Anda di halaman 1dari 18

ARGUMENTUM, VOL. 12 No.

2, Juni 2013

131

KEABSAHAN PERJANJIAN JUAL BELI MELAUI INTERNET


PASCA UU NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Slamet Budiharjo
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
ABSTRAK
Perjanjian jual beli dengan menggunakan metode ecommerce merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah,
meskipun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mengatur
secara jelas dan tegas tidak berbelit-belit (eksplisit).
Tanggung gugat debitur bila terjadi wanprestasi dapat
dilakukan ganti rugi, pembatalan, pemecahan perjanjian,
dan peralihan resiko dan membayar biaya perkara. Hal
tersebut dapat dilakukan karena kontrak ini sah menurut
KUH Perdata buku III (BW), sehingga upaya hukum yang
dapat dilakukan yaitu membuat persamaan arti atau
maksud berdasarkan perbandingan kata-kata (analogi) yang
sama seperti terjadi wanprestasi dalam kontrak jual beli
konvensional.
Kata Kunci: Hukum Waris, Pluralistik, Kodifikasi Parsial.
A. Pendahuluan
Aplikasi internet saat ini telah memasuki berbagai segmen
aktivitas manusia, baik dalam sektor politik, sosial, budaya,
maupun ekonomi dan bisnis. Bagi orang awam atau kurang
memahami cara kerja internet, mereka akan menyimpulkan bahwa
berinternet adalah suatu pemborosan ekonomi, karena mereka
hanya mengukur besarnya biaya yang harus dikeluarkan selama
berkoneksi dengan internet. Lain halnya dengan mereka yang
sudah paham betul terhadap kegunaan internet, pastilah mereka
merasa dimanjakan dengan kebebasan berinteraktif serta
berkomunikasi tanpa batasan jarak dan waktu karena setiap orang
akan bisa mengetahui informasi di seluruh penjuru dunia. Yang
paling menarik di dalam internet, yaitu orang bisa mendapatkan

132

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

fasilitas tertentu secara gratis untuk berkreasi, bertransaksi,


mengadakan usaha atau bisnis dan lain-lain yang sebelumnya tidak
mereka dapatkan.
Dalam bidang perdagangan, internet mulai banyak
dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena
kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan secara
elektronik melalui media internet ini populer disebut dengan
electronic commerce (e-commerce). E-commerce tersebut terbagi
atas dua segmen yaitu business to business e-commerce
(perdagangan antar pelaku usaha) dan business to consumer ecommerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).
Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak
tahun 1996 dengan munculnya situs http://www.sanur.com
sebagai toko buku on-line pertama. Meski belum terlalu populer,
pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang
melakukan e-commerce.
Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di
Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi, namun di
tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang
menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat
Indonesia yang mengenal teknologi (www.solusihukum.com,
2004). Segmen business to business e-commerce memang lebih
mendominasi pasar karena nilai transaksinya yang tinggi, namun
level business to consumer e-commerce juga memiliki pangsa pasar
tersendiri yang potensial.
Dalam perdagangan antar pelaku usaha, konsumen
memiliki tempat pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran atau
tawar-menawar barang dan jasa (bargaining position) yang lebih
baik dibanding dengan perdagangan konvensional, karena
konsumen memperoleh informasi yang beragam dan mendetail.
Melalui internet konsumen dapat memperoleh aneka informasi
barang dan jasa dari berbagai toko dalam berbagai variasi merek
lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara
pengiriman, bahkan beberapa toko juga memberikan fasilitas
pelayanan yang memungkinkan konsumen untuk melacak tahap
pengiriman barang yang dipesannya. Kondisi tersebut memberi
banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang
dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi. Selain itu juga terbuka

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

133

kesempatan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan


jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan finansial konsumen
dalam waktu yang relatif efisien.
Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet
tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak
memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai
pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia sistem
pembayaran yang ditentukan, yang biasanya dengan kartu kredit
(Indra, 2007:4).
Namun demikian, e-commerce juga memiliki kelemahan.
Dengan metode transaksi elektronik yang tidak mempertemukan
pelaku usaha dan konsumen secara langsung dan tidak melihat
secara langsung barang yang diinginkan bisa menimbulkan
permasalahan yang merugikan konsumen. Sebagai contoh adalah
ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan,
ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau ketidakamanan
transaksi. Faktor keamanan transaksi seperti keamanan metode
pembayaran merupakan salah satu hal urgen bagi konsumen.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana Keabsahan Perjanjian Jual Beli Melalui Internet
Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik ?
2) Bagaimana Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Jual Beli Melalui
Internet ?
C. Metode Penelitian
Penelitian hukum ini pada pokoknya menggunakan kajian
pendekatan secara yuridis normatif dengan UU ITE, ketentuanketentuan dari KUH Perdata, konsep para ahli hukum sebagai basis
penelitiannya, serta dilakukan perbandingan hukum dalam rangka
untuk memperoleh kaidah hukum yang sesuai pokok
permasalahan.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang diperoleh dengan cara survey kepustakaan atau
dokumentasi.
Adapun data sekunder yang diteliti meliputi:
a. Bahan hukum primer, b. Bahan hukum sekunder, dan c.
Bahan hukum tersier.

134

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul, diperlukan


penelusuran dan pengkajian bahan pustaka dengan mendatangi
perpustakaan, warung internet (warnet) sehingga didapati sumber
data yang nyata.
Data yang telah terkumpul tersebut selanjutnya dianalisa
supaya dapat dipergunakan sebagai bahasan yang bersifat
deskriptif, yaitu bahasan yang memberi gambaran secara lengkap
dan jelas mengenai apa yang menjadi permasalahan dan
dibandingkan dengan berbagai teori dan praktek yang ada di
lapangan.
Penganalisaan data digunakan metode deskriptif
komparatif, yaitu mencari pemecahan masalah melaui analisa
tentang hubungan sebab-akibat, dengan meneliti faktor-faktor
tertentu yang berhubungan dengan situasi atau fenomena yang
diselidiki dan membandingkannya dengan satu faktor yang lain.
Dalam menarik suatu kesimpulan, digunakan metode
penarikan kesimpulan secara deduktif, yaitu cara pengambilan
keputusan dari pembahasan yang bersifat umum menuju ke
kesimpulan yang bersifat khusus.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pihak-pihak dalam Transaksi Jual Beli melalui Internet
Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya
dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata,
walaupun dalam jual beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak
bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan
melalui internet. Dalam transaksi jual beli melalui internet, pihakpihak yang terkait antara lain:
a. Penjual atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk
melalui internet sebagai pelaku usaha;
b. Pembeli atau konsumen, yaitu setiap orang yang tidak dilarang
oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual
atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi
jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha;
c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen
kepada penjual, karena pada transaksi jual beli secara elektronik,
penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

135

berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat


dilakukan melalui perantara, dalam hal ini adalah bank;
d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet (Hassanah,
2006:6).
Pelaksanaan transaksi jual beli melalui internet ini dilakukan
tanpa ada tatap muka antara para pihaknya, sehingga perjanjian
jual beli yang terjadi diantara para pihak pun dilakukan secara
elektronik pula, baik melalui e-mail atau cara lainnya. Transaksi jual
beli yang dilakukan melalui internet tidak mungkin terhenti,
bahkan setiap hari selalu ditemukan teknologi terbaru dalam dunia
internet, sementara perlindungan dan kepastian hukum bagi para
pengguna internet tersebut tidak mencukupi, dengan demikian
harus diupayakan untuk tetap mencapai keseimbangan hukum
dalam kondisi termaksud.
Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli
secara elektronik tidak hanya tejadi antara pengusaha dengan
konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak dibawah ini:
a. Business to Business, merupakan transaksi yang terjadi antar
perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah
sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi
ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama
lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin
kerjasama antara perusahaan itu;
b. Customer to Customer, merupakan transaksi jual beli yang
terjadi antara individu dengan individu yang akan saling menjual
barang;
c. Customer to Business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi
antara individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan
sebagai pembelinya;
d. Customer to Government, merupakan transaksi jual beli yang
dilakukan antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam
pembayaran pajak.
Lahirnya UU ITE merupakan sebuah dilema, dan masih
banyak kekurangan dalam memberikan kepastian hukum jual beli
melalui internet, karena kemajuan teknologi dan industri yang
semakin pesat, mau tidak mau berdampak juga bagi negara kita
khususnya transaksi elektronik, dengan adanya e-banking, ecommerce, dan transaksi elektronik lainnya.

