Anda di halaman 1dari 16

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

1, Desember 2013

15

IMPLEMENTASI PASAL 56 UU NO. 8 TAHUN 1981


ATAS PENUNJUKKAN PENASIHAT HUKUM TERHADAP
TERSANGKA DAN TERDAKWA TIDAK MAMPU DALAM
PROSES PERADILAN PIDANA
(Studi di Kabupaten Lumajang)
Feri Hamzah
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
ABSTRAK
Menurut KUHAP, pendampingan seorang atau lebih
penasihat hukum untuk mendampingi tersangka dan
terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana ada
dua macam. Pertama, inisiatif pendampingan berada pada
tersangka dan terdakwa itu sendiri,. Kedua, kehadiran
penasihat hukum untuk mendampingi tersangka dan
terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana atas
inisiatif KUHAP itu sendiri. Pada praktiknya, pelanggaran
terhadap norma Pasal 56 KUHAP itu telah ternyata ada,
akan tetapiKUHAP sendiri tidak mengatur tentang sanksi
apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP itu dilanggar oleh
aparatur penegak hukum dalam rangka menjalankan
KUHAP.
Kata Kunci: KUHAP, Penasihat Hukum, Peradilan Pidana.
A. PENDAHULUAN
Sistem peradilan pidana di Indonesia menganut konsep
bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan
masyarakat atau publik, dimana sengketa itu akan diselesaikan
oleh negara yang merupakan wakil dari masyarakat.1 Sistem
hukum yang berlaku di Indonesia mengikuti Civil Law system,
karena secara historis, wilayah Negara Republik Indonesia pernah
di bawah negara koloni Kerajaan Belanda yang bernama
1

Luhut, M.P. Panggaribuan (2008) Hukum Acara Pidana Surat-Surat


Resmi di Pengadilan Oleh Advokat; Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik,
Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Djambatan, Jakarta, hal. 1.

16

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

Nederlandsche Indie, dan berlakunya sistem hukum a quo karena


adanya asas penyesuaian (corcondantie beginzel).
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), instrumen hukum acara
pidana mengacu pada HerzieneInlandsche Reglement (HIR) yang
dialih bahasakan menjadi Reglement Indonesia yang diperbarui.
Terdapat banyak perbedaan prinsipil antara KUHAP dengan
HIR, salah satunya menyangkut tentang bantuan hukum, dan
pendampingan seorang tersangka pada waktu pra ajudikasi yang
berbeda, karena HIR memperbolehkan pendampingan tertuduh
(verdachte) oleh penasihat hukum hanya pada saat proses
ajudikasi an sich, serta yang tak kalah pentingnya adalah
pengaturan tentang penghormatan hak-hak asasi manusia,
persamaan di hadapan hukum, praduga tidak bersalah, serta asasasas lain yang termasuk sepuluh asas yang menjadi acuan serta
nilai-nilai berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa, KUHAP
mengatur sedemikian rinci. Misalnya dalam proses pra ajudikasi
antara lain; Tersangka berhak untuk diberi tahu dengan jelas
dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang
disangkakan dan didakwakan oleh aparat kepadanya. Vide, Pasal
51 ayat (1), Tersangka dan atau terdakwa memberikan
keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Vide, Pasal
52, serta Tersangka dan terdakwa berhak mendapat juru bahasa
apabila diperlukan pada tingkat penyidikan dan pengadilan. Vide,
Pasal 53 ayat (1).
Guna kepentingan pembelaan terhadap perkaranya,
tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum selama
dalam waktu dan pada semua tingkat pemeriksaan. Vide, Pasal 54
KUHAP, serta Berhak memilih sendiri penasihat hukumnya sesuai
dengan yang dikehendaki oleh tersangka dan terdakwa itu. Vide,
Pasal 55. Bahkan dalam hal ikhwal tersangka dan terdakwa yang
notabene tidak mampu dan diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih, melahirkan suatu kewajiban bagi aparatur
penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan untuk
menunjuk seorang atau lebih penasihat hukum bagi tersangka dan
terdakwa. Vide, Pasal 56 ayat (1). Dan penasihat hukum yang

