan untuk menjadi makna yang mendalam dari pada sebuah
retorika atau kesepakatan, sebuah pertanyaan politis dan sikap moral. Ketiga, orientalisme
menggambarkan sistem ilmu pengetahuan dan seperangkat budaya yang ditemukan kembali.
Lebih lanjut, gambaran said menekankan pada hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan,
orientalisme pada suatu saat termasuk kedalam struktur material dan proses militer, politik dan
ekonmi yang sejak abad 18 telah mempertahankan Timur sebagai subordinasi Barat.
Menurut Gandhi (2006) gagasan Said secara teoritis sering kali naif dalam desakannya
bahwa stereotip orientalis mensyaratkan dan menegaskan suatu wacana imperialis yang
menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu, orientalisme merupakan sebuah teks yang terbatas
karena gagal mengakomodasi kemungkinan perbedaan dalam wacana keTimuran. Said juga
dikritik karena terlalu menekankan kepasifan penduduk pribumi serta tidak memperhitungkan
bagaimana cara-cara masyarakat lokal dan etnis Timur menggunakan, memanipulasi, dan
mengonstruksi respons-respons positifnya sendiri dalam menentang kolonialisme dengan
menggunakan konsep-konsep orientalis sendiri. Said sendiri tidak mengonstruksi Timur sebagai
paradigma alternatif, ia secara tegas mendekonstruksi rezim-rezim lama, akan tetapi tidak
mengonstruksi pradigma atau rezim baru sebagai alternatifnya.
C.

Spivak: Perempuan dan Subaltern

Gayatri Chakravorty Spivak lahir di Kalkuta, 24 Februari 1942, merupakan seorang


pemikir terkenal yang turut menjadi pelopor studi poskolonial. Spivak melakukan kajian kritis atas
pengaruh kolonialisme dalam bidang budaya dan sastra. Ia menggunakan perspektif Marxisme,
feminisme dan dekonstruksi; ia banyak mengkaji masalah yang dialami kelompok imigran, kelas
pekerja, kaum perempuan, dan pihak-pihak yang menjadi kelompok minoritas dan tertindas.
Spivak memberi kritik terhadap ide-ide yng dominan, seperti kebudayaan Barat lebih maju dari
Timur. Ia juga mnegkritik anggapan bahwa model demokrasi Barat dalah bentuk paling maju,
dan sebagainya. Bagi Spivak, kolonialismse yang datang dari eropa tidak akan hilang begitu
saja, ketika banyak bekas jajahannya memperoleh kemerdekaannya, sebab struktur-struktur
politik, ekonomi, hingga kebudayaan masih meneruskan kolonialisme itu. Dengan kata lain,
kelompok penjajah telah meninggalkan, mewarisi, nilai-nilai budaya kepada bangsa yang
dijajahinya. Spivak berupaya melakukan dekonstruksi terhadap struktur-struktur yang menindas
tersebut sehingga pihak yang tadinya tertindas dapat bersuara (Morton, 2004).
Spivak menggunakan istilah subalttern untuk menunjuk pihak-pihak atau kelompok yang
mengalami penindasan dari kelompok lain yang lebih berkuasa. Istilah subaltern pada mulanya
digunakan oleh Antonio Gramsci untuk menunjuk kelompok inferior, yaitu kelompok-kelompok
dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni kelas-kelas yang berkuasa. Pertama kali
istilah sulbartern diadopsi oleh Ranajit Guha, seorang sejarawan India untuk menuliskan kembali
sejarah India. Guha telah memberikan penjelasan yang lebih menarik dari pada Gramsci
mengenai subaltern karena ia telah memberikan sesuatu yang baru dan kerangka yang jelas
untuk menjelaskan siapa kawan, siapa lawan. Pandangan baru Guha adalah terletak pada
penjelasannya mengenai dikotomi penindasan yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh
kelompok luar saja namun juga dilakukan oleh kelompok dalam. Penindasan tidak hanya terjadi
pada kolonial-antikolonial, buruh-majikn, sipil-militer namun juga terjadi pasa elite-sulbartern.
Spivak menggunakan istilah sulbartern dalam tulisannya yang berjudul can the sulbartern
speak?, ia telah memperdalam dan memperjelas gagasan Guha. Petani, buruh, perempuan,
kelas miskin, dan kelompok-kelompok lainyang tidak memiliki akses kepada kekuasaan
hegemonik dapat disebut sebagai kelas sulbartern. Konsep sulbartern ini berasal dari sebuah
artikel yang mengangkat kisah tragis adik neneknya yang menggantung diri di Calcutta Utara
tahun 1926 saat beruusia sekitar 16-17 tahun. Gantung dirir ini dilatarbelakangi karena
ketidakmampuannya menjalankan tugas pembunuhan politik yang dipercayakan kepadanya.
bagi Spivak inilah bukti sebuah ketidakmampuan berbicara, dan memilih bunuh diri.

Sejarah kehidupan sehari-hari kelompok sulbartern semestinya juga dilihat. Kelompok


sulbartern tidak bersifat monolitik, mereka mempunyai kompleksitasnya sendiri. Dan meskipun
mereka berbicara, orang tidak menaruh perhatian pada kisahnya. Pemikir kolonial memosisikan
kelompok sulbartern yang terpinggirkan ini sebagai sebuah bentuk yang seragam, mereka hanya
dilabeli sebagai masyarakat terjajah atau pribumi tanpa melihat etnis, gender, pendidikan, dan
lain-lain. Spivak ingin membuka mata dan pikiran terutama mereka yang dikelompokkan sebagai
penyusun dan pendukung teori kolonial.
Spivak merupakan tokoh poskolonial yang mencoba memasukkan variabel jenis kelamin
sebagai objek kajiannya untuk melihat adanya hubungan yang tidak setara antara laki-laki dan
perempuan yang kemudian dianalogikan dalam hubungan oposisi biner. Studi mengenai gender
dan feminisme menjadi sebuah isu yang cukup krusial dalam studi poskolonial. Ada beberapa
hal yang mendasari hal ini. Pertama, baik patriarki maupun imperialisme dilihat sebagai analogi
dominasi terhadap pihak yang disubordinasikan. Berbagai masalah perempuan dalam
masyarakat patriarki dan subjek-subjek yang dikolonisasikan dapat disejajarkan sebagai
perhatian dan opsi perjuangan dari gerakan feminis dan politik poskolonial yang berposisi
dengan sistem dominasi. Kedua, adanya perdebatan dalam beberapa masyarakat bekas jajahan
mengenai apakah masalah gender dan tekanan kolonial merupakan faktor politik yang benarbenar penting dalam kehidupan perempuan. Hal ini membawa kita untuk sampai pada
pertimbangan lebih lanjut bagi konstruksi dan posisi gender dalam praktik kekuasaan kolonial.
Feminisme memberikan perhatian terhadap bahasa yang berperan dalam bentuk identitas
dan mengonstruksikan subjektivitas. Secara khusus, bahasa menjadi alat untuk melawan
budaya patriarki dan kekuasaan imperialis. Kaum feminis berupaya untuk menggali dan
memanfaatkan sense of disarticulation dari bahasa warisan serta mengembalikan autentisitas
bahasa yang didasarkan pada bahasa prakolonial. Oleh krena itu, feminis dan masyarakat
koloni, seperti kelompok subordiinat lainnya, memanfaatkan hl-hal yang ditanamkan atau
ditunjukkan oleh pihak-pihak penguasa untuk menumbangkan bahasa dominan dan praktikpraktik penanda. Teri feminis berkaitan erat dengan teori identitas dalam wacana dominan. Teori
ini menawarkan berbagai strategi perlawanan terhadap kontrol yang menentukan pemaknaan
identitas diri kaum perempuan. Pembongkaran wacana tersebut diarahkan pada pengalamanpengalaman perempuan di dunia ketiga. Berbagai isu yang mengikutinya kemudian juga
berhubungan dengan persoalan dalam kelas masyarakat. Para feminis juga mengkritik bahwa
persoalan-persoalan perempuan seringkali diabaikan karena persoalan kolonial yang lebih
bersifat umum. Pemikiran poskolonial mencoba menempatkan masalah perempuan dalam
sebuah bentuk kolonisasi. Kritik ini berpendapat bahwa kolonialisme beroperasi dengan cara
yang sangat berbeda terhadap laki-laki dan perempuan. Perempuan dipandang mengalami
kolonisasi ganda karena keberadaannya sebagai subjek yang dikuasai dan diskriminasi umum
yang dialami sebagai subjek perempuan dalam budaya patriarki.
Spivak memperjuangkan pembebasan melalui penggalian kesadaran historis yang
semestinya menjadi kesadaran yang tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah lokal. Spivak
membuat diskursus alternatif dengan menjadikan konsep dharma dalam keyakinan hindu
sebagai pembanding ideologi kristen. Meskipun demikian, Moore dan Gilbert (1997) melihat
bahwa Spivak tidak dapat melepaskan diri dari epistemologi pemikiran Barat. Spivak dalam
beberapa kesempatan sering tidak konsisten dengan posisi pemikirannya. Kontradiksi Spivak
dapat dilihat ketika ia mengatakan bahwa kelompok sulbartern merupakan entitas yang
strukturnya terpisah dari sistem ekonomi global yang terbentuk dari proses kolonialisme. Ia
menyebut sulbartern sebagai empty space yang terlepas dari tatanan ekonomi dunia global
padahal ia menyebutkan bahwa tubuh perempuan telah menjadi komoditas yang
diperdagangkan. Selama ini, berbagai tulisan sejarah telah memarginalkan kelompok sulbartern.
Hal ini disebabkan kelompok sulbartern dipandang tidak penting bagi sejarah kemanusiaan,
faktor yang lain adalah berbagai catatan tertulis dan catatan sejarah mengenai mereka sulit
dilacak atau mungkin ditenggelamkan oleh kelompok kolonial. Sebagian besar sejarah ditulis
oleh kelompok elite penjajah, dan mereka menyusun sejarah untuk kepentingan mereka sendiri
dan sangat bias. Secara sederhana, Spivak mereduksi dualisme elite-sulbartern kepada
dualisme Barat-Timur; sejarah Timur juga ditulis oleh Barat melalui pemahaman sepihak dan
bias-bias yang menutup penulisan sejarah yang sesungguhnya.

DAFTAR PUSTAKA
Gandhi, laela. 2006. Teori poskolonial upaya meruntuhkan hegemoni barat. Yogyakarta: penerbit
qalam.
Moore, Bart dan Gilbert. 1997. Postcolonial theory: contexts, practise, polities. London: Versco.
Morton, stephen. 2004. Gayatri chakravorty spivak. London: routledge.
Said, edward w. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: pustaka pelajar.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2008. Hermeneutika pascakolonial: soal identitas.
Yogyakarta: Kanisius.

TUGAS
KOMUNIKASI DAN PERUBAHAN SOSIAL
Teori Poskolonial Mengenai Perubahan Sosial

OLEH :
KELOMPOK VI A
MUHAMMAD ASLAM ANWAR
MARIA AVELIA DIAS SIRANTE
A. MUH. YUSUF. B
NURUL FATIMAH RUSMAN

(G211 12 005)
(G211 12 016)
(G211 12 268)
(G211 12 112)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013

Anda mungkin juga menyukai