136

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Dengan semakin banyaknya transaksi elektronik yang


dilakukan, maka mendorong juga diperlukannya ketentuan hukum
yang mengatur mengenai hal tersebut, sehingga para pihak yang
terlibat dalam transaksi elektronik, khususnya konsumen
mendapatkan perlindungan hukum atas setiap transaksi elektronik
yang dilakukannya. Demikian juga halnya dengan data/dokumen
yang dibuat secara elektronik (paperless document) juga
membutuhkan adanya kekuatan hukum yang pasti, mengingat
selama ini, dokumen/akta, baru dianggap sah apabila ditulis diatas
kertas (hitam di atas putih).
Mekanisme E-Commerce
Transaksi elektronik antara e-merchant (pihak yang
menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer
(pihak yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang
terjadi di dunia maya pada umumnya berlangsung secara paperless
transaction (transaksi melalui pesan/e-mail), sedangkan dokumen
yang digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper
document (dokumen kertas), melainkan dokumen elektronik
(digital document).
Dalam Pasal 19 UU ITE menyebutkan Para pihak yang
melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem
elektronik yang disepakati. Yang dimaksud dengan disepakat
dalam pasal ini juga mencakup disepakatinya prosedur yang
terdapat dalam sistem elektronik yang bersangkutan. Ketentuan di
atas memberikan kebebasan kepada para pihak yang bertransaksi
jual beli di internet untuk memilih mekanisme transaksi hingga
mencapai akhir, yaitu sampainya barang dan harga yang di
perjanjikan.
Mekanisme transaksi elektronik melalui internet dimulai
dengan adanya penawaran suatu produk tertentu oleh penjual
(misalnya bertempat kedudukan di USA) di suatu website melalui
server yang berada di Indonesia (misalnya www.detik.com).
Apabila konsumen Indonesia melakukan pembelian, maka
konsumen tersebut akan mengisi order mail yang telah disediakan
oleh pihak penjual.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

137

Kontrak on line dalam e-commerce menurut Santiago


Cavanillas dan A. Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Indra
(2007:5), memiliki banyak tipe dan variasi, yaitu :
a. Kontrak melalui chatting dan video conference;
b. Kontrak melalui e-mail;
c. Kontrak melalui web atau situs.
Kontrak melalui e-mail adalah salah satu kontrak on line
yang sangat populer karena pengguna e-mail saat ini sangat
banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat murah dan waktu
yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan
dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail
gratis atau dengan mendaftarkan diri sebagai subscriber pada
server tertentu. Kontrak e-mail dapat berupa penawaran yang
dikirimkan kepada seseorang atau kepada banyak orang yang
tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan
pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui email.
Di samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan dengan
penawaran barangnya diberikan melalui situs web yang
memposting penawarannya, sedangkan penerimaannya dilakukan
melalui e-mail. Kontrak melalui web dapat dilakukan dengan cara
situs web seorang supplier (baik yang berlokasi di server supplier
maupun diletakkan pada server pihak ketiga) memiliki diskripsi
produk atau jasa, dan satu seri halaman yang bersifat selfcontraction, yaitu dapat digunakan untuk membuat kontrak
sendiri, yang memungkinkan pengunjung web untuk memesan
produk atau jasa tersebut.
Para konsumen harus menyediakan informasi personal dan
harus menyertakan nomor kartu kredit. Selanjutnya,
mekanismenya adalah sebagai berikut :
- Untuk produk on line yang berupa software, pembeli diizinkan
untuk download;
- Untuk produk yang berwujud fisik, pengiriman barang dilakukan
sampai di rumah konsumen;
- Untuk pembelian jasa, supplier menyediakan untuk melayani
konsumen sesuai dengan waktu dan tempat yang telah
ditentukan dalam perjanjian.

138

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Sehubungan dengan permasalahan di atas, pada Pasal 20


ayat (1) dan (2) UU ITE telah memberikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim Pengirim
telah diterima dan disetujui Penerima;
(2) Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan
penerimaan secara elektronik.
Apabila proses transaksi tersebut telah diotorisasi dengan
adanya pembayaran, maka proses selanjutnya adalah pengiriman
barang. Cara pengiriman barang tersebut disesuaikan dengan
macam produk yang diperdagangkan. Untuk produk yang berupa
barang-barang berwujud, maka pengirimannya dilakukan melalui
pengiriman biasa, sedangkan untuk barang-barang tak berwujud
seperti jasa, software atau produk digital lainnya maka
pengirimannya melalui proses download.
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik
yang telah diuraikan diatas menggambarkan bahwa ternyata jual
beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana
antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung,
namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang
yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda. Hal
ini jelas menujukkan bahwa di dalam ketentuan umum UU ITE
masih belum bisa diterapkan sepenuhnya, karena pada ketentuan
umum Pasal 1 UU ITE mendefinisikan transaksi elektronik adalah
perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Dalam mengatasi permasalahan di atas, maka ketentuan
hukum yang termuat dalam KUH Perdata masih dapat diterapkan
atas transaksi jual beli secara elektronik antara lain, Pasal 1457
KUH Perdata disebutkan bahwa Jual-beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang satu lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.
Keabsahan Transaksi Jual Beli melalui Internet

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

139

Dalam perspektif hukum, suatu perikatan adalah suatu


hubungan hukum antara subyek hukum dimana satu pihak
berkewajiban atas suatu prestasi sedangkan pihak yang lain berhak
atas prestasi tersebut. Karena perjanjian sebagai sumber
perikatan, maka sahnya perjanjian menjadi sangat penting bagi
para pihak yang melakukan kegiatan perdagangan. Menurut pasal
1320 KUH Perdata, sahnya suatu perjanjian meliputi syarat
subyektif dan syarat obyektif, (Salim, 2001:162).
1) Syarat subyektif adalah :
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
b. Kecakapan bertindak
2) Syarat obyektif adalah :
a. Adanya obyek perjanjian
b. Adanya causa yang halal
Berkenaan dengan syarat subyektif tersebut, diketahui
bahwa subyek hukum yang terlibat dalam e-commerce adalah
sistem sekuriti yang menggunakan digital signature, antara lain :
- Pemegang Digital Certificate;
- Certification Autorithies (CA) sebagai issuer dari Digital
Certificate.
CA berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya
untuk memberikan kepastian/pengesahan terhadap identitas dari
seseorang/pelanggan (klien CA tersebut). Selain itu, CA juga
mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci privat milik orang
tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari
CA dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap, yaitu :
1) Pelanggan/subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat
dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada
di dalam komputernya;
2) Menunjukan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang
disyaratkan CA;
3) Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat
dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan
kunci privatnya.
Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di
atas, akan tetapi tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh CA itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan
level/tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya dan

