Anda di halaman 1dari 18

ARGUMENTUM, VOL. 12 No.

2, Juni 2013

95

HUKUM WARIS NASIONAL:


PLURALISME ATAUKAH UNIFORMISME HUKUM?
Anis Ibrahim
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
Email: anisibrahim10@gmail.com
ABSTRAK
Hukum waris di Indonesia hingga kini masih pluralistik, acap
kali membingungkan dan menimbulkan ketegangan serta
konflik hukum saat diterapkan di tataran praksis. Untuk
memberi kepastian, kemanfaatan dan keadilan, maka telah
sangat mendesak untuk dilakukan kodifikasi parsial dalam
sebuah undang-undang yang meniscayakan tetap
terwadahinya pluralitas hukum waris di Indonesia.
Kata Kunci: Hukum Waris, Pluralistik, Kodifikasi Parsial.
A. Pendahuluan
Hukum waris di Indonesia hingga kini dalam keadaan
pluralistik (beragam). Maksudnya bahwa hingga masuk pada abad
21 ini di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berlaku
bermacam-macam sistem hukum kewarisan, yakni hukum waris
adat, hukum waris Islam dan hukum waris Barat yang tercantum
dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Di samping berlakunya ketiga
sistem hukum kewarisan tersebut, keanekaragaman hukum ini
semakin menjadi-jadi karena hukum waris adat yang berlaku pada
kenyataannya tidak bersifat tunggal, tetapi juga bermacam-macam
mengikuti bentuk masyarakat dan sistem kekeluargaan masyarakat
Indonesia.
Sistem kekeluargaan pada masyarakat Indonesia berpokok
pangkal pada sistem menarik garis keturunan. Pada umumnya
dikenal adanya tiga sistem kekeluargaan, yakni (1) sistem
patrilineal (terdapat pada masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,
Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali), (2) sistem matrilineal (terdapat
di daerah Minangkabau), dan (3) sistem bilateral atau parental
(terdapat di daerah antara lain: Jawa, Madura, Sumatera Timur,

96

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh


Sulawesi, Ternate dan Lombok).1
Berdasar latar belakang tersebut, dalam tulisan ini akan
membahas bagaimanakah keniscayaan legislasi hukum waris
nasional ke depan: apakah bersifat pluralisme atau uniformisme
hukum?
B. Pluralitas Hukum Waris Di Indonesia
Kesejarahan hukum di Indonesia menunjukkan bahwa
eksistensi ketiga sistem hukum waris yang berlaku secara bersamasama itu, meski titik mula munculnya tidak bersamaan, niscaya
telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat jauh
sebelum Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dalam sejarah
perkembangannya dapat diketahui bahwa sistem hukum waris
adat adanya lebih dahulu dibandingkan dengan sistem hukum
waris yang lain. Hal ini dikarenakan hukum adat, termasuk hukum
warisnya, merupakan hukum asli bangsa Indonesia, berasal dari
nenek moyangnya dan telah melembaga serta terinternalisasi
secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.2
Ketika agama Islam masuk ke Indonesia, maka terjadi
kontak yang akrab antara ajaran mau pun hukum Islam (yang
bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah) dengan hukum adat.
Hal itu tercermin dalam berbagai pepatah di beberapa daerah. Di
Aceh terdapat pepatah: hukum ngon adat hantom cre, lagee zat
ngon sipeut (hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat
diceraipisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan
zat dengan sifat suatu benda. Di Minangkabau ada pepatah: adat
dan syara sanda menyanda, syara mengati adat memakai
*artinya, adat dan hukum Islam (syara) saling topang menopang,
adat yang benar-benar adat adalah syara itu sendiri+.3
Di Sulawesi ada ungkapan yang berbunyi: adat hula-hulaa
to syaraa, syaraa hula-hulaa to adat (adat bersendi syara dan

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia. Vorkink van


Hoeve, Bandung, tt, hal. 8 10; R. van Dijk, Pengantar Hukum Adat Indonesia.
Terjemahan oleh A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung, tt,. hal. 43-45.
2
R. van Dijk, Ibid, hal. 7-8.
3
Hamka, Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di dalam
Kebudayaan Minangkabau. Panji Mayarakat, Nomor 61/IV/1970, hal. 10.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

