Anda di halaman 1dari 16

ARGUMENTUM, VOL. 13 No.

2, Juni 2014

145

PERKAWINAN USIA MUDA DALAM PERSPEKTIF


UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
DI KABUPATEN LUMAJANG
M. Agus Syaifullah
- Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jenderal Sudirman Lumajang Jl. Mahakam No. 7 Lumajang
ABSTRAK
Perkawinan usia muda tidak dilarang oleh UUP dan KHI. Ada
7 perkawinan selama kurun 5 tahun terakhir di lokasi
penelitian. Faktor penyebab terjadinya perkawinan tersebut
adalah: a. budaya malu anak takut mendapat julukan
perawan tua dan tidak laku nikah, b. orang tua tidak mampu
menyekolahkan anak kejenjang lebih tinggi, c. calon
mempelai perempuan hamil lebih dahulu, d. pendidikan dan
wawasan orang tua yang rendah, dan e. lemahnya
pengawasan penegakan hukum. Sedangkan dampak
negatifnya: a. terjadi kekerasan dalam rumah tangga, b.
tidak harmonis dalam rumah tangga, c. mudah bercerai, d.
kehilangan kesempatan pendidikan, e. memburuknya
kesehatan ibu dan anak.
Kata kunci : Perkawinan Usia Muda, UUP, KHI
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat sakral
dan tak pernah terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang
dalam membentuk dan membina keluarga bahagia. Untuk itu
diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan
segala sesuatunya meliputi aspek fisik, mental, dan sosial ekonomi.
Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan unit
terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan
perkembangan suatu masyarakat bangsa dan negara. Perkawinan
yang baik adalah perkawinan yang sah dan tidak di bawah tangan.

146

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Dalam berkehidupan masyarakat orang tua yang


berpendidikan rendah atau sama sekali tidak mengenyam
pendidikan banyak dijumpai anak yang masih usia muda
dikawinkan karena dilatarbelakangi beberapa faktor yakni: a)
budaya, b) diri sendiri, c) ekonomi, dan d) pendidikan.
Perkawinan di usia muda menurut UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UUP) tidak secara tegas dilarang. Disebutkan
dalam Pasal 6 ayat (1) Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai, ayat (2) untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua pulu
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua; Pasal 7 ayat (1)
Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun. 1
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 15 ayat (1)
disebutkan Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga,perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU
Perkawinan Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16
tahun.2 ayat (2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur
21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) dalam UU Perkawinan Tahun 1974.3
Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam
Pasal 7 ayat (1) UUP, yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 tahun, namun dalam prakteknya masih banyak
dijumpai perkawinan pada usia muda atau di bawah umur. Padahal
perkawinan yang sukses pasti membutuhkan kedewasaan
tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa
1

Undang-Undng Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan,


Penerbit CV Nuasnsa Aulia Jl.Permai 20 No.18 Margahayu Permai,Bandung
(40218), hal : 77.
2
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan,dan
Perwakafan ) Penerbit CV Nuasnsa Aulia Jl.Permai 20 No.18 Margahayu Permai,
Bandung (40218), hal : 5
3
Ibid, hal: 6

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

147

mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah


tangga.
Berdasarkan uraian singkat di atas maka dilakukan
penelitian dengan mengambil judul: Perkawinan Usia Muda
Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus di Desa
Candipuro).
A.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah perkawinan usia muda di Desa Candipuro?
b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perkawinan
usia muda di Desa Candipuro?
c. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan perkawinan
usia muda di Desa Candipuro ?
A.3. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah pendekatan yuridis sosiologis, artinya dalam melakukan
penelitian tidak hanya melihat dari sudut pandangan hukum
positifnya saja, akan tetapi dilihat dari sudut pandang kenyataan
yang ada dalam mayarakat.
Penelitian ini bersifat eksploratoris dan deskriptif, dengan
berupaya memberikan penelaran tentang permasalahan obyek
yang dibahas melalui gambaran suatu cerita,4 dengan mengambil
lokasi penelitian ini di Desa Candipuro, Kecamatan Candipuro,
Kabupaten Lumajang.
Untuk memperoleh data yang obyektif, dalam penelitian ini
menggunakan metode yaitu: 1.
Studi Kepustakaan dan 2.
Interview/Wawancara. Mengingat metode pendekatan dalam
penelitian yuridis sosiologis, maka data yang diterima dianalisis
dengan menggunakan analisis data induksi artinya bertitik tolak
dari pengertian dan permasalahan yang bersifat khusus ditarik
kesimpulan yang bersifat umum dan analisis kualitatif.
B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B.1. Perkawinan Usia Muda di Desa Candipuro, Kecamatan
Candipuro.
4

Soerjono Soekanto (1986) Pengantar Penelitian Hukum , Universitan


Indonesia ( UI-Press ) Jakarta, hal : 9

148

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di lokasi


peneliyian dapat diketahui bahwa dalam dalam kurun waktu tahun
2007 sampai dengan tahun 2012 telah terjadi perkawinan
sebanyak 313 pasangan suami istri. Dari jumlah perkawinan
tersebut terdapat 7 (tujuh) perkawinan yang tergolong perkawinan
anak usia muda yang dalam hal ini mempelai perempuan masih di
bawah umur 16 (enam belas) tahun sedangkan mempelai laki-laki
sudah di atas 16 (enam belas) tahun. Perkawinan usia muda di
lokasi peneletian adalah sah tidak ada larangan melakukan
perkawinan karena tidak melanggar ketentuan yang telah di
tetapkan oleh UUP dan KHI.
Adapun daftar perkawinan usia muda yang terjadi di lokasi
penelitian adalah dalam Tabel di bawah ini :
Tabel
Daftar Perkawinan Usia Muda Di Lokasi Penelitian
Nama
Usia Nikah
Pendidikan
No
Wanita
Laki-Laki Wanita Laki-Laki Wanita Laki-Laki
1 Rom
Sol
15 Tahun 17 Tahun SD
SD
2 Mar
Sis
15 Tahun 18 Tahun SD
SMP
3 Lav
Ris
15 Tahun 19 Tahun SD
SMP
4 Sri
Sya
15 Tahun 17 Tahun SD
SMP
5 Sun
MTa
15 Tahun 19 Tahun SD
SD
6 Cah
Ban
15 Tahun 19 Tahun SD
SD
7 Wah
Set
15 Tahun 17 Tahun SD
SMP
Pada umumnya dari ke 7 (tujuh) wanita yang telah
melangsungkan perkawinan di usia muda di lokasi penelitiantidak
semua memiliki tingkat kedewasaan/kematangan yang ideal yang
sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UUP. Masih banyak orang tua yang
belum menyadari pentingnya keterlibatan mereka secara langsung
dalam mengasuh anak. Tak jarang akibatnya merugikan
perkembangan fisik dan mental anaknya sendiri.
Berdasarkan penelitian di lokasi penelitian dikaitkan
dengan Hukum Islam adalah untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah dan sunnah Rosul,
perkawinan mempunyai tujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, dan
memperoleh keturunan yang sholeh dan sholeha.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

149

Menurut seorang tokoh agama masyarakat di lokasi


penelitian (AHB), orang yang diperbolehkan kawin menurut Islam
sudah mencapai baligh bagi pria dan mencapai menstruasi (haid)
bagi perempuan. Jika ini dijadikan sandaran, maka dari 7 (tujuh)
peristiwa perkawinan usia muda di lokasi penelitian
memperbolehkan dan tidak dilarang menurut ajaran Islam.
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah,
namun secara implisit syariat menghendaki orang yang hendak
menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik
dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang
merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa
itu salat bagi orang yang melakukan ibadah shalat, haji bagi yang
berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Tidak ditetapkannya usia
tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan
bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung
situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan
masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani
kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Petugas P3N (SA) di
lokasi penelitian, perkawinan usia muda di lokasi penelitian,
perkawinan yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun bagi
perempuan dan usia 19 (sembilan belas) bagi pria, biasanya
terlebih dahulu dengan cara dinikahkan secara sirri. Hal ini untuk
menghindari perzinaan, menanggung malu, dan melegalkan secara
agama, baru apabila sudah genap usia 16 (enam belas) tahun
untuk wanita, dan 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dinikahkan
secara formal sesuai peraturan yang telah diatur dalam UUP.
Hal tersebut dilakukan dikarenakan adanya kedua orang tua
yang mempuyai anak gadis yang memasuki usia remaja dipinang
oleh seorang pria yang usianya juga relatif muda tanpa ada
persetujuan dari anak maka orang tua beranggapan apabila ditolak
anak mereka akan membawa sial. Di samping itu anak mereka
dijuluki perawan tidak laku dan perawan tua tanpa ada
pertimbangan yang matang langsung mereka terima dengan
berasumsi nanti kalau sudah kawin anak mereka akan bahagia
menjadi keluarga yang sakinah mawada warohmah.

150

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Pasal 7 ayat (1) UUP menyatakan: Perkawinan hanya


diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Sedangkan Pasal 15 ayat (1) KHI berbunyi: Untuk
kemaslahan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yakni
calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon
isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dengan demikian perkawinan usia muda dapat diartikan
sebagai suatu perkawinan dimana usia mempelainya tidak
memenuhi syarat untuk menikah, atau usia mempelainya di bawah
16 tahun untuk perempuan dan di bawah 19 tahun untuk laki-laki.
Namun demikian perkawinan usia muda masih dijumpai dalam
masyarakat, hal ini kemungkinan dapat terjadi, karena UUP masih
membolehkan yaitu dalam situasi dan kondisi tertentu. Hal ini
dilakukan dengan cara mengajukan dispensasi kepada Pengadilan
atau Pejabat lain yang di tunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 7
ayat (2) sebagai berikut :
Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) Pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabata lain
yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita.
Istilah perkawinan usia muda yang dapat disamakan
dengan istilah perkawinan di bawah umur dijumpai dalam
Penjelasan UUP, yaitu dalam penjabaran tentang asas-asas
perkawinan, khususnya asas keempat yaitu :
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami
istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan
sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di
antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Di
samping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur
yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

151

mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung


dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas
umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah
19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas)
tahun bagi wanita.
B.2. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perkawinan Usia Muda
1) Faktor Budaya
Alasan orang tua segera menikahkan anaknya dalam usia
muda di lokasi penelitian adalah untuk segera mempersatukan
ikatan kekeluargaan antara kerabat mempelai laki-laki dan kerabat
mempelai perempuan yang mereka inginkan bersama keinginan
adanya ikatan tersebut biasanya ada rasa pikiran malu di
lingkungan tersebut dengan anggapan bila anaknya ada yang
menghendaki dan tidak segera dikawinkan takut anaknya dijuluki
perawan tua atau perawan tidak laku. Hal inilah yang mendorong
orang tua mempunyai alasan kuat untuk mengawinkan anaknya
dalam usia muda karena takut menanggung malu.
Menurut S (orang tua Rom 24 tahun yang menikah pada
umur 15 tahun dengan Sol 27 tahun yang menikah pada usia 17
tahun) karena melihat anaknya sudah semakin besar dan ada
orang tua yang ingin berbesanan menjodohkan anaknya.
Pertimbangan lainnya karena takut terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan yang dapat mencemari nama baik keluarga maka
ditakutkan anaknya dijuluki perawan tidak laku dan membuwang
sangkal. Di samping itu karena orang tua mempunyai anggapan
kalau menolak maka anaknya selamanya tidak akan laku dan
dianggap pilih-pilih serta takut dijuluki perawan tidak laku dan
perawan tua, maka tanpa ada pertimbangan yang matang lansung
diterima dengan harapan nanti kalau sudah kawin anak mereka
akan bahagia menjadi keluarga yang sakinah mawada warohmah.
Sama halnya dengan S, D (orang tua Lavberusia 17 tahun
dengan Ris yang berusia 22 tahun yang menikah pada usia masingmasing umur 15 tahun dan umur 19 tahun) dengan alasan karena
tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, dan melihat anak gadis tetangganya sudah ada yang
meminang sehingga ada kekhawatiran rasa takut anaknya dijuluki
perawan tua dan tidak laku kawin segeralah menikahkan anaknya.

152

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Lain halnya dengan Sun berusia 18 tahun dan MTa berusia


20 tahun yang menikah pada usia 15 tahun dan 18 tahun, alasan
menikah karena kedekatan hubungannya dan orang tua ingin
segera punya cucu dan enggan menolak takut dicap anak durhaka
yang tidak patuh kepada kehendak orang tua. Disampnig itu ada
keinginan masing-masing kedua orang tua untuk segera dinikahan
karena ada kekhawatiran terjadi sesuatu yang membuat malu
orang tua yaitu hamil di luar nikah selain itu juga tidak mau dilihat
oleh para tetangga gadis kesana kemari dan dijuluki kumpul kebo
maka dengan pertimbangan itu segera menikahkan anaknya.
2) Faktor Ekonomi
Alasan orang tua menikahkan anaknya dalam usia muda
dilihat dari faktor ekonomi untuk sekedar memenuhi kebutuhan
atau kekurangan pembiayaan hidup orang tuanya, khususnya
orang tua mempelai wanita. Sebab menyelenggarakan perkawinan
anak-anaknya dalam usia muda ini, akan membantu beban orang
tua dimana orang tua dilatar belakangi ekonomi yang kurang
mapan sehingga kehadiran menantu bisa membantu beban hidup
orang tua karena anaknya sudah ada yang menanggung.
Hal ini terjadi pada AW (orang tua Sri dengan Sya yang
menikah masing-masing pada umur 15 tahun dan 17 tahun)
dengan alasan keterbatasan kemampuan ekonomi bekerja sebagai
kaum buruh tani dengan penghasilan tidak menentu tidak mampu
membiayai pendidikan anaknya kejejnjang yang lebih tinggi
sehingga menikahkan anak dianggap sebagai salah satu jalan
keluar mengurangi beban ekonomi keluarga, setelah ada pemuda
kerumahnya dan meminta anaknya untuk dijadikan seorang istri
spontan menerima lamarannya tanpa pikir panjang segera cepatcepat menikahkan anaknya.
Demikian dengan Sbj (orang tua dari pasangan Cah berusia
17 tahun dengan Ban yang berusia 19 tahun yang menikah pada
usia masing-masing umur 15 tahun dan umur 17 tahun) dengan
alasan hanya tidak bisa untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang
yang lebih tinggi, perkawinan dianggap sebagai jalan pemecahan.
Disamping itu untuk menghindari dari hal-hal yang tidak kita
inginkan yaitu perbuatan zinah karena anaknya sudah mempunyai
pacar dan takut anaknya dicap sebagi perawan murahan.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

153

3) Keinginan Diri Sendiri


Nampaknya ini juga merupakan faktor terjadinya perkawinan
usia muda, kasus dispensasi menikah diajukan karena anak telah
hamil terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan usia
muda terjadi karena adanya factor keterpaksaan, karena
kehamilan tidak dikehendaki, terjadinya hubungan seksual
sebelum menikah di usia muda, dan mungkin juga terjadinya
kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual baik oleh
pacar karena takut diputus cinta, seperti yang dialami perkawinan
Mar dengan Sis mereka kawin pada tahun 2011 atas inisiatif diri
sendiri dalam perkawian saat itu pihak perempuan masih duduk
dibangku sekolah kelas 1 (satu) Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) di lokasi penelitia. Waktu itu masih berusia 15 (lima belas)
tahun, sebelum menikah mereka pacaran tanpa diketahui oleh
kedua orang tua selang beberapa bulan lamanya tanpa di sadari
pihak perempuan hamil 3 (tiga) bulan akibat hubungan seksual di
luar nikah. Atas permintaan sendiiri daripada menanggung malu,
kemudian minta kepada pihak laki-laki untuk mempertanggugjawabkan anak yang telah dikandungnya dengan cara melakukan
perkawinan.
Menyadari bahwa anaknya masih di bawah umur untuk
bisa melangsungkan perkawinan, orang tua keduabelah pihak
melakukan manipulasi umur dengan cara menambah umur
sehingga genap 16 tahun dan 19 tahun. Sebab, kalau tidak
dilakukan demikian akan menjalani proses yang panjang dengan
cara memperoleh ijin kawin dari pengadilan agama.
4) Faktor Pendidikan
Pasangan Wah ketika menikah usianya masing-masing
umur 15 tahun dan umur 17 tahun. Karena tidak bisa melanjutkan
sekolah dikarenakan oleh keinginan dari masing-masing orang tua
yang menginginkan anak gadisnya menikah cepat-cepat. Dan juga
karena orang tua melihat kedekatan kedua anaknya di takutkan
akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan maka ia segera
menikahkan anaknya. Di samping itu keinginan orang tua untuk
segera memiliki cucu, Dari situ anak takut dikatakan anak yang
tidak hormat dan patuh pada orang tuanya maka mau untuk
segera dinikahkan.

154

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Beberapa orang tua di lokasi penelitian yang menikahkan


anak perempuannya pada usia yang masih muda. Kebanyakan
dikarenakan kurangnya pengetahuan dan pendidikan yang
dimilikinya banyak anak yang masih duduk di bangku sekolah putus
dikarenakan orang tua telah menerima lamaran anak gadisnya dan
secepatnya menikahkan diusia muda. Orang tua tidak begitu
memikirkan bagaimanakah keadaan anaknya setelah berumah
tangga yang penting bagi mereka anaknya sudah menikah dan
sudah ada yang mau menanggung kebutuhan anak perempuannya.
5) Lemahnya Penegakan Hukum.
UUP memberikan batasan menikah 16 tahun bagi
perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Namun, UUP juga
membolehkan adanya dispensasi menikah pada anak dibawah usia
tersebut. Banyaknya perkawinan usia muda di di lokasi penelitian
karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum UUP yakni
dengan membiarkan adanya penambahan umur untuk
melangsungkan perkawinan bagi anaka yang belum mencapai
batas usia kawin.
B.3. Dampak Perkawinan Usia Muda Di Lokasi Penelitian
Dampak positif :
Adapun dampak perkawinan usia muda di lokasi penelitian
berdasarkan hasil wawancara dengan Taufik Hidayat, SPd adalah
sebagai berikut:
a. Menghindari Perzinahan
Jika ditinjau dari segi agama dan UUP, perkawinan usia
muda di lokasi penelitian, menurut Taufik Hidayat SP,d pada
dasarnya tidak dilarang, karena dengan dilakukannya perkawinan
tersebut mempunyai implikasi dan tujuan untuk menghindari
adanya perzinahan yang sering dilakukan oleh para remaja yang
secara tersirat maupun tersurat dilarang baik oleh agama maupun
hukum meskipun demikian bukan berarti menikah diusia muda
tidak memberikan kebahagiaan kalau ini dilakukan dengan tujuan
pernikahan yang sebenarnya yaitu membentuk keluarga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sakinah
mawadah warohmah, perkawinan usia muda dapat menghindari
terhadap dari seks bebas juga memiliki anak yang tidak begitu jauh
jadi bisa memiliki cucu dalam usia yang tidak begitu tua.

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

155

b. Mengukuti Sunnah Rosul


Nikah merupakan Syariat (tatanan agama) yang
berlangsung sejak Nabi Adam dan terus berlanjut hingga
kehidupan di surga kelak. Lebih dari itu, nikah menjadi bagian dari
prinsip dasar hukum Islam yang lima ( al-Ushul al-Khams ), dengan
tujuan melestarikan keturunan. Juga disebutkan dalam Hadist
Nabi Muhammad SAW yang berbunyi Dan akupun juga nikah,
maka siapa benci pada sunnahku berarti bukan masuk umatku
(H.R. Muttafaqun alaih).5
Dampak negatif :
a ) Penelantaran dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Karena keterbatasan dan ketidakmatangan untuk berumah
tangga, anak perempuan yang terpaksa menjadi seorang istri di
usia yang masih sangat belia itu tidak mempunyai posisi tawarmenawar yang kuat dengan suaminya, sehingga sangat rawan
menjadi korban dan sasaran kekerasan dalam rumah tangga.
Begitupun anak laki-laki yang menikah di usia muda, karena
keterbatasan dan ketidakmatangan emosi untuk berumah tangga
akan cenderung menjadi pelaku kekerasan.
Seperti halanya yang terjadi pada perkawinan Mar dengan
Sis sejak kawin pada tahun 2011 tidak seindah apa yang
dibayangkan waktu berpacaran. Perkawinannya dalam kurun
waktu berjalan 2 (dua) bulan pihak laki-laki sudah ada tanda-tanda
perubahan rasa kasih sayang terhadap sang istri, sering ada
perbedaan pendapat dan karena orang tua pihak laki-laki ikut
mengatur dalam urusan rumah tangga. tidak jarang juga pihak
suami melakukan kekerasan dengan cara memukul, sering
meninggalkan istri karena beranggapan masih berjiwa muda secara
ekonomi pihak suami tidak memberikan nafkah yang layak karena
tidak memiliki penghasilan yang tetap dan masih menggantungkan
pemberian orang tua. Selama perkawinan tidak pernah merasakan
kebahagiaan hingga lahirnya anak sehingga terjadilah penelantaran
istri dan anak. Genap perkawinan umur 1 (satu) tahun terjadilah
gugat cerai yang dilakukan atas permintaan istri.
5

Abdul Hamid (2010) Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia. Badan


Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Provinsi Jawa Timur,
hal. 10.

156

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

b) Tidak Harmonis Dalam Rumah Tangga


Dari wawancara dan pengamatan pada kehidupan remaja
yang kawin di usia muda di lokasi penelitian tidak jarang terjadi
ketegangan antara suami-istri seperti tidak terkendalinya emosi,
terjadi kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, dan
perselingkuhan yang dilatar-belakangi kekurangsiapan mental dari
pasangan usia muda tersebut yang pada akhirnya dapat
menimbulkan tekanan sosial maupun ekonomi rumah tangga.
Perkawinan usia muda secara mental masih belum siap
lemah dan labil sehingga tidak jarang terjadi perbeda pendapat,
cekcok karena barang sepele, muda menerima omongan dari pihak
lain juga membeda-bedakan status kedua orang tua. Pasangan usia
muda belum siap bertanggung jawab secara moral pada setiap apa
saja yang merupakan tanggung jawabnya. Pikirannya sering
mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap
mental yang labil dan belum matang emosionalnya.
c) Kehilangan Kesempatan Pendidikan.
Menikah usia muda di lokasi penelitian dapat menyebabkan
anak kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan, karena
anak akan terhambat untuk memperoleh pendidikan karena sudah
beralih fungsi yaitu bagaimana cara untuk membina keluarga
dalam usia yang masih labil. Hal inilah tidak sesuai dengan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yakni setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
Tingginya angka anak putus sekolah atau tidak bisa
melanjutkan sekolah ketingkat yang lebih tinggi dikarenakan orang
tua segera menikahkan anaknya di usia yang masih muda hal ini
dipengaruhi oleh kultur budaya yang sudah turun menurun sejak
nenek moyang jaman dahulu dan orang tua masih berpikir kolot
dan mepunyai anggapan bahwa anak gadisnya kalau tidak
dinikahkan diusia muda takut dijuluki perawan tua dan tidak laku,
anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi karena tempat
kembalinya ke dapur. Jadi setinggi apapun pendidikan seorang
anak perempuan akan percuma, karena ujung-ujungnya hanya
masak dan ngulek sambal di dapur (Hj. Satumi Kepala MTs).

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

157

d ) Perceraian
Dari wawancara dengan informan juga dapat diungkapkan
bahwa seringkali perkawinan dalam usia muda di lokasi penelitian
acapkali berujung pada perceraian. Ini merupakan keputusan
terahir setelah menjalani hidup berkeluarga di rasa tidak harmonis
lagi dan tidak bisa di pertahankan beberapa penyebab terjadinya
perceraian dikarenakan kurangnya kesiapan secara mental,
ekonomi, dan pola berpikir yang kurang matang atau labil, juga di
pengaruhi oleh mertua terhadap menantu karena sifatnya yang
masih kekanak kanaan sehingga terjadilah beda pendapat antara
menantu dan orang tua, yang juga di ikuti oleh salah satu anak
yang berpihak pada orang tua dan terjadilah perpecahan keluarga
yang berujung pada perceraian hampir semua responden yang
melakukan perkawinan usia muda terjadi perceraian.
Pasangan Sri dengan Sya yang menikah masing-masing
pada umur 15 tahun dan 17 tahun dalam perjalanan
perkawinannya tidak seindah yang dibayangkan waktu pengantin
baru. Usia perkawinanbaru 1 (satu) tahun, pihak laki-laki sudah ada
tanda-tanda perubahan rasa kasih sayang terhadap sang istri,
sering timbul perbedaan pendapat karena ada kehadiran dari pihak
ke 3 (tiga) yaitu orang tua terutama orang tua pihak laki-laki ikut
mengatur urusan rumah tangganya juga. Faktor yang dominan
dilatar belakangi pihak suami tidak mempuyai penghasilan yang
tetap untuk biaya hidup atau nafkah sang istri setiap bulannya Rp.
10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Hal inilah yang menyebabkan
pasangan Sri dan Sya bercerai.
Pasangan Rom dan Sol telah berjalan hampir 4 (empat)
tahun dan dikarunia 2 (dua) anak. Setelah dikarunia anak biaya
hidup semakin bertambah sedangkan pekerjaan suami tidak
menentu menggantungkan suruhan orang lain. Karena penghasilan
suami sudah mulai tidak pasti sedangkan kebutuhan hidup
bertambah, maka kehidupan rumah tangganya mulai terasa tidak
harmonis. Untuk memenuhi hidup sang istri diam-diam pinjam
uang tanpa diketahui oleh suami dan pada suatu saat pinjaman
tersebut diketahui oleh suami terjadilah perang mulut, cekcok dan
mulai keduanya sudah tidak saling percaya dan mulai mebawa dan

158

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

membeda-bedakan kedudukan kedua orang tua dan pada ahirnya


berujung perceraian.
Wah dan Set sebagai pasangan pengantin baru bahagia,
karena pasangan suami ini masih menikmati indahnya sebuah
perkawinan. Setelah berjalan beberapa bulan lamanya keluarga ini
mulai terlihat ada tanda-tanda ketidakharmonisan karena adanya
tuntutan kebutuhan hidup untuk memenuhi kewajiban seorang
suami kepada istrinya. Karena Set tidak mempunyai pekerjaan
yang tetap mulailah terjadi pertengkaran, dan ahirnya terjadilah
pisah ranjang yang berkepanjangan dan ahirnya berujung pada
perceraian.
e) Kesehatan
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bidan Desa di lokasi
penelitian (Erika) bahwa kelahiran anak yang baik adalah dilahirkan
dari seorang ibu yang telah beusia 20 tahun. Kelahiran anak oleh
seorang ibu di bawah 20 tahun akan dapat mempengaruhi
kesehatan ibu dan anak yang yang bersangkutan oleh sebab itu
sangat dianjurkan apabila seorang perempuan belum berusian 20
tahun untuk menunda perkawinannya. Apabila sudah terlanjur
menjadi pasangan suami istri yang masih dibawah umur maka
dianjurkan untuk menunda kehamilan karena hamil diusia muda
dapat mempengaruhi: a. kondisi rahim dan panggul ibu kurang
berkembang secara optimal, b. mengalami keguguran, c. bayi lahir
sebelum waktunya, d. berat bayi lahir rendah
Seperti yang dialami oleh pasangan suami istri Ma dengan
Sis setelah di karunia anak, anak yang dilahirkan kesehatannya
memprihatinkan kurang gizi begitu juga kesehatan pada ibunya
secara fisik dan psikis kurang baik.
C. PENUTUP
C.1. Kesimpulan
Di lokasi penelitian dapat diketahui bahwa dalam dalam
kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 telah terjadi
perkawinan sebanyak 313 pasangan suami istri. Dari jumlah
perkawinan tersebut terdapat 7 (tujuh) perkawinan yang tergolong
perkawinan anak usia muda yang dalam hal ini mempelai

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

159

perempuan masih di bawah umur 16 (enam belas) tahun


sedangkan mempelai laki-laki sudah di atas 16 (enam belas) tahun.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perkawinan usia muda di lokasi penelitian adalah: a. Budaya malu
anak takut mendapat julukan perawan tua dan tidak laku nikah, b.
Orang tua tidak mampu menyekolahkan anak kejenjang lebih
tinggi, c. Calon mempelai perempuan sudah hamil terlebih dahulu,
d. Pendidikan dan wawasan orang tua yang rendah, dan e.
Lemahnya pengawasan penegakan Hukum
Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari Perkawinan usia
muda di lokasi penelitian adalah: a. Pelantaran dan kekerasan
dalam rumah tangga, b. Tidak harmonis dalam rumah tangga, c.
Perceraian pasangan usia muda meningkat, d. Kehilangan
kesempatan pendidikan, e. Kesehatan terhadap ibu dan anak.
C.2. Saran
Hendaknya pemerintah mengintensifkan sosialisasi UUP
khususnya batasan usia perkawinan dan dampak-dampak
negatifnya terhadap rumah tangga dan lingkungannya dari
pasangan yang melangsungkan perkawinan usia muda.
Perlu adanya peraturan perundang-undangan yang
menegaskan tentang umur yang ideal dalam melakukan suatu
perkawinan yaitu dengan merivisi Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, seseorang
melangsungkan perkawinan untuk wanita sudah mencapai umur
20 (dua puluh) tahun untuk pria sudah mencapai 25 (dua puluh
Lima) tahun, kemungkinan dengan umur yang sekian kematangan
dalam berfikir sudah matang.
---DAFTAR PUSTAKA
Abu, Arifin (1429 H) Membangun Rumah Tangga Sakinah, Penerbit
Pustaka Sidogiri Pasuruan
Hamid, Abdul, (2010) Tuntunan Praktis Rumah Tangga Bahagia,
Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan
(BP4) Privinsi Jawa Timur.

160

ARGUMENTUM, VOL. 13 No. 2, Juni 2014

Haditono, Sri Rahayu (2006) Psikologi Perkembangan, Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.
Mardani (2011 ) Hukum Perkawinan Islam,,Graha Ilmu Ruko
Jambusari No.74 Yogyakarta.
M Z, Labib (2007) Konsep Perkawinan Dalam Islam, Putra Jaya
Surabaya.
Ramulyo, Moh.Idris (2000) Hukum perkawinan,Hukum
Kewarisan,Hukum acara Peradilan Agama dan Zakat
menurut Hukum Islam, Sinar Grafika
Raefi, M (2011) Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah,
Kantor kementrian Agama, Lumajang.
Soejanto, Agoes (2005) Psikologi Perkembangan, PT Rineka Cipta,
Jakarta
Sriyantini, Dwi (2006) Hukum Perdata (Diktat Kuliah), Sekolah
Tinggi Ilmu Hukum Jendral Sudirman Lumajang.
Sarwono, Sarlito W (2012) Psikologi Remaja, PT Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono (1986) Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta
Vollmar, H.F.A (1981) Hukum Keluarga (Menurut KUH Perdata)
disadur oleh: Ali,Tarsito, Bandung.
Walgito, Bimo (2000) Bimbingan dan Konseling Perkawinan, CV
Andi Ofset, Yogyakarta
Undang-Undng Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan,
Nuansa Aulia, Bandung.
Kompilasi Hukum Islam (Hukum Perkawinan,Kewarisan, dan
Perwakafan). Nuansa Aulia, Bandung.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Anda mungkin juga menyukai