140

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

level/tingkatan, ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan


yang diperoleh pelanggan/subscriber berdasarkan sertifikat yang
didapatkannya. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari
suatu Digital Certificate yang diterbitkan oleh CA semakin tinggi
pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula
persyaratan yang ditetapkan oleh C.A (Tuhera, 2003:26).
Setelah
persyaratan-persyaratan
tersebut
diuji
keabsahannya, maka CA menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat
berbentuk hard-copy maupun soft-copy). Sebelum diumumkan
secara luas subscriber terlebih dahulu mempunyai hak untuk
melihat apakah informasi-informasi yang ada pada sertifikat
tersebut telah sesuai atau belum. Apabila informasi-informasi
tersebut telah sesuai maka subscriber dapat mengumumkan
sertifikat tersebut secara luas atau tindakan tersebut dapat
diwakilkan kepada CA atau suatu badan lain yang berwenang untuk
itu (suatu lembaga notariat).
Selain untuk memenuhi sifat integrity dan authenticity dari
sertifikat tersebut, CA akan membubuhkan digital signature
miliknya pada sertifikat tersebut. Informasi-informasi yang
terdapat di dalam sertifikat tersebut diantaranya dapat berupa :
- Identitas CA yang menerbitkannya;
- Pemegang/pemilik/subscriber dari sertifikat tersebut;
- Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut;
- Kunci publik dari pemilik sertifikat.
Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak
lain dapat melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai
kegiatan dengan media internet secara aman dengan pihak pemilik
sertifikat.
Dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik, UU ITE telah
membuat ketentuan sedemikian rupa yang tertera pada Pasal 13
UU ITE, yaitu :
(1) Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara
sertifikasi elektronik untuk pembuatan tanda tangan
elektronik.
(2) Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan
keterkaitan suatu tanda tangan elektronik dengan pemiliknya.
(3) Penyelenggara sertifikasi elektronik terdiri atas:
a. Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia; dan

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

141

b. Penyelenggara sertifikasi elektronik asing.


(4) Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia berbadan hukum
Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
(5) Penyelenggara sertifikasi elektronik asing yang beroperasi di
Indonesia harus terdaftar di Indonesia.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara sertifikasi
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Undang-Undang ITE memberikan pengakuan secara tegas
bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, tanda tangan
elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan
manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat
hukum. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal tersebut
merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam
setiap tanda tangan elektronik. Ketentuan ini membuka
kesempatan
seluas-luasnya kepada
siapa
pun
untuk
mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan tanda
tangan elektronik.
Wanprestasi dalam E-Commerce
Dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik ini, pemerintah sebagai regulator menetapkan
perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan ketika
bertransaksi secara elektronik. Perbuatan-perbuatan yang dilarang
dalam UU ITE dituangkan pada Pasal 27-33. Namun demikian,
perbuatan melawan hukum yang termaksud dalam pasal-pasal
tersebut masih terfokus pada tindak pidana saja, belum mengulas
secara jelas mengenai pelanggaran pada kasus hukum perdatanya.
Pada kenyataannya,
dalam suatu peristiwa hukum
termasuk transaksi jual beli secara elektronik tidak terlepas dari
kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah
satu atau kedua pihak, antara lain tidak terpenuhinya prestasi atau
wanprestasi (ingkar janji), dan pelanggaran hukum tersebut
mungkin saja dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal
1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang

142

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti


kerugian tersebut.
Suatu perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi
dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan harus dapat
dibuktikan unsur-unsurnya tersebut diatas. Apabila unsur-unsur
diatas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak
dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan
melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang
melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain,
beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan
dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan
dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri
maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang
dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat
dipertanggung-jawabkan apakah mengandung unsur kesalahan
atau tidak (Hassanah, 2006:13).
Kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum
dapat berupa kerugiaan materiil dan atau kerugian immateriil.
Kerugian materiil dapat terdiri kerugian nyata yang diderita dan
keuntungan yang diharapkan.
Sebagai contoh adalah
ketidaksesuaian jenis dan kualitas barang yang dijanjikan serta
ketidaktepatan waktu pengiriman barang.
Menurut Pasal 15 ayat (2) UU ITE Penyelenggara sistem
elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem
elektroniknya. Bunyi Pasal yang demikian itu dapat menimbulkan
kerancuan dalam penafsirannya berkenaan dengan beban
pembuktian. Apakah dengan adanya ketentuan tersebut, pihak
penggugat tidak perlu membuktikan bahwa terjadinya kerugian
adalah akibat dari perbuatan penyelenggara telekomunikasi?,
karena pihak penyelenggara telekomunikasi adalah pihak yang
harus membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan
oleh kesalahan atau kelalaiannya. Selama ini, suatu pihak yang
mengalami kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau
kelalaian pihak lain dapat mengajukan ganti rugi berdasarkan Pasal
1365 KUH Perdata, tetapi pihak yang mengajukan gugatan harus

