LATAR BELAKANG.
Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf uang diakui memiliki dampak yang lebih
cepat dibadingkan jenis wakaf benda kongkrit, akibat sifat fleksibilitas yang dimiliki
wakaf jenis ini dalam menyikapi kondisi lingkungan yang ada. Efektifitas instrumen ini
bagi perekonomian sangat tergantung dari peran negara dalam penggunaannya.
Sehingga saat ini diperlukan sebuah perencanaan yang matang oleh pemerintah dalam
rangka implementasinya diperekonomian, baik pada kesiapan regulasi berupa undangundang maupun kesiapan institusi yang integratif dengan institusi-institusi ekonomi
yang lain.
Mengenai wakaf uang di Indonesia dinyatakan Dr Uswatun Hasanah, Ketua Divisi
Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Badan Wakaf Indonesia bahwa pada saat ini
sudah tidak ada masalah lagi dengan wakaf bentuk ini. Menurutnya pada 11 Mei 2002
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan bahwa Wakaf uang (Waqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai. Wakaf uang termasuk juga ke dalam pengertian surat-surat
berharga. Wakaf uang hukumnya Jawaz (boleh). Wakaf uang hanya boleh digunakan
untuk hal-hal yang dibolehkan secara syari. Sementara nilai pokok wakaf uang harus
dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.1
Sebagai wakaf produktif, wakaf tunai memiliki banyak kelebihan di era modern
ini. Wakaf tunai bisa menjadi alternatif pembiayaan investai di sektor riil yang sedang
dibutuhkan di Indonesia saat ini. Mustafa Edwin Nasution mengatakan wakaf tunai
memiliki instrumen mobilisasi dana yang bervariasi. Selain itu dapat memperluas basis
sumber dana secara signifikan karena nominalnya jauh lebih rendah dan bervariasi
dibandingkan wakaf aset fisik seperti tanah dan gedung. Wakaf tunai mudah dikelola
dan dikembangkan menjadi wakaf produktif karena memiliki banyak alternatif
penempatan investasi, baik di portofolio keuangan domistik ataupun global.2
1
2
As-Syarbini (t.t), Mughni al-Muhtaj, (Kairo: Mushthafa Halabi), Juz II, hlm 376.
3. Tujuan wakaf harus jelas, maksudnya adalah hendaknya wakaf itu disebutkan
dengan terang dan jelas kepada siapa harta tersebut diwakafkan.
4. Wakaf merupakan hal yang harus dilaksanakan tanpa syarat boleh khiyar. Ini artinya
boleh membatalkan atau melangsungkan wakaf yang telah dinyatakan, sebab
pernyataan wakaf telah berlaku tunai untuk selamanya.4
Dari syarat-syarat yang disebutkan di atas, terdapat perdebatan ulama mazhab
tentang unsur keabadian. Perdebatan itu mengemuka khususnya antara mazhab
Syafii dan Hanafi disatu sisi serta mazhab Maliki di sisi yang lain. Imam Syafii lebih
menekankan wakaf itu pada fix asset (asset tetap) dan menjadikannya syarat sah wakaf.
Sedangkan Imam Maliki lebih menekankan makna keabadian pada nature barang
yang diwakafkan baik asset tetap maupun asset bergerak.5 Sedangkan rukun-rukun
wakaf pada dasarnya ulama sepakat sebagaimana disebutkan diatas, kecuali Imam
Hanafi yang berpendapat rukun wakaf itu hanya satu, yaitu shighat. Shighat di sini
adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada makna wakaf. Seperti contoh kata
seseorang tanahku ini diwakafkan selamanya terhadap orang-orang miskin.6
Melihat kenyataan ini, shighat wakaf terjadi khilaf dikalangan ulama. Oleh
karena itu sesuai kaedah , maka pemerintah dapat menetapkan
ketentuan ikrar melalui Menteri Agama. Kompilasi Hukum Islam Pasal 223 ayat (4)
tertulis Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf, dianggap sah jika
dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi. Ketentuan ini agar
perwakafan dikuatkan dengan pembuktian yang berupa persaksian. Secara fiqh,
persaksian ini dapat menguatkan sebuah hukum. Dalam ketentuan mazhab Syafii,
persaksian untuk hal-hal yang berkaitan dengan harta itu memerlukan minimal satu
orang saksi dengan disumpah. Ia juga bisa dengan satu lelaki dan dua orang
perempuan.7
Al-Syathiri Muhammad bin Ahmad bin Umar, Syarh al-Yakut al-Nafis, (Jeddah Dar alMinhaj 2007) hlm 900.
tapi
juga
memperlihatkan
penyelewengan.
Salah
urus
(mis
management) kerap kali terjadi. Oleh karenanya, starategi pengelolaan yang baik perlu
diciptakan untuk mencapai tujuan di adakan wakaf.9 Wakaf hendaknya dikelola dengan
baik dan diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi, sehingga hasilnya dapat
dimamfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Pengelolaannya diserahkan
kepada Nazhir, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.10
Ada 3 syarat pengelolaan wakaf uang tunai, yaitu profesional. transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan.
8
Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tertanggal 11 Mei 2002/28 Shafar 1423.
H.A.R dan lll Kramers Shoter Encyclopaedia of Silam, (Karachi Pakistan, South Asian
Publication, 1981), hlm 624.
10
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Sebagai Pengelola Dana Wakaf (Makalah
Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif di Wisma Haji Batam
7-8 Januari 2002, hlm 4.
9
Selain 3 syarat yang harus dimiliki pengelola wakaf uang tunai, juga memiliki
kreteria sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
1. Pemilihan Progaram.
Pemilihan program dimaksudkan agar wakif mempunyai pilihan dalam hal
mewakafkan uangnya. Ini berkaitan dengan jenis peruntukan yang dikehendaki
wakif agar nantinya hasil dari wakaf uang tersebut dialokasikan sesuai dengan
tujuan dan fungsi wakaf. Seperti halnya dijelaskan dalam UU No 41 Tahun 2004.
Dalam rangka tujuan dan fungsi wakaf harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi :
a.
b.
c.
d.
e.
Ibid, hlm 7.
12
Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 22.
kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang mulai berkembang lebih banyak seperti
uang, saham dan surat berharga lainnya.13
Dilihat dari beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung
tentang wakaf tampak tidak tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf
yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini
diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan taabudi, khususnya yang
berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat peruntukan dan lain-lain.
Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran Islam) yang masuk wilayah
ijtihadi, maka hal tersebut fleksibel, terbuka penafsiran-penafsiran baru, dinamis,
futuristic (berorientasi pada masa depan), sehingga dengan demikian, ditinjau dari
aspek ajaran wakaf saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk
bisa dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk
bagian dari muamalah. Keistemewaan ajaran muamalah dalam Islam antara lain :
a. Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Setiap jenis
muamalah pengelolaannya menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, jujur,
saling tolong menolong, tidak mempersulit dan suka sama suka.
b. Bahwa berbagai jenis muamalah hukum dasarnya boleh sampai ditemukan dalil
yang melarangnya. Ini artinya. Selama tidak ada dalil yang melarang suatu kreasi
jenis muamalah, maka muamalah itu dibolehkan,14
Para ulama fiqih membagi jenis muamalah kepada dua hal, pertama jenis
muamalah yang hukumnya ditunjuk langsung oleh nash dengan memberikan
batasan tertentu, karena Allah mengetahui bahwa manusia sulit untuk menemukan
kebenaran hakiki dalam persoalan-persoalan seperti ini.
Sekalipun mereka
13
Afdawaiza, Terbentuknya Akad Dalam Hukum Perjanjian Islam, Al-Mawarid Edisi XVIII,
Tahun 2008, hlm 188.
10
akad disini adalah suatu bentuk perbuatan hukum (tasharruf) yang mengakibatkan
adanya kemestian penataan kepada apa yang dinyatakan dari kehendak perbuatan
hukum itu oleh pihak yang berkepentingan, walaupun pernyataan itu dari sepihak
saja.
Para ulama fuqaha menyatakan bahwa salah satu syarat akad adalah harus
dilaksanakan dalam satu majelis akad. Tempat dan waktu dimana ke dua belah
pihak berada pada saat negosiasi yang dimulai dari saat diajukan ijab dan
berlangsung selama mereka tetap fokus pada masalah perundingan perjanjian serta
berakhir dengan berpalingnya mereka dari negosiasi tersebut, inilah yang disebut
dengan majelis akad. Sebagai konsekwensi dari teori majelis akad ini lahirnya khiyar
qabul, khiyar penarikan (khiyar ar-ruju) dan khiyar majelis (khiyar al-majelis).16
Kesatuan akad seharusnya tidak dipahami secara kaku dalam batasan
dimensi ruang dan waktu. Sebaliknya konsep kesatuan majelis perlu
dikembangkan sejalan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Kesatuan
majelis tidaklah dimaksudkan dengan kesatuan tempat dan waktu, karena hal ini
akan sulit diterapkan dalam realitas kehidupan kontemporer, dimana transaksi
bisa saja terjadi melalui alat komunikasi yang menempatkan para pihak tidak
dalam kesatuan tempat. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan kesatuan majelis
akad adalah kesatuan waktu, bukan kesatuan tempat secara fisik, di mana para
pihak yang berakad masih fokus pada perjanjian yang dibuat.17
Dilihat dari pengertian tersebut di atas sangat jelas bahwa shighat akad
dilakukan dalam arti kesatuan majelis adalah akad yang berupa ijab dan kabul,
karena ijab itu hanya bisa menjadi bagian dari akad apabila ia bertemu langsung
dengan kabul. Ketika ijab dan kabul bertemu maka terjadilan kesepakatan hukum
antara kedua belah pihak. Sedangkan dalam akad wakaf yang merupakan akad
tabarru yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan kabul dari penerima
wakaf, tidak mensyaratkan akan adanya kesatuan majelis dalam akad,
dikarenakan dalam akad wakaf tidak diperlukannya kabul. Kesepakatan dalam
akad wakaf akan terjadi apabila penerima wakaf menerima wakaf yang terdapat
16
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta : Rajawali Pers 2007), hlm.147.
17
Afdawaiza, op cit, hlm 192.
11
dalam shighat akad wakaf wakaf. Misalnya, wakif mewakafkan uangnya dan ketika
penerima wakaf telah menerima uang wakaf tersebut terjadilah kesepakatan
dalam akad wakaf. Seperti yang telah diterangkan, bahwa wakaf itu bisa terjadi
ketika telah terpenuhi rukun-rukunnya. Dan saksi bukan merupakan rukun
maupun syarat wakaf. Jadi akad wakaf yang tidak dihadiri saksi sudah dianggap
sah menurut syariat dengan syarat terpenuhinya rukun-rukun wakaf.
Dengan demikian menurut penulis dapat disimpulkan, akad
wakaf sah
menurut syariat jika telah memenuhi rukun maupun syarat wakaf dengan
ketentuan bahwa harta wakaf tetap terjaga (tidak musnah) setelah diambil
mamfaatnya dan untuk penggunaan yang mubah (tidak dilarang oleh syara) serta
dimaksudkan untuk mendapat keridhaan dari Allah SWT.
2. Penggunaan Sistem Online dalam Akad Ikrar Wakaf.
Penelusuran penggunaan sistem online dalam ikrar wakaf masuk dalam
ruang lingkup pembahasan epistemologi hukum Islam. Dalam pembahasan ini, dalil
hukum merupakan pijakan bagi para yurist Islam dalam menetapkan suatu
ketetapan hukum yang diterapkan secara praktis oleh seseorang atau masyarakat.
Oleh karenanya maka untuk membahas tentang penggunaan sistem online dalam
ikrar wakaf mempergunakan dalil syara yaitu :
a. Dalil Nash.
Terkait dengan topik pembahasan tentang penggunaan sistem online
dalam ikrar wakaf tidak ditemukan adanya nash al-quran yang secara eksplisit
menjelaskan hal tersebut. Terlebih lagi bagi sistem online merupakan produk
sejarah atau kebijakan yang sangat terikat dengan dimensi ruang dan waktu.
Namun demikian bila ditelusuri isi kandungan al-quran terdapat ayat yang
secara implisit mengindikasikan perlunya tindakan yang mengarah kepada
kemaslahatan dan ketertiban umum dalam bentuk pengadministrasian sebuah
akad atau paling tidak dapat dipakai sebagai pijakan dalam menjastifikasi
kebijakan yang terjadi. Di antara ayat-ayat tersebuat adalah surah al-Anbiya 21:
107.
Wahbah al Zuhayly menjelaskan bahwa pengertian rahmat itu segala
tindakan yang ditujukan untuk kemaslahatan umum. Kalau Allah mengutus Rasul
12
Hamka Haq, Al-Syathibi Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab al-Muwafaqad,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007, hlm 250.
13
mustaqillan (tidak mandiri, terikat dan membutuhkan dalil lain seperti Qiyas,
Istihsan, dan Maslahah mursalah). Untuk menggali substansi hukum dan posisi
penggunaan sistem online dalam ikrar wakaf, maka dalil yang digunakan adalah
dalil yang kedua yang mempunyai sifat la yakun mustaqillan karena secara
implisit dalil yang mustaqil tidak ditemukan.
Pembahasan penggunaan sistem online ditinjau dari segi karakter
hukumnya termasuk dalam bingkai hukum fiqh, dikarenakan tidak adanya dalil
nash yang secara jelas mengatur hal-hal tersebut. Sehingga untuk menetapkan
hukum penggunaan sistem online harus melalui perumusan hukum yang
bertolak dari dalil-dalil yang bersifat dzanni al dalalah. Sebagaimana yang
dirumuskan Abd al-Wahab Khallaf ; Nash dzanni al dalalah ialah suatu lafal yang
menunjukkan untuk suatu makna, tetapi makna itu mengandung kebolehjadian
sehingga dapat ditakwil dan dipalingkan dari makna itu kepada makna yang
lain.19
Dari definisi ini dapat dipahami suatu ayat dzanni mengandung lebih dari
satu pengertian sehingga memungkinkan ditakwil. Karena hukum ini dihasilkan
dari proses ijtihad yang berangkat dari nash yang dzanni maka hasilnya bersifat
tidak pasti, relatif, tidak permanen dan berubah atau diubah. Hukum-hukum
dalam katagori inilah yang menjadi lapangan ijtihad.
Dari pada itu, implikasi dari hukum yang terjadi bermuara pada
kesepakatan bahwa semua hukum yang ditetapkan Allah mengandung
kemaslahatan, sebagaimana diungkapkan Al Syatibi bahwa tujuan utama
disyariatkannya hukum Islam pada manusia adalah terwujudnya kemaslahatan
baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi.
Kemaslahatan dimaksud harus selalu seiring dengan maqshid al tasyri
(kehendak syara) dalam hubungannya dengan pemeliharaan dasar yang lima
(mabadi al khamsah) yakni pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal pikiran,
keturunan dan harta benda, yang menurut Ibnu Al Subkhi ditambah satu lagi
yaitu memelihara kehormatan (hifdzu al iradl). Disinilah titik tekan korelasi
19
Firdaus, M.Ag, Ushul Fiqh (Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehinsip, (Jakarta : Zikrul Hakim, 2004), hlm. 31.
14
15
d).
Maslahah itu bukan maslahah yang tidak benar, di mana nash yang
sudah ada tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.20
Untuk selanjutnya pada masa sekarang pengembangan hukum yang
berpijak
pada
maslahah
menjadi
urgen
dan
mendesak
dikarenakan
V. PENUTUP.
Demikian uraian tentang wakaf uang dengan sistem online, yang menjadi
terobosan hukum dan sangat dibutuhkan umat Islam di Indonesia. Teknologi dan
Informasi yang begitu pesat, cepat dan tidak mungkin menghindar, umat Islam sudah
seharusnya mencari solusi dalam menyalurkan wakafnya, tanpa harus terjebak dan
terperangkap dengan sistem tradisional yang mengakar. Umat Islam harus
menyikapinya sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman agar orang yang
ingin mewakafkan hartanya tidak terbelenggu, melainkan cukup dilakukan melalui akses
20
Chaerul Umam, et.al, Ushul Fiqih I, (Bandung : Pustaka setia 1998), hlm. 137-138.
16
website, dan mentransfer melalui rekening bank yang ditunjuk pengelola wakaf. Wakif
tidak perlu lagi bersusah payah datang kekantor lembaga wakaf. Hal ini didasarkan pada
al maslahah al mursalah sebagai pijakan hukum, yang tujuannya sejalan dengan
maqasid as syariah. Semoga Allah SWT meridhai perjuangan kita. Amin.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Al-Anshori, Hukum dan Praktek Perwakafan di Indonesia, Yokyakarta, Pilar
Media, 2004.
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al Ansyhari, Menuju Era Wakaf Produktif, Sebuah Upaya
Progresif untuk Kesejanteraan Umat, Jakarta, Mitra Abadi Pres.
Afdawaiza, Terbentuknya Akad dalam Hukum Perjanjian Islam, Al Mawarid Edisi XVIII, 2008.
Abu Zahrah, Mudharat fi al-Waqf, Beirut, Dar al-Fikr al- Arabi, 1971.
As-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Kairo, Musthafa Halabi, Juz II, tt.
Kharul Umam dan H.A.Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Bandung : Pustaka Setia, 1989
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang tertanggal 11 Mei 2002/28 Shafar 1423.
Firdaus, Fiqih Wakaf, Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Depag RI, Jakarta 2007.
Hamka Haq, Al-Syathibi, Aspek Teologis Konsep Maslahah dalam Kitab Al-Muwafaqat,
Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007.
http://akitiano,blogspot.com/2009/12/tata-cara wakaf-danpendaftaran-wakaf.html
Jauhar Faradis, Analisis Strategi Penghimpunan Wakaf Uang Tunai (Studi Kasus Badan
Wakaf Uang Tunai Majelis Ulama Indonesia Yokyakarta, Universitas Gajah Mada
Yokyakarta, 2010.
Kompilasi Hukum Islam, Buku III tentang Wakaf.
Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syathiri, Syarah al-Yaqut al-Nafis, Jeddah : Dar al-Minhaj,
2007.
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah sebagai Pengelola Dana Wakaf, (makalah
Workshop Internasional, Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produktif di
Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002.
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, Gaya Media Pratama : Jakarta 2000.
Nasution Mustafa Edwin dan Uswatun Hasanah (ed), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam
(Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat) Program Studi
Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Jakarta 2006.
Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 41 Tahun
2004 tentang Wakaf.
Romli SA, Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999.