Anda di halaman 1dari 16

4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik
yang menetap. Pada waktu anda membaca tekanan darah bagian atas adalah
tekanan darah sistolik, sedangkan bagian bawah adalah tekanan diastolik.
Tekanan sistolik (bagian atas) adalah tekanan puncak yang tercapai pada
waktu jantung berkontraksi dan memompakan darah melalui arteri. Sedangkan
tekanan diastolik (angka bawah) adalah tekanan pada waktu jatuh ke titik
terendah dalam arteri. Secara sederhana seseorang disebut hipertensi apabila
tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar
dari 90 mmHg. Tekanan darah yang ideal adalah 120/80 mmHg (Sunardi,
2000).
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi
a. Hipertensi esensial/primer.
Tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar 90%
dari seluruh kejadian hipertensi. Hipertensi esensial adalah penyakit
multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor
risiko tertentu (Yogiantoro, 2006). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2006).
Menurut Gunawan (2005), penyebab utama hipertensi yaitu gaya
hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi penuh tekanan dan
stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol dilepaskan ke
aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Gaya
hidup yang penuh kesibukan juga membuat orang kurang berolah raga
dan berusaha mengatasi stresnya dengan merokok, minum alkohol atau

kopi sehingga risiko terkena hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang
salah dan yang ketiga adalah berat badan berlebih.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan
dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes,
kelainan sistem syaraf pusat. Jumlah kejadiannya mencapai 10% (Sunardi,
2000).
2. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hiptertensi
Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa
berdasarkan

JNC-VII

(The

Joint

National

Committee On

Prevention,

Detection Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure) (JNC 7).


Tabel 1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC

Sumber : Yogiantoro, 2006


2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah
Tabel 2 Rekomendasi untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah Pengukuran Pertama

Sumber : JNC VI (1998) dan WHO-ISH (1999)


Pasien dibiarkan istirahat dengan tenang, 5 - 10 menit. Pasien tidak
boleh merokok dan minum zat perangsang (stimulant) seperti teh, kopi, dan
minuman ringan yang mengandung kafein 30 menit sebelum pengukuran. Ukuran
manset harus sesuai dengan lengan penderita yaitu paling sedikit 80% lebar
manset harus dapat menutupi lingkar lengan.

Pasien di ukur dalam posisi duduk atau berbaring dengan lengan


sejajar jantung. Rabalah denyut nadi radialis pada sisi ipsilateral dan kembangkan
karet sfigmomanometer secara bertahap sampai tekanan sistolik 20 mmHg di atas
titik dimana denyut nadi radialis menghilang. Auskultasi pada arteri brakialis dan
kempiskan karet kurang lebih dua mmHg per detik, catat titik pertama pulsasi
yang terdengar (korotkoff 1) yang merupakan tekanan darah sistolik dan titik
di mana bunyi pulsasi menghilang (korotkoff 5) yaitu tekanan diastolik.
Ukurlah tekanan darah minimal dua kali dengan jarak dua menit dan pastikan
tidak ada perbedaan antara kedua lengan. Jika terdapat perbedaan, lengan yang
mempunyai angka yang lebih tinggi digunakan sebagai patokan. Semua orang
dewasa harus mengukur tekanan darahnya secara teratur setidaknya setiap lima
tahun sampai umur 80 tahun. Jika hasilnya

berada pada nilai batas,

pengukuran perlu dilakukan setiap tiga sampai12 bulan (Gray, 2005).


2.1.4 Diagnosis Hipertensi
Sebelum dibuat diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran berulang paling
tidak pada tiga kesempatan yang berbeda selama empat sampai enam
minggu. Pengukuran dirumah dapat menggunakan sfigmomanometer yang tepat
sehingga menambah jumlah pengukuran untuk analisis (Gray, 2005).
Sebuah komite yang dibentuk oleh Experimental Medical Care Review
Organisation (EMCRO) di Amerika menambahkan bahwa untuk menentukan
kriteria hipertensi yang menetap adalah apabila tekanan darah tetap tinggi setelah
diperiksa tiga kali berturut-turut dengan interval tidak kurang dari satu minggu
(Soelaeman, 1980).
2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi
Gejala-gejala

penyakit

yang

biasa

terjadi

baik

pada

penderita

hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal


hipertensi yaitu sakit kepala, pusing, gelisah,

jantung berdebar, perdarahan

hidung, sukar tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk
terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat

komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan; penglihatan,


saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang mengakibatkan
kejang

dan

perdarahan

pembuluh

darah

otak

yang mengakibatkan

kelumpuhan, ganguan kesadaran hingga koma (Cahyono, 2008).


2.1.6 Patofisiologis Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi karena adanya gangguan
dalam

sistem peredaran darah. Gangguan

tersebut dapat berupa gangguan

sirkulasi darah, gangguan keseimbangan cairan dalam pembuluh darah atau


komponen dalam darah yang tidak normal. Gangguan tersebut menyebabkan
darah tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh dengan lancar. Untuk itu,
diperlukan

pemompaan

yang

berdampak pada meningkatnya

lebih

keras

dari

jantung. Hal ini akan

tekanan dalam pembuluh darah atau disebut

hipertensi (Price dan Wilson, 2006).


Tekanan darah adalah fungsi berulang-ulang dari cardiac output karena
adanya resistensi periferal (resistensi dalam pembuluh darah untuk darah).
Diameter pembuluh

darah

ini

sangat mempengaruhi aliran

darah.

Jika

diameter menurun misalnya pada aterosklerosis, resistensi dan tekanan darah


meningkat. Jika diameter meningkat misalnya dengan

adanya

terapi

obat

vasodilator, resistensi dan tekanan darah menurun. Ada dua mekanisme yang
mengontrol homeostatik dari tekanan darah, yaitu:
1. Short term control (sistem saraf simpatik). Mekanisme ini sebagai respon
terhadap

penurunan

tekanan,

system

saraf

simpatetik mensekresikan

norepinephrine yang merupakan suatu vasokonstriktor yang akan bekerja


pada arteri kecil dan arteriola untuk meningkatkan resistensi peripheral
sehingga tekanan darah meningkat.
2. Long term control (ginjal). Ginjal mengatur tekanan darah dengan cara
mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin yang akan
mengaktivasi sistem renin dan angiotensin (Price dan Wilson, 2006). Bagan
dibawah ini adalah patologi dari hipertensi, yakni:

Bagan 1 Patofisiologis Hipertensi

Sumber: Price dan Wilson ( 2006)


Berdasarkan bagan di atas, proses terjadinya hipertensi melalui tiga
mekanisme, yaitu: gangguan keseimbangan natrium, kelenturan atau elastisitas
pembuluh darah berkurang (menjadi kaku), dan penyempitan pembuluh darah.
2.1.7 Komplikasi Hipertensi
Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel
arteri dan mempercepat atherosklerosis. Bila penderita memiliki faktor-faktor
risiko

kardiovaskular

morbiditas

akibat

lain,

maka

gangguan

akan

meningkatkan mortalitas

kardiovaskularnya

tersebut. Menurut

dan
Studi

Farmingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan risiko yang


bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal
jantung (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).
Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006), hipertensi yang tidak
diobati

akan

mempengaruhi

semua

sistem

organ

dan

akhirnya

akan

memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu penurunan


tekanan darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif pada usia lanjut.
Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal-hal yang baru, akan tetapi
masih dapat melakukan aktifitas

sehari-hari. Kerusakan organ yang

terjadi

berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi. Perubahan-perubahan utama


organ yang terjadi akibat hipertensi adalah sebagai berikut:
1. Jantung. Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, gagal jantung.
2. Ginjal. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat
tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya
glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, nefron
akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik dan kematian.
Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan keluar melalui urin
sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema
yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.
3. Otak. Komplikasinya berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke dapat
timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embulus yang
terlepas dari pembuluh non-otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat
terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak
mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah
yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis
dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.
4. Mata. Komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai
dengan kebutaan.
5. Pembuluh perifer. Penelitian meta-analisis yang melibatkan lebih dari
420.000

pasien telah

menunjukkan

hubungan

yang

kontinyu

dan

independen antara tekanan darah dengan stroke dan penyakit jantung


koroner. Peningkatan tekanan diatolik >10 mmHg dalam jangka panjang
akan meningkatkan risiko stroke sebesar 56% dan penyakit jantung
koroner sebesar 37% (Gray, 2005).
2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi
Diketahui bahwa tingginya pendidikan dan pendapat pada masyarakat
memiliki kemampuan yang lebih dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan
untuk melakukan pengobatan sedangkan dengan pendapatan yang rendah
kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, mungkin oleh karena

10

tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli obat atau keperluan yang
lain, hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang diderita bertambah parah.
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis atau Perubahan Gaya Hidup
Terapi nonfarmakologis

harus

dilaksanakan

oleh semua

pasien

hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan


faktor-faktor resiko serta penyakit lain. Terapi nonfarmakologis meliput:
menghentikan merokok, menurunkan berat badan berlebih, menurunkan
konsumsi alkohol berlebih, latihan fisik serta menurunkan asupan garam
(Yogiantoro, 2006). Meningkatkan konsumsi asupan buah dan sayur serta
menurunkan asupan lemak. Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang
sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian
yang penting dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2006).
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Terapi

farmakologis

adalah

dengan

menggunakan

obat-obatan

antihipertensi. Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan


keamanan dalam pengobatan hipertensi. Berdasarkan uji klinis, hampir
seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa:
a. Keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah.
b. Pengelompokan

pasien

berdasarkan

keperluan

pertimbangan khusus

yaitu kelompok indikasi yang memaksa dan keadaan khusus lain.


c. Terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah dicapai secara
progresif dalam beberapa minggu. Dengan dosis rendah lalu perlahan
ditingkatkan dosisnya.
d. Menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang
memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari.
e. Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau
dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada
tidaknya komplikasi (Yogiantoro, 2006).

11

2.2

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hipertensi


Dari beberapa sumber kepustakaan yang diperoleh penulis, maka

faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit hipertensi adalah sebagai berikut


2.2.1 Umur
Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih besar
sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu
sekitar 40%, dengan kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes, 2006).
Yogiantoro (2006) menyebutkan bahwa individu berumur 55 tahun memiliki 90%
risiko untuk mengalami hipertensi. Menurut Krummel (2004) memaparkan
bahwa tekanan sistolik terus meningkat sampai usia 80 tahun dan tekanan
diastolik terus meningkat sampai usia 55-60 tahun, kemudian berkurang
secara perlahan atau bahkan menurun drastis.
Penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang
mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia lebih
dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas. Setelah usia 45
tahun terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik. Dinding arteri
akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen pada
lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit
dan menjadi kaku. Disamping itu, pada usia lanjut sensitivitas pengaturan
tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai berkurang, demikian juga
halnya dengan peran ginjal, dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus
menurun (Kumar, et all, 2005).
Dalam

penelitian

Dian,

dkk

(2009)

diketahui

tidak

terdapatnya

hubungan yang bermakna antara usia dengan penderita hipertensi. Namun,


penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa ada hubungan nyata positif antara
umur dan hipertensi. Dan penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa resiko
hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subjek > 40 tahun dibandingkan dengan
yang berusia 40 tahun. Berarti diketahui bahwa meningkatnya umur seseorang
akan diikuti dengan meningkatnya kejadian hipertensi.

12

2.2.2 Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria lebih


banyak dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung
dapat meningkatkan tekanan darah dibanding wanita. Namun setelah memasuki
menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat (Depkes, 2006). Hal
tersebut

dikarenakan

melindungi

wanita

adanya
dari

pengaruh hormon

estrogen

yang

dapat

penyakit kardiovaskuler. Kadar hormon ini akan

menurun setelah menepouse (Gray, 2005).


Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormone
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam
mencegah

terjadinya

dianggap

sebagai

proses

aterosklerosis.

penjelasan

adanya

Efek perlindungan
imunitas wanita

estrogen

pada

usia

premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi


sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut
berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya
mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun (Kumar, et all, 2005).
Data Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di
Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%).
Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2006), sampai
umur 55 tahun,

laki-laki

lebih banyak menderita hipertensi dibanding

perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan


dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Hasil penelitian Sulistiani (2005)
diketahui bahwa faktor jenis kelamin tidak ada hubungan yang signifikan
antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Demikian juga Herke (1995)
tidak dapat membuktikan bahwa perempuan mempunyai risiko hipertensi yang
lebih besar daripada laki-laki, walaupun secara presentase diperoleh hipertensi
lebih tinggi pada perempuan.
Namun penelitian Yuliarti (2007), diketahui bahwa ada hubungan yang
signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Hal tersebut

13

menunjukkan bahwa kejadian hipertensi pada perempuan dipengaruhi oleh


kadara hormon estrogen. Hormon estrogen tersebut akan menurun kadarnya
ketika

perempuan

memasuki

usia

tua

(menepouse) sehingga perempuan

menjadi lebih rentan terhadap hipertensi.


2.2.3 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga mempertinggi risiko terkena penyakit hipertensi,
terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini juga
diperngaruhi faktor-faktor lingkungan lain. Faktor genetik juga berkaitan
dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel (Depkes, 2006).
Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua
kita mempunyai

hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai

25%

kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita mempunyai


hipertensi,

kemungkinan

kita

mendapatkan penyakit tersebut 60% (Sheps,

2005).
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya

kejadian

bahwa

hipertensi

lebih

banyak

pada

kembar

monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang
penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila
dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan
menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun
akan timbul tanda dan gejala (Sutanto, 2010). Pada kenyataannya, 70-80 % kasus
hipertensi, ternyata pada keluarga yang mempunyai riwayat hipertensi (Sunardi,
2000). Hasil penelitian Hasirungan (2002) pada lansia dikota Depok usia 55
sampai 70 tahun diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat
keluarga sakit dengan hipertensi.
2.2.4 Olahraga atau Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan
sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan
energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru

14

memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke


seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).
Menurut Lee, et all (2002), olahraga dapat menurunkan risiko penyakit
jantung koroner melalui mekanisme; penurunan denyut jantung dan tekanan
darah, penurunan tonus simpatik, meningkatkan diameter arteri koroner, dan
sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL dan menurunkan
LDL darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja secara lebih
efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun kekuatan memompa jantung
semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung pada intensitas tertentu,
penurunan lemak badan dan berat badan serta menurunkan tekanan darah
(Cahyono, 2008).
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur
merupakan

intervensi

pertama

untuk

mengendalikan

berbagai

penyakit

degeneratif (tidak menular). Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat untuk


menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan jantung, dan
lain-lain. Pengaruh olahraga dalam jangka panjang sekitar empat sampai enam
bulan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 7,4/5,8 mmHg tanpa bantuan
obat hipertensi. Pengaruh penurunan tekanan darah ini dapat berlangsung sampai
sekitar 20 jam setelah berolahraga (Sutanto, 2010).
Olahraga memerlukan

suatu ukuran

tertentu agar dapat memberikan

kebugaran jasmani. Olahraga yang tidak sesuai dengan patokan, maka yang
didapatkan hanya kegembiraan saja, sementara kebugarannya tidak diperoleh.
Akibatnya, walaupun seseorang sudah merasa olahraga, tubuhnya tidak sesehat
yang diharapkan (Cahyono, 2008).
Olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali dalam
seminggu dan minimal 30 menit setiap sesi (Sutanto, 2010). Semakin lama
berada dalam zona tersebut akan memberikan efek yang lebih baik. Sebagai
contoh, apabila melakukan olahraga yang lamanya mencapai 40 sampai 90
menit bahan bakar yang digunakan sebagai sumber tenaga berasal dari asam
lemak. Dengan demikian kadar glukosa darah dan lemak darah (kolesterol) akan
digunakan tubuh sehingga kedua kadar zat tersebut akan menuju normal.

15

Namun, olahraga yang berlebihan bisa berdampak tidak baik bagi kesehatan
karena tubuh dapat menjadi lelah (Cahyono, 2008).
Pemilihan jenis olahraga juga perlu diperhatikan, karena tidak semua jenis
olahraga memberikan efek baik bagi tubuh. Terdapat dua jenis olah raga, yaitu:
1. Olahraga isotonik (sering disebut olah raga aerobik), contohnya jenis
olahraganya adalah joging, berenang, naik sepeda, dansa dan maraton.
Olahraga ini lebih memanfaatkan gerakan kaki daripada lengan. Olahraga
aerobik memiliki efek terbesar pada kesegaran fisik dan kesehatan, karena
meningkatkan ketahanan kardio-respirasi.
2. Olahaga yang bersifat isometrik (gerak badan statik), lebih banyak
melibatkan lengan daripada kaki, misalnya angkat beban. Olahraga ini kurang
menguntungkan pada sistem kardio-respirasi. Olahraga isometrik, lebih
mengutamakan ketahanan dan kakuatan otot (Cahyono, 2008).
Melalui olahraga yang isotonik dan teratur (aktifitas fisik aerobik 30
menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan
darah. Kurang olahraga dapat memperbesar risiko obesitas dan apabila
asupan garam bertambah maka akan menambah risiko timbulnya hipertensi
(Sutanto, 2010).
Hasil penelitian Sanusi (2002) di poli klinik geriatri RSUPN Cipto
Mangunkusumo diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara
aktifitas fisik dengan hipertensi. Sedangkan penelitian Sugihartono (2007),
menyatakan bahwa tidak biasa melakukan olah0raga mempunyai risiko
menderita hipertensi sebesar 4,73 kali dan olah raga tidak ideal mempunyai risiko
sebesar 3,46 kali dibandingkan orang yang mempunyai kebiasaan olahraga
ideal.
2.2.5 Merokok
Winniford (1990) memaparkan bahwa rokok mengandung nikotin yang
dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah sistolik dan diastolik.
Peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama
merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%. Sedangkan

16

tekanan sistolik meningkat mancapai 10%. Diketahui pula bahwa merokok


dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung melalui mekanisme
sebagai

berikut:

pertama, merangsang

saraf

simpatis untuk melepaskan

nonepinefrin melalui saraf adrenergi dan meningkatkan katekolamin yang


dikeluarkan melalui medula adrenal. Kedua, merangsang khemoreseptor di arteri
karotis dan aorta bodies dalam meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah. Ketiga, secara langsung terhadap otot jantung.
Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam
penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia
berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat, yaitu
1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat merusak
jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan pembuluh darah,
peningkatan denyut

jantung, pengerasan pembuluh darah dan pengumpalan

darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan


kanker. 3) Karbon Monoksida (CO), merupakan gas beracun yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen. Gas CO yang
dihisap menurunkan kapasitas sel darah merah untuk mengangkut oksigen,
sehingga sel-sel tubuh akan mati. Di tubuh perokok, tempat untuk O2 ditempati
oleh CO, karena kemampuan darah 200 kali lebih besar untuk mengikat CO
ketimbang O2. Akibatnya otak, jantung dan organ vital tubuh lainnya akan
kekurangan oksigen. Jika jaringan yang kekurangan oksigen adalah otak, maka
akan terjadi stroke (kelumpuhan). Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung,
maka akan terjadi serangan jantung. Zat kimia dalam tembakau dapat merusak
lapisan dalam dinding arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak
(Depkes, 2008).
2.2.5.1 Jumlah rokok yang dihisap
Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang, bungkus, pak per
hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu:
1. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10 batang rokok
per hari.
2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 20 batang rokok per hari.

17

3. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20 batang rokok


per hari (Bustan, 1997).
2.2.5.2 Lama menghisap rokok
Menurut Bustan (2000), semakin awal seseorang merokok makin sulit
untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-response effect, artinya
semakin muda usia merokok, akan semakin besar pengaruhnya. Selain itu,
menurut Smet (1994), apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja,
merokok sigaret dapat berhubungan dengan

tingkat arterosklerosis. Risiko

kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan umur awal


merokok yang lebih dini.
Mangku Sitepoe (1997) dalam Suheni (2007), merokok sebatang setiap
hari akan meningkatkan tekanan sistolik 1025 mmHg dan menambah detak
jantung

lima

sampai

20

kali

permenit.

Berdasarkan

hasil

penelitian

eksperimen yang dilakukan oleh petugas U.S Army Medical Corp terhadap
enam pria yang merokok (perokok berat) menunjukkan bahwa penyempitan
sementara pada arteri setelah merokok. Kecepatan denyut nadi kembali
normal lima sampai 15 menit setelah merokok, tetapi pembatasan arteri
vaskular bertahan selama setengah sampai satu jam, dalam sejumlah kasus lebih
lama lagi (Marvyn, 1987).
Asap rokok bukan saja memberikan dampak buruk bagi perokok,
melainkan juga bagi orang lain yang menghisap asap rokok tersebut tanpa
dirinya sendriri merokok (disebut perokok pasif). Para ilmuwan membuktikan
bahwa zat-zat kimia yang dikandung asap rokok dapat mempengaruhi
kesehatan orang-orang disekitar perokok yang tidak merokok. Dampak bahaya
merokok

tidak

langsung

bisa

dirasakan

dalam jangka pendek tetapi

terakumulasi beberapa tahun kemudian, terasa setelah 10-20

tahun

pasca

digunakan. Dengan demikian secara nyata dampak rokok berupa kejadian


hipertensi akan muncul kurang lebih setelah berusia lebih dari 40 tahun, sebab
dipastikan setiap perokok yang menginjak usia 40 tahun ke atas telah menghisap
rokok lebih dari 20 tahun. Jika merokok dimulai usia muda, berisiko mendapat

18

serangan jantung menjadi dua kali lebih sering dibanding tidak merokok.
Serangan sering terjadi sebelum usia 50 tahun (Depkes, 2008).
Setiap tahun tidak kurang dari tiga koma lima sampai lima juta jiwa
melayang akibat merokok (sekitar 10.000 orang/hari). Di Negara Cina
dilaporkan dari 300 juta populasi laki-laki berusia 0-29 tahun, 200 juta di
antaranya memiliki kebiasaan merokok (Cahyono, 2008). Dalam

penelitian

Sanusi (2002) diketahui terdapat hubungan yang bermakna antara merokok


dengan

kejadian

hipertensi.

Namun, dalam penelitian Hasirungan (2002)

didapatkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara merokok dengan


kejadian hipertensi.
2.2.6 Obesitas
Menurut Hull (1996), penelitian menunjukkan adanya hubungan antara
berat badan dan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat badan ideal
maka risiko hipertensi juga meningkat. Penurunan berat badan dan pengobatan
berat badan merupakan pengobatan yang efektif untuk hipertensi.
Obesitas

juga

erat

kaitannya

dengan

kegemaran

mengkonsumsi

makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko


terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh,
makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan
ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah
menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri,
yang

akan meimbulkan

terjadinya

kenaikan

tekanan darah. Selain

itu,

kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung (Sheps,


2005). Kegemukan atau obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang
dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) (Depkes, 2006). IMT
merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur tingkat
populasi berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa (Sidartawan,
2006). Menurut Supariasa (2002), penggunaan IMT hanya berlaku untuk
orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Pengukuran berdasarkan IMT
dianjurkan oleh FAO/WHO/UNU tahun 1985. Nilai IMT dihitung menurut rumus:

19

Sumber : Depkes (2006)


Berikut ini adalah klasifikasi status gizi berdasarkan IMT:
Tabel 3 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Orang Indonesia

Sumber: Depkes RI, 2006

Anda mungkin juga menyukai