97

syara bersendi adat).4 Hubungan antara adat dengan Islam yang


erat juga ada di Jawa. Ini mungkin disebabkan oleh prinsip rukun
dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
Jawa, terutama di daerah pedesaan.5 Pengaruh hukum waris Islam
pada masyarakat Jawa dapat dilihat misalnya pada sistem
pembagian warisan yang disebut dengan sapikul-sagendong.
Meski demikian, beberapa penulis Barat justru
menggambarkan adanya konflik antara hukum Islam dan hukum
adat yang menurut mereka tidak mungkin dapat diselesaikan.
Contoh klasik adanya konflik hukum adalah dengan menunjuk pada
sistem kewarisan di Minangkabau yang bersandarkan pada sistem
kekeluargaan matrilinial. Christian Snouck Hurgronje dengan teori
resepsi yang kemudian dikembangkan oleh murid-muridnya
seperti van Vollenhoven dan B ter Haar menyatakan bahwa
meski diterima dalam teori, hukum Islam itu sering dilanggar dalam
praktik.
Dalam masyarakat Islam hukum Islam itu tidak berlaku
sebab yang berlaku adalah hukum adat. Hukum Islam baru berlaku
jika dinyatakan berlaku oleh hukum adat. 6 Akan tetapi kenyataan
menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antara ninik
mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di
abad 19 melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan
hukum adat dan hukum Islam. Sementara itu dalam Seminar
Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang bulan Juli
1968 diperoleh kesimpulan bahwa (1) harta pusaka tinggi yang
diperoleh turun-temurun dari nenek moyang menurut garis
keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang
disebut pusaka rendah, diwariskan menurut hukum Islam.7 Melalui
justifikasi formal tersebut dapat diketengahkan bahwa telah terjadi
harmonisasi antara hukum Islam dengan hukum adat dalam proses

A. Gani Abdullah, Badan Hukum Syara Kesultanan Bima 1947-1957.


Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987, hal. 89.
5
M.B. Hoeker, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford University
Press, Kuala Lumpur, 1978, hal. 97).
6
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan tata
Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 13.
7
Mochtar Naim, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris
Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 241.

98

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

pelembagaan hukum waris di masyarakat, terutama di masyarakat


Minangkabau.
Di samping kedua hukum waris yang sudah akrab tersebut,
masyarakat Indonesia juga telah lama mengakrabi hukum waris
Barat yang bersumber pada BW. Pada masa penjajahan bangsa
Belanda dulu, dengan asas konkordansi BW dinyatakan berlaku
untuk golongan Eropa yang ada di Indonesia. BW ini juga
dinyatakan berlaku bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa.
Sementara bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa berlaku
hanya bagian-bagian mengenai hukum kekayaan harta benda dari
BW. Selebihnya, yakni bagian kekeluargaan dan kewarisan berlaku
hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.8
Pembedaan pemakaian hukum tersebut tidak lepas dari
strategi hukum9 pemerintah kolonial Belanda untuk memecah
belah penduduk yang ada di tanah jajahannya. Strategi dengan
menggunakan hukum untuk memecah belah penduduk di
Indonesia dibingkai melalui pasal 131 Indische Staatsregeling.
Strategi tersebut cukup jitu sehingga penduduk di Indonesia
terbelah-belah secara yuridis dalam apa yang disebut dengan (1)
golongan Eropa, (2) golongan Timur Asing (Tionghoa dan nonTionghoa), dan (3) golongan pribumi.
Dengan demikian, model pelembagaan hukum waris Barat
di masa penjajahan ini ditempuh melalui proses legislasi nasional
yang terpusat pada penguasa/penjajah. Dengan kata lain proses
pelembagaan hukum waris ini bersifat top down yang substansinya
telah disiapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam proses
pelembagaan ini, penduduk di tanah jajahan dimasukkan dalam
skema hukum sesuai dengan strategi hukum yang dibuat.
Pasca Kemerdekaan, kondisi yang pluralistik dari hukum
waris di Indonesia tersebut masih terus berlangsung. Berdasarkan
pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: Segala badan
negara dan peraturan yang ada masing langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini,
8

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta, 1985, hal.

10-14.
9

Strategi hukum di sini sama dengan politik hukum yaitu legal policy
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh penguasa negara
sebagaimana yang diintrodusir Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia.
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 9.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

99

maka ketiga sistem hukum waris tersebut kemudian menjadi


bagian hukum nasional. Keberadaan pasal II Aturan Peralihan
tersebut merupakan keharusan konstitusional, menginat (1) ahli
hukum pada saat itu masih sangat sedikit, dan (2) kebutuhan yang
sangat
mendesak untuk
mengisi
kevakuman
hukum
(rechtsvacuum) dari bangsa yang baru merdeka dan sedang
berjuang untuk meneguhkan eksistensi kemerdekaannya.10
C. Kompleksitas dan Konflik Hukum Waris di Indonesia
Dalam perjalanannya, ketiga sistem hukum waris tersebut
mengalami perkembangan dan proses pelembagaan yang berlainlainan. Hukum waris Barat relatif tidak mengalami perubahan,
yakni bersumber pada BW dan karenanya tetap sebagaimana pada
masa penjajahan dulu. Hukum waris adat berkembang melalui
berbagai macam yurisprudensi (judge made law). Yang agaknya
berbeda adalah proses pelembagaan hukum waris Islam.
Pelembagaan dan pengembangan hukum waris Islam ditempuh
melalui legislasi nasional. Hal ini dapat disimak dengan
diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dan diterbitkannya Inpres No. 1 Tahun 1991 yang dikenal dengan
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Hanya saja masih ada yang terasa aneh dalam praktik
pelaksanaan hukum waris di Indonesia ini. Meski secara yuridis
UUD 1945 dan amandemennya sudah tidak mengenal lagi
penggolong-golongan penduduk, namun secara faktual empiris,
bahkan secara yuridis, masalah golongan penduduk ini masih
sangat terasa kuat. Hal ini berakibat pada subyek hukum pengguna
hukum waris yang berbeda-beda pula. Lazimnya, hukum waris
Barat ini dipakai oleh Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan
Tionghoa.11
Sementara itu, secara hipotetis dapat diketengahkan
bahwa masyarakat adat hampir pasti menggunakan hukum waris
adat. Tetapi persoalan bisa muncul, yakni apakah masyarakat adat
10

Moempoeni Moelatingsih, Materi kuliah Lembaga/Pranata Hukum


pada Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semester Ganjil Tahun 2004/2005.
11
Secara yuridis konstitusional tidak ada istilah WNI keturunan
tersebut. Tetapi secara sosiologis istilah demikian ini masih sering dijumpai.
Bahkan tidak jarang terdengar pemakaian istilah WNI pribumi dan non-pribumi.

100

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

yang beragama Islam mesti menggunakan hukum waris adat.


Agaknya jawaban atas persoalan ini tidaklah semudah membalik
telapak tangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian yang cukup
menantang untuk memetakan dan menjawab persoalan tersebut.
Apakah lingkaran-lingkaran hukum adat (rechtskringen) dari van
Vollenhoven memang masih hidup secara faktual? Perlu penelitian
lebih lanjut.
Bagi orang Islam, masalah penggunaan hukum waris
tersebut lebih kompleks lagi. Mengapa? Karena hukum yang
ditujukan kepada mereka yang diciptakan melalui legislasi nasional
ternyata tidak memberi kejelasan aturan hukum yang seharusnya
untuk menyelesaikan masalah kewarisan. Hal ini dapat disimak
pada pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang (b) kewarisan, ,
yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, .
Berdasarkan ketentuan yang mengatur masalah kewarisan
tersebut dapat diketengahkan bahwa hukum waris Islam bukan
merupakan ketentuan hukum yang bersifat imperatif bagi orang
Islam. Ini berbeda dengan ketentuan perkawinan yang bersifat
imperatif bagi orang Islam yang akan melangsungkan perkawinan.
Dengan demikian hukum waris Islam bagi orang Islam di Indonesia
adalah bersifat fakultatif (choice of law) yang barang tentu di aras
faktual tidak sedikit yang berpaling darinya.
Barangkali model perumusan yang tidak imperatif ini suatu
keputusan yang bijaksana mengingat meski lebih 90% penduduk
Indonesia beragama Islam, tetapi ada tengara sebagian besar dari
mereka tampak ragu-ragu untuk menerapkan hukum waris Islam
secara menyeluruh. Pengalaman empirik mantan Menteri Agama
Munawir Sjadzali dapat dijadikan data pendukung bagaimana
sebagian masyarakat Islam di Indonesia merasa kurang sreg
dengan sistem pembagian warisan berdasarkan syariat Islam
(faraaid) tersebut. Oleh karena itu, ia mencoba menawarkan

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

101

reaktualisasi terhadap faraaid tersebut. Gagasan ini ternyata


membawa polemik yang berkepanjangan.12
Munculnya rumusan hukum waris dalam KHI sebagai hasil
lokakarya para Ulama Indonesia yang kemudian dibingkai dalam
format Inpres No. 1 Tahun 1991, di dalamnya dapat dijumpai
bagian-bagian tertentu yang merupakan refleksi pemikiran baru
dalam rangka menyesuaikannya dengan kondisi di Indonesia.
Meski demikian, hukum waris tersebut masih beraroma fiqh sunni
versi Syafii yang bercorak patrilinialistik. Padahal, pada tahun 60an Hazairin telah menawarkan reinterpretasi baru dengan
mengatakan bahwa kewarisan Islam yang dikehendaki Al-Quran
adalah sistem kewarisan bilateral.13
Sebagaimana halnya dengan UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, bidang kewarisan dalam KHI tersebut juga bukan
merupakan ketentuan yang sifatnya wajib dilaksanakan oleh orang
Islam dalam masalah pembagian warisan. KHI hanya merupakan
pedoman saja yang berarti dapat disimpangi bagi orang atau
instansi yang memerlukan. Hal ini dapat disimak pada bagian
Menimbang huruf b Inpres No. 1 Tahun 1991 yang berbunyi:
bahwa Kompilasi Humum Islam tersebut dalam huruf a oleh
Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya
dapat digunakan sebagai pedoman dan menyelesaikan masalahmasalah di bidang tersebut.14 Jadi, hukum waris Islam digunakan
atau tidak itu masalah pilihan yang mandiri bagi orang Islam.
Barangkali kondisi demikian ini dapat dilihat sebagai suatu
berkah keadilan, tetapi bisa juga merupakan kerumitan tersendiri
12

Lebih lanjut baca Munawir Sjadzali, Reaktualiasi Ajaran Islam.


Dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (Ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam.
Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988, hal. 3-4.
13
A. Sukri Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Trasformatif. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 3-4.
14
Menurut A. Hamid S. Attamimi, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut Teori Perundangundangan Indonesia. Dalam Amrullah Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam
Dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH.
Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 147-155, KHI adalah hukum tidak tertulis,
meski formatnya ditulis. KHI merupakan himpunan ketentuan hukum Islam yang
dituliskan dan disusun secara teratur. KHI menunjuk adanya hukum tidak tertulis
yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat
Indonesia yang beragama Islam untuk menulusuri norma-norma hukum
bersangkutan apabila diperlukan, baik di dalam mau pun di luar pengadilan.

102

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

dalam lapangan hukum waris di Indonesia. Dikatakan merupakan


kerumitan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum di bidang
kewarisan. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa orang
Indonesiadipersilakan memillih hukum waris mana yang akan
digunakan. Asal ada kesepakatan, orang bisa saja memilih hukum
waris BW, hukum waris Islam atau hukum waris adat.
Tapi masalahnya menjadi kompleks jika tidak ada
kesepakatan antar pihak yang bersengketa. Jika demikian, maka
masalahnya bisa menjadi panjang dan berlarut-larut yang tak
berujung. Dalam situasi demikian itu barang tentu tidak dapat
dihindari terjadi konflik kepentingan dari masing-masing pihak.
Persoalan semakin melebar yang kemudian mengarah kepada
konflik pemakaian hukum waris, yakni apakah hukum waris Islam
yang akan dipakai, atau hukum waris adat, ataukah hukum waris
BW?
Barang tentu konflik hukum sudah seharusnya diakhir.
Demikian pula persoalan sosiologis menyangkut penggolongan
penduduk di era sekarang ini kurang kondusif bagi negara kesatuan
Indonesia yang secara konstitusional hanya mengenal WNI dan
WNA. Pengakhiran dari situasi yang serba kompleks tersebut
diperlukan dalam rangka mencapai kepastian, kemanfaatan dan
keadilan di bidang hukum waris di Indonesia. Bagi Subekti, melihat
bahwa kondisi demikian ini rasanya sangat janggal bagi bangsa
yang ingin membangun suatu kodofikasi hukum nasional.15
D. Antara Keragaman dan Keseragaman
Kerumitan yang berpangkal tolak dari konflik hukum
demikian itu sudah pada masanya untuk dicarikan jalan keluar. Ada
dua kemungkinan cara penyelesaian masalah konflik hukum waris
tersebut, yakni: (1) tetap membiarkan hukum waris dalam
keberagaman dan manakala timbul konflik hukum kemudian
diserahkan kepada pengadilan; atau (2) melakukan unifikasi
dengan membuat suatu undang-undang baru di bidang kewarisan
yang bersifat nasional.
Pandangan yang mewakili pluralitas hukum berargumentasi
bahwa pada masyarakat yang majemuk seperti Indonesia adalah
sangat riskan jika diterapkan hukum yang bersifat seragam yang
15

Subekti, Op.cit. hal. 14.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

103

berlaku secara nasional. Oleh karena itu, menurut para pluralis,


satu-satunya hukum yang dapat diterapkan pada masyarakat
heterogen ini hanyalah hukum yang pluralistik sifatnya. Lebih dari
itu, mereka berargumen, seseorang tidak akan mampu memulai
untuk mengunifikasikan hukum jika kondisi sosial menghendaki
fragmentasinya.16 Dalam situasi keberagaman, maka hukum itu
tidak seharusnya datang dari atas, tetapi harus lahir dari
masyarakat bawah.17
Desakan untuk menghargai dan mengakui pluralitas hukum
ini menjadi menggejala seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde
Baru yang sentralistik. Selama kekuasaan rezim ini, hukum yang
dibangun atas nama pembangunanisme dan bersifat seragam, top
down dan yang diberlakukan secara nasional, berefek pada
peminggiran khazanah kekayaan budaya dan sosial masyarakat
yang pada dasarnya sangat beragam. Konflik sosial mau pun
hukum nyaris terjadi selama periode ini karena diterapkannya
model penyeragaman atas semua aspek kehidupan tersebut.
Oleh karenanya, solusi terbaik dalam situasi bangsa yang
berbhinneka adalah dengan membiarkan yang plural tetap dalam
pluralitasnya sebagai bagian kebanggaan dan kekayaan bangsa.
Lebih-lebih bidang hukum waris ini barang tentu merupakan
bidang hukum yang sulit diunifikasikan, sebab menurut Mochtar
Kusumaatmadja, bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu
bidang hukum yang berada di luar bidang-bidang yang bersifat
netral seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan
hukum lalu lintas (darat, air dan udara), .18 Dengan
memperhatikan pendapat Mochtar Kusumaatmadja tersebut,
maka hukum waris dapat dikatakan termasuk bidang hukum yang
mengandung terlalu banyak halangan adanya komplikasikomplikasi kulturil, keagamaan dan sosiologi.19

16

John Ball, Indonesian Law Commentary and Teaching Materials.


Faculty of Law, University of Sydney, Sydney, 1985: hal. 202.
17
Halimah A., Kebhinnekaan dan Sifat-sifat Khas Masyarakat Adat
Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang, 1987, hal. 4.
18
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Masyarakat dan Pembinaan
Hukum Nasional. Binacipta, Bandung, 1976, hal. 14.
19
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung, 1975, hal. 12.

104

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Ketika keinginan untuk mengakui pluralitas ini mendesak


kepermukaan, tanpa disadari akan timbul problem yang cukup
pelik. Salah satu misal saja, pluralisme hukum waris adat dengan
berbagai lingkaran hukum adatnya (rechtskringen) akan membawa
konsekuensi hukum lebih jauh, yaitu diperlukannya bantuan
hukum antar tata hukum intern (yakni hukum yang mengatur dan
menentukan hukum manakah yang berlaku); atau apakah
hukumnya jika terdapat titik taut (aanknopping punten) antara dua
stelsel hukum yang berlaku bagi dua subyek hukum yang tunduk
pada stelsel hukum yang berlainan.20 Masalah ini semakin kusut
jika subyek hukumnya berbeda agama dan bersiteguh dalam
mempertahankan pendapat masing-masing dalam melakukan
pilihan hukum.
Jika ini terjadi, maka keadaan hukum di Indonesia kembali
seperti pada dekade 60-an dan sebelumnya, yakni para pemerhati
mau pun praktisi hukum harus kembali membuka-buka bahan
kuliah hukum antar golongan intern yang sebenarnya sudah lama
tidak diajarkan di pendidikan tinggi hukum. Kesibukan seperti ini
tentu sangat mengurangi produktifitas bangsa yang sebenarnya
tenaga dan pikirannya dibutuhkan untuk keperluan yang lebih
mendesak untuk keluar dari situasi keterpurukan.
Sementara itu para pendukung uniformisme hukum
berpendapat bahwa dalam rangka mewujudkan kebersatuan
bangsa salah satunya hanya dapat dicapai melalui unifikasi hukum.
Ide untuk mempertahankan pluralitas hukum tentu saja tidak
sejalan dengan cita-cita hukum yang sama untuk semua orang.21
Jika pluralitas hukum dipertahankan, tentu saja akan terjadi
distorsi terhadap cita-cita persamaan hukum tersebut. Pada aras
yang lebih mendasar, tidak ada landasan konstitusionalnya untuk
membuat hukum yang berbeda-beda yang diterapkan bagi
golongan-golongan penduduk yang berbeda pula. Jika ditengok
lebih dalam, maka Konstitusi Indonesia tidak mengenal
penggolong-golongan penduduk.
20

Achmad Sodiki, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah


Pluralisme Hukum? Dalam Arena Hukum, Majalah Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli 1999, hal. 102.
21
Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia. Dalam
Indonesia 16 (Oktober 1973), hal. 257.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

105

Mempertahankan pluralitas hukum sama dengan membuka


gerbang ketidakpastian di bidang kewarisan. Hukum waris adat
yang tidak tertulis mau pun hukum waris Islam yang ditulis dalam
bingkai KHI yang dikatagorikan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai
hukum tidak tertulis tampaknya sulit memberikan kepastian
hukum. Jika kepastian hukum saja tidak bisa dicapai, yakni dalam
penentuan dan prediksi tentang alokasi hak kewajiban serba tidak
pasti, maka apakah keadilan di bidang kewarisan dapat juga
digapai? Sementara itu, apakah hukum waris Barat sebagai warisan
masa penjajahan masih layak dipertahankan bagi bangsa yang
merdeka? Apakah hukum waris Barat yang hingga kini masih
berlaku tersebut memang sesuai dengan roh/jiwa (volkgeist) dan
kebutuhan bangsa Indonesia sehingga tidak perlu diganti?
E. Unifikasi: Suatu Kebutuhan Untuk Melakukan Pembaruan
Hukum Waris
Argumentasi untuk tetap mempertahankan hukum waris di
Indonesia dalam keadaan beranekaragam ternyata lebih banyak
mengandung konsekuensi negatif, sebab dengan tetap
membiarkan keadaan itu terus berlangsung jelas bertentangan
dengan cita-cita bangsa yang berkeinginan untuk memiliki hukum
nasional (yang terunifikasi dan terkodifikasi) yang merupakan
produk bangsa sendiri. Dengan pembiaran tersebut, hal ini juga
berarti melestarikan terjadi konflik hukum antara ketiga sistem
hukum waris tersebut yang sudah terjadi sejak masa penjajahan
Belanda dan yang hingga kini terus berlangsung.22
Jika ditengok Konstitusi Indonesia paling mutakhir (pasca
amandemen), maka dapat diketengahkan adanya kerangka besar
(grand design) bahwa hukum di Indonesia pada masa depan adalah
cenderung dikembangkan dan dilembagakan melalui legislasi
nasional dengan membuat berbagai macam peraturan perundangundangan. Hal ini tercermin pada bunyi Pasal 1 Aturan Peralihan
UUDNRI Tahun 1945 bahwa: Segala peraturan perundangundangan (cetak miring penulis) yang ada masih tetap berlaku

22

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar


Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

106

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar


ini.
Konsep peraturan perundang-undangan dalam UUDNRI
Tahun 1945 hasil amandemen tersebut mengandung makna yang
lebih sempit jika dibandingkan dengan konsep peraturan dalam
UUD 1945 sebelum amandemen. Peraturan perundang-undangan
mengambil bentuk hukum yang tertulis yang secara formal dibuat
oleh kekuasaan yang bersenang untuk itu. Lebih tegasnya adalah
apa yang lazim disebut dengan hukum perundang-undangan. Jika
menggunakan konsep peraturan, maka ini bisa berarti tertulis
mau pun tidak tertulis.
Oleh karena itu, agar hukum waris tidak tereliminasi dari
grand design hukum Indonesia di masa mendatang, maka ia harus
diperbarui dengan tetap berada pada skema kebersatuan dengan
tidak meminggirkan keberagaman. Meski ada yang berpendapat
bahwa rasanya sangat musykil melakukan unifikasi dalam suatu
kodifikasi hukum waris karena banyaknya problem yang akan
dihadapi hal ini bukan berarti bahwa keinginan tersebut tidak
dapat diwujudkan.
Jika mau surut sedikit kebelakang, sebenarnya usaha ke
arah unifikasi dan kondifikasi hukum waris yang berlaku secara
nasional sudah pernah dilakukan. Contohnya, pada Simposium
Hukum Waris Nasional di Jakarta tahun 1983 berhasil disepakati
untuk menentukan asas-asas kewarisan yang diambil dari ketiga
sistem hukum waris tersebut sebagai dasar penyusunan hukum
waris nasional yang akan datang.
Meski masih ada perbedaan dalam beberapa hal, misalnya
dalam hal ahli waris yang berbeda agama dan beberapa lainnya,
tetapi kesepakatan Simposium tersebut cukup maju ketika
mencapai kesepakatan tentang asas-asas (general principles)
hukum nasional di bidang kewarisan, seperti asas kemanfaatan,
asas keadilan dan asas kepastian hukum. Dengan keberhasilan
mengambil asas-asas dari ketiga sistem hukum waris tersebut, ini
berarti kodifikasi yang direncanakan menganut model kodifikasi
terbuka. Berbagai nilai dan asas dari berbagai bidang hukum dicari
kesamaannya, dan setelahnya akan dirumuskan norma-normanya
dalam rumusan yang lebih implementatif.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

107

Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk melakukan


usaha unifikasi atau pun kodifikasi atas hukum yang sudah
melembaga dalam masyarakat yang bersifat pluralistik. Oleh
karena itu usaha untuk menyusun hukum waris nasional harus
dilakukan secara hati-hati mengingat akan sifat pekanya bidang ini
yang memang erat sekali hubungannya dengan agama dan budaya.
Penyusunan hukum waris nasional ini, di samping untuk
memberikan kepastian hukum, juga sekaligus merupakan
pembaruan terhadap hal-hal yang dianggap tidak adil dalam sistem
hukum waris yang ada.
Walau pun masih ada pendapat yang menyatakan bahwa
sekarang ini belum waktunya menyusun hukum waris nasional,
akan tetapi mengingat pentingnya keberadaan hukum waris
nasional yang akan memberikan kepastian, manfaat dan keadilan,
maka menurut kesimpulan Simposium tahun 1983 kiranya langkahlangkah ke arah itu harus dilakukan secara bertahap. Usaha
tersebut dapat dimulai di bidang yang cukup netral, misalnya yang
menyangkut bidang administrasinya dulu. Jika hal itu sudah bisa
dilakukan, kemudian dikembangkan lebih jauh kepada bidangbidang yang dianggap peka, setelah melalui berbagai pengkajian
yang hati-hati dan mendalam.
Pola penyusunan hukum waris nasional yang akan datang
dapat menggunakan pandangan Sociological Jurisprudence dari
Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum (tertulis) yang baik adalah
hukum yang
sesuai dengan
hukum yang hidup dalam
23
masyarakat. Rumusan yang demikian ini menunjukkan kompromi
yang cermat antara hukum tertulis (dari proses legislasi nasional)
sebagai kebutuhan hukum masyarakat hukum demi adanya
kepastian hukum dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan
hukum dan orientasi hukum.24 Selaras dengan pandangan Pound,
Eugen Ehrlich menekankan prinsip tentang pentingnya
keseimbangan antara hukum formal dengan hukum yang hidup

23

Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung, 1985,

hal. 47.
24

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem.
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 83.

108

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

dalam mayarakat (the living law). Keseimbangan antara


kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat.25
Dengan model pendekatan seperti ini, maka pandangan
Mochtar Kusumaatmadja dengan teorinya yang barangkali dapat
disebut dengan teori unifikasi hukum selektif,26 yakni dengan
membiarkan bidang-bidang yang paling berhubungan dengan
kehidupan kultural dan spiritual manusia harus dibiarkan tanpa
perubahan, 27 dapat diperluas dengan mengatakan bahwa bidangbidang tersebut bukan masalah yang krusial jika keberagaman
hukum dapat diwadahi secara memuaskan semua pihak. Kehatihatian dalam semua tahap perumusan hukum waris nasional
sangat dibutuhkan dalam kancah legislasi nasional.
Jadi, tantangannya adalah bagaimana para legislator piawai
membuat satu hukum yang dapat membingkai keberagaman
hukum tanpa menimbulkan gejolak sosial. Dengan paradigma yang
demikian itu, maka pembuatan hukum yang sentralistik dan
represif sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh rezim Orde
Baru dapat dipinggirkan bahkan dapat ditiadakan. Isu perlindungan
hak asasi manusia (HAM), demokratisasi dan pengakuan serta
penghargaan terhadap keberagaman sosial dan hukum niscaya
dapat diakomodasikan dalam pembuatan hukum yang berangkat
dari pandangan Sociological Jurisprudence tersebut.
Dengan
menggunakan
pandangan
Sociological
Jurisprudence tersebut, maka saran dari Simposium Hukum Waris
Nasional Tahun 1983 ialah agar pola penyusunan hukum waris
nasional dapat dilakukan dengan mencontoh UU No. 1/1974
tentang Perkawinan adalah cukup menarik dan sangat layak untuk
diakomodasikan dalam rangka menyusun hukum waris nasional
yang unifikatif. UU Perkawinan Tahun 1974, meski mendapat
kritikan karena bias gender,28 tetapi setidak-tidaknya dapat
dijadikan model hukum undang-undang khas Indonesia, yakni
25

Ibid. hal 84.


Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia. INIS, Jakarta, 1998, hal. 68.
27
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal. 231.
28
Henny Purwanti, Bias Gender Dalam Hukum Perkawinan.
Argumentum, Majalah Hukum STIH Jenderal Sudirman Lumajang, No. 1/JuliDesember 2001, hal 70-79.
26

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

109

masih dibukanya pintu pluralitas dengan mengakui penerapan


hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Sebagai suatu karya manusia, hukum waris nasional yang
dilembagakan melalui proses legislasi nasional tersebut bukannya
tanpa kelemahan-kelemahan. Setidak-tidaknya ada dua kelemahan
dari hukum perundang-undangan, yaitu:29
1) Bersifat kaku. Kelemahan ini sebetulnya segera tampak
sehubungan dengan keinginan undang-undang untuk
menampilkan kepastian. Apabila kepastian ini hendak dipenuhi,
mka ia harus membayarnya dengan membuat rumusanrumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan resiko menjadi
norma-norma yang kaku.
2) Keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusanrumusan yang bersifat umum mengandung resiko, karena ia
mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaanperbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan
begitu saja. terutama sekali dalam suasana kehidupan modern
yang cukup kompleks dan spesialistis ini, barang tentu tidak
mudah
untuk
membuat
perampatan-perampatan
(generalizations).
F. Simpulan
Dengan mempertimbangkan kelemahan dari undangundang tersebut, maka diperlukan modifikasi dalam menentukan
kecenderungan perkembangan pembentukan hukum di Indonesia.
Diperlukan penyesuaian terhadap hal-hal yang khas Indonesia.
Dengan halnya, pelembagaan hukum waris nasional melalui
legislasi nasional mau pun hukum tidak tertulis (customary law)
dapat berjalan seiring seperti di Inggris. Untuk menjinakkan
kekauan dan ketegaran hukum waris nasional yang kemungkinan
muncul kepermukaan, sudah selayaknya jika mempertimbangkan
asas hukum equity. Dengan memasukkan asas equity iniberarti
akan memberikan peluang yang cukup luas untuk menutup
kekurangan yang ada pada hukum tertulis (statute law).
Asas hukum equity fungsinya adalah untuk melakukan
koreksi terhadap ketegaran dari kaidah hukum yang sangat
29

hal 85.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991,

110

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

konkrit.30 Dalam hal demikian ini, maka peranan hakim menjadi


sangat besar karena melalui yurisprudensi hakim dapat
mengarahkan perkembangan hukum yang berlaku di samping
membentuk hukum baru yang sesuai dengan perasaan hukum dan
rasa keadilan yang hidup dan berkembangan dalam masyarakat.
Barang tentu, pelembagaan hukum waris melalui proses
legislasi nasional yang demikian itu diharapkan dapat mewujudkan
tipologi dasar dari keadaan hukum yang responsif, yakni hukum
yang demokratis dan responsif terhadap kebutuhan tuntutantuntutan yang berkembang di masyarakat. Demokratisasi dan
responsivitas dari hukum waris nasional yang akan datang sangat
tergantung kepada du persyaratan, yakni: (1) adanya political will
dan (2) political action yang berjalan seiring berkelindan dari para
legislator dalam memformulasikan kebutuhan-kebutuhan hukum
masyarakat yang rindu akan kepastian, kemanfaatan dan keadilan.
----DAFTAR PUSTAKA
A. Gani Abdullah, 1987, Badan Hukum Syara Kesultanan Bima
1947-1957. Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
A. Hamid S. Attamimi, 1996, Kedudukan Kompilasi Hukum Islam
dalam Sistem Hukum Nasional Suatu Tinjauan dari Sudut
Teori Perundang-undangan Indonesia. Dalam Amrullah
Ahmad (Eds.) Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum
Nasional Mengenang 65 Th. Prof.Dr. Busthanul Arifin,SH.
Gema Insani Press, Jakarta.
A. Sukri Sarmadi, 1997, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
Trasformatif. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Achmad Sodiki, 1999, Politik Hukum Agraria: Unifikasi Ataukah
Pluralisme Hukum? Dalam Arena Hukum, Majalah Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya. No. 8. Tahun 3, Juli 1999.
Busthanul Arifin, 1996, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia
Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani
Press, Jakarta.
Daniel S. Lev, 1973, Judicial Unification in Post Colonial Indonesia.
Dalam Indonesia 16 (Oktober 1973)
30

Ibid. hal. 244.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

111

Halimah A., 1987, Kebhinnekaan dan Sifat-sifat Khas Masyarakat


Adat Indonesai. Laboratorium PMP/IKN FPIPS IKIP Padang.
Hamka, 1970, Hubungan Timbal Balik Antara Adat dan Syara di
dalam Kebudayaan Minangkabau. Panji Mayarakat, Nomor
61/IV/1970
Henny Purwanti, 2001, Bias Gender Dalam Hukum Perkawinan.
Argumentum, Majalah Hukum STIH Jenderal Sudirman
Lumajang, No. 1/Juli-Desember 2001
John Ball, 1985, Indonesian Law Commentary and Teaching
Materials. Faculty of Law, University of Sydney, Sydney.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu
Sistem. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Lili Rasjidi, 1985, Dasar-dasar Filsafat Hukum. Alumni, Bandung.
M.B. Hoeker, 1978, Adat Law in Modern Indonesia, Oxford
University Press, Kuala Lumpur.
Mochtar Kusumaatmadja, 1975, Pembinaan Hukum dalam Rangka
Pembangunan Nasional. Binacipta, Bandung.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Pembinaan Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional. Binacipta, Bandung
Mochtar Naim, 1968, Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris
Minangkabau. Centre for Minangkabau Studies, Padang.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Di Indonesia. Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta.
Mohammad Daud Ali, 1994, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum
dan tata Hukum Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Munawir Sjadzali, 1988, Reaktualiasi Ajaran Islam. Dalam Iqbal
Abdurrauf Saimima (Ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran
Islam. Pustaka Panjimas, Jakarta.
R. van Dijk, tt, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Terjemahan oleh
A. Soehardi. Vorkink van Hoeve, Bandung.
Ratno Lukito, 1998, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di
Indonesia. INIS, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Subekti, 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata. Intermasa, Jakarta.

112

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Wirjono Prodjodikoro, tt, Hukum Warisan di Indonesia. Vorkink van


Hoeve, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai