Anda di halaman 1dari 22

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

1, Desember 2013

59

PEMBARUAN HUKUM EKONOMI INDONESIA


DI MILENIUM KETIGA
Anis Ibrahim
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
Email: anisibrahim10@gmail.com
ABSTRAK
Milenium ketiga ditandai dengan globalisasi yang pada
dasarnya adalah upaya untuk mengintegrasikan ekonomi
nasional ke dalam ekonomi global yang kapitalistik. Dalam
situasi demikian itu, tak dapat dihindarkan aturan hukum di
bidang ekonomi yang digunakan sebagai landasan untuk
melakukan pembangunan ekonomi di Indonesia banyak
yang bercorak kapitalistik. Hukum ekonomi yang
kapitalistik tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945,
dan karenanya harus dilakukan pembaruan, baik melalui
harmonisasi mau pun translokasi agar tetap sesuai
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tanpa
meninggalkan kemampuannya dalam merespon kekuatan
global.
Kata Kunci: Pembaharuan Hukum Ekonomi, Milenium
Ketiga.
A. MASUK DI STRUKTUR EKONOMI GLOBAL
Masuk di milenium ketiga Indonesia menghadapi krisis yang
amat parah. Bermula dari krisis ekonomi, lalu melebar ke ranah
politik, kekuasaan dan hukum yang hingga kini belum juga dapat
diatasi secara tuntas. Pada saat yang bersamaan, struktur ekonomi
yang timpang antara sedikit orang yang menguasai sumbersumber ekonomi dengan luar biasa berhadapan dengan sebagian
besar rakyat yang miskin sebagai bagian dari warisan kebijakan
perekonomian rezim masa lalu masih berlangsung.
Dengan latar belakang krisis dan ekonomi yang timpang
seperti itu, Indonesia memasuki struktur ekonomi global, yang
sesungguhnya telah mengalami berbagai pergeseran karakteristik.
Jeffrey Winters menandai pergeseran itu bergerak dari mode
investor mobility menjadi capital mobility dengan model

60

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

perpindahan yang lebih cepat ke tempat-tempat yang memberikan


persyaratan dan keuntungan yang lebih menjanjikan.1
Di tengah pusaran ekonomi global tersebut, survei tahun
2005 menyimpulkan bahwa daya saing ekonomi dan birokrasi
berinvestasi Indonesia terus memburuk dibanding tahun
sebelumnya. Red tape, istilah untuk birokrasi yang kurang
bersahabat bagi para investor, telah menjadi suatu penghalang
yang besar bagi masuknya investasi.2 Paradok dengan hasil survei
itu, perbankan nasional justru didominasi oleh pihak asing, pada
Maret 2005 telah menguasai aset perbankan nasional sebesar
42,33%. Bank-bank yang dimiliki asing tersebut ada yang
berorientasi investasi dan ada juga yang berkomitmen
menjalankan fungsi intermediasi.3
Fenomena perekonomian Indonesia tersebut menunjukkan
bahwa suatu negara tidak bisa mengisolasi diri dalam menjalankan
ekonominya. Ada penilaian-penilaian yang bisa menjadi rujukan
suatu negara dalam melakukan aktifitas bisnis di negara lain.
Dalam ranah yang lebih luas, ini menunjukkan bahwa
pembangunan nasional suatu bangsa sulit dipisahkan dari
perkembangan internasional yang menumbuhkan apa yang lazim
disebut global governance. Persoalan ekonomi dan politik menjadi
bersifat internasional atau berskala global, kendati tumbuh dan
berkembang di tingkat lokal.4
Transformasi global antar negara dan antar bangsa
memang sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Bagi negara maju,
ekspansi usahanya ke negara lain khususnya negara berkembang
sudah merupakan syarat mutlak terkait dengan persaingan yang
1

Jeffrey Winters (1999) Power in Motion Modal Berpindah, Modal


Berkuasa: Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia. Sinar Harapan, Jakarta,
hal. 289-290.
2
Survei dari World Competitiveness Yearbook 2005 yang
dipublikasikan IIMD menunjukkan posisi daya saing Indonesia tahun 2005
menurun ke posisi paling akhir di Asia Pasifik (Kompas. 13 Mei 2005, hal. 44).
Menurut survei yang dilakukan oleh PERC, berinvestasi di Indonesia harus
melewati 12 prosedur yang membutuhkan waktu sekitar 151 hari. Sementara di
Singapura hanya melewati 7 prosedur yang hanya memerlukan waktu 8 hari
(Kompas. 2 Juli 2005, hal. 18).
3
Kompas. 28 Juni 2005, hal. 1.
4
Sunyoto Usman (1998) Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 3-4.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

61

demikian ketat di negera mereka sendiri atau dalam kelompok


negara-negara yang bersangkutan. Sementara itu, negara-negara
berkembang yang kekurangan dalam modal dan keahlian sangat
membutuhkan kehadiran negara maju untuk menggarap kekayaan
alam yang dimiliki sekaligus bermaksud untuk memperoleh
transfer keahlian dan teknologi.5
Transformasi global yang sedang berlangsung tersebut
tentu saja membawa pengaruh yang luar biasa. Dalam
kompleksitas global itu, kemapanan menjadi goyah dan terjadi
dinamika baru dalam hubungan antar individu dan antar sistem
masyarakat dunia, yang pada gilirannya menciptakan fenomenafenomena baru, yang mengubah kehidupan yang berjarak
menjadi kehidupan yang bersatu. Implikasi dari kehidupan yang
bersatu inilah yang sekarang disebut sebagai globalisasi, yang
menghubungkan, mengangkat dan mengkooptasi manusia ke
dalam satu pola kehidupan.6 Dalam proses ini, sudah barang tentu
tidak bisa dihindarkan terjadinya tranformasi berbagai sistem nilai
dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya. Inilah
konsekuensi dari transformasi global yang menjadikan dunia dalam
kondisi mampat (compressed) serta terjadi intensifikasi kesadaran
terhadap dunia sebagai satu kesatuan yang utuh.7
Globalisasi telah meruntuhkan batas-batas negara-bangsa,
yang oleh Kenichi Ohmae disebut dengan the end of the nation
state8, sehingga dunia menjadi tanpa batas (borderless world).
Sementara David M Trubek mengatakan bahwa dalam
restrukturisasi global dan nasional terdapat interpenetrasi dan

Rudhi Prasetya (1999) Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Kontrak


dalam Menyongsong Era Globalisasi. Majalah Hukum Nasional. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, No. 1, 1999, hal.
61.
6
Satjipto Rahardjo (2001) Pembangunan Hukum di Indonesia dalam
Konteks Situasi Global. Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono (Edt.)
Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama.
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 5.
7
Ibid. hal. 3, mengutip pendapat Roland Robertson (1992)
Globalization, hal 8.
8
Kenichi Ohmae (1995) The End of Nation State, The Rise of Regional
Economics. The Free Press, New York, hal. 1-5.

62

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

interrelasi.9 Ini berarti bahwa semua aspek kehidupan: ideologi,


politik, sosial, ekonomi, budaya, hukum, pertahanan dan
keamanan suatu negara selalu dan tengah terpenetrasi oleh
kekuatan-kekuatan ekstranasional sekaligus sebagai faktor yang
mendinamisasi kawasan itu.
Berhadapan dan berada diarus global tersebut sudah
barang tentu hukum ekonomi, khususnya hukum investasi
Indonesia niscaya diperbarui. Pembaruan hukum tersebut sangat
penting, sebab melalui hukum berbagai kebijakan negara
diformulasikan sehingga memiliki legitimasi, kepastian dan
keadilan yang akan didayagunakan dalam melaksanakan berbagai
program pembangunan suatu bangsa.10
Istilah pembaruan hukum barangkali kalah populer dengan
pembangunan hukum. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan
bahwa pembaruan hukum adalah sebagai cara bangsa Indonesia
dalam mengangkat kekuatan internal yang didasarkan pada nilainilai Pancasila dan UUD 1945 dalam merespon kekuatankekuatan eksternal di bidang hukum ekonomi.11 Oleh karenanya,
hukum ekonomi Indonesia, khususnya hukum investasi dalam
merespon transformasi global niscaya harus kondusif dalam
memberikan keadilan dan sebesar-besar kemakmuran kepada
seluruh rakyat.
B. SEKILAS TENTANG TRANSFORMASI GLOBAL
Globalisasi (transformasi global) menurut Barbara Parker
adalah there is growing sense that events occuring throughout the
world are converging rapidly to shape a single, integrated world
where economic, social, cultural, technological, business, other
9

David M Trubek et.all. (1993) Global Restructuring and Tthe Law:


The Internationalization of Legal Fields and The Creation of Transnational
Arenas. University of Wisconsin, hal. 3.
10
Hubungan antara hukum dan kebijakan publik dalam kaitannya
pembangunan ekonomi dapat dibaca dalam Muchsin dan Fadillah Putra (2002)
Hukum dan Kebijakan Publik, Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan
Publik dalam Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia. Universitas
Sunan Giri Surabaya dan Averroes Press, Malang.
11
Rikardo Simarmata (2003) Pembaharuan Hukum Daerah, Menuju
Pengembalian Hukum Kepada Masyarakat. Yayasan Bantuan Hukum Bantaya
(Palu), Yayasan Kemala (Jakarta), Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum
Berbasis Masyarakat dan Ekologi (HuMA), Jakarta, hal. 26-31.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

63

influences cross traditional borders, and boundaries such as


nations, national cultures, time, space, and business industries with
increasing ease.12 Dalam transformasi global ini maka tidak bisa
dihindari meminjam istilah Samuel Huntington terjadinya
konflik antar peradaban, dimana yang paling banyak terimbas
adalah pada masalah ekonomi.13 Globalisasi14 juga menimbulkan
dampak terhadap ranah politik dengan isu utama masalah
demokratisasi di negara-negara dunia.15
Transformasi global di bidang ekonomi merupakan upayaupaya untuk memadukan perekonomian nasional ke dalam
perekonomian global melalui pengaturan-pengaturan investasi,
perdagangan dan swastanisasi, yang didukung oleh kemajuan
teknologi mutakhir. Upaya-upaya itu berusaha mengurangi sampai
sesedikit mungkin hambatan-hambatan bagi investasi dan
perdagangan. Jadi, hakikat globalisasi adalah upaya sistematis
untuk mengurangi protective barriers terhadap arus barang dan
modal menurut aturan-aturan perdagangan internasional.16
Transformasi global di bidang ekonomi tersebut juga telah
menciptakan hubungan budaya antar negara kapitalis dengan
negara-negara dunia ketiga tempat mereka menanamkan
modalnya. Dalam penetrasi ekonomi global yang demikian ini,

12

Barbara Parker (1997) Evolution and Revolution from International


Business to Globalization. In Hand Book of Organization Studies, London, hal.
484.
13
Hani Putranto (2004) Herucakra Society, Jalan Ketiga Ekonomi
Dunia. Wedatama Widya Sastra, Jakarta, hal. 43.
14
Kemunculan istilah globalisasi ini cukup unik. Hingga dekade 1980an istilah ini belum muncul. Baru setelah itu, globalisasi diperbincangkan dalam
berbagai lingkunan kehidupan (Anthony Giddens (1999) The Third Way, Jalan
Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.
32).
15
Jamil Gunawan (2005) Membangun Paradigma baru Demokratisasi
dan Multikulturalisme, Ekonomi Politik Globalisasi dan Desemtralisasi. Dalam
Jamil Gunawan (Eds). Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal. LP3ES,
Jakarta, hal. 66-67.
16
Colin Hines (2004) A Global Look to the Local, Replacing Economic
Globalization with Democratic Localisation. IIED, London. Diterjemahankan
oleh Roem Topatimasang (2005) Mengganti Globalisasi Ekonomi menjadi
Lokalisasi Demokrasi. INSISTPress, Jogyakarta, hal. 6-7.

64

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

maka tidak bisa dihindarkan adanya upaya untuk menanamkan


pengaruh ideologi dari satu negara kepada negara lainnya.17
Cara paling sederhana untuk menggambarkan hadirnya
fenomena globalisasi adalah dengan menunjuk pada semakin
maraknya perkembangan Kentucky, California, dan Texas Fried
Chicken, masuknya tayangan asing di televisi dan hadirnya puluhan
ribu tenaga asing di Indonesia. Globalisasi sebaliknya juga dapat
dilukiskan dengan semakin besar jumlah tenaga kerja Indonesia
yang bekerja di luar negeri dan semakin besar jumlah perusahaan
Indonesia yang go internasional.18 Berarti disini ada
interdependensi dan saling pengaruh-mempengaruhi antara
negara satu dengan negara lainnya
Dalam bentuknya yang lebih canggih, globalisasi baru dapat
dikatakan hadir ketika setiap orang tidak lagi dapat mengatakan
adanya produk-produk dan teknologi nasional, korporasi nasional,
dan industri nasional. Karenanya, globalisasi dapat merupakan
padan kata untuk mengatakan tidak adanya/matinya ekonomi
nasional, karena tidak adanya batas-batas nasional dalam
memproteksi bekerjanya sistem ekonomi nasional. Yang masih
tertinggal di dalam batas-batas nasional adalah penduduk yang
membentuk suatu bangsa beserta keahlian dan wawasan
warganya, atau yang dalam ungkapan yang lebih populer adalah
sumber daya manusia yang dimilikinya.19
Sejatinya, globalisasi bukan hanya tentang saling
ketergantungan ekonomi antar negara. Lebih dari itu menyangkut
transformasi waktu dan ruang dalam kehidupan manusia. Revolusi
komunikasi dan transformasi serta penyebaran teknologi informasi
sangat erat kaitannya dengan proses-proses globalisasi. Ia adalah
sebuah rentangan proses yang kompleks, yang digerakkan oleh
berbagai pengaruh politis dan ekonomis. Globalisasi menciptakan
sistem-sistem,
kekuatan-kekuatan
transnasional,
dan

