Anda di halaman 1dari 14

ARGUMENTUM, VOL. 12 No.

2, Juni 2013

81

PENGADILAN KHUSUS PERTANAHAN SEBAGAI


ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
-

Warah Atikah
Fakultas Hukum Universitas Jember -

ABSTRAK
Sengketa tanah sudah ada sejak ada perbedaan
kepentingan di antara manusia yang satu dengan manusia
yang lainnya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan
manusia akan tanah, kasus sengketa tanah senantiasa terus
bertambah. Munculnya sengketa pertanahan tidak dapat
dilepaskan dari pentingnya penguasaan tanah bagi
seseorang atau sekelompok masyarakat. Corak dan watak
sengketa pertanahan di Indonesia mengalami perubahan
mendasar, yaitu lebih ditandai oleh sengketa-sengketa
struktural atau sengketa vertikal di mana negara berperan
aktif sebagai aktor di dalam sengketa yang terjadi. Dalam
bentuknya sengketa tanah rakyat dengan negara atau
antara rakyat dengan pemilik modal yang beraliansi dengan
negara. Penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan
melalui jalur litigasi (peradilan umum atau peradilan tata
usaha negara) non litigasi (mediasi, arbitrase) maupun
penyelesaian lembaga adat. Namun semua opsi tadi tidak
menyelesaikan masalah. Maka muncul alternatif
penyelesaian sengketa tanah dengan membentuk
pengadilan khusus pertanahan untuk menghindari
terjadinya putusan-putusan yang tumpang tindih dan saling
kontradiksi.
Kata kunci: Pengadilan khusus pertanahan, alternatif
penyelesaian, sengketa tanah.
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan
sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya seperti untuk bercocok tanam,
tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha (tempat

82

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

perdagangan, industri, pertanian, perkebunan, pendidikan,


pembangunan sarana dan prasarana lainnya).
Penduduk yang banyak dengan sendirinya membutuhkan
tanah yang lebih luas pula untuk bermacam keperluan. Permintaan
yang tinggi tanpa diimbangi dengan pasokan yang setara niscaya
hanya akan melahirkan krisis dan pergesekan yang lebih dikenal
dengan sengketa. Begitu bernilainya tanah sehingga manusia akan
mempertahankan tanahnya dengan cara apapun. Itulah yang
terjadi selama ini.
Konfigurasi hukum yang mengatur penguasaan dan
pengelolaan sumber daya alam (termasuk tanah) di Indonesia
setelah Indonesia merdeka tercermin dalam konstitusi
sebagaimana terlihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini
secara prinsip memberi landasan hukum bahwa Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya di kuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Rumusan Pasal 33 ayat (3) ini diimplementasikan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA). Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa
Bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya pada tingkat yang tertinggi dikuasai oleh
negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Sengketa tanah itu sendiri sesungguhnya sudah ada sejak
ada perbedaan kepentingan di antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya. Kasus sengketa tanah senantiasa terus
bertambah, seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan
tanah. Kasus-kasus sengketa tanah yang sempat ramai diberitakan
seperti kasus makam Mbah Priok, Alas Tlogo (Pasuruan), Mesuji,
Ogan Ilir. Di Kabupaten Jember pun banyak bermunculan kasuskasus sengketa tanah yang fenomenal seperti Curahnongko
(masyarakat vs PTPN), Jenggawah (masyarakat vs PTPN), Ketajek
(masyarakat vs PDP Jember), Sukorejo (masyarakat vs TNI),
Nogosari (masyarakat vs PTPN), dan yang terbaru adalah Mandigu
(masyarakat vs Perhutani). Untuk Mandigu sebetulnya kasus lama
(1970-an) yang muncul kembali pada 5 Juni 2013.
Contoh kasus diatas menunjukan bahwa institusi yang
terlibat sengketa tanah sangat beragam, mulai dari PTPN,
Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP), TNI dan Perhutani.

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

83

Sengketa tanah dan sumber-sumber tanah pada umumnya


sepertinya merupakan konflik laten. Dari berbagai kasus yang
terjadi, bangkit dan menajamnya sengketa tanah tidaklah terjadi
seketika, namun tumbuh dan terbentuk dari benih-benih yang
sekian lama memang telah mengendap.
Tanpa pembenahan, niscaya krisis dan sengketa akan lebih
parah lagi pada masa mendatang sebab laju pertumbuhan
penduduk cenderung semakin tak terkendali. Sengketa tanah akan
bermuara ke pengadilan (Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata
Usaha Negara) kalau ada pihak yang mengadu. Parahnya, di
pengadilan sering perkara tanah tak berujung. Kinerja lembaga
peradilan dalam menyelesaikan sengketa tanah sayangnya belum
optimal dibandingkan dengan jumlah sengketa yang diajukan.
Bahkan keputusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) tersebut ternyata sebagian tidak dapat
dieksekusi, sehingga persengketaan berlanjut dan tanah sengketa
menjadi terlantar karena status hukum kepemilikannya belum
jelas.
Salah satu penyebab putusan-putusan tentang tanah tidak
dapat dieksekusi adalah adanya beberapa produk putusan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas objek tanah sengketa
yang saling bertentangan. Penyebab lain, adanya beberapa
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti yang
menetapkan beberapa kepemilikan atas satu objek tanah sengketa
dengan pemilik yang berbeda-beda, sehingga tidak ada suatu
kepastian hukum atas status kepemilikan tanah tersebut yang
sebenarnya.
Putusan-putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap tersebut dapat terjadi karena ada beberapa upaya hukum
untuk penyelesaian sengketa pertanahan yang diajukan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara tentang Surat Keputusan yang
diterbitkan oleh BPN, dan Pengadilan Negeri yang berkaitan
dengan kepemilikan tanah serta yang berkaitan dengan perbuatan
tindak pidana seseorang.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan
yang diangkat dalam penulisan ini adalah (1) bagaimana tipologi

84

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

sengketa tanah yang terjadi di Indonesia; dan (2) bagaimana


alternatif penyelesaian sengketa pertanahan yang ditawarkan.
II. PEMBAHASAN
2.1 Tipologi Sengketa Tanah yang Terjadi Di Indonesia
Walaupun UUPA mengandung nilai-nilai luhur dalam
membela kepentingan rakyat, namun dalam pelaksanaannya
mengalami banyak kegagalan dan bahkan tidak jarang,
menimbulkan konflik atau sengketa penguasaan tanah antara
rakyat (khususnya petani) dengan pengusaha, Badan Usaha Milik
Negara dan instansi pemerintah baik sipil maupun militer.
Munculnya sengketa pertanahan tidak dapat dilepaskan dari
pentingnya penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok
masyarakat yang dengan sendirinya akan mendorong munculnya
upaya untuk mempertahankan hak atas tanahnya dari intervensi
pihak luar, atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa sengketa
agraria terjadi ketika subsistensi petani sebagai pengelolah sumber
daya agraria berikut pola penguasaannya merasa terancam oleh
intervensi kapital ke dalam masyarakat.
Sengketa tanah terjadi karena tanah mempunyai
kedudukan yang penting, yang dapat membuktikan kemerdekaan
dan kedaulatan pemiliknya. Tanah mempunyai fungsi dalam rangka
integritas negara dan fungsi sebagai modal dasar dalam rangka
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sengketa
pertanahan yang muncul setiap tahunnya menunjukkan bahwa
penanganan tentang kebijakan pertanahan di Indonesia belum
dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa faktor
yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan antara lain :
1. Administrasi pertanahan masa lalu yang kurang tertib;
2. Peraturan perundang-undangan yang saling tumpang
tindih;
3. Penerapan hukum pertanahan yang kurang konsisten;
4. Penegakan hukum yang belum dapat dilaksanakan secara
konsekuen.
Sengketa merupakan fenomena yang bersifat unifersal yang
dapat dijumpai pada setiap kehidupan bermasyarakat karena
adanya sengketa itulah hukum bersemai dan berkembang. Hukum
bereksistensi supaya dapat mengendalikan perilaku sehingga

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

85

pertentangan-pertentangan dalam kepentingan tidak tercetus


menjadi konflik terbuka. Kalau kepentingan memang telah
bertubrukan, maka hukum mulai bergerak dan membereskan
gangguan yang terjadi. Berdasarkan sengketalah hukum akan
teruji, dipertahankan atau tidak.
Menurut Murad sifat permasalahan dari suatu sengketa
atas tanah secara umum ada beberapa macam, antara lain :
1. Persoalan yang menyangkut prioritas untuk dapat
ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang
berstatus hak atau atas tanah yang belum ada haknya;
2. Bantahan terhadap sesuatu alas hak atau bukti perolehan
yang digunakan sebagai dasar pemberian hak;
3. Kekeliruan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar;
4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek
sosial praktis.
Menurut Aditjondro, sengketa tanah di Indonesia adalah
bersifat mulltidimensional yang tidak dapat dipahami hanya
sebagai permasalahan agraria an sich. Sengketa tanah di Indonesia
adalah diibaratkan sebagai puncak gunung es dari sengketasengketa lain yang juga mendasar, seperti : sengketa antar sistem
ekonomi (kapitalis vs subsistensi), sengketa antar mayoritasminoritas, sengketa antar warga negara vs negara, sengketa antar
masyarakat modern vs masyarakat adat dan sengketa antar sistem
ekologi.
Corak dan watak sengketa agraria (termasuk sengketa
pertanahan) di Indonesia dalam kurun waktu pemerintahan Orde
Baru sudah mengalami perubahan mendasar dibanding dengan
corak dan watak sengketa yang terjadi dalam periode
pemerintahan sebelumnya (Orde Lama). Watak sengketa masa kini
lebih ditandai oleh sengketa-sengketa struktural atau sengketa
vertikal di mana negara berperan aktif sebagai aktor di dalam
sengketa yang terjadi. Dalam bentuknya sengketa tanah rakyat
dengan negara atau antara rakyat dengan pemilik modal yang
beraliansi dengan negara.
Selanjutnya menurut catatan Konsorsium Pembaharuan
Agraria (KPA), ada 6 (enam) corak sengketa tanah yang terjadi di

86

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Indonesia yang semuanya berhubungan dengan model


pembangunan, yaitu:
1. Sengketa tanah karena penetapan fungsi tanah dan kandungan
hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil diatasnya sebagai
sumber-sumber yang akan dieksploitasi secara besar-besaran
(massive);
2. Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang pada
prakteknya mengakibatkan penguasaan tanah terkonsentrasi di
satu tangan dan membengkaknya jumlah petani tak bertanah,
serta konflik-konflik yang bersumber pada keharusan petani
untuk menggunakan bibit-bibit unggul, maupun masukanmasukan non organik seperti pestisida, pupuk urea dan
sebagainya;
3. Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan
dan penerbitan HGU maupun karena pembangunan
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dan program sejenisnya, seperti
Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI);
4. Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata,
real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan
pabrik dan sebagainya;
5. Sengketa tanah akibat penggusuran-penggusuran dan
pengambilalihan tanah-tanah rakyat untuk pembangunan
sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan umum
maupun kepentingan keamanan;
6. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena
pembangunan taman nasional atau hutan lindung dan
sebagainya yang mengatasnamakan kelestarian lingkungan.
Melihat kepada corak dan pola sengketa di atas, dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya posisi rakyat sangat lemah dan
sebaliknya posisi negara sangat kuat. Dalam hal ini rakyat terpaksa
menerima segala hal yang hendak dilakukan oleh negara.
Lemahnya posisi rakyat juga terlihat dalam proses dan dinamika
sengketa itu sendiri.
Menurut Maria S.W. Sumardjono, peta permasalahan tanah
dapat dikelompokkan menjadi :
1.
Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan,
perkebunan, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan
sebagainya;

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

87

2.

Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan


landreform;
3.
Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan
pembangunan;
4.
Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; serta
5.
Masalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat
hukum adat.
Sedangkan ditinjau dari yuridis praktis, masalah pertanahan
yang dapat disengketakan dapat dirinci dalam jenis-jenis sengketa
sebagai berikut :
1. Sengketa mengenai bidang tanah yang mana yang
dimaksudkan;
2. Sengketa mengenai batas-batas bidang tanah;
3. Sengketa mengenai luas bidang tanah;
4. Sengketa mengenai status tanahnya (tanah negara atau
tanah hak);
5. Sengketa mengenai pemegang hak atas tanah;
6. Sengketa mengenai hak yang membebani;
7. Sengketa mengenai pemindahan hak atas tanah;
8. Sengketa mengenai penunjuk lokasi dan penetapan luas
tanah untuk keperluan proyek pemerintah/swasta;
9. Sengketa mengenai pelepasan/pembebasan hak atas
tanah;
10. Sengketa mengenai pengosongan tanah;
11. Sengketa mengenai pemberian ganti rugi, pesangon atau
imbalan lainnya;
12. Sengketa mengenai pembatalan hak atas tanah;
13. Sengketa mengenai pencabutan hak atas tanah;
14. Sengketa mengenai pemberian hak atas tanah;
15. Sengketa mengenai penerbitan sertifikat hak atas tanah;
16. Sengketa mengenai alat-alat pembuktian atas keberadaan
hak atas tanah atau perbuatan hukum yang dilakukan.
2.2 Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan yang
Ditawarkan
Noer Fauzi menemukan banyak kasus yang pada dasarnya
memperlihatkan tetap berlangsungnya kekerasan, antara lain:
penganiayaan di 32 kasus sengketa agraria yang menimpa

88

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

sedikitnya 190 orang petani dan aktivis pembela petani,


pembunuhan terhadap petani di 13 kasus sengketa agraria yang
meminta korban jiwa sedikitnya 18 orang, penembakan terhadap
petani/rakyat di 18 kasus sengketa agraria yang terjadi pada
sedikitnya 44 orang petani dan aktivis pembela petani, dan
tindakan kekerasan lain yang membuat penduduk yang ketakutan
terpaksa mengungsi karena takut dikejar aparat. Karena besarnya
keterlibatan aparat dalam kasus sengketa pertanahan, pemerintah
daerah maupun DPRD sulit mendapatkan solusi dalam rangka
penyelesaian sengketa pertanahan karena perlawanan terhadap
aparat dapat berdampak terhadap kedudukan pejabat pemerintah
daerah maupun anggota DPRD yang mencoba berusaha menolong
rakyat.
Sengketa pertanahan dari hari ke hari bertambah
jumlahnya karena sulit untuk menyelesaikannya secara tuntas,
bahkan beberapa diantaranya masih berada dalam situasi panas
karena ketegangan konflik yang sangat keras. Menurut Paulus E
Lotulung, masalah pertanahan mendominasi perkara di Pengadilan
Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam dua tahun pertama
pembentukkannya telah dijadikan saluran tidak resmi sebagai
lembaga penyelesaian sengketa pertanahan. Johny Nelson
Simanjuntak, anggota Komnas HAM, menyebut bahwa pada tahun
2009, dari 4.000 kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang
masuk ke Komnas HAM, 62 % diantaranya merupakan kasus
lingkungan hidup dan konflik agraria. Sekitar 3.000 konflik lahan
sejak reformasi di seluruh Indonesia ini belum diselesaikan.
Komnas HAM mencatat ada tiga cara pengambilalihan
lahan masyarakat oleh perusahaan atau pun pemerintah. Pertama,
lahan rakyat diserahkan ke perusahaan untuk dikelolah melalui
pola kemitraan bagi hasil. Cara ini banyak dilakukan perkebunan
kelapa sawit untuk memperoleh lahan produktif. Kedua,
pemerintah daerah mengeluarkan izin lokasi atau izin hak guna
usaha kepada perusahaan yang di dalamnya termasuk lahan yang
ditempati warga. Izin lokasi yang tidak memperhatikan kondisi
lapangan ini menempatkan warga dalam enclave di wilayah
perkebunan atau pertambangan. Ketiga, perusahaan dibantu
oknum aparat pemerintah dalam memanipulasi titik koordinat

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

89

batas wilayah. Akibatnya, luas riil wilayah seringkali jauh lebih


besar dibandingkan dengan yang dicantumkan dalam izin.
Menurut Hendarman Soepandji, Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (BPN RI), setiap kasus konflik
pertanahan di Indonesia sedapat mungkin diselesaikan secara
musyawarah atau win-win solution, mengingat banyaknya kasus
sengketa tanah selama ini, seperti antara warga dengan TNI,
perusahaan dengan warga, dan antara badan-badan swasta
dengan warga. Bahkan, hingga saat ini masih ribuan kasus belum
terselesaikan. Semisal walaupun telah menang perkara inkrah
Mahkamah Agung, ternyata yang memenangkan perkara belum
dapat melakukan penguasaan fisik tanah (eksekusi). Karena itu,
pilihan terbaik penyelesaian kasus konflik pertanahan adalah
secara win-win solution.
Hendarman Soepandji, juga berjanji akan proaktif
menangani kasus-kasus sengketa maupun konflik tanah.
Persoalan laten itu saat ini sudah dipetakan, termasuk yang
melibatkan antara TNI dengan warga, ujarnya di Jakarta.
Hendarman mengatakan, penyelesaian sengketa, perkara dan
konflik pertanahan merupakan salah satu amanat Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) agar mendapat perhatian khusus atau
menjadi prioritas untuk segera dilaksanakan. Khusus konflik tanah
antara TNI dan warga, mantan Kepala Jaksa Agung tersebut
meyakini hal tersebut masih dapat diatasi. Kita akan petakan
bagaimana masalahnya. Kalau dapat kita selesaikan dengan cara
win-win solution. Kalau tidak dapat, ya silahkan maju ke
pengadilan, tapi belum tentu dapat dilakukan penguasaan fisik
atau dieksekusi bagi yang memenangkan perkara. Maka yang
paling bagus ya win-win solution itu, ujar Kepala BPN RI.
Menurut Hendarman, saat ini sudah ada kerjasama antara
BPN dengan pihak Kementerian Pertahanan untuk program
pensertifikatan tanah yang dikelola oleh TNI. Kalau masih
bersengketa, kita tidak dapat lanjutkan pensertipikatan. Itu dapat
menimbulkan masalah baru dan masyarakat tidak terima,
ungkapnya. Penyelesaian jangan sampai justru menimbulkan
masalah baru. Kita ingin penyelesaian secara damai. Tetapi kalau
kita mengambil kesimpulan secara yuridis formal seolah-olah
benar, belum tentu itu akan menyelesaikan masalah, tegasnya.

90

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Lebih rinci Hendarman mengungkapkan, total sengketa atau


konflik tanah yang sudah diselesaikan saat ini mencapai sekitar
4000 kasus. Yang masih di-pending juga masih ada. Itu tunggakan
laten, ujarnya.
Salah satu tujuan pentingnya penyelesaian sengketa adalah
untuk memperoleh jaminan kepastian hukum bagi seluruh pihak
yang terlibat dalam suatu persengketaan. Tujuan kepastian hukum
itu sendiri akan dapat terpenuhi bila seluruh perangkat atau sistem
hukum itu dapat berjalan dan mendukung tercapainya kepastian
hukum, khususnya peranan lembaga-lembaga yang diberi
wewenang untuk itu.
Dalam sistem hukum Indonesia, penyelesaian sengketa,
khususnya sengketa pertanahan dapat dilakukan melalui berbagai
proses penyelesaian, baik melalui lembaga peradilan seperti dalam
peradilan umum, peradilan tata usaha negara, maupun
penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan seperti
penyelesaian melalui mediasi, arbitrase maupun penyelesaian
lembaga adat dan sebagainya.
Penyelesaian sengketa pertanahan yang berlarut-larut
tanpa penyelesaian yang jelas sering mengundang permasalahan
yang mengakibatkan masyarakat maupun negara dirugikan. Salah
satu penyebabnya adalah lemahnya atau inkonsistennya sistem
peradilan dan banyaknya putusan hakim tumpang tindih atau
saling bertentangan mengenai sengketa tanah sehingga putusan
tidak dapat dilaksanakan atau di eksekusi. Fungsi lembaga
peradilan maupun lembaga-lembaga yang bersentuhan dengan
proses penyelesaian sengketa pertanahan menjadi tidak maksimal
dan cenderung menjadi sangat kompleks, memerlukan waktu yang
panjang dengan biaya yang sangat banyak, dan pada akhirnya tidak
memberi kepastian hukum bagi masyarakat dan negara.
Untuk itu menurut hemat penulis, penyelesaian sengketa
pertanahan di Indonesia memerlukan suatu lembaga pengadilan
khusus pertanahan agar dapat dihindari terjadinya putusanputusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi sehingga
kurang menjamin adanya kepastian hukum yang berdasarkan
keadilan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu dalam rangka
mengakhiri persoalan lama yang tidak berujung ini, salah satu cara

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

91

yang dapat kita lakukan adalah selekasnya membentuk pengadilan


khusus pertanahan yang akan menangani masalah pertanahan.
Agar fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial, alat
pembaharuan, dan pembangunan masyarakat dapat terwujud,
sejumlah persyaratan harus terpenuhi, antara lain:
1. Adanya aturan hukum yang baik, yaitu aturan-aturan
hukum yang sinkron secara vertikal maupun horizontal;
2. Adanya sumber daya manusia yang baik, yaitu aparat
penegak hukum yang memiliki kemampuan memadai,
memiliki kompetensi, berintegritas tinggi dan tangguh;
3. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, baik
dalam jumlah (kuantitas) maupun dalam mutu (kualitas);
4. Adanya masyarakat yang baik, yang memiliki tingkat
pendidikan yang memadai, berbudaya serta menjunjung
tinggi nilai-nilai keadilan.
Untuk memenuhi keempat persyaratan ini fungsi hukum
sebagai alat rekayasa sosial, sarana pembaharuan serta
pembangunan masyarakat harus dijalankan. Juga perlu ada
perubahan atau pembaharuan dan pembentukan pengadilan baru.
Dalam hal ini pengadilan khusus untuk menyelesaikan sengketa
tanah. Hal ini mencakup:
1. Perubahan gradual pada fungsi badan peradilan seperti
pembenahan tertentu pada fungsi peradilan tertentu
dengan tetap mengacu pada fungsi yang sudah ada; atau
2. Perubahan radikal terhadap fungsi peradilan yang telah
ada. Ini berarti ada fungsi baru yang diciptakan.
Perlunya pembaruan hukum dan pembentukan badan
peradilan khusus terutama untuk mengadili sengketa tanah di
Indonesia yang antara lain disebabkan oleh:
1. Tidak eksekutabelnya putusan badan peradilan. Salah satu
penyebabnya adalah rendahnya mutu putusan hakim. Hal
ini antara lain akibat:
a. Sumber daya manusia (hakim) yang kurang kredibel,
baik dari segi kapabilitas maupun integritas;
b. Kurang atau bahkan tidak adanya aturan hukum yang
memadai, baik yang menyangkut pengaturan maupun
kesisteman;

92

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

c. Sistem informasi hukum yang belum dibangun secara


optimal;
d. Tanah dipandang hanya sebagai benda sehingga
landasan hukumnya adalah perdata. Padahal tanah
mempunyai karakteristik publik;
e. Tidak adanya koordinasi otoritas pengadilan dengan
pejabat setempat yang terkait dan tokoh-tokoh
masyarakat yang dapat memberikan data-data tentang
tanah yang sedang dipersengkatakan.
2. Tidak adanya aturan hukum untuk merevitalisasi fungsi
badan peradilan, baik yang menyangkut aspek material
maupun aspek formal (hukum acaranya);
3. Penyelesaian sengketa kurang memperhatikan unsur-unsur
yang terdapat dalam sistem hukum, seperti substansi,
struktur dan kultur hukum;
4. Upaya hukum dalam persengketaan pertanahan dapat
dilakukan di beberapa pengadilan (yaitu Pengadilan Tata
Usaha Negara, Pengadilan Umum Perdata dan Pengadilan
Umum Pidana) sehingga putusan dapat saling
bertentangan;
5. Hukum acara dalam persidangan sengketa pertanahan
tidak mengatur kewajiban majelis hakim mencari
kebenaran materiil dengan memanggil saksi-saksi yang
kompeten. Semuanya hanya diserahkan ke para pihak yang
berkepentingan sehingga saksi dapat menolak untuk hadir
di persidangan.
Dengan dibentuknya pengadilan khusus pertanahan
diharapkan dapat berperan meminimalkan ketidakpastian dalam
penyelesaian masalah klaim tanah. Dengan demikian
pembangunan ekonomi akan lebih lancar sehingga kesejahteraan
bangsa Indonesia akan meningkat.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Corak dan watak sengketa agraria (termasuk sengketa
pertanahan) di Indonesia mengalami perubahan mendasar. Watak
sengketa pertanahan masa kini lebih ditandai oleh sengketasengketa struktural atau sengketa vertikal di mana negara

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

93

berperan aktif sebagai aktor di dalam sengketa yang terjadi. Dalam


bentuknya sengketa tanah rakyat dengan negara atau antara
rakyat dengan pemilik modal yang beraliansi dengan negara.
Salah satu tujuan pentingnya penyelesaian sengketa adalah
untuk memperoleh jaminan kepastian hukum bagi seluruh pihak
yang terlibat dalam suatu persengketaan. Dalam sistem hukum
Indonesia, penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan
melalui berbagai proses penyelesaian, baik melalui lembaga
peradilan seperti dalam peradilan umum, peradilan tata usaha
negara, maupun penyelesaian sengketa di luar lembaga peradilan
seperti penyelesaian melalui mediasi, arbitrase maupun
penyelesaian lembaga adat dan sebagainya. Namun dalam
prakteknya, dengan banyaknya lembaga yang memiliki wewenang
dalam penyelesaian sengketa pertanahan, malah sering
menimbulkan tumpang tindih kebijakan atau keputusan yang
bersifat kelembagaan, sehingga tidak memberikan jaminan
kepastian hukum bagi yang bersengketa. Untuk itu muncul
alternatif membentuk pengadilan khusus pertanahan demi
menjawab permasalahan agar dapat dihindari terjadinya putusanputusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi sehingga
kurang menjamin adanya kepastian hukum yang berdasarkan
keadilan bagi seluruh masyarakat.
3.2 Saran
1.
Perlu dibentuk pengadilan khusus pertanahan beserta
hukum acara yang cocok dengan hukum materielnya yaitu
UUPA agar sengketa pertanahan dapat diselesaikan dengan
cepat, sederhana, berbiaya murah dan adil bagi semua pihak;
2.
Negara harus melakukan pembaharuan hukum yaitu
membuat undang-undang untuk membentuk pengadilan
pertanahan yang ketentuan-ketentuannya disesuaikan dengan
sistem, substansi dan budaya bangsa Indoseia tentang
pertanahan.
---DAFTAR PUSTAKA
Effendie, Bachtiar. 1993. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah.
Bandung. Alumni.

94

ARGUMENTUM, VOL. 12 No. 2, Juni 2013

Emirson, Joni. 2001. Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar


Pengadilan, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase.
Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan
Politik Agraria Indonesia. Jogyakarta. INSIST, KPA, Pustaka
Pelajar.
Murad, Rusmanhadi. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas
Tanah. Bandung. Alumni.
Suardi. 2005. Hukum Agraria. Jakarta. Badan Penerbit IBLAM.
Tim BP-KPA, Badan Penyelesaian Sengketa Tanah. 2001. Reforma
Agraria. Yogyakarta. Lapera Pustaka Utama.
Tjondronegoro, Soediono. 1999. Sosiologi Agraria Kumpulan
Karangan Terpilih. Bandung. Akatiga.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Murad, Rusmadi. Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dan
Penanganan Kasus Tanah. Makalah disajikan pada Seminar
Nasional
Sengketa
Tanah,
Permasalahan
dan
Penyelesaiannya. Jakarta. 20 Agustus 2003.
Sumardjono, Maria S.W. Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian
Secara Hukum. Makalah disampaikan dalam Seminar
Penyelesaian Konflik Pertanahan yang diselenggarakan
oleh Sigma Conferences tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta.
Harsono, Boedi. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Sesuai
Ketentuan-ketentuan Dalam UUPA. Makalah yang
disampaikan dalam Seminar HUT UUPA XXXVI yang
diselenggarakan
oleh
Kantor
Menteri
Negara
Agraria/Kepala BPN di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1996.
Kompas. Jumat 24 September 2010.

Anda mungkin juga menyukai