Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Matematika & Sains, Desember 2012, Vol.

17 Nomor 3

Formulasi Sediaan Tabir Surya dengan Bahan Aktif Nanopartikel


Cangkang Telur Ayam Broiler
Amila Gadri, Sasanti Tarini Darijono, Rachmat Mauludin dan Maria Immaculata Iwo
Sekolah Farmasi
Institut Teknologi Bandung, Bandung
e-mail: ummuamin@yahoo.co.id
Diterima 18 Oktober 2011, disetujui untuk dipublikasikan 10 November 2011
Abstrak
Cangkang telur (CT) merupakan limbah yang dapat dimanfaatkan menjadi bahan aktif tabir surya. Tujuan
penelitian ini adalah memanfaatkan CT sebagai bahan aktif tabir surya melalui reduksi ukuran partikel dan
pengembangan formula sediaan tabir surya untuk meningkatkan nilai faktor pelindung surya. Penelitian ini diawali
dengan pengecilan ukuran partikel CT melalui penggilingan basah menggunakan tumbler ballmill dilanjutkan
dengan sonikasi untuk mendapatkan suspensi nanopartikel CT. Nanopartikel yang diperoleh dikarakterisasi ukuran
partikel, indeks polidispersitas, serta morfologi partikel menggunakan SEM. Serbuk mikropartikel dan nanopartikel
cangkang telur diformulasi menjadi sediaan krim menggunakan basis krim minyak dalam air yang terdiri dari asam
stearat, trietanolamin, lanolin dan setostearil alkohol. Krim yang dibuat dievaluasi secara farmasetik dan diuji
keamanannya melalui uji iritasi pada mata dan kulit kelinci secara in vivo, dilanjutkan dengan penentuan nilai FPS
secara in vivo pada kelinci tersebut. Proses pembuatan nanopartikel serbuk CT dengan metode sonikasi
menghasilkan nanopartikel cangkang telur dengan ukuran 453,8725,63 nm. Formula krim yang memenuhi
persyaratan farmasetik adalah formula yang mengandung 5 dan 8% nanopartikel CT dalam basis yang terdiri dari
1% lanolin, 2% setostearil alkohol, 8% asam stearat dan 1,6% trietanolamin. Formula krim yang mengandung 8%
nanopartikel CT bersifat mengiritasi ringan dengan Indeks Iritasi Primer (IIP) sebesar 0,58. Sedangkan dalam uji
iritasi mata sediaan tidak menyebabkan iritasi. Pada uji in vivo nilai FPS krim yang mengandung 5 dan 8%
nanopartikel CT berturutturut adalah 3,44, dan 4,30, dan krim yang mengandung 8% CT dalam bentuk
mirkopartikel menghasilkan nilai FPS yang lebih rendah, yaitu 2,71. Berdasarkan hasil penelitian ini, pengecilan
ukuran serbuk cangkang telur menjadi berukuran nano dapat meningkatkan aktivitas tabir surya cangkang telur.
Kata kunci: Cangkang telur, Nanopartikel, Uji iritasi kulit, Tabir surya, Faktor pelindung surya (FPS).

Formulation of Sunscreen Dosage Form Using Nanoparticle Broilers Eggshell


Abstract
This research aims is to use eggshell a waste product as an active ingredients of sunscreen by reducing its particle
size and to develop sunscreen preparation with a high Sun Protection Factor (SPF). The research begin with
reducing the particle size of eggshell through wet milling proses using tumbler ballmill followed with sonication to
produce a suspension of nanoparticle eggshell. Nanoparticles eggshell obtained were characterized based on its
particle size, polidispersity index, and morphology using SEM. The eggshell powder, either in the micro or nano
size were formulated into cream dosage form using oil in water base type consist of stearic acid, triethanoamine,
lanolin, and cetostearyl alcohol. The formulated creams were evaluated pharmaceutically and its safety through
irritation test on rabbit skin and eye, followed with in vivo determination of its sun protection effect in the rabbit.
Results showed that the nanoparticle size obtained through sonication method was 453.8725.63 nm with
polydispersity index of 0.160.04. The cream formula that meet with pharmaceutical requirement consist of 5 and 8
% of eggshell nanoparticle in base containing 1% lanolin, 2% cetostearyl alcohol, 8% stearic acid and 1,6%
triethanolamine. Through skin irritation test, the cream contained 8% of eggshell nanoparticle has mild category of
irritation potency with PII (Primary Irritation Index) of 0.58. While irritation test on the eye has no effect. On in
vivo assay, the cream contained 5 and 8 % of nanoparticle eggshell showed SPF value of 3.44 and 4.30,
respectively, while the cream contained 8% of microparticel of eggshell showed smaller SPF value (2.71). Based on
this study, it can be concluded that reduction of particle size of eggshell into nanosize could increase the SPF value
of sunscreen preparation.
Keywords: Sunscreen, Eggshell, Nanoparticle, Irritation test, Sun protective factor (SPF).
gelombang 300-400 nm, yang dikenal sebagai sinar
ultraviolet. Sinar ultra violet yang dipancarkan oleh
matahari terbagi menjadi dua daerah, yaitu daerah

1. Pendahuluan
Spektrum sinar matahari memancarkan
sejumlah energi tertentu pada rentang panjang
89

90 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2012, Vol. 17 Nomor 3

UV A dengan rentang panjang gelombang 320-400


nm dan daerah UVB pada rentang 290-320 nm (Lowe
dkk.,1990).
Pemaparan sinar matahari berlebihan dapat
membahayakan kulit manusia, karena kerusakan kulit
dapat terjadi segera setelah pemaparan, yaitu berupa
eritema atau kulit terbakar yang merupakan gejala
terjadinya degradasi sel dan jaringan. Kerusakan kulit
yang terjadi dalam pemaparan jangka panjang akan
memberikan efek yang bersifat kumulatif akibat
pemamparan sinar matahari berlebihan dalam jangka
waktu tertentu, antara lain adalah penuaan dini kulit
dan kemungkinan kanker kulit (Lowe dkk., 1990).
Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar
UV, maka diperlukan perlindungan terhadap sinar
UV. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke
dalam kulit adalah dengan menggunakan tabir surya.
Indonesia sebagai negara tropis dengan pemamparan
sinar matahari yang cukup tinggi sangat
membutuhkan sediaan kosmetik yang berperan
sebagai tabir surya.
Mekanisme sediaan tabir surya dibedakan atas
dua kelompok, yaitu kelompok tabir surya kimia
yang bekerja menyerap sinar UV, dan kelompok
pemblok fisik (tabir surya yang bekerja secara fisik).
Tabir surya pemblok fisik bekerja dengan cara
memantulkan atau membelokkan radiasi UV.
Tabir surya fisik pada umumnya merupakan
senyawa anorganik yang terbukti dapat memberikan
manfaat mencegah terjadinya kerusakan kulit akibat
radiasi sinar matahari. Akan tetapi, formulasi
senyawa anorganik ini pada umumnya bersifat
opaque, karena ukuran partikel serbuk akan
mempengaruhi penampilan kulit pada saat dipakai.
Bentuk nanopartikel pemblok fisik yang telah
ada seperti TiO2 dan ZnO
memberikan hasil
formulasi tabir surya yang transparan, sehingga
dapat diterima dengan lebih baik sebagai kosmetik.
Ukuran partikel bahan pemblok fisik yang sangat
halus memungkinkan sediaan ini dapat berperan juga
sebagai tabir surya dengan mekanisme mengabsorpsi
sinar UV (Newmann dkk., 2009). Akan tetapi,
sediaan tabir surya dengan bahan aktif TiO2 dan ZnO
dalam bentuk nanopartikel pada umumnya memiliki
harga jual yang tinggi, sehingga tidak terjangkau
oleh masyarakat tingkat ekonomi bawah. Oleh karena
itu perlu dicari alternatif bahan baku tabir surya
sebagai pemblok secara fisik dari bahan selain TiO2
dan ZnO yang harga jualnya memungkinkan untuk
dijangkau oleh masyarakat ekonomi bawah.
Sampai saat ini belum ada sediaan yang
menjadikan cangkang telur sebagai tabir surya.
Cangkang telur merupakan limbah rumah tangga
yang pemanfaatannya belum maksimal. Penggunaan
cangkang telur yang telah dihaluskan sebagai tabir
surya diharapkan dapat membaurkan atau
memantulkan radiasi sinar UV.
Tujuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan
cangkang telur yang merupakan limbah produksi
menjadi bahan aktif sediaan tabir surya disertai