17

M. Arif Nasution (1999) Globalisasi & Migrasi Antarnegara. Alumni,


Bandung, hal. 68-69.
18
Nasikun (2001) Globalisasi dan Problematika Pembangunan Hukum:
Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono
(Edt.) Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama.
Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 32.
19
Ibid.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

65

mentransformasikan institusi-institusi baru kedalam semua ranah


kehidupan manusia.20
Munculnya globalisasi yang pemicu utamanya adalah
teknologi komunikasi dan teknologi transportasi yang berkembang
sedemikian pesat dan cepatnya itu membawa implikasi pada
perubahan yang mendasar di berbagai bidang kehidupan. Secara
berurutan perubahan-perubahan itu diawali di bidang ekonomi,
disusul perubahan sosial dan kultural, selanjutnya perubahan di
bidang politik, dan yang paling terlambat mengalami perubahan
adalah di bidang hukum.
Kecenderungan transformasi global tersebut, yang dimulai
sejak abad 15, memang mengalami akselerasi sejak beberapa
dekade terakhir ini. Tetapi, proses yang sebenarnya sudah
berlangsung sejak jauh di masa silam, semata-mata karena adanya
predisposisi umat manusia untuk bersama-sama hidup dalam di
satu wilayah dan karena itu dikondisikan untuk menjalin hubungan
satu sama lainnya. Proses transformasi global tersebut, menurut
Wallerstein, adalah proses pembentukan sistem kapitalis dunia
yang semakin lama menjadi kuat.21
Riwayat pertumbuhan kapitalisme yang dimulai di Eropa itu
telah muncul jauh hari sebelum revolusi industri. Bentuk
kapitalisme yang berkembang pada pertengahan abad 15 sebagai
bentuk awal pertumbuhan kapitalis adalah kapitalisme
merkantilis (kegiatan perdagangan). Kapitalisme merkantilis ini
berlangsung hingga terjadinya revolusi industri yang memunculkan
kapitalisme industri pada abad 18 hingga sekarang. Revolusi
industri telah memberikan kemudahan-kemudahan dalam
menjelajahi kawasan yang dulunya sulit dijangkau. Dengan
dukungan kemajuan industri, kapitalisme ini kemudian
mengembangkan sayapnya ke negara-negara dunia ketiga.22

20

Anthony Giddens. Op.Cit. hal. 32-38.


Pendapat Wellerstein dalam Roland Robertson (1992) Globalization,
sebagaimana dikutip oleh Satjipto Rahardjo (2001) Pembangunan Hukum di
Indonesia dalam Konteks Situasi Global. Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik
Wardiono (Edt.) Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi,
dan Agama. Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 3.
22
Abdul Hakim G. Nusantara (1988) Politik Hukum Indonesia. Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, hal. 53-58.
21

66

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

C. PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA DALAM SISTEM


KAPITALISME GLOBAL
Transformasi global yang terjadi di Indonesia sebenarnya
sudah berlangsung sejak negara ini berada di bawah kolonisasi
Belanda. Adalah Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC)23
yang didirikan pada tahun 1602 diawal kolonisasi Belanda dapat
disebut untuk pertama kalinya bahwa perekonomian Indonesia
diintegrasikan ke dalam sistem kapitalisme merkantilis dunia.
Memasuki abad 18 ketika kapitalisme industri tampil ke
permukaan, Belanda mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi
dan sosial yang ditujukan untuk mendorong perkembangan
ekonomi di Jawa demi kepentingan Belanda. Kekuatan modal
swasta diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengeruk
keuntungan yang sebesar-besarnya di atas tanah pemerintah demi
akumulasi kapital. Sementara bagi penduduk asli dijamin hakhaknya untuk tetap menjalankan pranata-pranata hukum dan
pemerintahannya sendiri. Sistem hukum dan pemerintahan yang
dualistis ini tentu merupakan konsekuensi logis dari dualisme
ekonomi yang ada di daerah koloni, dimana pola produksi kapitalis
mendominasi pola produksi pra-kapitalis, yang menempatkan
Indonesia dalam posisi yang tidak menguntungkan.24
Namun, ada hal yang tidak bisa ditutupi dibalik kolonisasi
tersebut, yakni Belanda telah mentransformasikan nilai budaya,
hukum serta penggunaan teknologi transportasi (seperti kereta
api) dan berbagai teknologi industri (seperti pabrik teh dan tebu)
yang tentu saja dibangun dan dibiayai dari uang hasil menguras
kekayaan Indonesia kepada bangsa Indonesia. Pasca
kemerdekaan,
berbagai
teknologi
tersebut
kemudian
dinasionalisasikan oleh pemerintah Indonesia menjadi milik
negara.
Di abad sekarang ini, dimana penjajahan sudah menjadi
barang tabu, bangsa-bangsa termasuk Indonesia terseret ke
dalam globalisasi melalui pembagian kerja ekonomi kapitalis dalam
bentuk yang lain, seperti terbentuknya institusi WTO (World Trade
Organization), kemudian adanya APEC (Asia-Pacific Economic
23

Ibid. hal. 59.


J.H. Boeke (1948) Pra-Kapitalis di Asia. Sinar Harapan, Jakarta,
sebagaimana dikutip oleh Abdul Hakim G. Nusantara. Op.Cit. hal. 62.
24

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

67

Council) dan ARF (Asean Regional Forum) dan sebagainya.25


Sebenarnya, integrasi sistem ekonomi nasional dengan sistem
ekonomi dunia yang berdasarkan perdagangan liberal tersebut
pada dasarnya adalah cita-cita Dunia Barat lama sejak zaman
kolonialisme.26
Setelah kolonialisme berlalu dengan ditandai berakhirnya
Perang Dunia II, suatu ketentuan dan kesepakatan dagang baru
ditetapkan melalui suatu pertemuan yang terkenal dengan
pertemuan Bretton Woods, yakni didirikannya Bank Dunia,
International Monetary Funds (IMF) dan disahkannya the General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Gagasannya adalah lebih
dimaksudkan sebagai jalan pelicin untuk kepentingan perusahaan
transnasional (TNCs). Perubahan dunia, yakni terbukanya pasar
karena globalisasi produksi TNCs, runtuhnya blok sosialis,
perkembangan telekomunikasi dan bioteknologi, krisis hutang dan
keberhasilan negara dominan mengkampanyekan model
pembangunan pertumbuhan secara global ikut mempengaruhi
lajunya gagasan liberal.
Dengan terbentuknya WTO, yang pada dasarnya
merupakan saat berakhirnya kesepakatan mengenai perdagangan
dan tarif (GATT) yang sudah berlaku sejak tahun 1949, merupakan
kesepakatan aturan baru dalam hal perdagangan bebas dan
investasi yang menganut sistem liberal. WTO pada dasarnya adalah
mendorong reformasi kebijakan di negara-negara ketiga untuk
memberi kemudahan bagi investor, khususnya TNCs, dalam
mengeksploitasi sumberdaya alam. Mansour Fakih berpendapat
bahwa cita-cita sumber daya alam harus dinikmati oleh sebesarbesar rakyat disingkirkan oleh ideologi dominan globalisasi yang
mengintrodusir model pembangunan pertumbuhan.27
Jika dirunut ke belakang, model pembangunan tersebut
tidak bisa dilepaskan dari W.W. Rostow yang mengintrodusir teori
pertumbuhan. Teori Rostow tentang pertumbuhan pada dasarnya
merupakan sebuah versi dari teori modernisasi dan pembangunan
25

Satjipto Rahardjo. Op.Cit. hal. 4.


Mansour Fakih (1997) Reformasi Agraria Era Globalisasi: Teori,
Refleksi dan Aksi. Dalam Dianto Bachriadi et.all. Reformasi Agraria, Perubahan
Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Konsorsium
Pembarua Agraria Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia, Jakarta, hal xvii.
27
Ibid. hal. xx.
26

68

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

dengan pendekatan kapitalisme yang terpenting yang meyakini


bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi fokus
utama perhatian mereka dengan menggunakan metafora
pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organisme. Rostow melihat
development sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke
modern. Asumsinya bahwa semua masyarakat, termasuk Barat,
pernah mengalami tradisional dan akhirnya menjadi modern.
Sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Karenanya
Rostow memandang development akan berjalan secara hampir
otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi)
dengan tekanan bantuan dan hutang luar negeri. Ia memfokuskan
perlunya elite wiraswasta yang menjadi motor proses itu.28
Teori pembangunan, atau lebih dikenal dengan paham
developmentalisme itu, yang pada dasarnya merupakan refleksi
dari paradigma Barat tentang perubahan sosial, serta merta dianut
oleh berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga.29 Gagasan tersebut segera
menjadi program massif karena disokong oleh doktrin politik
bantuan luar negeri Amerika baik kepada pemerintah Dunia Ketiga
mau pun LSM, juga serempak hampir di setiap universitas di Barat
membuka kajian baru dengan nama Development Studies.30
Sejak tahun 1967, pemerintah Orde Baru telah menjadi
pelaksana teori pertumbuhan dan menjadikannya landasan
pembangunan jangka panjang Indonesia yang ditetapkan secara
berkala untuk waktu lima tahunan (PELITA). Di bawah kekuasaan
Presiden Soeharto, Indonesia sepenuhnya mengimplementasikan
teori pembangunan kapitalistik yang bertumpu pada ideologi dan
teori modernisasi serta implementasi teori pertumbuhan
tersebut.31 Model pembangunan yang menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi itu diadopsi untuk mengatasi krisis warisan
Orde Lama.32
28

Mansour Fakih (2003) Runtuhnya Teori Pembangunan dan


Globalisasi. Kerja sama INSIST PRESS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 55.
29
Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM Versus Kapitalisme. INSIST
PRESS, Yogyakarta, hal. 29.
30
Mansour Fakih. Op.Cit. hal. 202.
31
Muh. Budairi Idjehar. Op.Cit. hal. 31.
32
Revrisond Baswir et.all. (1999) Pembangunan Tanpa Perasaan,
Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial Budaya Orde Baru. Pustaka Pelajar
(Yogyakarta)-IDEA (Yogyakarta)-ELSM (Jakarta), hal. 259.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

69

Salah satu yang menonjol dari penerapan teori


pertumbuhan tersebut adalah diimplementasikannya strategi
pembangunan pertanian dan industri melalui mekanisme trickledown-effect. Kebijakan yang diambil adalah dengan membagikan
kue pembangunan kepada segelintir elit ekonomi yang berada di
sekitar kekuasaan untuk ditumbuhkembangkan sedemikian rupa.
Jika pertumbuhan ekonomi telah berhasil dilaksanakan, kemudian
disebarratakan ke seluruh lapisan masyarakat bawah. Nyatanya,
teori yang selama lebih dari tiga dekade telah berhasil menjadi
ideologi yang mapan, paradigma mainstream dan diskursus yang
dominan baik di kawasan Asia Timur mau pun Indonesia tidak
berhasil menjalankan pemerataan dan mengentas kemiskinan,
karena strategi ini justru dalam prakteknya berorientasi kepada
akumulasi kapital.33
Dengan demikian, menjelang akhir millenium kedua, dapat
disaksikan dominasi diskursus dan paradigma pembangunan itu
runtuh bersamaan dengan krisis kapitalisme di Asia Timur. Namun
masalahnya hingga kini belum ada teori alternatif yang cukup kuat
sebagai pengganti dan alternatif terhadap developmentalisme.
Berbagai argumentasi dan penjelasan tengah dibangun untuk
melindungi developmentalisme, bahwa krisis yang terjadi di Asia
adalah bukan kesalahan ideologis. Mereka tengah melakukan
pembelaan dengan mengatakan bahwa krisis itu karena korupsi,
kolusi dan nepotisme para penguasa Dunia Ketiga. Kegagalan dan
krisis yang menimpa Dunia Ketiga karena mereka tidak taat azas
terhadap pendirian liberalisme, dan solusi yang ditawarkan adalah
perlunya pelaksanaan agenda liberalisme seperti kebijakan yang
anti proteksi pada rakyat; menjauhkan campur tangan pemerintah
dalam
perdagangan
melalui
deregulasi;
meningkatkan
perlindungan bagi investasi dan proses produksi; menghilangkan
subsidi pada rakyat; serta mengembangkan pemerintahan yang
bersih dan transparan. Namun, tidak ada satu uraian resmi yang
mengarah bahwa krisis yang terjadi karena kegagalan modernisasi
pembangunan dan kegagalan karena dianutnya ideologi
kapitalisme.34
33

Noer Fauzi (1997) Tanah dan Pembangunan Risalah dari Konferensi


INFID ke-10. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. vii-viii.
34
Mansour Fakih. Op.Cit. hal. 206-207.

70

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

Meski pun pembangunan telah gagal, justru di tengah krisis


yang menimpa pembangunan seperti saat ini, dunia dan Indonesia
yang ada di dalamnya, telah melangkah menuju era seperti yang
diramalkan dan dikhawatirkan Wolfgang Shach, yakni dunia tengah
memasuki era perspektif dan ideologi tunggal dan global yang
dikenal dengan globalisasi. Krisis terhadap pembangunan belum
berakhir, tetapi mode of domination lain telah disiapkan, dan dunia
memasuki era baru yakni era globalisasi.35
D. PEMBARUAN HUKUM EKONOMI36 INDONESIA DI ERA
PENETRASI GLOBAL
Di tengah situasi belum munculnya pengganti teori
pembangunan yang secara memadai akan dapat digunakan untuk
melakukan restrukturisasi ekonomi di Indonesia, terjadi
pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global
(globalisasi). Globalisasi merupakan harapan dan hasil perjuangan
dari perusahaan-perusahaan swasta transnasional (TNCs) karena
pada dasarnya merekalah yang paling diuntungkan dari proses
tersebut. Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya millenium
kedua, TNCs meningkat jumlahnya secara pesat dari sekitar 7.000
TNCs pada tahun 1970, pada tahun 1990 jumlah itu mencapai
37.000 TNCs. Selain itu, TNCs juga dapat menguasai perekonomian
dunia. TNCs tersebut telah menguasai 75% dari total investasi
global. Dan ada sekitar 100 TNCs dewasa ini yang menguasai
ekonomi dunia dengan kemampuannya mengontrol sampai 75%
perdagangan dunia.37
35

Ibid. hal. 207-208.


Hingga saat ini masih beragam pendapat tentang apa yang disebut
dengan hukum ekonomi tersebut. Sebagai satu disiplin yang relatif baru, Hukum
Ekonomi masih belum dikenal dalam tata hukum Indonesia, seperti halnya
dengan Hukum Perdata, Hukum Dagang atau Hukum Pidana. Dengan mengambil
pendapat Sumantoro (1986) Hukum Ekonomi. UI-Press, Jakarta, hal. 1-24, ruang
lingkup Hukum Ekonomi (makro) adalah: 1) hukum ekonomi yang mengatur
sektor fisik seperti di bidang pertanian, pertambangan, industri; 2) hukum
ekonomi yang mengatur kegiatan non-fisik seperti di bidang perdagangan, jasajasa bangunan, konsultasi, kontraktor, paten dan sebagainya; 3) hukum ekonomi
yang mengatur penyelenggaraan sarana dan fasilitas usaha seperti: perpajakan,
penyelesaian sengketa dalam bidang ekonomi, perburuhan, izin kerja dan
sebagainya. Dalam tulisan ini hukum ekonomi dipadankan dengan UU di bidang
ekonomi.
37
Mansour Fakih. Op.Cit. hal. 214.
36

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

71

Dari gambaran singkat ini menjelaskan bahwa aktor utama


yang sangat berkuasa di era global adalah TNCs. Merekalah
sebenarnya yang berada dibalik semua proses kesepakatan dalam
WTO, sebab merekalah yang sangat berkepentingan terhadap
mekanisme sistem produksi, investasi dan pasar, yang pengaturan
kesemuanya itu ditetapkan di WTO. Dengan demikian dalam
globalisasi tersebut terdapat tiga aktor utama, yakni: 1) TNCs, 2)
WTO, dan 3) lembaga keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia.
Mereka itu memiliki kewenangan yang antara lain mendesak atau
mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan
penyesuaian kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses
pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. 38
Dengan demikian, globalisasi sebagaimana yang
dikemukakan oleh David C. Korten39 telah menyebabkan banyak
peran politis pemerintah menjadi jauh berkurang. Saat ini, yang
sangat berkuasa adalah jaringan yang berada di pusat ekonomi
global, yang didominasi oleh perdagangan antar perusahaan dan
hubungan antar pribadi. Seiring dengan itu, peran pemerintah
nasional pun telah berubah dari semula sebagai pelindung rakyat
dan basis sumberdaya alam mereka dari ancaman eksternal
menjadi penjamin bahwa rakyat mereka harus dapat menikmati
ragam pilihan yang luas diantara berbagai barang dan jasa terbaik
dan termurah dari seluruh dunia. Karenanya, pemerintah yang
terpaku menjalani peran tradisionalnya sebagai penguasa tunggal
ekonomi nasional dipandang akan menghambat investasi dan
memiskinkan rakyatnya sendiri.40
Meski hampir semua negara menerima globalisasi dan
mulai melakukan penyesuaian kebijakan yang disepakati dalam
aturan global menyangkut soal investasi, hambatan perdagangan,
pertanian dan pertanahan, pajak, hak paten dan lain sebagainya,
namun sesungguhnya rakyat di masing-masing negara tersebut
belum tentu sepenuhnya menerima globalisasi. Akibatnya, pada

38

Ibid. hal. 215.


David C Korten (1997) When Corporations Rule The World.
Diterjemahkan oleh Agus Maulana MSM, Professional Books, Jakarta, hal. 102.
40
John Naisbitt (1997) Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends
that are Changing the World. Diterjemahkan oleh Danan Priyatmoko dan Wandi
S. Brata, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 94.
39

72

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

saat ini telah mulai tumbuh gerakan resistensi terhadap globalisasi


baik di tingkat internasional mau pun tingkat lokal.41
Di samping itu, di tengah pusaran globalisasi tersebut
terjadi kecenderungan-kecenderungan kultural yang tidak ikut
mengglobal, melainkan justru mengarah ke lokal. Proses lokalisasi
itu pada titik tertentu akan ikut menentukan berbagai kebijakan
bisnis. Hal ini disebabkan produk-produk yang terdistribusi secara
global pada satu titik tertentu harus berhadapan dengan
persyaratan kultural lokal dari berbagai komunitas lokal yang
mengkonsumsinya. Karena dalam hal berkonsumsi, pertimbanganpertimbangan kultural dan juga religi acapkali tetap dikukuhi oleh
suatu komunitas lokal. Dengan demikian proses globalisasi
ekonomi pada titik tertentu beriringan dengan proses lokalisasi
yang bersifat kultural. Proses globalisasi yang mengalami restriksi
agar sesuai kultural ini oleh Roland Robertson disebut proses
glocalization.42 Proses yang demikian ini oleh John Naisbitt disebut
sebagai suatu paradoks,43 yakni yang lokal tidak kunjung mati
bahkan hidup kembali yang dapat dipilih sebagai alternatif di era
globalisasi.
Bagi Indonesia, berat sekali menghadapi proses globalisasi
kapitalisme yang tengah berlangsung secara akseleratif tersebut
dengan cara melawannya. Hal ini dikarenakan: 1) Indonesia berada
dalam posisi yang kurang menguntungkan yang disebabkan oleh
lemahnya SDM dalam penguasaan teknologi dan buruknya daya
saing ekonomi di mata internasional karena buruknya birokrasi
investasi. Dan 2) pada saat yang bersamaan setelah Indonesia
meratifikasi WTO maka peranan pemerintah dalam kehidupan
ekonomi menjadi tereduksi secara signifikan.
Meski globalisasi, yang pada dasarnya merupakan proses
perubahan yang sangat cepat di semua lini kehidupan dan
41

Area resistensi terhadap globalisasi itu dapat diidentifikasi sebagai


berikut: 1) resistensi dari gerakan kultural dan agama; 2) resistensi dari new
social movement dan civil society; dan 3) resistensi gerakan lingkungan. (Baca
lebih lanjut: Mansour Fakih. Ibid. hal. 223-226.
42
Dikutip dari Kelik Wardiono (2002) Aktivitas Ekonomi dan Problem
Budaya: Sebuah Eksplanasi Tentang Proses Transplantasi Hukum Dalam Ranah
Global. Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Hukum Univ. Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, Vol. 5, No. 1, Maret 2002, hal. 51.
43
John Naisbitt. Op.Cit. hal. 123.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

73

munculnya kompetisi yang sangat kejam, telah menempatkan


Indonesia pada posisi yang tampak sangat lemah, tetapi masih ada
celah-celah yang dapat digunakan untuk memperkuat diri, yakni
pemerintah Indonesia harus dapat membangun kekuatan internal
yang dimilikinya. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus
berupaya untuk melakukan barrier to entry44 yang bisa diciptakan
melalui: 1) membangun nasionalisme konsumen yang tinggi untuk
mencintai produk dalam negeri, 2) mendorong dan memfasilitasi
agar SDM yang dimiliki dapat menguasai teknologi, 3) memperkuat
asosiasi-asosiasi ahli untuk melindungi kepentingan profesi, 4)
memperkuat market ekonomi dalam negeri untuk memasarkan
produk lokal, dan 5) melakukan pembaruan hukum yang dapat
memproteksi semua itu tanpa melanggar kesepakatan global yang
sudah ditandatangani Indonesia.
Menurut Muladi,45 dalam era globalisasi segala hal yang
beratribut nasional misalnya, tidak hanya bermuatan ideologi,
konstitusi, kondisi manusia, alam dan tradisi bangsa saja, tetapi
niscaya juga menampung kecenderungan-kecenderungan yang
terkandung dalam instrumen-instrumen internasional seperti
konvensi, deklarasi, resolusi, dan guides-lines internasional. Jadi,
dalam globalisasi telah terjadi internasionalisasi hukum nasional.46
Dalam kaitan yang demikian ini, maka proses pembaruan hukum
ditantang untuk berperan sebagai mekanisme pengintegrasi (law
as integrative mechanism) baik melalui pola harmonisasi mau
pun translokasi 47 yang dapat mengakomodasikan pelbagai
dimensi kepentingan, baik antara kepentingan internal bangsa mau
44

Pada dasarnya negara maju pun telah melakukan barrier to entry


dalam berbagai bentuk standar internasional versi mereka seperti pranata ISO
9000 dan ISO 1400.
45
Dikutip dari Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono. Op.Cit.. hal.
viii.
46
Faktor-faktor global yang mempengaruhi hukum ekonomi Indonesia
dapat dibaca dalam tulisan Hikmahanto Juwana (2004) Politik Hukum UU
Bidang Ekonomi Indonesia. Dalam Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 23 -No. 2 Tahun
2004. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, hal. 52-65.
47
Tentang harmonisasi dan translokasi hukum tersebut lebih lanjut dapat
dibaca tulisan Hari Purwadi (2005) Translokasi Hukum di Indonesia:
Koeksistensi Beberapa Sistem Hukum. Dalam Jurnal Hukum Progresif. Vol:
1/Nomor 1/April 2005. Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, hal. 69-86.

74

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

pun antara kepentingan nasional dengan kepentingan


internasional.
Erman Rajagukguk48 menyarankan bahwa kebijakan
pembaruan hukum ekonomi Indonesia dalam era transformasi
global sekarang ini dan dalam menghadapi kecenderungan pasar
bebas, hendaknya tidak semata-mata mengambil alih begitu saja
pengaturan-pengaturan global, tetapi pada saat yang bersamaan
hendaknya berorientasi kepada tetap terjaganya persatuan
bangsa, mendorong pertumbuhan ekonomi dan melindungi pihak
yang lemah dari sisi negatif industrialisasi. Ketiga hal tersebut
mestilah tercermin dalam pembaruan substansi peraturan
perundang-undangan, sikap tindak aparatur negara, dan persepsi
masyarakat Indonesia terhadap hukum.
Jadi, dalam pembaruan hukum ekonomi di tengah proses
transformasi global mestilah tetap mempertahankan identitas
hukum ekonomi yang dilandaskan pada nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila yang merupakan ideologi hukum nasional dan
sekaligus tidak boleh bertentangan dengan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Di sini yang dimaksud dengan
ideologi hukum (legal ideology) adalah sistem nilai-nilai dan citacita yang harus diterjemahkan ke dalam bentuk hukum.49
Ikhtiar untuk menerjemahkan nilai-nilai itu ke dalam
produk-produk hukum di bidang ekonomi pernah gagal dilakukan
pemerintahan Orde Baru. Produk-produk hukum di era tersebut
telah terseret ke dalam sistem ekonomi kapitalistik yang bertujun
untuk memfasilitasi usaha-usaha asing dalam mengejar profit
secara maksimal dan akumulasi kapital. Jelas saja, produk hukum
yang demikian ini mereduksi bahkan mengabaikan nilai demokrasi
dan keadilan sosial yang sejatinya merupakan identitas hukum
ekonomi nasional. UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing adalah contoh hukum yang jelas memberikan
keuntungan yang besar kepada perusahaan asing dimana investor
asing diberi kelonggaran dalam kaitannya dengan perpajakan,
48

Erman Rajagukguk (1999) Perencanaan dan Strategi Pembaharuan


Hukum Indonesia dalam Era Globalisasi. Majalah Hukum Nasional. Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, No. 1, 1999, hal.
10.
49
Abdul Hakim G. Nusantara. Op.Cit. hal. 67.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

75

pembebasan bea masuk, dan hak transfer atas keuntungan yang


diperoleh di Indonesia.50
Tampaknya, UU Investasi yang dirancang sebagai pengganti
UU Investasi lama (UU PMA dan UU PMDN) masih sulit untuk
keluar dari mekanisme ekonomi kapitalistik. Hal ini dapat dilihat
dari pernyataan Ketua BKPM jauh hari ketika UU Investasi masih
dalam penggodokan menyatakan bahwa Rancangan UU Investasi
memberi jaminan kepada investor asing untuk membawa pulang
hasil keuntungan mereka atau repatriasi, tidak ada nasionalisasi,
jika ada maka akan ada kompensasi sesuai harga pasar, dan
perusahaan asing tidak diharuskan untuk menjual sebagian atau
seluruhnya kepada pemerintah dalam jangka waktu tertentu, dan
investor asing berhak tetap tinggal serta berusaha di Indonesia
selama mungkin.51
Jika tidak ada perubahan secara signifikan, bisa jadi UU
Investasi nasibnya seperti UU Ketenagalistrikan dan UU Migas yang
sebagian pasalnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK
tersebut sekaligus juga mengoreksi pembangunan ekonomi
Indonesia yang selama ini mendasarkan pada liberalisme dan propasar bebas, yang pada dasarnya merupakan turunan dari ekonomi
kapitalisme.
Pada praktiknya jarak antara formulasi konstitusi dan
kenyataan sangat terlihat. Selama ini banyak sekali UU di bidang
ekonomi yang tidak sejalan dengan prinsip pasal 33 UUD 1945
khususnya ayat (2) yang berbunyi Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara, dan ayat (3) yang berbunyi Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebasar-besar kemakmuran
rakyat. Kondisi ini terjadi karena pembentuk UU tidak pernah
menjadikan konstitusi sebagai referensi substantif saat membuat
UU di bidang ekonomi.52
Memang UUD 1945 pada dasarnya mengadopsi ide
kedaulatan rakyat, dimana rakyat berdaulat dibidang politik dan
50

Ibid. hal. 70-73.


Kompas, 6 Juli 2005, hal 18.
52
Kompas. 23 Desember 2004, hal. 9.
51

76

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

juga berdaulat di bidang ekonomi. Oleh karena itu tidak heran jika
dalam UUD 1945 juga mengatur bab tersendiri soal ekonomi, yakni
pada Bab XIV soal kesejahteraan sosial, yaitu pasal 33 dan 34.
Bahkan pada perubahan ketiga UUD 1945, Bab XIV ini semakin
diperjelas dengan nama Bab Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial.
MK sebagai guardian of constitution, menyatakan bahwa
dalam perubahan konstitusi, di bidang ekonomi secara tegas dan
jelas dimasukkan peranan negara yang semakin kuat. Ini terlihat
dengan bertambahnya ayat pada pasal 33 dan pasal 34 UUD 1945.
Hal ini bukan berarti UUD 1945 bersifat konservatif. Ketua MK
mengatakan bahwa Memang konstitusi juga harus ditafsirkan
secara dinamis dengan memperhatikan berbagai standar dan
prinsip. Namun penafsiran konstitusi juga harus ada
metodologinya, jangan terlalu longgar dengan hanya
mempertimbangkan aspek pragmatis. Harus ada rambu-rambu di
dalam konstitusi yang harus ditaati.53
Dengan demikian, hukum ekonomi Indonesia, baik yang
menyangkut investasi mau pun perdagangan, yang selama ini ada
sudah pada tempatnya untuk dikaji kembali secara menyeluruh
dan dilakukan pembaruan manakala bertentangan dengan nilainilai dalam Pancasila mau pun UUD 1945. MK sudah memberikan
pelajaran bahwa UU ekonomi yang tidak mengacu kepada nilai dan
Konstitusi Indonesia niscaya akan dibatalkan dan diminta untuk
diperbarui agar sesuai dengan ide dasar yang tercantum dalam
konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945.
Menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 dalam
pembaruan hukum di Indonesia yang sekaligus mampu merespon
kekuatan-kekuatan eksternal di bidang hukum ekonomi memang
bukan perkara yang gampang. Bukan perkara gampang bukan
berarti suatu yang mustahil dilakukan. Dibutuhkan usaha yang
keras agar bangsa Indonesia berhasil membangun ekonomi
nasional yang berlandaskan pada sistem hukum ekonomi nasional
yang responsif terhadap perkembangan global, sekaligus
memberikan kepastian, kemanfaatan dan keadilan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat seperti yang diamanatkan UUD
1945.
53

Ibid.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

77

Guna mewujudkan tujuan tersebut, niscaya diperlukan


konsistensi dan keberanian para penyelenggara negara dalam
melakukan pembaruan hukum ekonomi untuk selalu taat asas
pada rambu-rambu yang ada dalam UUD 1945 mau pun
Pancasila. Hal ini dikarenakan Pancasila, menurut Muladi, secara
utuh harus dilihat sebagai suatu National Guidelines dan sebagai
National Standars, Norm and Principles54
E. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi
pada dasarnya adalah upaya untuk mengintegrasikan ekonomi
nasional ke dalam ekonomi global yang kapitalistik. Di dalamnya
ada kekuatan global yang mampu mendesakkan norma-norma
liberal dan kapitalistik di bidang ekonomi kepada negara-negara
lain, khususnya negara-negara di Dunia Ketiga. Indonesia sebagai
bagian dari masyarakat dunia tidak bisa melepaskan diri dari arus
tranformasi global.
Dalam situasi demikian itu, kekuatan global berhasil
melakukan penetrasi ke dalam hukum ekonomi Indonesia.
Akibatnya, aturan hukum di bidang ekonomi yang digunakan
sebagai landasan untuk melakukan pembangunan ekonomi di
Indonesia banyak yang bercorak kapitalistik. Hukum ekonomi yang
kapitalistik tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945, dan
karenanya harus dilakukan pembaruan, baik melalui harmonisasi
mau pun translokasi agar tetap sesuai dengan nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945 tanpa meninggalkan kemampuannya dalam
merespon kekuatan global.
----DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim G. Nusantara (1988) Politik Hukum Indonesia. Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.
54

Muladi (2004) Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar


Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar
Nasional Menggagas Ilmu Hukum (Progresif) Indonesia. Kerjasama IAIN
Walisongo dengan Ikatan Alumni PDIH UNDIP, Semarang, 8 Desember 2004.
Hal. 4.

78

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

Anthony Giddens (1999) The Third Way, Jalan Ketiga, Pembaruan


Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Barbara Parker (1997) Evolution and Revolution from International
Business to Globalization. In Hand Book of Organization
Studies, London.
Colin Hines (2004) A Global Look to the Local, Replacing Economic
Globalization with Democratic Localisation. IIED, London.
Diterjemahankan oleh Roem Topatimasang (2005)
Mengganti Globalisasi Ekonomi menjadi Lokalisasi
Demokrasi. INSISTPress, Jogyakarta.
David C Korten (1997) When Corporations Rule The World.
Diterjemahkan oleh Agus Maulana MSM, Professional
Books, Jakarta.
David M Trubek et.all. (1993) Global Restructuring and Tthe Law:
The Internationalization of Legal Fields and The Creation of
Transnational Arenas. University of Wisconsin.
Erman Rajagukguk (1999) Perencanaan dan Strategi Pembaharuan
Hukum Indonesia dalam Era Globalisasi. Majalah Hukum
Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Jakarta, No. 1, 1999.
Hani Putranto (2004) Herucakra Society, Jalan Ketiga Ekonomi
Dunia. Wedatama Widya Sastra, Jakarta.
Hari Purwadi (2005) Translokasi Hukum di Indonesia: Koeksistensi
Beberapa Sistem Hukum. Dalam Jurnal Hukum Progresif.
Vol: 1/Nomor 1/April 2005. Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang.
Hikmahanto Juwana (2004) Politik Hukum UU Bidang Ekonomi
Indonesia. Dalam Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 23 -No. 2
Tahun 2004. Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis,
Jakarta.
J.H. Boeke (1948) Pra-Kapitalis di Asia. Sinar Harapan, Jakarta.
Jamil Gunawan (2005) Membangun Paradigma baru Demokratisasi
dan Multikulturalisme, Ekonomi Politik Globalisasi dan
Desemtralisasi. Dalam Jamil Gunawan (Eds). Desentralisasi
Globalisasi dan Demokrasi Lokal. LP3ES, Jakarta.
Jeffrey Winters (1999) Power in Motion Modal Berpindah, Modal
Berkuasa: Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia. Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 289-290.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

79

John Naisbitt (1997) Megatrends Asia: The Eight Asian Megatrends


that are Changing the World. Diterjemahkan oleh Danan
Priyatmoko dan Wandi S. Brata, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Kelik Wardiono (2002) Aktivitas Ekonomi dan Problem Budaya:
Sebuah Eksplanasi Tentang Proses Transplantasi Hukum
Dalam Ranah Global. Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu
Hukum Univ. Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Vol. 5,
No. 1, Maret 2002.
Kenichi Ohmae (1995) The End of Nation State, The Rise of
Regional Economics. The Free Press, New York.
Kompas, 6 Juli 2005.
Kompas. 13 Mei 2005
Kompas. 2 Juli 2005
Kompas. 23 Desember 2004.
Kompas. 28 Juni 2005
M. Arif Nasution (1999) Globalisasi & Migrasi Antarnegara. Alumni,
Bandung.
Mansour Fakih (1997) Reformasi Agraria Era Globalisasi: Teori,
Refleksi dan Aksi. Dalam Dianto Bachriadi et.all. Reformasi
Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Pembaruan Agraria di Indonesia. Konsorsium Pembarua
Agraria Fakultas Ekonomi Univ. Indonesia, Jakarta.
Mansour Fakih (2003) Runtuhnya Teori Pembangunan dan
Globalisasi. Kerja sama INSIST PRESS dan Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Muchsin dan Fadillah Putra (2002) Hukum dan Kebijakan Publik,
Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan Publik dalam
Pembangunan Sektor Perekonomian di Indonesia.
Universitas Sunan Giri Surabaya dan Averroes Press,
Malang.
Muh. Budairi Idjehar (2003) HAM Versus Kapitalisme. INSIST PRESS,
Yogyakarta.
Muladi (2004) Menggali Kembali Pancasila sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Menggagas Ilmu
Hukum (Progresif) Indonesia. Kerjasama IAIN Walisongo

80

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

dengan Ikatan Alumni PDIH UNDIP, Semarang, 8 Desember


2004.
Nasikun (2001) Globalisasi dan Problematika Pembangunan
Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Khudzaifah
Dimyati dan Kelik Wardiono (Edt.) Problema Globalisasi:
Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi, dan Agama.
Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Noer Fauzi (1997) Tanah dan Pembangunan Risalah dari Konferensi
INFID ke-10. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Revrisond Baswir et.all. (1999) Pembangunan Tanpa Perasaan,
Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi Sosial Budaya Orde Baru.
Pustaka Pelajar (Yogyakarta)-IDEA (Yogyakarta)-ELSM
(Jakarta).
Rikardo Simarmata (2003) Pembaharuan Hukum Daerah, Menuju
Pengembalian Hukum Kepada Masyarakat. Yayasan
Bantuan Hukum Bantaya (Palu), Yayasan Kemala (Jakarta),
Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis
Masyarakat dan Ekologi (HuMA), Jakarta.
Rudhi Prasetya (1999) Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Kontrak
dalam Menyongsong Era Globalisasi. Majalah Hukum
Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman, Jakarta.
Satjipto Rahardjo (2001) Pembangunan Hukum di Indonesia dalam
Konteks Situasi Global. Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik
Wardiono (Edt.) Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi
Hukum, Ekonomi, dan Agama. Muhammadiyah University
Press.
Satjipto Rahardjo (2001) Pembangunan Hukum di Indonesia dalam
Konteks Situasi Global. Dalam Khudzaifah Dimyati dan Kelik
Wardiono (Edt.) Problema Globalisasi: Perspektif Sosiologi
Hukum, Ekonomi, dan Agama. Muhammadiyah University
Press, Surakarta.
Sumantoro (1986) Hukum Ekonomi. UI-Press, Jakarta
Sunyoto Usman (1998) Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai