Puji serta syukur kita panjaktan kepada Tuhan semesta alam, Allah SWT,
yang dengan segala karuniaNya, makalah Tentang “Sepuluh Ringkasan dan
Ulasan Novel Indonesia” ini dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam
tak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad saw, keluarga sahabat serta
para pengikutnya yang senantiasa istiqamah dalam mengemban risalahnya.
Mudah-mudahan sedikit yang kami bisa sumbangkan ini, akan dicatat oleh
Allah SWT sebagai bagian dari amal sholeh Penyusun dan akan menjadi ilmu
yang bermanfaat, yang senantiasa akan mengalirkan pahala bagi orang-orang yang
mengajarkannya.
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................. ii
Pembahasan
1. Salah Asuhan ........................................................................................... 1
2. Katak Hendak Jadi Lembu ....................................................................... 6
3. Layar Terkembang ................................................................................... 11
4. Belenggu .................................................................................................. 16
5. Aki ............................................................................................................ 20
6. Pertemuan Jodoh ...................................................................................... 24
7. Di Atas Puing-Puing ................................................................................ 29
8. Pelabuhan Hati ......................................................................................... 32
9. Wanita Itu Adalah Ibu .............................................................................. 37
10. Telepon ................................................................................................... 41
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 44
1. SALAH ASUHAN
Pengarang : Abdul Muis (1886 - 17 Juli 1959)
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun : 1928; Cetakan XIX, 1990
Semua rencana Hanafi berjalar. lancar. Namun, kini justru Corrie yang
menghadapi berbagai persoalan. Tekadnya untuk menikah dengan Hanafi
mendapat antipati dari teman-teman sebangsanya. Akhirnya, dengan cara diam-
diam mereka melangsungkan pernikahan.
Sementara itu, Rapiah yang resmi dicerai lewat surat yang dikirim Hanafi,
tetap tinggal di Solok bersama anaknya, Syafei, dan ibu Hanafi.
Adapun kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidaklah seindah yang
mereka bayangkan. Teman-teman mereka yang mengetahui perkawinan itu, mulai
menjauhi. Di satu pihak menganggap Hanafi besar kepala dan angkuh; tidak
menghargai bangsanya sendiri. Di lain pihak, ia menganggap Corrie telah
menjauhkan diri dari pergaulan dan kehidupan Barat. Jadi, keduanya tidak lagi
mempunyai status yang jelas; tidak ke Barat, tidak juga ke Timur. Inilah awal
malapetaka dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Kehidupan rumah tangga mereka kini terasa bagai bara api neraka dunia.
Corrie yang semula supel dan lincah, kini menjadi nyonya yang pendiam.
Kemudian Hanafi, kembali menjadi suami yang kasar dan bengis. Bahkan, Hanafi
selalu diliputi perasaan syak wasangka dan curiga. Lebih-lebih lagi, Corrie sering
dikunjungi Tante Lien, seorang mucikari.
Puncak bara api itu pun terjadi. Tanpa diselidiki terlebih dahulu, Hanafi
telah menuduh istrinya berbuat serong. Tentu saja, Corrie tidak mau dituduh dan
diperlakukan sekehendak hati suaminya. Maka, dengan ketetapan hati, Corrie
minta diceraikan. "Sekarang kita bercerai, buat seumur hidup.... Bagiku tidak
menjadi kependngan, karena aku tidak sudi menjadi istri lagi dan habis perkara"
(hlm. 183).
Akibat tekanan batin yang berkelanjutan, Hanafi jatuh sakit. Pada saat itu
datang seorang temannya yang mengatakan tentang pandangan orang
terhadapnya. Ia sadar dan menyesal., la kembali bermaksud minta maaf kepada
Corrie dan mengajaknya rujuk kembali. la pergi ke Semarang. Namun rupanya,
pertemuannya dengan Corrie di Semarang merupakan pertemuan terakhir. Corrie
terserang penyakit kolera yang kronis. Sebelum mengembuskan napasnya, Corrie
bersedia memaafkan kesalahan Hanafi. Perasaan sesal dan berdosa tetap membuat
Hanafi sangat menderita. Batinnya goncang. ia jatuh sakit kembali.
***
N ovel pertama Abdul Muis ini, secara tematik tidak lagi memasalahkan adat
kolct yang sering sudah tidak sejalan lagi dengan kemajuan zaman,
melainkan jelas hendak mempertanyakan kawin campur antarbangsa. Dilihac dari
perkembangannya sejak Sitti Nurbaya, tampak jelas adanya pergeseran tema;
persoalannya tidak lagi kawin adat (Marah Rusli), kawin antarsuku (Adinegoro),
tetapi kawin antarbangsa. Ternyata, persoalannya tidak sederhana; ia menyangkut
perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, budaya, serta sikap hidup yang tidak
gampang begitu saja ditinggalkan.
Kajian dan penelitian terhadap novel ini pernah dilakukan oleh Djajanto
Supra (FS "JI, 1969), sedangkan Pamusuk Eneste (FS UI, 1977) meneliti dalam
kaitannya dengan ekranisasi (Karya Sastra dalam Film) yang secara mendalam
membandingkannya pula jengan novel Anak Perawan di Sarong Penyamun
(1941) karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan novel Aiheis (1949) karya Achdiat
Karta Mihardja. Peneliti lain adalah Jamil Bakar, dan kawan-kawan (Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1985) yang khusus membicarakan novel
ini. Adapun Sri H. Wijayanti (FS UI, 1989), membandingkan Salah Asuhan
dengan novel Malaysia, Mencari Istri.
Menurut Liang Liji (1988), Salah Asuhan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Cina, dan merupakan novel terjemahan Lris di Tiongkok. Adapun menurut
Morimura Shigeru (1988), mahaguru Osaka University of Foreign Studies,
Jepang, Salah Asuhan juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang.
2. KATAK HENDAK JADI LEMBU
Haji Hasbullah, teman karib Haji Zakaria, termasuk seorang haji yang
kaya-raya pula. la pun mempunyai seorang anak gadis satu-satunya, bernama
Zubaedah (Edah). Zubaedah berparas cantik dan berbudi baik. Ayah Zubaedah
telah memilihkan calon suaminya, Raden Prawira, yang berpangkat manteri polisi.
Akan tetapi, suatu ketika Haji Zakaria datang kepada Haji Hasbullah, memohon
agar Zubaedah dinikahkan dengan Suria. Haji Hasbullah tak dapat menolak
permintaan teman karibnya itu. Maka, pernikahan Suria dan Zubaedah
dilaksanakan.
Perkawinan yang tanpa didasari rasa cinta sama cinta itu justru membaua
petaka bagi Zubaedah. Kesempatan bagi Suria adalah setelah ayahnya meninggal
dunia. la berfoya-foya dengan harta peninggalan ayahnya itu. Selama tiga tahun,
ia pun meninggalkan Zubaedah yang baru melahirkan anaknya yang pertama,
Abdulhalim.
***
N ovel Katak Hendak jadi Lembu ini, termasuk salah satu novel terbaik yang
dihasilkan Nur Sutan Iskandar. Agak mengherankap bahwa pengarang
kelahiran Sumatra Barat ini, mampu menulis novel yang begitu kuat
menghadirkan latar tempat dan latar sosial masyarakat Pasundan. Latar tempatnya
memang terjadi di daerah Jawa Barat. Hampir semua tempat di seputar jawa Barat
—Cirebon, Tasikmalaya, Sumedang, dan Bandung—berikut panorama alamnya
dilukiskan dengan amat meyakinkan. Begitu pula perilaku dan sikap para
bangsawan berikut sebutan-sebutan yang khas Sunda.
Studi mengenai karya Nur Sutan Iskandar, lihat ulasan pada ringkasan
Hulubalang Raja.
3. LAYAR TERKEMBANG
Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika mereka sedang asyik
melihat-lihat akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu
berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa
Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggal di
Martapura, Sumatra Selatan.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap.
Sementara itu, Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak
sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam Kongres Putri
Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan
emansipasi wanita; suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk
memajukan kaumnya.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua
sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar
air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada
Maria.
Pada suatu kesempntan, di saat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna
dan Saleh di Sindanghya, di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang
kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-istri yang melewati hari-harinya dengan
bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu membimbing masyarakat
sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-
benar telah menggugah alam pikiran Tuti. la menyadari bahwa kehidupan mulia;
mengabdi kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam
kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga
di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini
tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian
mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat
lebih banyak lagi. Kemudian, setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan
Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria
mengembuskan napasnya yang terakhir. "Alangkah bahagianya saya di akhirat
nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-
kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini... Inilah permintaan
saya yang penghabisan, dan saya, saya tidak rela selama-lamanya, kalau
kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain" (hlm. 209).
Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut,
Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melang-sungkan
perkawinan karena cinta keduanya memang sudah tumbuh bersemi.
***
K arya penting ketiga di antara roman-roman sebelum perang menurut
anggapan umum, ialah Layar Terkembang..." demikian tulis Teeuw (Sastra
Baru Indonesia I, 1980). Sebagian besar kritikus sastra, antara lain, Ajip Rosidi,
Zuber Usman, Amal Hamzah, H.B. Jassin, maupun Teeuw, menyebut novel Layar
Terkenibang sebagai novel bertendensi. Di antaranya juga ada yang berpendapat
bahwa sikap dan pemikiran tokoh Tuti lebih menyerupai sebagai sikap dan
pemikiran S. Takdir Alisjahbana, khususnya dalam usaha mengangkat harkat
kaum wanita (Indonesia). Tokoh Tuti yang digambarkan sebagai wanita modem
yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi, memang tidak sedikit melontarkan
gagasan progresif. la juga selalu merasa terpanggil untuk ikut terjun memajukan
bangsanya sendiri, khususnya kaum wanita.
Mengenai tahun terbit novel ini, Pamusuk Eneste, Ajip Rosidi, H.B. Jassin,
dan Teeuw menyatakan bahwa novel ini terbit tahun 1936. Namun, pada cetakan
VII (1959) dan cetakan XVIII (1988) tertulis bahwa cetakan pertama tahun 1937.
Pada tahun 1963, novel ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala
Lumpur dan hingga kini masih terus dicetak ulang.
Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Mariam binti Hj. Ismail (1973) dan
Moh. Basir bin Haji Noor (1975) keduanya merupakan studi sarjana muda FS
Unas. Sebelum itu, Noer Islam Moenaf (FS UI, 1961) melakukan penelitian
terhadap novel itu sebagai bahan skripsi sarjananya. Adapun Somi Moh. Hatta
(FKIP UI, 1961) lebih banyak memaparkan kepujanggaan Alisjahbana secara
cukup lengkap. Hal yang juga pernah dilakukan A. H. Johns (1959), guru besar
yang kini mengajar di Australian National University.
4. BELENGGU
Pandangan Tono dan Tini juga berbeda dalam hubungan suami-istri. Tono
berpendapat, tugas seorang wanita adalah mengurus anak, suami, dan segala hal
yang berhubungan dengan rumah tangga. Sebaliknya, Tini menginginkan adanya
persamaan hak antara pria dan wanita. Bahkan, ia menganggap pria sebagai
saingan, sekalipun terhadap suaminya. Akibat pandangannya itu, Tini melupakan
tugasnya sebagai seorang istri.
Lambat-laun, hubungan gelap mereka diketahui juga oleh Tini. Lalu, tanpa
sepengetahuan suaminya, ia mendatangi wanita yang telah merebut suaminya. Ia
penasaran, macam apakah sosok perempuan itu. "Tini mulai tertarik hatinya. Patut
Tono tertarik. Tidak benar ia penyanyi keroncong, tingkah lakunya tertib. Sambil
merasa heran demikian diikutinya Yah naik tangga, diturutnya ajakan Yah supaya
duduk" (him. 142).
Menghadapi perilaku dan sikap Yah yang begitu santun dan tertib itu, Tini
merasa malu sendiri. Perasaan marah dan cemburu yang dibawanya dari rumah,
luluh sudah, dan berbalik mengagumi perempuan itu. Ia menyadari kelebihan
Yah. la juga menyadari kekurangannya selama ini, telah menyia-nyiakan Tono,
suaminya. Dengan ikhlas Tini menyatakan kerelaannya menerima kenyataan itu;
rela Yah merebut suaminya.
Apa yang ia ketahui tentang Yah dan kenyataan yang ia hadapi dalam
hubungan suami-istri, Tini kemudian membicarakan persoalan itu dengan
suaminya. Betapa terkejut Tono melihat sikap istrinya yang demikian. la berusaha
untuk menahan istrinya agar tetap mau bersamanya. Namun, sikap Tini tetap tak
berubah. Perpisahan suami-istri itu rupanya tak terelakkan lagi. Sungguhpun berat
bagi Tono untuk bercerai dari istrinya, ia sendiri tak dapat memaksakan
kehendaknya. la terpaksa merelakan kepergian istrinya walaupun Tono masih
tetap berharap agar hubungan mereka baik kembali. Kapan pun Tono akan tetap
bersedia menerima Tini kembali.
Tono kini sendiri. Yah telah pergi ke dunia yang baru. Tini juga pergi ke
Surabaya mengabdikan dirinya menjadi pengurus panti yatim piatu di kota itu.
***
S ejauh ini, para pengamat sastra Indonesia selalu menempatkan novel ini
sebagai novel terpenting yang terbit sebelum perang. Sejak kemunculan yang
pertama, 1940, novel ini banyak memperoleh berbagai tanggapan dan pujian.
Semula novel ini ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak
sesuai dengan kebijaksanaan Balai Pustaka. Baru pada tahun 1940, penerbit Dian
Rakyat—milik Sutan Takdir Alisjahbana—menerbitkan novel ini yang ternyata
mendapat sambutan luas berbagai kalangan. Novel ini juga dipandang sebagai
novel pertama Indonesia yang menampilkan gaya arus kesadaran (stream of
consciousness).
Studi mengenai novel ini pernah dilakukan Ign. Sumarno (FS UGM, 1971)
sebagai bahan penelitian sarjana mudanya. Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan M. Saleh Saad (FS UI, 1963), Robert A. Crawford (University of
Melbourne, 1971), The Shackles of Doubt: Armijn Pane and His Art, serta J
Angles (Australian National University, Canberra, 1988) berjudul "The Fiction of
Armijn Pane." Pada tahun 1982, R. Carle (RFJ, Berlin) membuat tafsiran atas
novel Belenggu dalam penelitiannya yang berjudul "Die Gedankkliche Exposition
des Romans Belenggu von Armijn Pane." Pada tahun 1988, J. Djoko S.
Passandaran (FKIP, Universitas Palangkaraya) meneliti novel Belenggu sebagai
novel eksistensial.
Hingga kini, berbagai ulasan dan tanggapan, baik berupa makalah ilmiah
maupun artikel, masih banyak yang membahas novel ini, dengan berbagai tafsiran
dan sudut pandang.
Novel Belenggu yang pertama kali muncul di majalah Pujangga Baru, No.
7, 1940 ini sebenarnya ditulis Armijn Pane, tahun 1938. Pada tahun 1965, novel
ini terbit dalam edisi bahasa Melayu di Kuala Lumpur dan hingga kini terus
mengalami cetak ulang.
5. AKI
Penyakit TBC yang diderita Aki itu suatu ketika mencapai titik kritis.
Puncaknya adalah ketidak bernafasan Aki untuk beberapa saat. Sebagai istri setia,
Sulasmi terkejut melihat kenyataan yang menimpa suaminya. la kalap. Akan
tetapi, tak lama kemudian suaminya siuman, bahkan sebuah senyum tersungging
di bibirnya. Di antara senyuman itu, Aki mengatakan dengan pasti bahwa ia akan
mati pada tanggal 16 Agustus tahun depan. la berharap Sulasmi mau menyediakan
segala perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi hari kematiannya itu.
Hari kematian yang dikatakan Aki telah tiba. Semua orang bersiap-siap.
Akbar dan Lastri, anak-anak Aki, meminta izin tidak bersekolah. Pegawai-
pegawai kantor menghiasi mobil kantor dengan bunga-bungaan. Kepala kantor
berlatih menghapalkan pidato yang kelak akan dibacakan di kubur Aki. Lelaki itu
sendiri memakai pakaian terbagus yang dimilikinya untuk menyambut Malaikatul
maut yang akan menjumpainya pukul tiga sore nanti.
Ketika pukul tiga telah lewat, Sulasmi memberanikan diri untuk melihat
suaminya. Dilihatnya mata suaminya yang tertutup rapat. Lalu, dipanggilnya
nama Aki berulang-ulang, tetapi tak ada jawaban. Dengan diiringi tangis, Sulasmi
berlari ke luar kamar untuk menemui orang-orang yang menungguinya. Tahulah
para penunggu itu bahwa Aki telah meninggal. Saling berebut mereka masuk ke
kamar Aki. Akan tetapi, mereka terkejut dan berlarian dari kamar ketika melihat
Aki sedang merokok. "Tiada seorang pun yang berani mengatakan, apa yang
dilihat mereka dalam kamar itu. Mereka puntang-panting lari meninggalkan
rumah Aki. Dan yang belum masuk kamar, karena keinginan hendak tahu yang
amat besar, menjulurkan kepalanya juga, tapi segera pun mereka lari puntang-
panting keluar. Sehingga akhirnya semua pegawai itupun meninggalkan rumah
Aki secepat datangnya" (him. 36).
Sulasmi bersyukur bahwa Aki tidak mati. Ternyata, Aki hanya tertidur dan
tebangun karena keributan pegawai-pegawai teman sekantornya.
Entah mengapa, sejak peristiwa itu Aki selalu terlihat sehat. la tampak lebih
muda dari usia yang 42 tahun. Lalu, sebagai pengganti kepala kantor yang telah
meninggal tiga tahun yang lalu, ia terlihat atraktif. Bahkan, Aki kembali
bersekolah di fakultas lukum, bergabung dengan mahasiswa-mahasiswa yang
usianya jauh di bawah Aki. Tentang hidup? Lelaki yang telah sembuh dari TBC
ini ingin hidup lebih lama lagi. la mgin hidup seratus tahun lagi. Separuh
hidupnya akan diabdikan sebagai pegawai dan separuh hidupnya lagi akan
dipergunakan sebagai akademikus.
***
Dalam perjalanan novel Indonesia, tema yang ditampilkan Idrus dalam Aki
memang dapat dikatakan baru. Seseorang dapat menentukan saat
kematiannya yang dipercayai oleh orang-orang di sekelilingnya, adalah
hal yang aneh dan lucu. jadi, ada kesan bahwa Idrus ingin mengejek orang-
orang yang sangat ketakutan menghadapi kematian. Padahal, maut pasti
datang tanpa seorang pun tahu kapan waktunya.
6. PERTEMUAN JODOH
Beberapa bulan kemudian, Suparta yang murid Stovia itu, melalui sepucuk
surat, mengutarakan niatnya untuk memperistri Ratna. Meskipun tidak secara
tegas, Ratna menyambut baik niat Suparta. la bersedia juga menghabiskan masa
liburannya di Surnedang untuk sekaligus berkenalan secara baik-baik dengan
keJuarga pemuda itu. "Ibu Suparta termasuk golongan 'menak baheula', yaitu
orang tua turunan bangsawan yang masih berpegang teguh alam keadaan dan adat
lembaga zaman dahulu" (hlm. 29).
Sambutan ibu Suparta ternyata tidak begitu ramah. Ratna kecewa pada sikap
Nyai Raden Tedja Ningrum yang memandangnya dengan cemooh setelah tahu
bahwa Ratna turunan orang kebanyakan saja. Ibu Suparta juga bahkan sengaja
menyinggung-nyinggung nama gadis lain yang dianggapnya lebih pantas untuk
anaknya, yang tak lain adalah teman sekelas Ratna di Frobelkweeschool.
Dalam pada itu, selama Ratna menjadi pembantu keluarga Kornel, berbagai
cobaan harus diterimanya dengan tabah. Kehadirannya dalam keluarga itu tidak
luput dari rasa iri Jene, pembantu yang juga bekerja pada keluarga Kornel. Hingga
pada suatu ketika, Ratna dituduh mencuri perhiasan Nyonya Kornel atas fitnah
Jene. Ratna kemudian dibawa ke kantor polisi. Ketika para polisi yang
menjaganya lengah, Ratna melarikan diri, kemudian terjun ke sungai di sekitar
jembatan Kwitang. Beruntung, nyawanya masih dapat diselamatkan. Dalam
keadaan sekarat, ia dibawa ke rumah sakit.
***
N ovel kedua Abdul Muis, Pertemuan Jodoh ini menurut Teeuw merupakan
roman peralihan. Bukan saja karena pengarangnya merupakan hasil
perkawinan antar-pulau, tetapi karena hampir seluruh hayatnya ia tinggal di Jawa
(Sastra Baru Indonesia 1, 1980). Pertemuan Jcdoh tidak lagi berccrita tentang
pemuda-pemudi Minangkabau, tetapi tentang pemuda bangsawan Sunda dengan
gadis Sunda keturunan orang kebanyakan, Ibu Suparta yang "menak baheula"
akhirnya kalah oleh keinginan anaknya yang tidak lagi kukuh mempertahankan
adat tradisi kemenakannya atau kebangsa-wanannya.
Seperti juga pada.Salah Asuhan, jalinan peristiwanya disajikan secara
meyakinkan. Perwatakan tokoh-tokoh ceritanya juga tampil meyakinkan. Tokoh-
tokoh yang tidak terpelajar, misalnya, dalam dialognya menggunakan kata-kata
bahasa Betawi. Dengan demikian, Pertemuan Jodoh boleh dikatakan merupakan
pengamatan pengarangnya terhadap lingkungan sekitarnya setelah ia lama berada
di Jawa, terutama di Bandung (Abdul Muis pernah bekerja sebagai klerek di
Departemen Buderwijs en Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung).
Studi mengenai novel ini pernah dilakukan oleh Jalal Ahmad bin Abdullah
(FS UI, 1962) dan Shaaban bin Abu (FS Unas, 1974). Menurut Shaaban novel ini
merupakan lanjutan dari Salah Asuhan. Kajian lebih mendalam dilakukan oleh K.
Karmana Mah-mud (FS UGM, 1984) dalam tesis S2-nya yang berjudul "Tinjauan
Roman Pertemuan Jodoh atau Dasar Pendekatan Strukturalisme dan Semiotik".
7. DI ATAS PUING-PUING
Di Yogya Arini dan Hendra bertemu kembali dengan suami, orang tua, dan
anak-anak Arini. Terjadi pembicaraan singkat. Akhirnya diputuskan agar Arini
boleh hidup bersama Hendra beserta Iwan dan Neni, sementara Ita, anak
sulungnya, tinggal bersama Hardi dan Retno.
Nasihat dari Pastor Paroki agar Arini bersabar dan meninggalkan "jalan
sesat"-nya pun tidak bisa mengubah keputusannya. Undangan pertemuan dari
mertuanya juga ditolak. la tetap pada keputusannya untuk meninggalkan Yogya
dan menempuh hidup baru di Jakarta. Hal itu dilaksanakannya segera setelah Iwan
sembuh dan Hendra berhasil memperoleh pekerjaan.
Di Jakarta "keluarga baru" Arini tidak lagi menempati kamar sempit karena
Hendra telah sanggup mengontrak rumah sederhana yang masih berdinding
bambu. Meskipun mereka hidup kekurangan, Arini merasa lebih tentram.
Perhatian-perhatian kecil dari Hendra, seperti pemberian kado ulang tahun, mulai
menumbuhkan rasa cintanya lagi. Arini mengungkapkan dalam catatan hariannya:
Pada suatu ketika Hendra mengajak Arini mengunjungi orang tua Hendra di
Semarang. Arini yang semula menolak karena merasa malu sebagai orang yang
"penuh dengan dosa", akhirnya bersedia ikut. Ternyata orang tua Hendra merestui
hubungan mereka meskipun hanya berlandaskan surat kawin catatan sipil tanpa
persetujuan gereja.
Setelah dua tahun hidup bersama, Arini dan Hendra bisa membangun rumah
sendiri. Mereka sekeluarga mulai mengecap kebahagiaan.
Sampai di sini catatan harian Arini selesai dibaca Yayuk, namun cerita
belum berakhir. Sebuah telegram sampai ke tangan Yayuk yang berisi berita
kematian Hendra karena kecelakaan pesawat. Karena kesibukan keluarganya, baru
setengah tahun kemudian Yayuk bisa mengunjungi Arini. Pertemuan antara
mereka membangkitkan keharuan.
***
C inta Rani yang begitu besar kepada Ramelan, seorang mahasiswa fakultas
teknik, telah membuat gadis itu rela berkorban demi mewujudkan harapan
cintanya itu. la rela membiayai kuliah kekasihnya sampai Ramelan menyelesaikan
studihya dan menjadi insinyur, la juga nekat lari dari orang tuanya, kemudian
kawin dengan Ramelan secara sederhana. Dari upahnya menerima jahitan,
semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencana,
Rani sendiri tidak mau mempedulikan semua kabar busuk itu. Ramelan
yang mencoba menyuruh Rani untuk tidak lagi menyewakan kamar-kamarnya,
juga tidak digubris. la yakin pada jalannya sendiri yang memang tidak hendak ia
nodai.
Lebih dari dua tahun Rani menjalani kehidupan seperti itu. Sampai
akhirnya, Wastu dan Pragantha, dua mahasiswa fakultas teknik yang sudah sejak
lama tinggal di pondokan Rani, meminta Rani agar menghadiri ujian skripsi
mereka. Tentu saja Rani tidak berkeberatan. Pada hari yang ditentukan, ia datang
ke tempat kedua mahasiswa itu melangsungkan ujian akhirnya. Hasilnya adalah
mereka lulus dan berhak menyan-dang gelar insinyur.
Peristiwa itu bagi Rani, barangkali tidak lebih sebagai peristiwa biasa,
sungguhpun sebelum pulang, ia sempat berjumpa lagi dengan bekas kekasihnya
dahuiu sewaktu ia belum berhubungan dengan Ramelan. Namun, seperti juga
kejadian sehari-hari, ia kembali kepada kesibukannya mengurusi anak-anaknya.
Laksmi rupanya sudah menunggu di sana. Kini Rani melihat, betapa orang
yang pernah ia cintai, ayah anak-anaknya itu, hanya terbaring tak berdaya. "Aku
membaca surat Yasin yang ada di tangan kiri dan tangan kananku menggenggam
erat tangan Ramelan. Tanpa kusadari, selama ayat-ayat suci itu kubaca dengan
khusyuk, Ramelan telah berhenti bernapas" (hlm. 129).
***
N ovel karya Titis Basino ini, tampak jelas hendak mengangkat ketabahan
seorang wanita, seorang ibu dengan keempat anaknya. Dengan ketabahan
itu, ia berhasil tidak hanya menjadi kepala keluarga bagi anak-anaknya, tetapi juga
berhasil menjadi induk semang yang baik bagi mereka yang tinggal di
pondokannya. Lebih dari itu, ia juga berhasil membangun citra dirinya sebagai
wanita yang tak mudah goyah oleh cobaan apa pun. Penderitaan yang dialaminya,
telah membuatnya menjadi wanita yang matang, sekaligus menjadi ibu yang
bijaksana.
Secara keseluruhan novel ini dibangun oleh jalinan peristiwa yang lancar
dan tidak terlalu rumit. Pesan pengarangnya untuk menampilkan citra wanita
sejati, boleh dikatakan berhasil lewat penokohan yang tidak terlalu kompleks.
9. WANITA ITU ADALAH IBU
Apa yang dirasakan Hezan, dirasakan pula oleh Prapti berkenaan dengan
usul agar ayahnya mencari pengganti ibunya. "Aku malah telah berbuat lebih
jauh. Meminta ayah untuk mencari pengganti Ibu. Sampai di mana sebenarnya
cintaku pada Ibu? Mungkin cintaku terlalu besar kepada ayah, yang membuatku
melupakan Ibu" (hlm. 34).
***
Yang menarik dalam novel ini adalah adanya usaha pengarang untuk
mengangkat konflik psikologis yang terjadi pada diri para tokohnya. Pertentangan
batin pada diri sang ayah atau anak (Prapti) cukup menarik karena persoalannya
memang tidaklah sesederhana yang diduga.
Mahayana M.S, Sofyan O., Dian A. (2000). Ringkasan dan Ulasan Novel
Indonesia Modern. Jakarta : PT Gramedia.
Telepon
D aud bekerja pada sebuah toko di Jakarta. Sebetulnya ia sudah sangat bosan
dengan pekerjaannya. Namun, karena tak ada pekerjaan lain, ia terpaksa
melakukannya juga. Daud mempunyai hobi yang tak biasa, ia gemar sekali
menelepon. Kegemaran yang dimulai dari iseng-iseng itu lama-kelamaan menjadi
semacam kebutuhan. Ia tak peduli kapan, di mana, dan kepada siapa ia
menelepon. Yang penting, apabila hasrat hatinya untuk menelepon sudah
terpenuhi, ia akan segera senang. la seakan terbebas dari beban yang
mengimpitnya.
Rupanya perasaan Daud tidak selamanya tenang. Hal itu terjadi ketika ia
iseng-iseng menelepon seseorang. Orang yang menerima telepon itu mengaku
sebagai orang yang dimaksud Daud, padahal ia menyebutkan sekadar nama yang
tiba-tiba terlintas begitu saja di kepalanya.
Sejak peristiwa itu Daud mulai dihinggapi rasa gelisah; dan kegelisahan itu
memuncak ketika tanpa diduga ia menerima telepon dari sekretaris Tajudin yang
memberitahukan bahwa Tajudin telah mengetahui siapa yang mengancamnya,
yaitu Daud. Lebih jauh bahkan telah meminta polisi untuk rnenangkap Daud
dengan alasan melakukan ancaman pembunuhan disertai bukti-bukti berupa
rekaman pembicaraan telepon.
Hal yang tak diduga sama sekali oleh Daud adalah ketika Simangunsong
datang ke rumah kontrakannya di Kebon Kacang. Yang lebih mengejutkan lagi
ketika tiba-tiba ia dipukuli sahabat seperantauannya itu. Simangunsong berang
karena perayaan pernikahan adik sepupunya berantakan akibat ulah seorang
penelepon gelap yang me-ngatakan bahwa di tempat pesta itu terdapat bom yang
sewaktu-waktu dapat meledak. Para undangan tentu saja bubar begitu mendengar
berita yang kemudian terbukti hanya omong kosong itu. Simangunsong
berkesimpulan bahwa penelepon gelap itu tak lain adalah Daud. Padahal bukan.
Kalau bukan Daud, lalu siapa?
***
J udul novel ini, Telepon, mengisyaratkan bahwa akan terjadi komunikasi
antaranggota 1 masyarakat lewat hasil peradaban manusia. Kenyataannya
memang demikian. Namun, berbagai masalah yang mendera manusia; depresi,
kesepian, atau keputusasaan yang banyak melanda masyarakat perkotaan telah
mengubah fungsi telepon sebagai alat pelarian mereka. Kenyataan, dewasa ini
yang terjadi di masyarakat memang demikian. Oleh Sori Siregar sisi negatif
telepon diangkat dalam novelnya ini. Rasa keterasingan dan keterpencilan,
ternyata dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lingkaran masalah yang tak
berkesudahan jika ia mencoba menyelesaikan tidak pada tempatnya. Dengan kata
lain, pelarian yang salah sesungguhnya bukanlah usaha penyelesaian, melainkan
justru menambah masalah baru. Atau, bahwa berbagai masalah—sebagai dampak
kemajuan teknologi—sebetulnya pertama-tama ditimbulkan oleh ulah manusia
sendiri.