reduksi ukuran partikel dan pengembangan formula


sediaan tersebut untuk meningkatkan harga FPS
sediaan tabir surya berdasarkan penentuan FPS
sediaan tabir surya secara in vivo.
2. Bahan dan Metode Penelitian
2.1 Bahan dan alat
Cangkang telur ayam broiler (yang didapat
dari pabrik brownies kukus Amanda), asam klorida
teknis, Tween 80 teknis, natrium lauril sulfat,
setostearil alkohol, asam stearat, TEA, lanolin, Span
80, VCO (Virgin Coconut Oil) yang diperoleh dari
SITH ITB, propilen glikol, PVP K-21, metil paraben,
propil paraben, vitamin E asetat, aquadest, dan
titanium dioksida. Alat-alat yang digunakan adalah
cutting mill (Retsch tipe SM-1), mortar grinders
(Retsch, tipe RM100), ballmill tumbler (Retsch),
pengayak otomatis (Retsch), oven (Binder), probe
sonicator (Vibra cell), particle size analyser (delsaTM
Nano C, Beckmen Coulter), Lampu UV B (SMART),
bath sonicator (Branson tipe 5510), ultraturax T25
(Janke & Kunkle, IKA labortechnik), timbangan
analitik (Toledo), viskometer brookfield tipe DV-I,
pH meter (Beckmann), penangas air, alat cukur
(WAHL), dan alat-alat lain yang biasa digunakan di
laboratorium.
2.2 Hewan dan bahan baku percobaan
Hewan yang digunakan adalah kelinci albino
jantan galur New Zealand, dengan bobot badan
minimal 2 kg.
Bahan baku yang digunakan adalah cangkang
telur ayam broiler. Penyiapan cangkang telur diawali
dengan pencucian dan pengeringan, kemudian
pemotongan untuk mendapatkan ukuran yang
seragam,
dilanjutkan
dengan
perendaman
menggunakan asam klorida 5% untuk menghilangkan
senyawa organik, penetralan asam dengan cara
pencucian menggunakan air mengalir dan diakhiri
dengan pengeringan.
2.3 Pembuatan nanopartikel cangkang telur (CT)
Pembuatan nanopartikel CT dilakukan dalam
beberapa tahap, yaitu pemotongan menggunakan
cutting mill, dan penggerusan menggunakan mortar
grinders. Serbuk hasil penggerusan kemudian diayak
untuk memisahkan partikel yang berukuran kurang
dari 100 m. Partikel dengan ukuran kurang dari 100
m dibuat suspensi dalam larutan Tween 80 1%
dengan konsentrasi partikel cangkang telur 50%,
kemudian dilakukan penggerusan menggunakan
tumbler ballmill. Suspensi cangkang telur hasil
penggilingan kemudian dikeringkan dalam oven.
Serbuk kering yang diperoleh kemudian disuspensikan dalam larutan Tween 80 1% dengan kosentrasi
10% untuk selanjutnya dibuat nanosuspensi
menggunakan metode sonikasi. Nanosuspensi yang
diperoleh dievaluasi meliputi ukuran partikel, indeks
polidispersitas, dan morfologi partikel menggunakan
SEM.

Gadri dkk., Formulasi Sediaan Tabir Surya dengan Bahan Aktif Nanopartikel Cangkang Telur Ayam Broiler

2.4 Formulasi dan uji keamanan sediaan tabir surya


Dalam pengembangan formulasi sediaan tabir
surya ini digunakan beberapa variasi emulgator, yaitu
natrium lauril sulfat dan setostearil alkohol dengan
perbandingan 1:9, asam stearat dan TEA dengan
perbandingan 1:0,2, serta tween 80 dan span 80
dengan perbandingan 9,36:0,64. Sediaan yang dibuat
kemudian dievaluasi karakteristik fisiknya, meliputi
viskositas, pH serta perubahan organoleptisnya
seperti perubahan warna, bau, timbulnya jamur serta
dievaluasi stabilitas fisiknya dengan metode
freezethaw.
Uji keamanan sediaan dilakukan secara in
vivo terhadap kulit punggung dan mata kelinci albino
jantan galur New Zealand. Pengujian dilakukan
terhadap tiga ekor kelinci, kemudian dihitung skor
indeks iritasi kutan primer dan indeks iritasi okular
untuk menentukan tingkat iritasi setiap formula.
2.5 Uji aktivitas tabir surya
Sediaan tabir surya yang tidak mengiritasi,
yaitu yang memilliki nilai indeks iritasi primer
kurang dari satu, selanjutnya ditentukan aktivitas
pelindung suryanya secara in vivo pada kelinci labino
jantan galur New Zealand, dengan menggunakan
lampu UV B sebagai sumber radiasi. Kelinci yang
akan digunakan terlebih dahulu dibersihkan dari bulu,
kemudian ditandai seluas 2x2 cm2. Dua puluh empat
jam setelah penyinaran, diamati ada atau tidaknya
eritema pada bagian yang disinar. Faktor pelindung
surya merupakan perbandingan nilai Minimal
Erythemal Dose (MED) setelah diberi sediaan tabir
surya dengan nilai MED sebelum diberi sediaan tabir
surya.
3. Hasil dan Diskusi
Bahan anorganik merupakan bahan tabir surya
fisik yang dapat memblok radiasi ultraviolet dalam
rentang panjang gelombang yang lebih luas
dibanding tabir surya kimia. Kekurangan dari bahan
ini adalah penampilannya yang tidak transparan saat
diaplikasikan di permukaan kulit. Pengecilan ukuran
partikel bahan anorganik tersebut dapat memperbaiki
penampilan yaitu dengan lebih transparan pada saat
penggunaan dipermukaan kulit. Nanopartikel TiO2
dan ZnO memberikan transparansi yang baik pada
formulasi sediaan tabirsuryanya (Cross dkk., 2006)
Cangkang telur tersusun dari lapisan kutikula,
lapisan stratum, dan lapisan membran kutikula
dengan beberapa lubang kecil yang disebut kanal pori
pada kulit untuk pertukaran masuknya udara dan
kelembaban, tetapi bersifat tidak larut dalam air.
Keseluruhan lapisan mengandung 95% zat anorganik
(kalsium karbonat), 3,3% protein, dan 1,6% air
lembab. Lapisan membran dalam, terdiri dari 70 %
senyawa organik, 10 % senyawa anorganik, dan 20 %
air (Davis dkk., 2002).

91

Protein yang terkandung dalam cangkang telur


sebanyak 3,3% berpotensi menyebabkan reaksi alergi
jika cangkang telur diaplikasikan dalam sediaan tabir
surya, sehingga dilakukan penghilangan protein dari
cangkang telur. Proses reduksi kandungan senyawa
anorganik dilakukan dengan cara perendaman
cangkang telur selama 24 jam dalam asam klorida 5%
dengan perbandingan 1:1. Penetapan efektivitas
reduksi kandungan senyawa organik didasarkan pada
peningkatan kadar CaCO3 dalam cangkang telur hasil
perendaman (Supriyadi, 2011). Diperoleh penurunan
kandungan senyawa organik sebesar 51,82%, setelah
proses perendaman cangkang dalam HCl 5% selama
24 jam.
Serbuk cangkang telur yang diperoleh dari
hasil penggilingan basah menggunakan ballmill
dilanjutkan reduksi ukuran partikelnya dengan
metode sonikasi. Kelebihan
metode ini dapat
menghasilkan produk yang relatif lebih bebas dari
kontaminan yang berasal dari alat. Sonikator yang
digunakan adalah jenis probe yang dapat
menghasilkan panas. Saat proses sonikasi
berlangsung mikrosuspensi meningkat suhunya,
menyebabkan energy collapsed turun, sehingga
proses nanonisasi kurang efektif (Gupta dan
Kompella, 2006). Untuk menghindari pemanasan
berlebih, alat dilengkapi dengan sistem pendingin
berupa air dingin yang mengalir secara terus menerus
melalui wadah mikrosuspensi (Supriyadi, 2011).
Cangkang telur yang akan disonikasi
disiapkan dalam bentuk suspensi dengan konsentrasi
10% dalam pembawa larutan Tween 80 1% sebagai
stabilisator. Tween 80 merupakan stabilisator sterik
karena sifatnya yang non ionik. Proses sonikasi
dilakukan selama 60 menit dengan frekuensi 12KHz.
Proses sonikasi menghasilkan nanopartikel cangkang
telur dengan rata-rata ukuran 453,8725,63 nm.
Pengecilan ukuran partikel suatu bahan tabir surya
hingga lebih kecil dari 100 nm dapat menyebabkan
perubahan dalam mekanisme kerjanya. suatu bahan
tabir surya fisik dapat memiliki mekanisme
kombinasi antara tabir surya fisik dan kimia
perubahan ini disebabkan oleh adanya mobilisasi dan
transisi elektron dari satu bagian molekul ke bagian
yang lain (Wolf dkk., 2001). Akan tetapi hasil
pengecilan
ukuran
yang
dilakukan
tidak
menghasilkan ukuran partikel dibawah 100 nm,
sehingga tidak terjadi perubahan mekanisme kerja
bahan. Gambar 1 menunjukkan perbandingan ukuran
partikel cangkang telur pada setiap tahapan.
Untuk mempermudah penyimpanan dan
meningkatkan stabilitas bahan baku, dilakukan
pengeringan suspensi dispersi nanopartikel cangkang
telur dengan metode kering beku. Hasil karakterisasi
serbuk kering beku nanopartikel cangkang telur dapat
dilihat pada Tabel 1.

92 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2012, Vol. 17 Nomor 3

(c)
(a)
(b)
Gambar 1. Hasil pemeriksaan serbuk cangkang telur dalam beberapa tahap proses menggunakan SEM dengan
perbesaran 100 kali. Proses reduksi berukuran < 100 m (a); proses Ballmill (b); proses sonikasi (c).
Tabel 1. Hasil karakterisasi serbuk kering beku
nanopartikel cangkang telur.
Karakteristik
Organoleptis
Kadar air (%b/b)
Ukuran partikel (nm)

Hasil
Putih kecoklatan, hampir
tidak berbau
1,75 0,08
453,97 25,63

Hasil foto SEM terhadap serbuk kering beku


dan hasil redispersi dengan 45 menit sonikasi
menggunakan bath sonication, menunjukkan hasil
pada Gambar 2 sebagai berikut :

Berdasarkan gambar foto SEM pada Gambar 2


dapat terlihat proses sonikasi selama 45 menit dapat
memecahkan agregat nanokristal yang terbentuk pada
proses kering beku.
Agregasi terjadi akibat peningkatan energi
bebas permukaan partikel, sehingga partikel
cenderung saling berinteraksi yang menyebabkan
perubahan partikel (Sinko, 2006). Larutan Tween 80
1% yang digunakan sebagai media pendispersi
berfungsi sebagai stabilisator sterik dan menghambat
penggabungan antar partikel untuk mencegah
tumbuhnya aggregat (Shi, 2002).
Basis krim dibuat dengan metode pelelehan
menggunakan VCO sebagai fase minyak. Sebagai
emulgator digunakan berbagai kombinasi bahan
antara lain natrium lauril sulfat dan setostearil
alkohol, asam stearat dan TEA, Tween 80, dan Span
80.
Tabel 3. Orientasi formula basis sediaan tabir surya.
Nama zat

(a)

(b)
Gambar 2. Foto SEM perbesaran 5000x nanopartikel
CT. Setelah proses kering beku (a); setelah proses
redispersi (b).

Jumlah zat dalam


formula (%b/b)
F1
F2
F3

VCO
31
31
31
Natrium lauril sulfat
9
Setostearil alkohol
1
1
Lanolin
2
Asam stearat
8
TEA
1,6
Tween 80
9,36
Span 80
0,64
PVP
2
2
Aquadest ad
100
100
100
Keterangan : F1 = emulgel; F2 = krim; F3 = emulgel
Fase air dan fase minyak dipanaskan sampai
suhu 70oC, kemudian diaduk menggunakan ultraturax
dengan kecepatan 9600 ppm selama 25 menit.
Sediaan emulgel dibuat dengan metode triturasi, yaitu
mencampurkan basis krim dengan larutan PVP 40%
pada suhu 40oC untuk mendapatkan emulgel yang
mengandung 2% PVP.
Sediaan yang telah dibuat kemudian diuji
stabilitasnya terhadap temperatur penyimpanan
ekstrem dengan metode uji freeze-thaw. Suatu sistem

Gadri dkk., Formulasi Sediaan Tabir Surya dengan Bahan Aktif Nanopartikel Cangkang Telur Ayam Broiler

emulsi dapat mengalami ketidakstabilan fisik yang


bersifat reversibel (creaming dan flokulasi) maupun
irreversibel
(koalesen
dan
inversi
fase).
Ketidakstabilan yang bersifat reversibel dapat
kembali ke keadaan awal dengan sedikit agitasi.
Sedangkan ketidak stabilan berupa koalesen dan
inversi fase dapat berakhir dengan pemisahan fase
(Eccleston, 2007). Hasil yang diperoleh dari uji
freeze-thaw menunjukkan formula basis F1 dan F2
memilki stabilitas fisik yang baik, sedangkan formula
basis F3 menunjukkan terjadinya pemisahan fase
pada siklus freeze-thaw ke dua. Berdasarkan hasil uji
freeze-thaw tersebut maka dipilih formula F1 dan F2
untuk dikembangkan menjadi sediaan tabir surya
dengan penambahan serbuk nanopartikel cangkang
telur.

93

Uji stabilitas dipercepat dilakukan terhadap


keempat formula yang dibuat, dengan menyimpan
sediaan di dalam climatic chamber pada suhu 40oC
selama 28 hari. Pengamatan terhadap ada atau
tidaknya pemisahan fase, viskositas dan pH
dilakukan pada hari ke- 1, 7, 14, 21, dan 28. Hasil uji
stabilitas dipercepat sediaan tertera dalam Gambar 3
dan 4 sebagai berikut :

Tabel 4. Formulasi sediaan tabir surya cangkang


telur.
Jumlah zat dalam
formula (%b/b)

Nama Zat
VCO
Natrium lauril
sulfat
Setostearil
alkohol
Lanolin
Asam stearat
TEA
PVP
Serbuk
cangkang telur
Metil paraben
Propil paraben
Vitamin E
asetat
Aquadest ad

Gambar 3. pH krim F1A dan F1B pada uji stabilitas


dipercepat ( = F1A, = F1B).

F1A

F1B

F2A

F2B

31

31

31

31

1
2

1
2

1
2
8
1,6
-

1
2
8
1,6
-

5
0,18
0,02

8
0,18
0,02

5
0,18
0,02

8
0,18
0,02

Gambar 4. Viskositas krim F1A dan F1B pada uji


stabilitas dipercepat (= F1A, = F1B).

0,01
100

0,01
100

0,01
100

0,01
100

Hasil uji stabilitas sediaan F2A dan F2B yang


meliputi evaluasi terhadap pH dan viskositas sediaan
dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Sediaan F1A dan F1B adalah sediaan dalam


bentuk emulgel, yang merupakan sediaan setengah
padat dan dapat berupa emulsi minyak dalam air atau
emulsi air dalam minyak dimana viskositas
ditingkatkan dengan penambahan gelling agent,
sediaan ini dapat meningkatkan kenyamanan pada
saat digunakan karena sediaan ini memberikan
keunggulan emulsi dan gel sekaligus (Mohammed,
2004).
Sediaan F2A dan F2B adalah sediaan krim air
minyak dalam air, dengan emulgator in situ asam
stearat dan TEA yang akan membentuk TEA-Stearat
dalam sediaan. Penambahan lanolin dalam sediaan
dapat meringankan efek iritasi TEA-Stearat,
sedangkan setostearil alkohol berguna untuk
meningkatkan viskositas sediaan sehingga lebih
stabil.

Gambar 5. pH krim F2A dan F2B hasil uji stabilitas


dipercepat ( = F2A, = F2B).

94 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2012, Vol. 17 Nomor 3

jumlah CaCO3 yang terlarut tidak bertambah. Nilai


pH F2A dan F2B terjadi peningkatan pada
penyimpanan disuhu 40oC akan tetapi tidak ada
perbedaan yang signifikan antara F2A dan F2B
meskipun jumlah cangkang telur yang ditambahkan
pada F2B satu setengah kali lipat lebih besar dari
F2A. Hal ini menunjukkan kelarutan jenuh CaCO3
telah tercapai pada konsentrasi cangkang telur 5%,
sehingga penambahan jumlah cangkang telur tidak
meningkatkan pH secara signifikan.
Viskositas sediaan selama uji stabilitas
dipercepat tidak mengalami perubahan yang
signifikan pada F1A dan F1B, hal ini menunjukkan
sediaan dalam kondisi stabil selama penyimpanan.
Viskositas F2A dan F2B mengalami penurunan pada
penyimpanan disuhu 40oC, akan tetapi tidak terjadi
pemisahan fase selama 28 hari penyimpanan disuhu
tersebut.
Pengujian keamanan emulgel dan krim
dievaluasi dengan uji iritasi pada mata dan kulit
punggung kelinci. Untuk menilai efek iritasi suatu
sediaan topikal atau kosmetik pada kulit digunakan
skor penilaian berdasarkan pedoman skor iritasi
OECD dan Draize (Hayes, 2001). Hasil pengamatan
uji iritasi pada kulit punggung kelinci ditunjukkan
pada Tabel 5.

Gambar 6. Hasil evaluasi viskositas uji stabilitas


dipercepat F2A dan F2B ( = F2A, = F2B).
Pada Gambar 6 dapat dilihat pH sediaan
cenderung diatas pH basis, yaitu 6,19 untuk F1 dan
6,53 untuk F2. Hal ini disebabkan karena CaCO3
yang terdapat dalam cangkang telur terlarut dalam air
sebagai fase luar sediaan menjadi Ca(OH)2 yang
bersifat basa sehingga pH sediaan lebih tinggi
dibandingkan pH basis. Pada gambar tersebut terlihat
bahwa selama penyimpanan pada suhu 40oC selama
20 hari tidak terjadi perubahan pH yang signifikan
pada F1A dan F1B. Hal ini disebabkan karena jumlah
CaCO3 yang terlarut dalam fase air sudah jenuh,
sehingga walaupun disimpan di atas suhu kamar
Tabel 5. Hasil pengujian efek iritasi pada kulit.

Formula
F1A

F1B
Basis F1

Kelinci

Waktu
pengamatan
(jam)
24
48
72
24
48
72
24

1
Udem
0
1
0
0
1
0
0

Eritema
2
3
2
2
3
2
2

2
Udem
0
2
0
0
2
2
0

Eritema
1,5
3
1
1,5
3
2
1

3
Udem
0
0
0
0
0
0
0

Eritema
2
3
2
2
3
2
2

48
0
2
0
1
0
72
0
2
0
0
0
F2B
24
0
2
0
1
0
48
0
1
0
1
0
72
0
1
0
0
0
F2P
24
0
2
0
1
0
48
0
1
0
1
0
72
0
1
0
0
0
Keterangan : 0 : tidak ada; 1 : tidak tampak jelas; 2: tampak jelas; 3: sedang sampai kuat
Nilai indeks iritasi primer diperoleh dengan
menjumlahkan nilai eritema dan edema. Perhitungan
indeks iritasi primer dilakukan dengan menghitung
rata-rata skor eritema dari ketiga kelinci kemudian
dilakukan rata-rata dari pengamatan 24 dan 72 jam.
Hasil rata-rata terakhir merupakan nilai indeks iritasi
primer. Nilai indeks iritasi primer yang diperoleh
sebesar 1,42 untuk formula F1A; 1,11 untuk formula

2
2
2
1
1
2
1
1

Indeks iritasi
primer
(OECD)
1,42

1,11
0,83

0,58
0,58

F1B, dan 0,83 untuk basis. Pengelompokan nilai


indeks iritasi primer adalah sebagai berikut : antara 0
sampai 1 hampir tidak mengiritasi, 1 sampai 2
menunjukkan iritasi ringan, 2 sampai 5 menunjukkan
iritasi sedang, dan di atas 5 menunjukkan iritasi berat.
Nilai indeks iritasi primer untuk F1A dan F1B yang
diperoleh termasuk dalam iritasi ringan.

Gadri dkk., Formulasi Sediaan Tabir Surya dengan Bahan Aktif Nanopartikel Cangkang Telur Ayam Broiler

Pengujian iritasi juga dilakukan terhadap


formula F2B yang merupakan formula dengan
konsentrasi cangkang telur terbesar serta F2P yaitu
formula F2 dengan penambahan pembanding tabir
surya fisik TiO2 sebanyak 10%. Tidak dilakukan
pengujian terhadap F2A sebab telah terwakili oleh
F2B yang mengandung konsentrasi CT lebih tinggi.
Hasil uji iritasi yang diperoleh F2B dan F2P
menghasilkan indeks iritasi primer 0,58 yang berarti
sediaan hampir tidak mengiritasi.
Evaluasi uji iritasi okular menunjukkan bahwa
sediaan F2A dan F2B serta sediaan pembanding F2P
tidak menimbulkan iritasi pada mata. Uji iritasi
sediaan F2B dan F2P kemudian dilanjutkan dengan
uji iritasi terhadap mata kelinci meliputi pengamatan
terhadap kornea, iris dan konjungtiva. Hasil yang
diperoleh ditunjukkan pada Tabel 6.

Pengujian pada kulit punggung kelinci


menunjukkan terjadinya iritasi ringan pada
pemakaian sediaan F1A dan F1B. Hal ini disebabkan
oleh penggunaan natrium lauril sulfat, seperti yang
diketahui merupakan surfaktan anionik. Surfaktan
yang kontak dengan kulit akan berinteraksi dengan
berbagai mekanisme yaitu berikatan dengan protein
permukaan kulit, mendenaturasi protein permukaan
kulit, kemudian melarutkan atau mengubah tatanan
lipid interselular kulit, berpenetrasi melalui barier
lipid epidermis, dan selanjutnya dapat berinteraksi
dengan sel-sel hidup pada lapisan kulit dermis.
Seluruh mekanisme tersebut dapat menyebabkan
terjadinya iritasi, akan tetapi secara perlahan-lahan
efek iritasi menghilang karena berkurangnya
konsentrasi zat iritan pada kulit.
Tabel 6. Hasil uji iritasi mata.
Kornea
Formula
F2A

Jam ke24

48

72

F2B

24

48

72

F2P

24

48

72

Kelinci

Derajat
opasitas

95

Konjungtiva

Luas
Opasistas

Iris

Eritema

Udem

Eskresi Air
Mata

Catatan: kemerahan pada kornea dan konjungtiva terjadi pada 1 jam setelah pemakaian sediaan pada mata

96 Jurnal Matematika & Sains, Desember 2012, Vol. 17 Nomor 3

Berdasarkan hasil uji iritasi kulit dan okular


terhadap semua formula, maka diputuskan formula
yang dapat dilanjutkan untuk diuji FPS secara in vivo
adalah formula yang hampir tidak mengiritasi yaitu
formula F2A dan F2B. Pengujian aktivitas tabir surya
secara in vivo dilakukan terhadap kulit hewan
percobaan menggunakan sumber radiasi lampu UV B

dengan panjang gelombang 310-315 nm. Tahap


pertama dalam pengujian FPS adalah penentuan
Minimum Erythema Dose (MED). Hasil orientasi
MED menghasilkan energi minimal sinar UV dalam
menimbulkan eritema pada kulit, data yang diperoleh
dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil orientasi MED.


Kelinci 1 (area)
1
2

Kelinci 2 (area)
1
2

Kelinci 3(area)
1
2

Waktu
(detik)

irradiasi (I)
(mW/cm2)

Energi
(J/cm2)

240

3,606

0,87

300

3,606

1,08

420

3,606

1,51

Keterangan; + : timbul eritema; - :tidak timbul eritema


Dari data pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa
energi minimal yang menghasilkan eritema pada
ketiga ekor kelinci adalah 1,51 J/cm2.
Aktivitas tabir surya dinyatakan dengan suatu
nilai yang menyatakan kemamouan sediaan untuk
melindungi kulit dari radiasi sinar ultraviolet dan
disebut Faktor Pelindung Surya (FPS). Nilai ini

diperoleh dari perbandingan banyaknya energi yang


diperlukan untuk mengasilkan eritema minimal atau
DEM (Dosis Eritema Minimal) pada lapisan kulit
yang diberi sediaan pelindung surya terhadap kulit
yang tidak diberi sediaan tersebut (Stanfield dan
Joseph, 2003).

Tabel 8. Hasil uji FPS in vivo.


Sampel

Kelinci
1,51

F2

F2P

F2An

F2Bn

F2Bm

STD6

K1

Energi Penyinaran (J/cm2)


1,95
2,60
3,25
4,11
0

FPS
5,19

6,49

8,22

K2

K3

K1

K2

K3

K1

K2

K3

K1

K2

K3

K1

K2

K3

K1

K2

K3

Keterangan;
+ : timbul eritema
- : tidak timbul eritema
0 : penyinaran tidak
dilanjutkan

F2: basis krim F2


F2P: krim mengandung 10% TiO2
F2An: sediaan krim yang mengandung 5%
nanopartikel

1,00

4,30

3,44

4,30

2,71

5,44

F2Bn : krim mengandung 8%


nanopartikel
F2Bm: sediaan krim yang
mengandung 8% mikropartikel
STD 6 : Standar FPS 6

Gadri dkk., Formulasi Sediaan Tabir Surya dengan Bahan Aktif Nanopartikel Cangkang Telur Ayam Broiler

Penentuan aktivitas tabir surya pada formula


krim nanopartikel dan mikropartikel cangkang telur,
formula krim TiO2 10% dan sediaan standar FPS 6
(STD6), memberikan hasil seperti ditampilkan pada
Tabel 8.
Formula basis F2 tidak menunjukkan
perlindungan terhadap sinar UV. Hal ini dapat dilihat
dari nilai FPS nya, yaitu 1 yang artinya sama dengan
MED. Formula F2An, yaitu sediaan krim tabir surya
yang mengandung 5% nanopartikel cangkang telur
memberikan nilai FPS 3,44 sedangkan F2Bn yang
yang mengandung 8% nanopartikel cangkang telur
memberikan nilai FPS 4,33. Berdasarkan kategori
FDA, sediaan tabir surya yang mengandung 8%
nanopartikel cangkang telur termasuk dalam kategori
tabirsurya dengan perlindungan moderat yang cocok
untuk jenis kulit tipe III, yaitu kulit yang agak mudah
terbakar serta menjadi coklat secara bertahap jika
terpapar sinar matahari (Murphy, 1990). Pengecilan
ukuran partikel terbukti dapat meningkatkan aktivitas
tabir surya dilihat dari peningkatan nilai FPS pada
F2Bn dibandingkan dengan F2Bm.
Sediaan Std6, yaitu sediaan standar yang telah
diuji terhadap manusia memiliki FPS 6 memberikan
nilai FPS 5,44 terhadap kelinci. Hal ini menunjukkan
bahwa pengujian FPS secara in vivo menggunakan
kelinci albino dapat menggambarkan perkiraan nilai
FPS sediaan pada manusia.
4. Kesimpulan
Formula sediaan krim yang terdiri atas 1%
lanolin, 2% setostearil alkohol, 8% asam stearat dan
1,6% triethanolamin, dengan bahan aktif 5 dan 8%
nanopartikel cangkang telur yang ditambahkan dalam
bentuk terdispersi dalam larutan Tween 80 1%,
memiliki stabilitas fisik yang baik berdasarkan uji
stabilitas dipercepat selama 28 hari. Hasil uji iritasi
kulit menunjukkan sediaan mengiritasi ringan dengan
nilai indeks iritasi primer yang diperoleh sebesar 0,58
untuk formula yang mengandung 8% nanopartikel
cangkang telur dan 10% titanium dioksida.
Nilai FPS sediaan yang mengandung 5 dan 8
% nanopartikel cangkang telur berturut turut adalah
3,44 dan 4,30. Nilai FPS sediaan yang mengandung
serbuk cangkang telur dalam bentuk nanopartikel
menghasilkan nilai FPS yang lebih tinggi
dibandingkan sediaan yang mengandung serbuk
cangkang telur dalam bentuk mikropartikel pada
konsentrasi 8%.
Daftar Pustaka
Cross, S. E., B. Innes, S. R. Roberts, T. Tsuzuki, T.
A. Robertson, and P. McCormick, 2006,
Human Skin Penetration of Sunscreen

97

Nanoparticles: In vitro Assesment of Novel


Micronized Zinc Oxide Formulation, Skin
Pharmacol Physiol 2007:20, 148-154.
Davis, C. and R. Reg, 2002, High Value
Opportunitues From The Chicken Egg,
Rural Industries Research and Development
Corporation, 30 31.
Eccleston,
G.
M.,
2007,
Emulsion
and
Microemulsion
in
Encyclopedia
of
Pharmaceutical Technology, 3rded., Informa
Health Care, NewYork, 1548-1559.
Gupta, G. B. and U. B. Kompella, 2006,
Nanoparticle Technology for Drug Delivery,
Taylor and Francis Group, London.
Hayes, A. W., 2001, Principles and Methods of
Toxicology, 4th ed., Taylor and Francis,
Philadelphia.
Lowe, J., Nicholas and N. A. Shaath, 1990,
Sunscreens, New York : Marcel Dekker Inc.
Mohammed, M. I., 2004, Optimization of
Chlorphenesin Emulgel Formulation, The
AAPS Journal 4, 6:3 Article 26 (di unduh
dari http://www.aapsj.org pada tanggal 20
Maret 2011).
Murphy, E. G., Regulatory Aspects of Sunscreen in
United Stated in N. J. Lowe and N. A.
Shaath
(Eds.),
1990,
Sunscreens
Development, Evaluation, and Regulatory
Aspects, Marcel Dekker Inc., New York.
Newmann, M. D., M. Stotland, and J. I. Ellis, 2009,
The Safety of Nanosized Particles in
Titanium Dioxide and Zinc Oxide-Based
Sunscreen, J.Am.Acad. Dermatol, 61:4, 687692.
Shi, J., 2002, Steric Stabilization, Literature Review,
Center for Industrial Sensors and
Measurements
Department
Materials
Science & Engineering Group Inorganic
Materials Science, USA.
Sinko, P. J., 2006, Martins Physical Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences, 5th ed., Lippincot
Williams & Wilkins, Philadelphia.
Stanfield and W. Joseph, 2003, Sun Protectants;
Enhancing Product Functionality with
Sunscreen in Multifunctional Cosmetics,
Marcell Dekker, Inc. New York, 145-157.
Supriyadi, D., 2011, Pembuatan Nanopartikel
Cangkang Telur Menggunakan Metode
Sonikasi, Tesis, Program Pasca Sarjana
Sekolah Farmasi ITB, 24-26.
Wolf, R., D. Wolf , P. Morganti, and V. Ruoco, 2001,
Sunscreen, Clinics in Dermatology, 19, 452459.

Anda mungkin juga menyukai