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

17

ditunjuk memberikan bantuannya secara cumacuma. Vide, Pasal


56 ayat (2) KUHAP.
Dari observasi awal dan pengakuan informan kepada
penulis sebelum melakukan penelitian ini, dalam hal yang sama
seperti halnya kasus Nenek Aminah, pernah terjadi di daerah
Kabupaten Lumajang ada beberapa kasus yang menimpa
masyarakat tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun bahkan lebih. Pada tahap pemeriksaan pra ajudikasi
dan pemeriksaan di muka persidangan atau proses ajudikasi,
tersangka dan terdakwa tidak mampu itu tidak didampingi
penasihat hukum, karena menurut pengakuan informan a quo
pengetahuan hak-hak dan hukum tersangka dan atau terdakwa a
quo sangatlah minim bahkan awam terhadap hukum. Ironisnya,
kewajiban yang timbul dari KUHAP Pasal 56 tidak dijalankan
sebagaimana mestinya oleh aparatur penegak hukum in casu polisi
sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim dalam
proses peradilan pidana.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah implementasi Pasal 56 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait
dengan penunjukkan penasihat hukum terhadap tersangka dan
terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih dalam proses peradilan pidana di
Kabupaten Lumajang?
2. Bagaimana pengaturan ke depannya agar implementasi Pasal
56 KUHAP dapat dilaksanakan dengan efektif di masa yang
akan datang?
C. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan
yuridis sosiologis, yaitu pendekatan perilaku (behavioral approach)
akibat berlakunya Pasal 56 KUHAP sebagai variabel pengaruh
(independent variable) terhadap perilaku aparat penegak hukum
baik penyidik, penuntut umum, dan hakim atas penunjukkan
penasihat hukum kepada tersangka dan terdakwa tidak mampu
yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih sebagai variabel
terpengaruh (dependent variable) dalam proses peradilan pidana.

18

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu


penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta yang
ada, kemudian menganalisis data yang diperoleh secara sistematis,
faktual dan akurat terkait dengan implementasi Pasal 56 KUHAP
atas penunjukkan seorang atau lebih penasihat hukum oleh
aparatur penegak hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak
mampu yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih,
guna mengetahui apakah dalam praktik telah sesuai dengan bunyi
norma a quo atau tidak sesuai.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi, (1) studi pustaka, dan (2) wawancara. Studi
pustaka digunakan dalam rangka pengumpulan data sekunder.
Pengumpulan data dengan menggunakan studi pustaka ditempuh
dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah, mengkaji, dan
mengkritisi ketentuan hukum positif terkait dengan penunjukkan
seorang atau lebih penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum
kepada tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman
pidananya 5 (lima) tahun atau lebih, doktrin dan pendapat para
pakar, demikian pula hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh
peneliti lain terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif
yaitu dengan cara mengumpulkan, mengorganisasikan, memilah
untuk dijadikan satuan yang dapat dikelola, mencari dan
menemukan pola yang dapat dipelajari serta dapat dideskripsikan
kepada orang lain.2
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
D.1. Implementasi Pasal 56 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
Terkait Penunjukkan Penasihat Hukum Terhadap Tersangka
Dan Terdakwa Tidak Mampu Yang Diancam Dengan Pidana
Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Dalam Proses Peradilan
Pidana Di Kabupaten Lumajang
Kehadiran penasihat hukum dalam mendampingi seorang
tersangka dan terdakwa telah diatur sedemikian rupa oleh KUHAP,
karena dengan adanya penasihat hukum hak-hak tersangka dan
terdakwa yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang
2

Lexy J. Moleong. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja


Rosdakarya, Bandung. hal. 248.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

19

dipertahankan sebagaimana mestinya serta prinsip fair trial


diupayakan dapat terlaksana dengan baik.
Pendampingan penasihat hukum dalam proses peradilan
pidana memang bersifat optional, tergantung dari adanya inisiatif
dari tersangka atau terdakwa apakah ia akan didampingi atau
tidak. Akan tetapi dalam hal dan keadaan tertentu kehadiran
penasihat hukum adalah wajib jika memenuhi kriteria dalam Pasal
56 KUHAP, yang menimbulkan keharusan bagi aparat penegak
hukum terkait pada semua tingkat pemeriksaan menunjuk seorang
atau lebih penasihat hukum, dan advokat yang ditunjuk wajib
memberikan bantuannya secara cuma-cuma.
Bunyi Pasal 56 KUHAP ayat (1):
Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati
atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka
Pasal 56 ayat (2) berbunyi: Setiap penasihat hukum yang
ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat (1),
memberikan bantuannya secara cuma-cuma.
Jika diuraikan Pasal 56 KUHAP akan terdapat unsur-unsur
sebagai berikut, antara lain:
Dalam hal tersangka atau terdakwa yang diancam
dengan pidana mati.
Tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana
lima belas tahun.
Tersangka atau terdakwa tidak mampu yang ancaman
pidananya lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai
penasihat hukum sendiri.
Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan wajib menunjuk penasihat hukum bagi
mereka dan setiap penasihat hukum yang ditunjuk
memberikan bantuannya secara cuma-cuma.
Unsur pertama, apabila ada seseorang yang menjadi
tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati, maka

20

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik, penuntut


umum dan hakim harus menunjuk penasihat hukum untuk
mendampingi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan
pidana mati tersebut dalam menghadapi proses peradilan pidana.
Kedua, apabila ada seseorang yang menjadi tersangka atau
terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima belas tahun,
maka pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik,
penuntut umum dan hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi
tersangka dan terdakwa tersebut dalam menghadapi proses
peradilan pidana.
Ketiga, apabila ada seseorang yang menjadi tersangka dan
terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun
atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka
pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik, penuntut
umum dan hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka
dan terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana.
Unsur keempat berupa kewajiban yang bersifat imperatif
bagi aparat penegak hukum untuk menunjuk seorang penasihat
hukum untuk tersangka dan terdakwa dalam menghadapi proses
peradilan pidana, karena rumusan redaksi Pasal 56 pada ayat (1)
menggunakan frase wajib, bukan frase dapat. Setiap penasihat
hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya secara cuma-cuma.
Terkait dengan penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan
terhadap kriteria yang ketiga dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP
tersebut. Dan dari hasil penelitian terungkap bahwasanya, pada
tahap pemeriksaan di hadapan penyidik, apabila tersangka itu
tidak mampu dan diancam dengan ancaman pidana lima tahun
atau lebih, penyidik hanya menawari saja tersangka dan tidak
menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi tersangka tidak
mampu dalam menjalani proses pemeriksaan di hadapan penyidik,
hanya untuk pidana lima belas tahun dan pidana mati an sich yang
tersangkanya didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh
penyidik, baik tersangka itu kaya atau miskin.
Begitu pula pada saat berkas pemeriksaan dilimpahkan
penyidik kepada penuntut umum, penuntut umum mengaku
menunjuk penasihat hukum terhadap tersangka dan terdakwa
tidak mampu, akan tetapi faktanya tidak ada tersangka dan
terdakwa tidak mampu yang ancaman hukumannya lima tahun

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

21

atau lebih yang didampingi penasihat hukum yang ditunjuk oleh


penuntut umum. Dari fakta yang terungkap, diketahui bahwa siapa
yang terkesan menutup-nutupi dan siapa yang berterus terang
serta apa adanya berdasarkan pengakuan terdakwa kepada
peneliti di ruang tahanan Pengadilan Kabupaten Lumajang
sebagaimana digambarkan di atas dalam hasil penelitian.
Pada tahap pemeriksaan di muka persidangan, hakim pun
tidak menunjuk seorang atau lebih penasihat hukum untuk
mendampingi terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum
sendiri itu. Hakim hanya akan menunjuk penasihat hukum jika
terdakwa memberikan surat keterangan tidak mampu dari desa
atau kelurahan tempat dimana terdakwa tinggal.
Padahal KUHAP tidak mensyaratkan hal itu dan Peraturan
Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma bukan ditujukan kepada
hakim, namun hanya kepada advokat. Hakim hanya menunjuk
penasihat hukum untuk terdakwa yang ancaman pidananya berat
seperti pidana mati dan lima belas tahun, meskipun tidak ada surat
keterangan dari desa kelurahan tempat tinggal terdakwa.
Penasihat hukum dalam hal ini adalah advokat
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2), sebagai pihak
yang bersifat pasif. Artinya advokat akan melakukan tugasnya
sebagai penasihat hukum apabila ditunjuk oleh aparat penegak
hukum dalam hal ini penyidik, penuntut umum dan hakim. Serta
advokat tidak akan menolak apabila ditunjuk oleh pejabat a quo
dalam hal mendampingi tersangka atau terdakwa yang tidak
mampu itu, karena hal itu diatur baik berdasarkan Undang-Undang
yang berlaku maupun aturan Kode Etik Profesi Advokat.
Tersangka dan terdakwa yang tidak mampu itu sendiri tidak
banyak mengetahui akan hak-haknya, dan cenderung hanya pasrah
serta menerima saja keadaan itu. Terkadang mereka menolak
untuk didampingi oleh penasihat hukum karena kemauannya
sendiri, dan penolakan itu juga tidak menutup kemungkinan
karena tersangka dan terdakwa a quo berada dalam tekanan entah
secara fisik maupun psikis.
Sebenarnya substansi Pasal 56 KUHAP khusus yang
mengatur tentang penunjukkan penasihat hukum bagi tersangka

22

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara


lima tahun atau lebih tersebut adalah perwujudan dari asas
persamaan dihadapan hukum (equlity before the law) dengan tidak
membedakan status sosial tersangka dan terdakwa itu sendiri,
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasan KUHAP
tentang sepuluh asas umum KUHAP.
Dalam hal ini aparatur penegak hukum (penyidik, penuntut
umum dan hakim) ketika menafsirkan UU, seharusnya tidak keluar
atau menyimpang dari rumusan redaksi Undang-Undang yang
secara tegas dan jelas itu. Sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam sub-bab sebelumnya, dalam penegakan hukum pidana
terkait dengan penafsiran Undang-Undang, maka makna yang jelas
dan tegas tersebut dijadikan dasar penafsiran serta tidak boleh
dilakukan penafsiran-penafsiran lagi yang akan mengaburkan
substansi norma yang telah berlaku sebagai hukum positif itu.
Pembatasan penafsiran itu bukan tanpa dasar, karena
sebagaimana telah dijelaskan pula secara eksplisit dalam Bab II
tentang Ruang Lingkup Berlakunya KUHAP Pasal 2 yang berbunyi
Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara
peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat
peradilan. Dan Bab III tentang Dasar Peradilan Pasal 3 KUHAP
berbunyi Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Jika dilihat dari rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 KUHAP,
tatacara pelaksanaan peradilan oleh aparat penegak hukum in casu
intitusi kepolisian sebagai penyidik, institusi kejaksaan sebagai
penuntut umum dan institusi Mahkamah Agung sebagai pemeriksa
perkara dalam proses peradilan pidana, dalam melaksanakan
fungsinya masing-masing, seyogianya konsisten dan selaras dengan
apa yang diatur oleh KUHAP itu sendiri.
Kaitannya dengan penunjukkan penasihat hukum yang
telah memenuhi klasifikasi Pasal 56 KUHAP, Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan pada Tahun 2010
September s/d Oktober, melakukan suatu penelitian terkait
dengan implementasi Pasal 56 KUHAP yang berlokasi di daerah
sekitaran Jakarta, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta
Selatan dan Jakarta Barat yang hasil dari penelitian a quo
ditemukan bahwa dari jumlah 1.490 berbagai kasus pidana, 79%

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

23

tersangka dan terdakwa dalam menjalani proses peradilan pidana


tidak didampingi oleh penasihat hukum baik pada tahap
pemeriksaan pendahuluan atau pra ajudikasi maupun tahap
pemeriksaaan di muka persidangan yang memberikan bantuan
hukumnya secara cuma-cuma, dan hanya 21% saja yang
didampingi penasihat hukum, kendati tersangka dan atau
terdakwanya telah memenuhi kriteria yang dijelaskan dalam Pasal
56 KUHAP.3
Menurut Sunarmi, hambatan utama dalam sistem peradilan
di Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan salah satunya
menyangkut perilaku aparatur penegak hukum dalam menjalankan
fungsinya, yang akhirnya bermuara pada hukum hanya dapat
dinikmati oleh golongan orang yang mampu, upaya mencari
keadilan adalah mahal, aparatur dalam hal ini senatiasa tidak
bersih dan kualitas profesi di bidang hukum yang kurang
memadai.4
Agar perilaku aparatur penegak hukum yang tidak
melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh aturan hukum positif
yang berlaku sebagaimana terungkap dari hasil penelitian di atas
tidak berkelanjutan, maka sangat diperlukan adanya pengaturan
sanksi yang tegas bagi aparatur penegak hukum yang mengabaikan
ketentuan tersebut, karena apabila perilaku yang demikian tidak
dibatasi dengan sanksi, maka tidak menutup kemungkinan akan
membentuk suatu budaya yang eksesif dalam upaya penegakan
hukum pidana yang hanya berorientasi pada kekuasaan, bukan
pada hukum itu sendiri.
Begitu pula pemahaman tersangka atau terdakwa yang
tidak mampu dalam menghadapi proses peradilan pidana terhadap
hukum acara menjadi salah satu sebab terjadinya suatu
penyimpangan, karena orang yang awam hukum tidak mungkin
mengetahui tentang arti dan makna sesungguhnya dari apa yang
telah diatur itu, dengan demikian pengaturan adanya sanksi

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (2011)


The Rights of Suspect/Defendant to Acces Legal Counsel, hal. 17. Published at
http://leip.or.id/publikasi.html,
4
Sunarmi (2004) Membangun Sistem Peradilan Pidana di Indoensia,
hal. 4.

24

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

sebagaimana disinggung di atas akan sangat berpihak kepada


orang yang awam terhadap hukum itu.
Menurut Jhon Austin, hukum itu mempunyai empat unsur,
pertama, adanya pihak yang mempunyai otoritas untuk
membentuk (souvereignty), dua, berisi perintah (command), tiga,
kewajiban untuk mentaati (duty) dan empat, sanksi tegas yang
diberlakukan bagi yang tidak taat (sanction).5
Seperti diketahui bahwa instrument hukum positif yang
terkait dengan proses peradilan pidana yang meliputi KUHAP,
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.14-PW.07.03 Tahun
1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, tidak mengatur secara jelas dan
tegas tentang sanksi bagi aparatur penegak hukum baik penyidik,
jaksa penuntut umum dan hakim dalam menjalankan fungsinya
masing-masing yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 56
KUHAP. Sehingga pelaksanaan Pasal a quo dapat diprediksi tidak
akan terlaksana dengan baik dan efektif apabila norma yang
mengatur sanksi tegas itu tidak segera dirumuskan.
Dalam praktik terdapat sejumlah putusan hakim terdahulu
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (jurisprudentie,)
baik putusan yang diputus pada tingkat Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi (Judex Factie) maupun di tingkat Mahkamah
Agung (Judex Jurist) terkait dengan tidak dipatuhinya ketentuan
Pasal 56 KUHAP, antara lain:
Add. I. Judex Factie:
1. Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor: 34/Pid.B/1995/PN.Tgl
tertanggal 26 Juni Tahun 1995 yang menyatakan penyidikan
yang dilakukan oleh Mabes Polri tidak sah karena Pasal 56
KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima;
2. Putusan Pengadilan Negeri Blora, No.: 11/Pid.B/2003/PN.Bla
tertanggal 13 Februari Tahun 2003, menyatakan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum tidak dapat diterima karena dilakukan atas
5

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)


Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, C.V. Kita,
Surabaya, hal. 140.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

25

dasar Berita Acara Pemeriksaan yang batal demi hukum, karena


dilakukan dengan melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP;
3. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor: 03Pid/2002/PTY
tertanggal 07 Maret Tahun 2002, yang menyatakan bahwa
tuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak dapat
diterima karena didasarkan pada penyidikan yang tidak sah,
yaitu melanggar Pasal 56 KUHAP.
Add. II. Judex Jurist:
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1565K/Pid/1991
tanggal 16 September Tahun 1993 yang menyatakan bahwa:
apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/
terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk
penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan
penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.6
Dari beberapa yurisprudensi di atas terlihat bahwa
sinkronisasi secara struktural yang menyangkut lembaga pemeriksa
perkara pidana dalam hal ini pengadilan perlu dipertanyakan
ulang, dimana pada satu sisi ada yurisprudensi yang telah
membatasi bahwa ketentuan Pasal 56 KUHAP harus dilaksanakan
sesuai dengan bunyinya bagi institusi pengadilan, sedangkan pada
sisi yang lain masih ada institusi pengadilan yang memeriksa
perkara pidana pada kasus serupa tidak mengindahkan
yurisprudensi a quo.
Jika merujuk pada jurisprudensi, sebenarnya perilaku
aparatur penegak hukum terutama majelis hakim yang memeriksa
perkara pidana dalam rangka melaksanakan Pasal 56 KUHAP pada
tataran praktik tidak dibenarkan apabila tidak menunjuk penasihat
hukum bagi tersangka dan atau terdakwa yang telah memenuhi
klasifikasi bunyi Pasal 56 KUHAP.
Akan tetapi kedudukan jurisprudensi dalam sistem hukum
Eropa Kontinental (Civil Law system) yang berlaku di Indonesia
bersifat tidak mengikat, tidak seperti halnya precedent dalam
sistem hukum Anglo Saxon yang bersifat mengikat hakim-hakim di
masa yang akan datang untuk kasus yang serupa, dan kedudukan
hakim dalam sistem hukum Eropa Kontinental dapat menggunakan
6

Noor Aufa (2011) Sebuah Eksepsi; Eksepsi Atas Surat Dakwaan


Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mungkit, No. Reg. Perk:PDM15/MUNGKID/
2011

26

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

jurisprudensi itu boleh pula tidak menggunakannya, dalam hal ini


menimbulkan ketidakpastian hukum.
Seperti apa yang telah diuraikan pada sub bab terdahulu
bahwa, hukum pidana harus mengandung suatu kepastian, karena
hal ini untuk membatasi kesewenang-wenangan negara sebagai
aparat yang menegakkan hukum pada satu sisi dan memberikan
keadilan untuk pihak yang diproses dalam peradilan pidana itu
sendiri pada sisi yang lain.
D.2 Pengaturan Ke Depan
Konsekuensi dianutnya sistem hukum Eropa Kontinental di
Indonesia adalah hukum dalam mengatur tentang segala
perbuatan dan tindakan warga negara baik yang dilarang (verbod)
maupun yang diperbolehkan atau diharuskan (gebod) cenderung
berbentuk tertulis. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang tertulis
itu mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dibanding dengan
hukum yang tidak tertulis, antara lain:7
Apa yang diatur oleh hukum itu sendiri dapat dengan
mudah diketahui oleh orang.
Setiap orang kecuali orang yang tidak bisa membaca
mendapatkan jalanmasuk yang sama ke dalam hukum.
Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa
dicocokkan kembali dengan apa yang dituliskan,
sehingga mengurangi ketidakpastian.
Untuk kepentingan pengembangan hukum atau
perundang-undangan, untuk membuat yang baru maka
hukum tertulis juga menyediakan banyak kemudahan.
Kendati penggunaan hukum yang tertulis itu telah manjadi
hal yang lazim atau umum dalam negara yang menganut sistem
hukum Eropa Kontinental, akan tetapi hal tersebut tidak dengan
secara serta merta apabila hukum telah tertulis akan dapat
meningkatkan kualitas dari keadilan itu sendiri. Hukum yang
tertulis tidak ada korelasinya dengan kualitas keadilan, tetapi
hukum yang tertulis itu hanya menyangkut mengenai bentuknya
an sich.8
7

Satjipto Rahardjo (2006) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,

Ibid.

hal. 72.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

27

Jhon Austin berpendapat bahwa hukum yang tertulis


bukanlah merupakan soal adil atau tidak adil, tetapi satu-satunya
hal yang relevan apabila berbicara tentang hukum adalah bahwa
hukum ada dan sah secara yuridis karena ada lembaga yang
mempunyai otoritas khusus untuk membuat hukum yang
berbentuk tertulis itu,9 berbeda dengan hukum tak tertulis yang
tidak ada badan khusus untuk membentuk hukum, hukum tak
tertulis berasal dari berbagai tindakan-tindakan serta perilaku yang
telah biasa diperbuat, yang pada akhirnya dianggap sebagai hukum
karena telah menjadi adat-istiadat atau kebiasaan.
Mengenai keadilan itu sendiri Jhon Rawls dalam bukunya
yang berjudul A Theory of Justice berasumsi bahwa dalam tatanan
berbagai masyarakat di mana pun di dunia ini selalu diwarnai oleh
ketimpangan-ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan dan ada
pula yang kurang diuntungkan, dalam situasi inilah dibutuhkan
suatu penanganan yang adil. Lebih lanjut Rawls mempunyai
pendapat bahwa keadilan itu terletak pada kepemihakan, dan
kepemihakan itu tidak diperkenankan membuat orang lain
menderita, serta tidak dianjurkan pula membuat orang yang
bersangkutan menjadi parasit dalam arti menjadi beban orang
lain.10
Oleh karena itu maka menurut Rawls, hukum sebagai salah
satu unsur susunan dasar masyarakat harus mengatur sedemikian
rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan
yang sama bagi tiap orang untuk mendapatkan akses bagi
kelangsungan hidupnya seperti hak-hak dan kebebasan. Kedua,
prinsip perbedaan dan prinsip kebersamaan atas kesempatan. Inti
dari kebebasan yang sama bagi tiap orang adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan
manfaat yang lebih besar bagi mereka yang paling kurang
beruntung, sedangkan inti prinsip kebersamaan atas kesempatan
adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang,
termasuk orang yang paling tidak beruntung untuk mencapai

Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)


Op.Cit. hal. 138.
10
Ibid. hal. 111.

28

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

prospek kesejahteraan dan keadilan. Inilah yang dinamakan inti


yang sebenarnya dari khakikat keadilan (original justice position).11
Dalam konteks penelitian ini, orang-orang yang paling tidak
beruntung tersebut dapat diambil padanannya sebagai tersangka
dan terdakwa tidak mampu yang dalam menghadapi proses
peradilan pidana terkait dengan implementasi Pasal 56 KUHAP atas
penunjukkan penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum bagi
tersangka dan terdakwa tidak mampu a quo. Pada kenyataannya
telah jelas dan tegas dirumuskan oleh KUHAP bahwa jika ada
seorang tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih maka aparatur penegak
hukum wajib menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya.
Akan tetapi fakta yang terungkap dalam penelitian ini dan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain, kewajiban yang
diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum a
quo, dan celakanya aturan mengenai sanksi apabila terjadi
pelanggaran tersebut tidak dirumuskan secara tegas dalam KUHAP,
sanksi itu ada akan tetapi hanya sebatas pada yurisprudensi yang
disebutkan pada sub bab sebelumnya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa dalam sistem
hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia, kedudukan
yurisprudensi tidaklah bersifat mengikat bagi hakim-hakim yang
akan datang dalam memeriksa kasus serupa, meskipun dalam hal
ini telah ada yurisprudensi bahwa tuntutan penuntut umum
(requisitoir) tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklraad)
apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tidak dipenuhi oleh aparat
penegak hukum in casu penyidik, penuntut umum dan hakim
dalam proses peradilan pidana.
Untuk itu sesuai dengan amanat Pancasila dalam Sila kedua
dan kelima, dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 Pasal
24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2)
serta KUHAP, yang didalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi
manusia, pengaturan adanya sanksi yang tegas dengan
mereformulasi hukum acara pidana apabila Pasal 56 KUHAP
terkhusus pada penunjukkan penasihat hukum bagi tersangka dan
terdakwa tidak mampu yang ancaman pidananya lima tahun atau
lebih dalam menghadapi proses peradilan pidana, apabila tidak
11

Ibid.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013

29

dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum dengan baik dan benar


dirasa sangat perlu dirumuskan, agar terdapat kepastian hukum
dalam pelaksanaannya dan diharapkan implementasi Pasal 56
KUHAP di masa yang akan datang dapat berlaku secara efektif,
serta persamaan untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat
yang tidak mampu setidak-tidaknya dapat tercapai.
E. PENUTUP
Dari apa yang telah diutarakan serta dibahas pada
beberapa bab sebelumnya di atas, maka pdapat disimpulkan
bahwa implementasi Pasal 56 KUHAP oleh aparat penegak hukum
terkait dengan penunjukkan seorang penasihat hukum terhadap
tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan
pidana lima tahun atau lebih dalam menghadapi proses peradilan
pidana di Kabupaten Lumajang tidak dijalankan dengan baik dan
benar sebagaimana rumusan Undang-Undang in abstracto.
Pengaturan ideal ke depan yang menyangkut implementasi
Pasal 56 KUHAP agar di masa yang akan datang dapat dilaksanakan
secara efektif, perlu direformulasikan suatu rumusan norma
tambahan dalam hukum acara pidana baru yang menyangkut
sanksi. Baik sanksi administratif maupun sanksi pidana jika perlu
apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tidak dilaksanakan dengan baik
dan benar oleh aparat penegak hukum sesuai dengan rumusan
normanya. Sehingga terdapat kepastian hukum serta hak
tersangka dan terdakwa tidak mampu dalam menghadapi proses
peradilan pidana dapat terakomodasi sebagaimana mestinya.
Untuk itu disarankan pengaturan khususnya mengenai
penunjukkan penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum
terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam
dengan pidana lima tahun atau lebih dalam KUHAP dirasa sudah
waktunya untuk ditinjau ulang oleh pejabat legislasi agar dilakukan
perubahan.
-------

30

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)


Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, C.V. Kita, Surabaya.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (2011)
The Rights of Suspect/Defendant to Acces Legal Counsel,
hal. 17. Published at http://leip.or.id/publikasi.html,
Lexy J. Moleong. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Luhut, M.P. Panggaribuan (2008) Hukum Acara Pidana Surat-Surat
Resmi di Pengadilan Oleh Advokat; Praperadilan, Eksepsi,
Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali, Djambatan, Jakarta.
Noor Aufa (2011) Sebuah Eksepsi; Eksepsi Atas Surat Dakwaan
Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mungkit, No. Reg.
Perk:PDM15/MUNGKID/2011
Satjipto Rahardjo (2006) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sunarmi (2004) Membangun Sistem Peradilan Pidana di Indoensia.

Anda mungkin juga menyukai