PASCA UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Slamet Budiharjo - Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang ABSTRAK Perjanjian jual beli dengan menggunakan metode ecommerce merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah, meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mengatur secara jelas dan tegas tidak berbelit-belit (eksplisit). Tanggung gugat debitur bila terjadi wanprestasi dapat dilakukan ganti rugi, pembatalan, pemecahan perjanjian, dan peralihan resiko dan membayar biaya perkara. Hal tersebut dapat dilakukan karena kontrak ini sah menurut KUH Perdata buku III (BW), sehingga upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu membuat persamaan arti atau maksud berdasarkan perbandingan kata-kata (analogi) yang sama seperti terjadi wanprestasi dalam kontrak jual beli konvensional. Kata Kunci: Hukum Waris, Pluralistik, Kodifikasi Parsial. A. Pendahuluan Aplikasi internet saat ini telah memasuki berbagai segmen aktivitas manusia, baik dalam sektor politik, sosial, budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Bagi orang awam atau kurang memahami cara kerja internet, mereka akan menyimpulkan bahwa berinternet adalah suatu pemborosan ekonomi, karena mereka hanya mengukur besarnya biaya yang harus dikeluarkan selama berkoneksi dengan internet. Lain halnya dengan mereka yang sudah paham betul terhadap kegunaan internet, pastilah mereka merasa dimanjakan dengan kebebasan berinteraktif serta berkomunikasi tanpa batasan jarak dan waktu karena setiap orang akan bisa mengetahui informasi di seluruh penjuru dunia. Yang paling menarik di dalam internet, yaitu orang bisa mendapatkan
132
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
fasilitas tertentu secara gratis untuk berkreasi, bertransaksi,
mengadakan usaha atau bisnis dan lain-lain yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan secara elektronik melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu business to business e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer ecommerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen). Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan munculnya situs http://www.sanur.com sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi, namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi (www.solusihukum.com, 2004). Segmen business to business e-commerce memang lebih mendominasi pasar karena nilai transaksinya yang tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar tersendiri yang potensial. Dalam perdagangan antar pelaku usaha, konsumen memiliki tempat pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran atau tawar-menawar barang dan jasa (bargaining position) yang lebih baik dibanding dengan perdagangan konvensional, karena konsumen memperoleh informasi yang beragam dan mendetail. Melalui internet konsumen dapat memperoleh aneka informasi barang dan jasa dari berbagai toko dalam berbagai variasi merek lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan beberapa toko juga memberikan fasilitas pelayanan yang memungkinkan konsumen untuk melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya. Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
133
kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan
jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien. Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan, yang biasanya dengan kartu kredit (Indra, 2007:4). Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan. Dengan metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung dan tidak melihat secara langsung barang yang diinginkan bisa menimbulkan permasalahan yang merugikan konsumen. Sebagai contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen. B. Rumusan Masalah 1) Bagaimana Keabsahan Perjanjian Jual Beli Melalui Internet Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ? 2) Bagaimana Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Jual Beli Melalui Internet ? C. Metode Penelitian Penelitian hukum ini pada pokoknya menggunakan kajian pendekatan secara yuridis normatif dengan UU ITE, ketentuanketentuan dari KUH Perdata, konsep para ahli hukum sebagai basis penelitiannya, serta dilakukan perbandingan hukum dalam rangka untuk memperoleh kaidah hukum yang sesuai pokok permasalahan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara survey kepustakaan atau dokumentasi. Adapun data sekunder yang diteliti meliputi: a. Bahan hukum primer, b. Bahan hukum sekunder, dan c. Bahan hukum tersier.
134
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
Dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul, diperlukan
penelusuran dan pengkajian bahan pustaka dengan mendatangi perpustakaan, warung internet (warnet) sehingga didapati sumber data yang nyata. Data yang telah terkumpul tersebut selanjutnya dianalisa supaya dapat dipergunakan sebagai bahasan yang bersifat deskriptif, yaitu bahasan yang memberi gambaran secara lengkap dan jelas mengenai apa yang menjadi permasalahan dan dibandingkan dengan berbagai teori dan praktek yang ada di lapangan. Penganalisaan data digunakan metode deskriptif komparatif, yaitu mencari pemecahan masalah melaui analisa tentang hubungan sebab-akibat, dengan meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkannya dengan satu faktor yang lain. Dalam menarik suatu kesimpulan, digunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif, yaitu cara pengambilan keputusan dari pembahasan yang bersifat umum menuju ke kesimpulan yang bersifat khusus. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pihak-pihak dalam Transaksi Jual Beli melalui Internet Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui internet. Dalam transaksi jual beli melalui internet, pihakpihak yang terkait antara lain: a. Penjual atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha; b. Pembeli atau konsumen, yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha; c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual, karena pada transaksi jual beli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
135
berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat
dilakukan melalui perantara, dalam hal ini adalah bank; d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet (Hassanah, 2006:6). Pelaksanaan transaksi jual beli melalui internet ini dilakukan tanpa ada tatap muka antara para pihaknya, sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara elektronik pula, baik melalui e-mail atau cara lainnya. Transaksi jual beli yang dilakukan melalui internet tidak mungkin terhenti, bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam dunia internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para pengguna internet tersebut tidak mencukupi, dengan demikian harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum dalam kondisi termaksud. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya tejadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak dibawah ini: a. Business to Business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerjasama antara perusahaan itu; b. Customer to Customer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu dengan individu yang akan saling menjual barang; c. Customer to Business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya; d. Customer to Government, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam pembayaran pajak. Lahirnya UU ITE merupakan sebuah dilema, dan masih banyak kekurangan dalam memberikan kepastian hukum jual beli melalui internet, karena kemajuan teknologi dan industri yang semakin pesat, mau tidak mau berdampak juga bagi negara kita khususnya transaksi elektronik, dengan adanya e-banking, ecommerce, dan transaksi elektronik lainnya.
136
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
Dengan semakin banyaknya transaksi elektronik yang
dilakukan, maka mendorong juga diperlukannya ketentuan hukum yang mengatur mengenai hal tersebut, sehingga para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik, khususnya konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas setiap transaksi elektronik yang dilakukannya. Demikian juga halnya dengan data/dokumen yang dibuat secara elektronik (paperless document) juga membutuhkan adanya kekuatan hukum yang pasti, mengingat selama ini, dokumen/akta, baru dianggap sah apabila ditulis diatas kertas (hitam di atas putih). Mekanisme E-Commerce Transaksi elektronik antara e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya pada umumnya berlangsung secara paperless transaction (transaksi melalui pesan/e-mail), sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document (dokumen kertas), melainkan dokumen elektronik (digital document). Dalam Pasal 19 UU ITE menyebutkan Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati. Yang dimaksud dengan disepakat dalam pasal ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan. Ketentuan di atas memberikan kebebasan kepada para pihak yang bertransaksi jual beli di internet untuk memilih mekanisme transaksi hingga mencapai akhir, yaitu sampainya barang dan harga yang di perjanjikan. Mekanisme transaksi elektronik melalui internet dimulai dengan adanya penawaran suatu produk tertentu oleh penjual (misalnya bertempat kedudukan di USA) di suatu website melalui server yang berada di Indonesia (misalnya www.detik.com). Apabila konsumen Indonesia melakukan pembelian, maka konsumen tersebut akan mengisi order mail yang telah disediakan oleh pihak penjual.
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
137
Kontrak on line dalam e-commerce menurut Santiago
Cavanillas dan A. Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Indra (2007:5), memiliki banyak tipe dan variasi, yaitu : a. Kontrak melalui chatting dan video conference; b. Kontrak melalui e-mail; c. Kontrak melalui web atau situs. Kontrak melalui e-mail adalah salah satu kontrak on line yang sangat populer karena pengguna e-mail saat ini sangat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai subscriber pada server tertentu. Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang atau kepada banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui email. Di samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang memposting penawarannya, sedangkan penerimaannya dilakukan melalui e-mail. Kontrak melalui web dapat dilakukan dengan cara situs web seorang supplier (baik yang berlokasi di server supplier maupun diletakkan pada server pihak ketiga) memiliki diskripsi produk atau jasa, dan satu seri halaman yang bersifat selfcontraction, yaitu dapat digunakan untuk membuat kontrak sendiri, yang memungkinkan pengunjung web untuk memesan produk atau jasa tersebut. Para konsumen harus menyediakan informasi personal dan harus menyertakan nomor kartu kredit. Selanjutnya, mekanismenya adalah sebagai berikut : - Untuk produk on line yang berupa software, pembeli diizinkan untuk download; - Untuk produk yang berwujud fisik, pengiriman barang dilakukan sampai di rumah konsumen; - Untuk pembelian jasa, supplier menyediakan untuk melayani konsumen sesuai dengan waktu dan tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian.
138
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
Sehubungan dengan permasalahan di atas, pada Pasal 20
ayat (1) dan (2) UU ITE telah memberikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim telah diterima dan disetujui Penerima; (2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik. Apabila proses transaksi tersebut telah diotorisasi dengan adanya pembayaran, maka proses selanjutnya adalah pengiriman barang. Cara pengiriman barang tersebut disesuaikan dengan macam produk yang diperdagangkan. Untuk produk yang berupa barang-barang berwujud, maka pengirimannya dilakukan melalui pengiriman biasa, sedangkan untuk barang-barang tak berwujud seperti jasa, software atau produk digital lainnya maka pengirimannya melalui proses download. Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan diatas menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda. Hal ini jelas menujukkan bahwa di dalam ketentuan umum UU ITE masih belum bisa diterapkan sepenuhnya, karena pada ketentuan umum Pasal 1 UU ITE mendefinisikan transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dalam mengatasi permasalahan di atas, maka ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata masih dapat diterapkan atas transaksi jual beli secara elektronik antara lain, Pasal 1457 KUH Perdata disebutkan bahwa Jual-beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang satu lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Keabsahan Transaksi Jual Beli melalui Internet
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
139
Dalam perspektif hukum, suatu perikatan adalah suatu
hubungan hukum antara subyek hukum dimana satu pihak berkewajiban atas suatu prestasi sedangkan pihak yang lain berhak atas prestasi tersebut. Karena perjanjian sebagai sumber perikatan, maka sahnya perjanjian menjadi sangat penting bagi para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan. Menurut pasal 1320 KUH Perdata, sahnya suatu perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif, (Salim, 2001:162). 1) Syarat subyektif adalah : a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak b. Kecakapan bertindak 2) Syarat obyektif adalah : a. Adanya obyek perjanjian b. Adanya causa yang halal Berkenaan dengan syarat subyektif tersebut, diketahui bahwa subyek hukum yang terlibat dalam e-commerce adalah sistem sekuriti yang menggunakan digital signature, antara lain : - Pemegang Digital Certificate; - Certification Autorithies (CA) sebagai issuer dari Digital Certificate. CA berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan kepastian/pengesahan terhadap identitas dari seseorang/pelanggan (klien CA tersebut). Selain itu, CA juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari CA dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu : 1) Pelanggan/subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya; 2) Menunjukan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan CA; 3) Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya. Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh CA itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan level/tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya dan
140
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
level/tingkatan, ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan
yang diperoleh pelanggan/subscriber berdasarkan sertifikat yang didapatkannya. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang diterbitkan oleh CA semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A (Tuhera, 2003:26). Setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya, maka CA menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat berbentuk hard-copy maupun soft-copy). Sebelum diumumkan secara luas subscriber terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Apabila informasi-informasi tersebut telah sesuai maka subscriber dapat mengumumkan sertifikat tersebut secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada CA atau suatu badan lain yang berwenang untuk itu (suatu lembaga notariat). Selain untuk memenuhi sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, CA akan membubuhkan digital signature miliknya pada sertifikat tersebut. Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut diantaranya dapat berupa : - Identitas CA yang menerbitkannya; - Pemegang/pemilik/subscriber dari sertifikat tersebut; - Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut; - Kunci publik dari pemilik sertifikat. Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik, UU ITE telah membuat ketentuan sedemikian rupa yang tertera pada Pasal 13 UU ITE, yaitu : (1) Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik untuk pembuatan tanda tangan elektronik. (2) Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan keterkaitan suatu tanda tangan elektronik dengan pemiliknya. (3) Penyelenggara sertifikasi elektronik terdiri atas: a. Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; dan
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
141
b. Penyelenggara sertifikasi elektronik asing.
(4) Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia. (5) Penyelenggara sertifikasi elektronik asing yang beroperasi di Indonesia harus terdaftar di Indonesia. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Undang-Undang ITE memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, tanda tangan elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap tanda tangan elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan tanda tangan elektronik. Wanprestasi dalam E-Commerce Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini, pemerintah sebagai regulator menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan ketika bertransaksi secara elektronik. Perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE dituangkan pada Pasal 27-33. Namun demikian, perbuatan melawan hukum yang termaksud dalam pasal-pasal tersebut masih terfokus pada tindak pidana saja, belum mengulas secara jelas mengenai pelanggaran pada kasus hukum perdatanya. Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum termasuk transaksi jual beli secara elektronik tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu atau kedua pihak, antara lain tidak terpenuhinya prestasi atau wanprestasi (ingkar janji), dan pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang
142
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Suatu perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan harus dapat dibuktikan unsur-unsurnya tersebut diatas. Apabila unsur-unsur diatas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggung-jawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak (Hassanah, 2006:13). Kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugiaan materiil dan atau kerugian immateriil. Kerugian materiil dapat terdiri kerugian nyata yang diderita dan keuntungan yang diharapkan. Sebagai contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan serta ketidaktepatan waktu pengiriman barang. Menurut Pasal 15 ayat (2) UU ITE Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektroniknya. Bunyi Pasal yang demikian itu dapat menimbulkan kerancuan dalam penafsirannya berkenaan dengan beban pembuktian. Apakah dengan adanya ketentuan tersebut, pihak penggugat tidak perlu membuktikan bahwa terjadinya kerugian adalah akibat dari perbuatan penyelenggara telekomunikasi?, karena pihak penyelenggara telekomunikasi adalah pihak yang harus membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Selama ini, suatu pihak yang mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak lain dapat mengajukan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, tetapi pihak yang mengajukan gugatan harus
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
143
dapat membuktikan bahwa kerugian itu merupakan akibat dari
perbuatan pihak tergugat. Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, dapat pula digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam proses transaksi jual beli secara elektronik, baik dilakukan melaui penyelesaian sengketa secara litigasi atau melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan, maupun penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan misalnya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase. Dalam menghadapi kasus terjadinya wanprestasi pada transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat diterapkan ketentuan yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak ada batas ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia bermasalah dengan warga negara asing. Pilihan hukum yang dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh isi perjanjian awal pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik. Ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik adalah ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH Perdata. Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum ekstensif, yaitu memperluas arti kata perbuatan melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal ini wanprestasi pada transaksi jual beli secara elektronik. Selain itu, dapat pula melakukan konstruksi hukum analogi, yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga pada akhirnya unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum.
144
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
Ada beberapa tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh
pihak yang berkepentingan, atas terjadinya perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan oleh pihak lain sehingga menimbulkan kerugian, yaitu menyelesaikan sengketa tersebut baik secara litigasi atau pengajuan surat gugatan melalui lembaga peradilan yang berwenang. Dan bisa juga dilakukan secara non litigasi atau di luar pengadilan, antara lain melalui cara adaptasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi serta arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam memberikan kewenangan dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang melakukan transaksi secara elektronik, Pasal 18 UU ITE telah menuangkan beberapa ketentuan-ketentuan sebagai berikut : (1) Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak; (2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya; (3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional; (4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang dibuatnya; (5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. Penentuan cara dalam menyelesaikan sengketa seperti tersebut di atas, tergantung kesepakatan para pihak yang bersengketa, dan biasanya telah dicantumkan pada perjanjian sebagai klausula baku tertentu. Apabila dalam perjanjian jual beli semula beluam ada kesepakatan mengenai cara penyelesaian sengketanya, maka para pihak tetap harus sepakat memilih salah satu cara penyelesaian sengketa yang terjadi, apakah secara litigasi atau non litigasi.
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
145
Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah secara
litigasi, maka harus diperhatikan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Di Indonesia, sesuai ketentuan hukum acara perdatanya, maka suatu perbuatan melawan hukum harus dibuktikan melalui proses pemeriksaan di lembaga peradilan mulai dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sampai tingkat akhir (Pengadilan Tinggi atau mungkin Mahkamah Agung) dengan syarat adanya putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde). Gugatan yang diajukan didasari dengan ketentuan hukum perdata, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Selanjutnya pada proses pembuktian, harus dapat dibuktikan unsur-unsur yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum ini melalui alatalat bukti yang diakui dalam Pasal 164 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement), baik bukti secara tertulis (misalnya print out dokumen-dokumen yang berhubungan dengan transaksi jual beli secara elektronik tersebut), saksi-saksi termasuk saksi ahli (sepeti ahli teknologi informasi dan sebagainya) sebagaimana diatur dalam Pasal 153 HIR, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektroik dapat pula dilakukan secara non litigasi, antara lain : 1) Proses adaptasi atas kesepakatan antara para pihak sebagaimana dituangkan dalam perjanjian jual beli yang dilakukan melalui media internet tersebut. 2) Negosiasi, yang dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, baik para pihak secara langsung maupun melalui perwakilan masing-masing pihak; 3) Mediasi, merupakan salah satu cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan perantara pihak ketiga/mediator yang berfungsi sebagai fasilitator, tanpa turut campur terhadap putusan yang diambil oleh kedua pihak; 4) Konsiliasi, juga merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, namun mirip pengadilan sebenarnya, dimana ada pihak-pihak yang di nggap sebagai hakim semu; 5) Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa secara non litigasi, dengan bantuan arbiter yang ditunjuk oleh para pihak sesuai bidangnya. (Hassanah, 2006:18). Dalam Pasal 9 UU ITE ditentukan, bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan
146
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pasal tersebut menegaskan, bahwa pelaku usaha harus memberikan informasi yang benar mengenai produk yang ditawarkan. Pembelian barang melalui dunia maya atau e-commerce memang tidak dipungkiri lagi memungkinkan terjadinya tidak sesuainya barang yang diterima oleh pembeli dengan informasi yang diberikan oleh penjual atau pelaku usaha itu sendiri. UU ITE tidak menjelaskan sanksi yang diberikan seandainya pelaku usaha melakukan pelanggaran dengan memberikan informasi yang tidak benar atas barangnya. Akan tetapi bukan berarti pelaku usaha tersebut tidak dapat dikenai sanksi dan lolos dari jeratan hukum apabila ternyata pembeli tersebut telah membeli barang dari pelaku usaha dan tidak sesuai dengan informasi yang diberikan pelaku usaha yang notabenenya telah terjadi perjanjian jual beli diantara keduanya. Peraturan perundang-undangan hukum acara yang sudah lama berlaku, masih dapat memidana pelaku usaha tersebut. Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum yang timbul dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet dapat diselesaikan baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai kesepakatan para pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum yang dapat berakibat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi. E. Penutup Kesimpulan 1) Perjanjian jual beli dengan menggunakan metode e-commerce merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah, meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mengatur secara jelas dan tegas tidak berbelit-belit (eksplisit). 2) Tanggung gugat debitur bila terjadi wanprestasi dapat dilakukan ganti rugi, pembatalan, pemecahan perjanjian, dan peralihan resiko dan membayar biaya perkara. Hal tersebut dapat dilakukan karena kontrak ini sah menurut KUH Perdata buku III (BW), sehingga upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu membuat persamaan arti atau maksud berdasarkan
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
147
perbandingan kata-kata (analogi) yang sama seperti terjadi
wanprestasi dalam kontrak jual beli konvensional. Saran 1) Pemerintah harus mempersiapkan para penegak hukum yang mengerti atau berkompeten dalam bidang teknologi, sehingga ketentuan-ketentuan UU ITE ini bisa dilaksanakan dengan baik. 2) Pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan keberadaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan mengada-kan seminar-seminar tentang pelaksanaannya. ----DAFTAR PUSTAKA Alamsyah, et.al. (2008) Sistem Pembayaran E-Commerce. Artikel http://wilis.himatif.or.id, 2008. Andriana, D. (2007) Analisis dan Perancangan Prototipe Aplikasi ECommerce. Artikel http://torz.wordpress.com, 12 Agustus 2007. Ardhi Suryadhi, A. (2007) Pengguna Internet Indonesia Bertambah 5 Juta. Artikel, www.detiknet.com,16 Desember 2006. Chairi, Z. (2005) Aspek Hukum Jual Beli Melalui Internet. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Fajar, M. (2005) Aspek Hukum Pembuktian Digital Evidence Dalam Electronik Commerce, Makalah Universitas Muhammadiyah Yokyakarta. Hassanah, H. (2006) Tinjauan Hukum Mengenai Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce) Dihubungkan Dengan Buku III KUH Perdata. Penelitihan Hukum, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 28 Juni 2006. http://www.solusihukum.com, 24 April 2004. Indra, A. (2007) E-Commerce. Makalah komputer, Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
148
ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013
Juni, S. (2002) Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat
Dari Segi Kerugian Akibat Barang Cacat Dan Berbahaya, Makalah Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan. Kitab Undang-undang Hukum Perdata Lestari, D. (2004) Kejahatan dan Komputer. Artikel Internet, http://legalitas.org. Magrifah, E.D. (2004) Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce. Artikel http://www.solusihukum.com, 17 April 2004. Magrifah, E.D. (2004) Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual-beli Barang. Studi Komparatif Ketentuan CISG dan KUHPerdata. Muhammad, A. (1992) Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan. Citra Aditya Bakti, Bandung. Raharjo, B. (2002) Panduan Cyberlaw Untuk Orang Biasa. Artikel Internet, http://budi.insan.co.id. Salim, H.S. (2003) Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar Grafika, Jakarta. Satrio, J. (1995) Hukum Perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian. PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Setiawan, M. (2006) Tinjauan Hukum Terhadap Transaksi Jual Beli Melalui Internet. Forum Tanya Jawab http://id.answers.yahoo.com, 12 Agustus 2006. Singara, J.I.D. (2004) Pengakuan Tanda Tngan Elektronik Dalam Hukum Pembuktian Indonesia. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, http://www.legalitas.org. Sitompul, A. (2001) Hukum Internet (Pengenalan Mengenai Masalah Hukumdi Cyberspace). Citra Adiya Bakti, Bandung. Sjahdeini, SR. (2001) E-Commerce Tinjauan dari Perspektif Hukum. Jurnal Hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001. Soekanto, S. (1998) Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta, Raja Grafindo Persada Subekti (1995) Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti, Bandung. Vera, et.al. (2005) Hubungan Hukum Antara Pelaku E-Commerce. Makalah School of Economics, Malang. http://uniblog.stiemce.ac.id , 25 Desember 2005. Wibowo, A.M. et.al. (1999) Kerangka Hukum Digital Signature Dalam Electronic Commerce. Grup Riset Digital Security & Electronic Commerce, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok.