ATAS PENUNJUKKAN PENASIHAT HUKUM TERHADAP TERSANGKA DAN TERDAKWA TIDAK MAMPU DALAM PROSES PERADILAN PIDANA (Studi di Kabupaten Lumajang) Feri Hamzah - Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Jl. Mahakam No. 7 Lumajang ABSTRAK Menurut KUHAP, pendampingan seorang atau lebih penasihat hukum untuk mendampingi tersangka dan terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana ada dua macam. Pertama, inisiatif pendampingan berada pada tersangka dan terdakwa itu sendiri,. Kedua, kehadiran penasihat hukum untuk mendampingi tersangka dan terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana atas inisiatif KUHAP itu sendiri. Pada praktiknya, pelanggaran terhadap norma Pasal 56 KUHAP itu telah ternyata ada, akan tetapiKUHAP sendiri tidak mengatur tentang sanksi apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP itu dilanggar oleh aparatur penegak hukum dalam rangka menjalankan KUHAP. Kata Kunci: KUHAP, Penasihat Hukum, Peradilan Pidana. A. PENDAHULUAN Sistem peradilan pidana di Indonesia menganut konsep bahwa kasus pidana adalah sengketa antara individu dengan masyarakat atau publik, dimana sengketa itu akan diselesaikan oleh negara yang merupakan wakil dari masyarakat.1 Sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengikuti Civil Law system, karena secara historis, wilayah Negara Republik Indonesia pernah di bawah negara koloni Kerajaan Belanda yang bernama 1
Luhut, M.P. Panggaribuan (2008) Hukum Acara Pidana Surat-Surat
Resmi di Pengadilan Oleh Advokat; Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Djambatan, Jakarta, hal. 1.
16
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
Nederlandsche Indie, dan berlakunya sistem hukum a quo karena
adanya asas penyesuaian (corcondantie beginzel). Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), instrumen hukum acara pidana mengacu pada HerzieneInlandsche Reglement (HIR) yang dialih bahasakan menjadi Reglement Indonesia yang diperbarui. Terdapat banyak perbedaan prinsipil antara KUHAP dengan HIR, salah satunya menyangkut tentang bantuan hukum, dan pendampingan seorang tersangka pada waktu pra ajudikasi yang berbeda, karena HIR memperbolehkan pendampingan tertuduh (verdachte) oleh penasihat hukum hanya pada saat proses ajudikasi an sich, serta yang tak kalah pentingnya adalah pengaturan tentang penghormatan hak-hak asasi manusia, persamaan di hadapan hukum, praduga tidak bersalah, serta asasasas lain yang termasuk sepuluh asas yang menjadi acuan serta nilai-nilai berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mengenai hak-hak tersangka dan terdakwa, KUHAP mengatur sedemikian rinci. Misalnya dalam proses pra ajudikasi antara lain; Tersangka berhak untuk diberi tahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan didakwakan oleh aparat kepadanya. Vide, Pasal 51 ayat (1), Tersangka dan atau terdakwa memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Vide, Pasal 52, serta Tersangka dan terdakwa berhak mendapat juru bahasa apabila diperlukan pada tingkat penyidikan dan pengadilan. Vide, Pasal 53 ayat (1). Guna kepentingan pembelaan terhadap perkaranya, tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan hukum selama dalam waktu dan pada semua tingkat pemeriksaan. Vide, Pasal 54 KUHAP, serta Berhak memilih sendiri penasihat hukumnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh tersangka dan terdakwa itu. Vide, Pasal 55. Bahkan dalam hal ikhwal tersangka dan terdakwa yang notabene tidak mampu dan diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, melahirkan suatu kewajiban bagi aparatur penegak hukum dalam semua tingkat pemeriksaan untuk menunjuk seorang atau lebih penasihat hukum bagi tersangka dan terdakwa. Vide, Pasal 56 ayat (1). Dan penasihat hukum yang
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
17
ditunjuk memberikan bantuannya secara cumacuma. Vide, Pasal
56 ayat (2) KUHAP. Dari observasi awal dan pengakuan informan kepada penulis sebelum melakukan penelitian ini, dalam hal yang sama seperti halnya kasus Nenek Aminah, pernah terjadi di daerah Kabupaten Lumajang ada beberapa kasus yang menimpa masyarakat tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun bahkan lebih. Pada tahap pemeriksaan pra ajudikasi dan pemeriksaan di muka persidangan atau proses ajudikasi, tersangka dan terdakwa tidak mampu itu tidak didampingi penasihat hukum, karena menurut pengakuan informan a quo pengetahuan hak-hak dan hukum tersangka dan atau terdakwa a quo sangatlah minim bahkan awam terhadap hukum. Ironisnya, kewajiban yang timbul dari KUHAP Pasal 56 tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh aparatur penegak hukum in casu polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim dalam proses peradilan pidana. B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah implementasi Pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terkait dengan penunjukkan penasihat hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dalam proses peradilan pidana di Kabupaten Lumajang? 2. Bagaimana pengaturan ke depannya agar implementasi Pasal 56 KUHAP dapat dilaksanakan dengan efektif di masa yang akan datang? C. METODE PENELITIAN Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis, yaitu pendekatan perilaku (behavioral approach) akibat berlakunya Pasal 56 KUHAP sebagai variabel pengaruh (independent variable) terhadap perilaku aparat penegak hukum baik penyidik, penuntut umum, dan hakim atas penunjukkan penasihat hukum kepada tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih sebagai variabel terpengaruh (dependent variable) dalam proses peradilan pidana.
18
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta yang ada, kemudian menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat terkait dengan implementasi Pasal 56 KUHAP atas penunjukkan seorang atau lebih penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih, guna mengetahui apakah dalam praktik telah sesuai dengan bunyi norma a quo atau tidak sesuai. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi, (1) studi pustaka, dan (2) wawancara. Studi pustaka digunakan dalam rangka pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data dengan menggunakan studi pustaka ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca, menelaah, mengkaji, dan mengkritisi ketentuan hukum positif terkait dengan penunjukkan seorang atau lebih penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum kepada tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman pidananya 5 (lima) tahun atau lebih, doktrin dan pendapat para pakar, demikian pula hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti lain terdahulu yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara mengumpulkan, mengorganisasikan, memilah untuk dijadikan satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola yang dapat dipelajari serta dapat dideskripsikan kepada orang lain.2 D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN D.1. Implementasi Pasal 56 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP Terkait Penunjukkan Penasihat Hukum Terhadap Tersangka Dan Terdakwa Tidak Mampu Yang Diancam Dengan Pidana Penjara 5 (Lima) Tahun Atau Lebih Dalam Proses Peradilan Pidana Di Kabupaten Lumajang Kehadiran penasihat hukum dalam mendampingi seorang tersangka dan terdakwa telah diatur sedemikian rupa oleh KUHAP, karena dengan adanya penasihat hukum hak-hak tersangka dan terdakwa yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang 2
Lexy J. Moleong. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung. hal. 248.
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
19
dipertahankan sebagaimana mestinya serta prinsip fair trial
diupayakan dapat terlaksana dengan baik. Pendampingan penasihat hukum dalam proses peradilan pidana memang bersifat optional, tergantung dari adanya inisiatif dari tersangka atau terdakwa apakah ia akan didampingi atau tidak. Akan tetapi dalam hal dan keadaan tertentu kehadiran penasihat hukum adalah wajib jika memenuhi kriteria dalam Pasal 56 KUHAP, yang menimbulkan keharusan bagi aparat penegak hukum terkait pada semua tingkat pemeriksaan menunjuk seorang atau lebih penasihat hukum, dan advokat yang ditunjuk wajib memberikan bantuannya secara cuma-cuma. Bunyi Pasal 56 KUHAP ayat (1): Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka Pasal 56 ayat (2) berbunyi: Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud ayat (1), memberikan bantuannya secara cuma-cuma. Jika diuraikan Pasal 56 KUHAP akan terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara lain: Dalam hal tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati. Tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana lima belas tahun. Tersangka atau terdakwa tidak mampu yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka dan setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya secara cuma-cuma. Unsur pertama, apabila ada seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati, maka
20
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik, penuntut
umum dan hakim harus menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana mati tersebut dalam menghadapi proses peradilan pidana. Kedua, apabila ada seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa yang diancam dengan pidana penjara lima belas tahun, maka pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik, penuntut umum dan hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka dan terdakwa tersebut dalam menghadapi proses peradilan pidana. Ketiga, apabila ada seseorang yang menjadi tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, maka pejabat dalam semua tingkat pemeriksaan baik penyidik, penuntut umum dan hakim wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka dan terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana. Unsur keempat berupa kewajiban yang bersifat imperatif bagi aparat penegak hukum untuk menunjuk seorang penasihat hukum untuk tersangka dan terdakwa dalam menghadapi proses peradilan pidana, karena rumusan redaksi Pasal 56 pada ayat (1) menggunakan frase wajib, bukan frase dapat. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk memberikan bantuannya secara cuma-cuma. Terkait dengan penelitian ini, peneliti hanya memfokuskan terhadap kriteria yang ketiga dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP tersebut. Dan dari hasil penelitian terungkap bahwasanya, pada tahap pemeriksaan di hadapan penyidik, apabila tersangka itu tidak mampu dan diancam dengan ancaman pidana lima tahun atau lebih, penyidik hanya menawari saja tersangka dan tidak menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi tersangka tidak mampu dalam menjalani proses pemeriksaan di hadapan penyidik, hanya untuk pidana lima belas tahun dan pidana mati an sich yang tersangkanya didampingi oleh penasihat hukum yang ditunjuk oleh penyidik, baik tersangka itu kaya atau miskin. Begitu pula pada saat berkas pemeriksaan dilimpahkan penyidik kepada penuntut umum, penuntut umum mengaku menunjuk penasihat hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu, akan tetapi faktanya tidak ada tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman hukumannya lima tahun
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
21
atau lebih yang didampingi penasihat hukum yang ditunjuk oleh
penuntut umum. Dari fakta yang terungkap, diketahui bahwa siapa yang terkesan menutup-nutupi dan siapa yang berterus terang serta apa adanya berdasarkan pengakuan terdakwa kepada peneliti di ruang tahanan Pengadilan Kabupaten Lumajang sebagaimana digambarkan di atas dalam hasil penelitian. Pada tahap pemeriksaan di muka persidangan, hakim pun tidak menunjuk seorang atau lebih penasihat hukum untuk mendampingi terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri itu. Hakim hanya akan menunjuk penasihat hukum jika terdakwa memberikan surat keterangan tidak mampu dari desa atau kelurahan tempat dimana terdakwa tinggal. Padahal KUHAP tidak mensyaratkan hal itu dan Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma bukan ditujukan kepada hakim, namun hanya kepada advokat. Hakim hanya menunjuk penasihat hukum untuk terdakwa yang ancaman pidananya berat seperti pidana mati dan lima belas tahun, meskipun tidak ada surat keterangan dari desa kelurahan tempat tinggal terdakwa. Penasihat hukum dalam hal ini adalah advokat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 ayat (2), sebagai pihak yang bersifat pasif. Artinya advokat akan melakukan tugasnya sebagai penasihat hukum apabila ditunjuk oleh aparat penegak hukum dalam hal ini penyidik, penuntut umum dan hakim. Serta advokat tidak akan menolak apabila ditunjuk oleh pejabat a quo dalam hal mendampingi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu itu, karena hal itu diatur baik berdasarkan Undang-Undang yang berlaku maupun aturan Kode Etik Profesi Advokat. Tersangka dan terdakwa yang tidak mampu itu sendiri tidak banyak mengetahui akan hak-haknya, dan cenderung hanya pasrah serta menerima saja keadaan itu. Terkadang mereka menolak untuk didampingi oleh penasihat hukum karena kemauannya sendiri, dan penolakan itu juga tidak menutup kemungkinan karena tersangka dan terdakwa a quo berada dalam tekanan entah secara fisik maupun psikis. Sebenarnya substansi Pasal 56 KUHAP khusus yang mengatur tentang penunjukkan penasihat hukum bagi tersangka
22
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih tersebut adalah perwujudan dari asas persamaan dihadapan hukum (equlity before the law) dengan tidak membedakan status sosial tersangka dan terdakwa itu sendiri, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam penjelasan KUHAP tentang sepuluh asas umum KUHAP. Dalam hal ini aparatur penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) ketika menafsirkan UU, seharusnya tidak keluar atau menyimpang dari rumusan redaksi Undang-Undang yang secara tegas dan jelas itu. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya, dalam penegakan hukum pidana terkait dengan penafsiran Undang-Undang, maka makna yang jelas dan tegas tersebut dijadikan dasar penafsiran serta tidak boleh dilakukan penafsiran-penafsiran lagi yang akan mengaburkan substansi norma yang telah berlaku sebagai hukum positif itu. Pembatasan penafsiran itu bukan tanpa dasar, karena sebagaimana telah dijelaskan pula secara eksplisit dalam Bab II tentang Ruang Lingkup Berlakunya KUHAP Pasal 2 yang berbunyi Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Dan Bab III tentang Dasar Peradilan Pasal 3 KUHAP berbunyi Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Jika dilihat dari rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 KUHAP, tatacara pelaksanaan peradilan oleh aparat penegak hukum in casu intitusi kepolisian sebagai penyidik, institusi kejaksaan sebagai penuntut umum dan institusi Mahkamah Agung sebagai pemeriksa perkara dalam proses peradilan pidana, dalam melaksanakan fungsinya masing-masing, seyogianya konsisten dan selaras dengan apa yang diatur oleh KUHAP itu sendiri. Kaitannya dengan penunjukkan penasihat hukum yang telah memenuhi klasifikasi Pasal 56 KUHAP, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan pada Tahun 2010 September s/d Oktober, melakukan suatu penelitian terkait dengan implementasi Pasal 56 KUHAP yang berlokasi di daerah sekitaran Jakarta, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat yang hasil dari penelitian a quo ditemukan bahwa dari jumlah 1.490 berbagai kasus pidana, 79%
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
23
tersangka dan terdakwa dalam menjalani proses peradilan pidana
tidak didampingi oleh penasihat hukum baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan atau pra ajudikasi maupun tahap pemeriksaaan di muka persidangan yang memberikan bantuan hukumnya secara cuma-cuma, dan hanya 21% saja yang didampingi penasihat hukum, kendati tersangka dan atau terdakwanya telah memenuhi kriteria yang dijelaskan dalam Pasal 56 KUHAP.3 Menurut Sunarmi, hambatan utama dalam sistem peradilan di Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan salah satunya menyangkut perilaku aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsinya, yang akhirnya bermuara pada hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan orang yang mampu, upaya mencari keadilan adalah mahal, aparatur dalam hal ini senatiasa tidak bersih dan kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai.4 Agar perilaku aparatur penegak hukum yang tidak melaksanakan apa yang telah ditentukan oleh aturan hukum positif yang berlaku sebagaimana terungkap dari hasil penelitian di atas tidak berkelanjutan, maka sangat diperlukan adanya pengaturan sanksi yang tegas bagi aparatur penegak hukum yang mengabaikan ketentuan tersebut, karena apabila perilaku yang demikian tidak dibatasi dengan sanksi, maka tidak menutup kemungkinan akan membentuk suatu budaya yang eksesif dalam upaya penegakan hukum pidana yang hanya berorientasi pada kekuasaan, bukan pada hukum itu sendiri. Begitu pula pemahaman tersangka atau terdakwa yang tidak mampu dalam menghadapi proses peradilan pidana terhadap hukum acara menjadi salah satu sebab terjadinya suatu penyimpangan, karena orang yang awam hukum tidak mungkin mengetahui tentang arti dan makna sesungguhnya dari apa yang telah diatur itu, dengan demikian pengaturan adanya sanksi
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (2011)
The Rights of Suspect/Defendant to Acces Legal Counsel, hal. 17. Published at http://leip.or.id/publikasi.html, 4 Sunarmi (2004) Membangun Sistem Peradilan Pidana di Indoensia, hal. 4.
24
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
sebagaimana disinggung di atas akan sangat berpihak kepada
orang yang awam terhadap hukum itu. Menurut Jhon Austin, hukum itu mempunyai empat unsur, pertama, adanya pihak yang mempunyai otoritas untuk membentuk (souvereignty), dua, berisi perintah (command), tiga, kewajiban untuk mentaati (duty) dan empat, sanksi tegas yang diberlakukan bagi yang tidak taat (sanction).5 Seperti diketahui bahwa instrument hukum positif yang terkait dengan proses peradilan pidana yang meliputi KUHAP, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, tidak mengatur secara jelas dan tegas tentang sanksi bagi aparatur penegak hukum baik penyidik, jaksa penuntut umum dan hakim dalam menjalankan fungsinya masing-masing yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal 56 KUHAP. Sehingga pelaksanaan Pasal a quo dapat diprediksi tidak akan terlaksana dengan baik dan efektif apabila norma yang mengatur sanksi tegas itu tidak segera dirumuskan. Dalam praktik terdapat sejumlah putusan hakim terdahulu yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (jurisprudentie,) baik putusan yang diputus pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (Judex Factie) maupun di tingkat Mahkamah Agung (Judex Jurist) terkait dengan tidak dipatuhinya ketentuan Pasal 56 KUHAP, antara lain: Add. I. Judex Factie: 1. Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor: 34/Pid.B/1995/PN.Tgl tertanggal 26 Juni Tahun 1995 yang menyatakan penyidikan yang dilakukan oleh Mabes Polri tidak sah karena Pasal 56 KUHAP tidak diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima; 2. Putusan Pengadilan Negeri Blora, No.: 11/Pid.B/2003/PN.Bla tertanggal 13 Februari Tahun 2003, menyatakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima karena dilakukan atas 5
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)
Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, C.V. Kita, Surabaya, hal. 140.
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
25
dasar Berita Acara Pemeriksaan yang batal demi hukum, karena
dilakukan dengan melanggar ketentuan Pasal 56 KUHAP; 3. Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor: 03Pid/2002/PTY tertanggal 07 Maret Tahun 2002, yang menyatakan bahwa tuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum tidak dapat diterima karena didasarkan pada penyidikan yang tidak sah, yaitu melanggar Pasal 56 KUHAP. Add. II. Judex Jurist: Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1565K/Pid/1991 tanggal 16 September Tahun 1993 yang menyatakan bahwa: apabila syarat-syarat permintaan dan/atau hak tersangka/ terdakwa tidak terpenuhi seperti halnya penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka sejak awal penyidikan, tuntutan penuntut umum dinyatakan tidak dapat diterima.6 Dari beberapa yurisprudensi di atas terlihat bahwa sinkronisasi secara struktural yang menyangkut lembaga pemeriksa perkara pidana dalam hal ini pengadilan perlu dipertanyakan ulang, dimana pada satu sisi ada yurisprudensi yang telah membatasi bahwa ketentuan Pasal 56 KUHAP harus dilaksanakan sesuai dengan bunyinya bagi institusi pengadilan, sedangkan pada sisi yang lain masih ada institusi pengadilan yang memeriksa perkara pidana pada kasus serupa tidak mengindahkan yurisprudensi a quo. Jika merujuk pada jurisprudensi, sebenarnya perilaku aparatur penegak hukum terutama majelis hakim yang memeriksa perkara pidana dalam rangka melaksanakan Pasal 56 KUHAP pada tataran praktik tidak dibenarkan apabila tidak menunjuk penasihat hukum bagi tersangka dan atau terdakwa yang telah memenuhi klasifikasi bunyi Pasal 56 KUHAP. Akan tetapi kedudukan jurisprudensi dalam sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law system) yang berlaku di Indonesia bersifat tidak mengikat, tidak seperti halnya precedent dalam sistem hukum Anglo Saxon yang bersifat mengikat hakim-hakim di masa yang akan datang untuk kasus yang serupa, dan kedudukan hakim dalam sistem hukum Eropa Kontinental dapat menggunakan 6
Noor Aufa (2011) Sebuah Eksepsi; Eksepsi Atas Surat Dakwaan
Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mungkit, No. Reg. Perk:PDM15/MUNGKID/ 2011
26
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
jurisprudensi itu boleh pula tidak menggunakannya, dalam hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti apa yang telah diuraikan pada sub bab terdahulu bahwa, hukum pidana harus mengandung suatu kepastian, karena hal ini untuk membatasi kesewenang-wenangan negara sebagai aparat yang menegakkan hukum pada satu sisi dan memberikan keadilan untuk pihak yang diproses dalam peradilan pidana itu sendiri pada sisi yang lain. D.2 Pengaturan Ke Depan Konsekuensi dianutnya sistem hukum Eropa Kontinental di Indonesia adalah hukum dalam mengatur tentang segala perbuatan dan tindakan warga negara baik yang dilarang (verbod) maupun yang diperbolehkan atau diharuskan (gebod) cenderung berbentuk tertulis. Menurut Satjipto Rahardjo, hukum yang tertulis itu mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu dibanding dengan hukum yang tidak tertulis, antara lain:7 Apa yang diatur oleh hukum itu sendiri dapat dengan mudah diketahui oleh orang. Setiap orang kecuali orang yang tidak bisa membaca mendapatkan jalanmasuk yang sama ke dalam hukum. Pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa dicocokkan kembali dengan apa yang dituliskan, sehingga mengurangi ketidakpastian. Untuk kepentingan pengembangan hukum atau perundang-undangan, untuk membuat yang baru maka hukum tertulis juga menyediakan banyak kemudahan. Kendati penggunaan hukum yang tertulis itu telah manjadi hal yang lazim atau umum dalam negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, akan tetapi hal tersebut tidak dengan secara serta merta apabila hukum telah tertulis akan dapat meningkatkan kualitas dari keadilan itu sendiri. Hukum yang tertulis tidak ada korelasinya dengan kualitas keadilan, tetapi hukum yang tertulis itu hanya menyangkut mengenai bentuknya an sich.8 7
Satjipto Rahardjo (2006) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
Ibid.
hal. 72.
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
27
Jhon Austin berpendapat bahwa hukum yang tertulis
bukanlah merupakan soal adil atau tidak adil, tetapi satu-satunya hal yang relevan apabila berbicara tentang hukum adalah bahwa hukum ada dan sah secara yuridis karena ada lembaga yang mempunyai otoritas khusus untuk membuat hukum yang berbentuk tertulis itu,9 berbeda dengan hukum tak tertulis yang tidak ada badan khusus untuk membentuk hukum, hukum tak tertulis berasal dari berbagai tindakan-tindakan serta perilaku yang telah biasa diperbuat, yang pada akhirnya dianggap sebagai hukum karena telah menjadi adat-istiadat atau kebiasaan. Mengenai keadilan itu sendiri Jhon Rawls dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice berasumsi bahwa dalam tatanan berbagai masyarakat di mana pun di dunia ini selalu diwarnai oleh ketimpangan-ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan dan ada pula yang kurang diuntungkan, dalam situasi inilah dibutuhkan suatu penanganan yang adil. Lebih lanjut Rawls mempunyai pendapat bahwa keadilan itu terletak pada kepemihakan, dan kepemihakan itu tidak diperkenankan membuat orang lain menderita, serta tidak dianjurkan pula membuat orang yang bersangkutan menjadi parasit dalam arti menjadi beban orang lain.10 Oleh karena itu maka menurut Rawls, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat harus mengatur sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi tiap orang untuk mendapatkan akses bagi kelangsungan hidupnya seperti hak-hak dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip kebersamaan atas kesempatan. Inti dari kebebasan yang sama bagi tiap orang adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diatur agar memberikan manfaat yang lebih besar bagi mereka yang paling kurang beruntung, sedangkan inti prinsip kebersamaan atas kesempatan adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang, termasuk orang yang paling tidak beruntung untuk mencapai
Bernard L Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)
Op.Cit. hal. 138. 10 Ibid. hal. 111.
28
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
prospek kesejahteraan dan keadilan. Inilah yang dinamakan inti
yang sebenarnya dari khakikat keadilan (original justice position).11 Dalam konteks penelitian ini, orang-orang yang paling tidak beruntung tersebut dapat diambil padanannya sebagai tersangka dan terdakwa tidak mampu yang dalam menghadapi proses peradilan pidana terkait dengan implementasi Pasal 56 KUHAP atas penunjukkan penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum bagi tersangka dan terdakwa tidak mampu a quo. Pada kenyataannya telah jelas dan tegas dirumuskan oleh KUHAP bahwa jika ada seorang tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih maka aparatur penegak hukum wajib menunjuk penasihat hukum untuk mendampinginya. Akan tetapi fakta yang terungkap dalam penelitian ini dan penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain, kewajiban yang diharuskan itu tidak dilaksanakan oleh aparat penegak hukum a quo, dan celakanya aturan mengenai sanksi apabila terjadi pelanggaran tersebut tidak dirumuskan secara tegas dalam KUHAP, sanksi itu ada akan tetapi hanya sebatas pada yurisprudensi yang disebutkan pada sub bab sebelumnya. Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang dianut oleh Indonesia, kedudukan yurisprudensi tidaklah bersifat mengikat bagi hakim-hakim yang akan datang dalam memeriksa kasus serupa, meskipun dalam hal ini telah ada yurisprudensi bahwa tuntutan penuntut umum (requisitoir) tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklraad) apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tidak dipenuhi oleh aparat penegak hukum in casu penyidik, penuntut umum dan hakim dalam proses peradilan pidana. Untuk itu sesuai dengan amanat Pancasila dalam Sila kedua dan kelima, dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2) serta KUHAP, yang didalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, pengaturan adanya sanksi yang tegas dengan mereformulasi hukum acara pidana apabila Pasal 56 KUHAP terkhusus pada penunjukkan penasihat hukum bagi tersangka dan terdakwa tidak mampu yang ancaman pidananya lima tahun atau lebih dalam menghadapi proses peradilan pidana, apabila tidak 11
Ibid.
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
29
dilaksanakan oleh aparatur penegak hukum dengan baik dan benar
dirasa sangat perlu dirumuskan, agar terdapat kepastian hukum dalam pelaksanaannya dan diharapkan implementasi Pasal 56 KUHAP di masa yang akan datang dapat berlaku secara efektif, serta persamaan untuk memperoleh keadilan bagi masyarakat yang tidak mampu setidak-tidaknya dapat tercapai. E. PENUTUP Dari apa yang telah diutarakan serta dibahas pada beberapa bab sebelumnya di atas, maka pdapat disimpulkan bahwa implementasi Pasal 56 KUHAP oleh aparat penegak hukum terkait dengan penunjukkan seorang penasihat hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih dalam menghadapi proses peradilan pidana di Kabupaten Lumajang tidak dijalankan dengan baik dan benar sebagaimana rumusan Undang-Undang in abstracto. Pengaturan ideal ke depan yang menyangkut implementasi Pasal 56 KUHAP agar di masa yang akan datang dapat dilaksanakan secara efektif, perlu direformulasikan suatu rumusan norma tambahan dalam hukum acara pidana baru yang menyangkut sanksi. Baik sanksi administratif maupun sanksi pidana jika perlu apabila ketentuan Pasal 56 KUHAP tidak dilaksanakan dengan baik dan benar oleh aparat penegak hukum sesuai dengan rumusan normanya. Sehingga terdapat kepastian hukum serta hak tersangka dan terdakwa tidak mampu dalam menghadapi proses peradilan pidana dapat terakomodasi sebagaimana mestinya. Untuk itu disarankan pengaturan khususnya mengenai penunjukkan penasihat hukum oleh aparatur penegak hukum terhadap tersangka dan terdakwa tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih dalam KUHAP dirasa sudah waktunya untuk ditinjau ulang oleh pejabat legislasi agar dilakukan perubahan. -------
30
ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 1, Desember 2013
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak dan Markus Y. Hage (2007)
Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, C.V. Kita, Surabaya. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (2011) The Rights of Suspect/Defendant to Acces Legal Counsel, hal. 17. Published at http://leip.or.id/publikasi.html, Lexy J. Moleong. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Luhut, M.P. Panggaribuan (2008) Hukum Acara Pidana Surat-Surat Resmi di Pengadilan Oleh Advokat; Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali, Djambatan, Jakarta. Noor Aufa (2011) Sebuah Eksepsi; Eksepsi Atas Surat Dakwaan Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Mungkit, No. Reg. Perk:PDM15/MUNGKID/2011 Satjipto Rahardjo (2006) Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Sunarmi (2004) Membangun Sistem Peradilan Pidana di Indoensia.