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

143

dapat membuktikan bahwa kerugian itu merupakan akibat dari


perbuatan pihak tergugat.
Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 1365 KUH Perdata, dapat pula digunakan sebagai dasar untuk
mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap
melawan hukum dalam proses transaksi jual beli secara elektronik,
baik dilakukan melaui penyelesaian sengketa secara litigasi atau
melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan, maupun
penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan
misalnya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase.
Dalam menghadapi kasus terjadinya wanprestasi pada
transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat diterapkan ketentuan
yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk
digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak
ada batas ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia
bermasalah dengan warga negara asing. Pilihan hukum yang
dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh isi perjanjian awal
pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik.
Ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan
melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara
elektronik adalah ketentuan hukum yang termuat dalam KUH
Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH Perdata.
Penerapan
ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan
penafsiran hukum ekstensif, yaitu memperluas arti kata perbuatan
melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia
nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang
terjadi di dunia maya, dalam hal ini wanprestasi pada transaksi jual
beli secara elektronik.
Selain itu, dapat pula melakukan konstruksi hukum analogi,
yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan
hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga
pada akhirnya unsur-unsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun pada
prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya,
namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi
harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada
kekosongan hukum.

144

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Ada beberapa tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh


pihak yang berkepentingan, atas terjadinya perbuatan melawan
hukum yang telah dilakukan oleh pihak lain sehingga menimbulkan
kerugian, yaitu menyelesaikan sengketa tersebut baik secara
litigasi atau pengajuan surat gugatan melalui lembaga peradilan
yang berwenang. Dan bisa juga dilakukan secara non litigasi atau di
luar pengadilan, antara lain melalui cara adaptasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi serta arbitrase sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam memberikan kewenangan dan upaya-upaya hukum
kepada para pihak yang melakukan transaksi secara elektronik,
Pasal 18 UU ITE telah menuangkan beberapa ketentuan-ketentuan
sebagai berikut :
(1) Transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak
elektronik mengikat para pihak;
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang
berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya;
(3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi
elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada
asas Hukum Perdata Internasional;
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum
pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang
mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya;
(5) Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan,
arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif
lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin
timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum
Perdata Internasional.
Penentuan cara dalam menyelesaikan sengketa seperti
tersebut di atas, tergantung kesepakatan para pihak yang
bersengketa, dan biasanya telah dicantumkan pada perjanjian
sebagai klausula baku tertentu. Apabila dalam perjanjian jual beli
semula beluam ada kesepakatan mengenai cara penyelesaian
sengketanya, maka para pihak tetap harus sepakat memilih salah
satu cara penyelesaian sengketa yang terjadi, apakah secara litigasi
atau non litigasi.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

145

Apabila penyelesaian sengketa yang dipilih adalah secara


litigasi, maka harus diperhatikan ketentuan hukum acara perdata
yang berlaku. Di Indonesia, sesuai ketentuan hukum acara
perdatanya, maka suatu perbuatan melawan hukum harus
dibuktikan melalui proses pemeriksaan di lembaga peradilan mulai
dari tingkat pertama (Pengadilan Negeri) sampai tingkat akhir
(Pengadilan Tinggi atau mungkin Mahkamah Agung) dengan syarat
adanya putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap dan pasti (inkracht van gewijsde).
Gugatan yang diajukan didasari dengan ketentuan hukum
perdata, yaitu Pasal 1365 KUH Perdata. Selanjutnya pada proses
pembuktian, harus dapat dibuktikan unsur-unsur yang
menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum ini melalui alatalat bukti yang diakui dalam Pasal 164 HIR (Het Herziene
Indonesisch Reglement), baik bukti secara tertulis (misalnya print
out dokumen-dokumen yang berhubungan dengan transaksi jual
beli secara elektronik tersebut), saksi-saksi termasuk saksi ahli
(sepeti ahli teknologi informasi dan sebagainya) sebagaimana
diatur dalam Pasal 153 HIR, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
Penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum
yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektroik dapat pula
dilakukan secara non litigasi, antara lain : 1) Proses adaptasi atas
kesepakatan antara para pihak sebagaimana dituangkan dalam
perjanjian jual beli yang dilakukan melalui media internet tersebut.
2) Negosiasi, yang dapat dilakukan oleh para pihak yang
bersengketa, baik para pihak secara langsung maupun melalui
perwakilan masing-masing pihak; 3) Mediasi, merupakan salah satu
cara menyelesaikan sengketa di luar pengadilan, dengan perantara
pihak ketiga/mediator yang berfungsi sebagai fasilitator, tanpa
turut campur terhadap putusan yang diambil oleh kedua pihak; 4)
Konsiliasi, juga merupakan cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, namun mirip pengadilan sebenarnya, dimana ada
pihak-pihak yang di nggap sebagai hakim semu; 5) Arbitrase,
adalah cara penyelesaian sengketa secara non litigasi, dengan
bantuan arbiter yang ditunjuk oleh para pihak sesuai bidangnya.
(Hassanah, 2006:18).
Dalam Pasal 9 UU ITE ditentukan, bahwa pelaku usaha yang
menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan

146

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat


kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pasal tersebut
menegaskan, bahwa pelaku usaha harus memberikan informasi
yang benar mengenai produk yang ditawarkan. Pembelian barang
melalui dunia maya atau e-commerce memang tidak dipungkiri lagi
memungkinkan terjadinya tidak sesuainya barang yang diterima
oleh pembeli dengan informasi yang diberikan oleh penjual atau
pelaku usaha itu sendiri.
UU ITE tidak menjelaskan sanksi yang diberikan seandainya
pelaku usaha melakukan pelanggaran dengan memberikan
informasi yang tidak benar atas barangnya. Akan tetapi bukan
berarti pelaku usaha tersebut tidak dapat dikenai sanksi dan lolos
dari jeratan hukum apabila ternyata pembeli tersebut telah
membeli barang dari pelaku usaha dan tidak sesuai dengan
informasi yang diberikan pelaku usaha yang notabenenya telah
terjadi perjanjian jual beli diantara keduanya. Peraturan
perundang-undangan hukum acara yang sudah lama berlaku,
masih dapat memidana pelaku usaha tersebut.
Oleh karena itu, perbuatan melawan hukum yang timbul
dalam transaksi jual beli secara elektronik/melalui internet dapat
diselesaikan baik secara litigasi ataupun secara non litigasi, sesuai
kesepakatan para pihak, sehingga tidak ada kekosongan hukum
yang dapat berakibat menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi.
E. Penutup
Kesimpulan
1) Perjanjian jual beli dengan menggunakan metode e-commerce
merupakan suatu bentuk perjanjian yang sah, meskipun
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) belum mengatur secara jelas dan
tegas tidak berbelit-belit (eksplisit).
2) Tanggung gugat debitur bila terjadi wanprestasi dapat
dilakukan ganti rugi, pembatalan, pemecahan perjanjian, dan
peralihan resiko dan membayar biaya perkara. Hal tersebut
dapat dilakukan karena kontrak ini sah menurut KUH Perdata
buku III (BW), sehingga upaya hukum yang dapat dilakukan
yaitu membuat persamaan arti atau maksud berdasarkan

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

147

perbandingan kata-kata (analogi) yang sama seperti terjadi


wanprestasi dalam kontrak jual beli konvensional.
Saran
1) Pemerintah harus mempersiapkan para penegak hukum yang
mengerti atau berkompeten dalam bidang teknologi, sehingga
ketentuan-ketentuan UU ITE ini bisa dilaksanakan dengan baik.
2) Pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan keberadaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dengan mengada-kan seminar-seminar
tentang pelaksanaannya.
----DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, et.al. (2008) Sistem Pembayaran E-Commerce. Artikel
http://wilis.himatif.or.id, 2008.
Andriana, D. (2007) Analisis dan Perancangan Prototipe Aplikasi ECommerce. Artikel http://torz.wordpress.com, 12 Agustus
2007.
Ardhi Suryadhi, A. (2007) Pengguna Internet Indonesia Bertambah
5 Juta. Artikel, www.detiknet.com,16 Desember 2006.
Chairi, Z. (2005) Aspek Hukum Jual Beli Melalui Internet. Makalah,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Fajar, M. (2005) Aspek Hukum Pembuktian Digital Evidence Dalam
Electronik Commerce, Makalah Universitas
Muhammadiyah Yokyakarta.
Hassanah, H. (2006) Tinjauan Hukum Mengenai Perbuatan
Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet
(E-Commerce) Dihubungkan Dengan Buku III KUH Perdata.
Penelitihan Hukum, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 28
Juni 2006.
http://www.solusihukum.com, 24 April 2004.
Indra, A. (2007) E-Commerce. Makalah komputer, Fakultas
Kedokteran Universitas Jember.

148

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Juni, S. (2002) Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dilihat


Dari Segi Kerugian Akibat Barang Cacat Dan Berbahaya,
Makalah Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Lestari, D. (2004) Kejahatan dan Komputer. Artikel Internet,
http://legalitas.org.
Magrifah, E.D. (2004) Perlindungan Konsumen Dalam E-Commerce.
Artikel http://www.solusihukum.com, 17 April 2004.
Magrifah, E.D. (2004) Upaya Hukum Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Jual-beli Barang. Studi Komparatif Ketentuan
CISG dan KUHPerdata.
Muhammad, A. (1992) Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Raharjo, B. (2002) Panduan Cyberlaw Untuk Orang Biasa. Artikel
Internet, http://budi.insan.co.id.
Salim, H.S. (2003) Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Sinar
Grafika, Jakarta.
Satrio, J. (1995) Hukum Perikatan, perikatan yang lahir dari
perjanjian. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Setiawan, M. (2006) Tinjauan Hukum Terhadap Transaksi Jual Beli
Melalui Internet. Forum Tanya Jawab
http://id.answers.yahoo.com, 12 Agustus 2006.
Singara, J.I.D. (2004) Pengakuan Tanda Tngan Elektronik Dalam
Hukum Pembuktian Indonesia. Makalah, Fakultas Hukum
Universitas Surabaya, http://www.legalitas.org.
Sitompul, A. (2001) Hukum Internet (Pengenalan Mengenai
Masalah Hukumdi Cyberspace). Citra Adiya Bakti, Bandung.
Sjahdeini, SR. (2001) E-Commerce Tinjauan dari Perspektif Hukum.
Jurnal Hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001.
Soekanto, S. (1998) Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta, Raja
Grafindo Persada
Subekti (1995) Aneka Perjanjian. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Vera, et.al. (2005) Hubungan Hukum Antara Pelaku E-Commerce.
Makalah School of Economics, Malang. http://uniblog.stiemce.ac.id , 25 Desember 2005.
Wibowo, A.M. et.al. (1999) Kerangka Hukum Digital Signature
Dalam Electronic Commerce. Grup Riset Digital Security &
Electronic Commerce, Fakultas Ilmu Komputer Universitas
Indonesia, Depok.

Anda mungkin juga menyukai