Anda di halaman 1dari 3

Profesor Belanda: Psikologi ala Darwin

Ternyata Keliru
Senin, 16 Juni 2008
Ilmu psikologi yang dijelaskan berlandaskan teori evolusi Darwin ternyata
keliru, kata para pakar. Metoda dan datan tidak bisa dijadikan bukti. Psikologi
evolusioner ala Darwin mulai tumbang !
Hidayatullah.comPakar biologi asal Belanda, Johan J. Bolhuis, yang juga presiden
Royal Dutch Zoological Society, baru-baru ini menulis di terbitan ilmiah pro-evolusi
terkemuka, Science, 6 Juni 2008. Di jurnal itu, profesor di Institute of Biology, Leiden
University, Belanda ini membedah sebuah buku penting yang baru terbit, Evolutionary
Psychology as Maladapted Psychology (Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi Salah
Tempat), karya Robert C. Richardson.
Buku tersebut membongkar kekeliruan penerapan teori evolusi Darwin di bidang
psikologi. Pendekatan evolusi ini menarik perhatian kalangan masyarakat luas karena,
sebagaimana dituturkan Bolhuis, seringkali menyentuh bahasan-bahasan seperti birahi
manusia, seks dan nafsu.
Psikologi ala Darwin
Dalam ulasannya yang berjudul Psychology: Piling On the Selection Pressure di
majalah Science itu, Johan J Bolhuis menyatakan bahwa Charles Darwin memperluas
cakupan teori evolusi dalam buku The Origin of Species-nya untuk menjelaskan
kemampuan berpikir pada manusia. Ini dituangkan Darwin dalam bukunya yang lain,
The Descent of Man, di mana Darwin berpendapat bahwa sifat-sifat pada diri manusia
seperti moralitas dan emosi muncul melalui evolusi.
Dalam perkembangan selanjutnya, para pakar di bidang psikologi yang datang kemudian
lalu mengekor jejak sang guru Charles Darwin, berusaha menerapkan teori evolusi untuk
menjelaskan akal pikiran manusia, atau yang dikenal dengan istilah evolutionary
psychology (psikologi evolusioner, yakni psikologi yang dijelaskan menurut teori
evolusi). Lebih khusus lagi, psikologi evolusioner mengemukakan bahwa akal pikiran
manusia terdiri dari simpul-simpul daya pikir yang berevolusi sebagai tanggapan atas
tekanan seleksi yang dihadapi nenek moyang manusia pada Zaman Batu.
Evolusi adalah ideologi
Awalnya berupaya menjelaskan asal usul keanekaragaman makhluk hidup dengan
menihilkan pencipta, teori evolusi pun lalu merambah ke ranah psikologi manusia. Ini
menyiratkan betapa evolusi bukanlah sekedar teori di bidang biologi semata. Lebih luas
dari itu, evolusi adalah ideologi atau akidah ateis materialis, yang diterima benar secara
dogmatis, meski tanpa bukti nyata, dan dijadikan penganutnya sebagai cara pandang
serta pijakan dalam mengembangkan ilmu-ilmu lain, termasuk psikologi manusia.
Karena dijadikan landasan dogma tanpa bukti di bidang psikologi evolusioner, tidak
heran jika terjadi kejumudan dengan menolak penjelasan selainnya. Bolhuis menegaskan
permasalahan penting ini:

The main problem with evolutionary psychology is that it usually does not consider
alternative explanations but takes the assumption of adaptation through natural
selection as given.
Permasalahan utama dengan psikologi evolusioner adalah biasa tidak
dipertimbangkannya penjelasan-penjelasan alternatif tapi menjadikan anggapan
(asumsi) adaptasi melalui seleksi alam sebagai kebenaran yang wajib diterima.
Perkataan di atas adalah bukti jelas yang menggambarkan sifat teori evolusi yang tidak
mencerminkan teori ilmiah, melainkan akidah, dogma ataupun ideologi yang wajib
diterima dengan menutup diri dari penjelasan lain.
Tak punya bukti
Sang pengarang buku Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology, Robert
Richardson, adalah pendukung evolusi, yang percaya bahwa kemampuan psikologis
manusia merupakan sifat yang terevolusi. Meskipun begitu, filsuf asal University of
Cincinnati itu menyatakan bahwa penafsiran psikologi evolusioner dari sudut pandang
biologi evolusi adalah salah. Richardson sampai pada kesimpulan tersebut berdasarkan
kajiannya yang berpegang teguh pada ilmu pengetahuan, terutama pada metoda-metoda
ilmiah yang digunakan dalam penelitian di bidang tersebut.
Menurut Bolhuis, karya Richardson ini merupakan pelengkap karya yang telah terbit
sebelumnya, yang juga memberikan bantahan telak terhadap penerapan teori evolusi
selama ini di bidang psikologi. Karya yang lebih dulu terbit tahun 2005 itu berjudul
Adapting Minds (Akal Yang Beradaptasi), yang juga karya pendukung evolusi, David
Buller, pakar filsafat asal Northern Illinois University. Berbeda dari Richardson, karya
Buller lebih terperinci, menitikberatkan pada bukti-bukti dan memberikan penafsiran
lain.
Para pakar psikologi evolusioner seringkali bersikukuh dengan pendapat mereka hingga
timbul kesan bahwa kemampuan nalar manusia hanya dapat dipahami berdasarkan
sejarah evolusi manusia. Akan tetapi dalam kajiannya, sebagaimana dituangkan di
banyak tempat dalam bukunya Evolutionary Psychology as Maladaptive Psychology,
Richardson berkesimpulan bahwa tidak ada bukti sejarah yang dapat digunakan untuk
merekonstruksi evolusi kemampuan berpikir manusia.
Contoh nyatanya adalah kemampuan berbahasa pada manusia. Penjelasan yang
cenderung digunakan dalam psikologi evolusioner adalah bahwa proses evolusi
mendorong kemunculan keterampilan berbahasa tersebut untuk digunakan dalam
kelompok masyarakat kompleks. Dengan kata lain, ada kebutuhan akan bahasa.
Richardson berpendapat bahwa para pakar fosil mustahil akan menemukan bukti-bukti
yang dapat memberikan informasi tentang tatanan sosial masyarakat nenek moyang
manusia.
Rekaan belaka
Bahkan kalaupun bukti-bukti yang diperlukan dalam pengkajian kemampuan berpikir
manusia berdasarkan psikologi evolusioner dapat dikumpulkan, hal ini tidak akan

menghasilkan pengetahuan tentang mekanisme kemampuan berpikir manusia, ulas


Bolhuis yang juga menjabat sebagai profesor tamu di Department of Zoology, University
of Salzburg, Austria. Sebab, kajian tentang evolusi berkutat pada rekonstruksi sejarah
sifat-sifat manusia.
Kajian tersebut tidak, dan tidak dapat, menelaah mekanisme yang terlibat pada otak
manusia, yang merupakan bidang kajian ilmu saraf dan psikologi kognitif. Dengan
demikian pengkajian psikologi berlandaskan teori evolusi tidak akan pernah berhasil,
karena berupaya menjelaskan mekanisme-mekanisme tapi secara tidak tepat mengacu
pada sejarah mekanisme-mekanisme tersebut. Ini diibaratkan sang pengarang seperti
menjelaskan struktur tanaman anggrek dengan merujuk pada keindahannya.
Di akhir ulasannya mengenai buku Evolutionary Psychology as Maladapted Psychology
(Psikologi Evolusioner sebagai Psikologi Salah Tempat), profesor Bolhuis mengatakan
bahwa hasil kajian Richardson mengungkap betapa kajian psikologi berdasarkan teori
evolusi sebagian besarnya adalah rekaan semata:
In this excellent book, Richardson shows very clearly that attempts at reconstruction of
our cognitive history amount to little more than "speculation disguised as results."
Dalam buku luar biasa ini, Richardson memperlihatkan dengan sangat gamblang bahwa
upaya-upaya dalam penyusunan ulang sejarah kemampuan berpikir kita sedikit lebih
dari rekaan yang disamarkan sebagai hasil. (Science 6 Juni 2008, Vol. 320. no. 5881,
hal. 1293).
Atau sebagaimana diulas pula dalam editorial buku terbitan The MIT Press
(http://mitpress.mit.edu) tersebut:
It is speculation rather than sound science--and we should treat its claims with
skepticism. ([Psikologi evolusioner] itu lebih merupakan rekaan daripada ilmu
pengetahuan yang mapan dan kita sepatutnya memperlakukan pernyataanpernyataannya dengan keraguan).
Mudah-mudahan psikologi evolusioner yang terbukti keliru ini, namun telah lama
diajarkan di dunia akademis, tak terkecuali di lembaga pendidikan tinggi terkemuka di
Indonesia, semakin mendapatkan pencerahan alternatif. Semoga

Anda mungkin juga menyukai