Anda di halaman 1dari 2

Dibalik Senyum Rembulan

Karya : Mariska Napis

Gadis kecil itu menatap langit dari jendela kamarnya. Kedua tangannya menopang dagu nya yang mungil.
Wajahnya begitu pucat dan dingin, tapi tidak dengan tatapan matanya. Kedua bola mata itu bak lampu
mercusuar yang selalu memberikan harapan bagi nelayan-nelayan yang tersesat di gelapnya malam dan
ganasnya lautan, yang selalu memancarkan secercah harapan dan seutas kebahagiaan. Gadis kecil itu
menatap takjub pada bintang-bintang yang berkilauan di atas sana. Berdampingan dengan anggunnya
sang rembulan. Bentuknya hampir sempurna. Tak sabar bulan kecil menantikan fase tercantik dari sang
rembulan.
Hari sudah hampir tengah malam, tetapi kantuk belum juga menghinggapi pelupuk matanya. Udara terasa
sangat dingin, gadis itu mengancingkan mantel nya hingga ketas. Gesekan sayap-sayap jangkrik di luar
sana menimbulkan nyanyian yang merdu. Krriikkk.. krriikkkk.. Krriikkk.. dan sang katak pun tidak mau
ketinggalan, mereka berpantun bersahut-sahutan. Dihitungnya satu persatu permata yang bertaburan di
langit itu, dan diulanginya terus-menerus, dengan harapan agar kantuk segera menyergap. Dari kejauhan,
di langit sebelah timur tampak lah cahaya terang yang melesat dengan sangat cepatnya. Ooh.. itu adalah
sebuah bintang jatuh!! Refleks gadis kecil itu memejamkan matanya dan mengucap sebuah doa Tuhan
andai aku bisa hidup lebih lama untuk menghitung bintang dan mendengar mereka bernyanyi setiap
malam
Gadis kecil itu menderita Thalasemia Mayor, suatu penyakit genetik yang diturunkan oleh kedua
orangtuanya, penyakit dengan kemungkinan harapan hidup yang terbatas. Dokter memvonis nya hanya
bisa bertahan hidup hingga usia 8 tahun. Ia harus rutin melakukan transfusi darah untuk memperpanjang
harapan hidupnya, tetapi karena kondisi ekonomi keluarga nya yang morat marit, maka jarang sekali hal
itu bisa dilakukan. Gadis kecil itu hanya bisa pasrah akan kondisi hidupnya yang kadang dirasanya tak
adil. Ia hanya bisa berdoa agar Tuhan berbaik hati padanya dan memberikan umur yang lebih panjang
dari vonis dokter.
Gadis kecil itu menutup jendela kamarnya, mematikan lampu dan segera merangsek masuk ke dalam
selimut kumal nya. Dirasakannya nafas nya mulai sesak dan tubuhnya terasa lemas sekali. Sudah 2 bulan
ini ia absen transfusi darah, obat-obatan pun sudah tak mau diminumnya, ia sembunyikan di bawah kasur
lipatnya. Gadis kecil itu mungkin sudah bosan dengan rasa pahit obat-obatan itu. Disaat teman-teman
sebaya nya bebas bermain, berlari, makan permen berwarna warni seperti pelangi, ia lebih banyak harus
berdiam diri di rumah dan rutin minum obat. Ya, sudah sebulan ini bapak tersayang nya tidak nukang,
sehingga tidak bisa membiayai nya transfusi darah. Bapak tersayang nya hanya bekerja serabutan, lebih
sering sebagai kuli bangunan. Pekerjaan itu terpaksa ia lakukan untuk menyambung hidup keluarga
kecilnya. Penyakit TBC akut yang diderita nya sejak 4 tahun lalu telah melemahkan fisiknya. Sehingga
pekerjaan itu dirasakannya cukup berat. Jasa nya sebagai pemetik buah kelapa telah tergantikan oleh
kelihaian monyet-monyet dalam memanjat pohon yang disewa oleh pemilik kebun dengan bayaran yang
cukup tinggi. Kalaupun masih ada pemilik kebun yang mau memakai nya, ia diupah sangat rendah. Lebih
rendah dari upah monyet-monyet itu.

Gadis kecil itu membuka mata nya. Ternyata pagi sudah menjelang. Pendar indah sang rembulan telah
tergantikan oleh hangatnya mentari pagi yang menyapa. Kicau burung dan kokok ayam dari luar jendela
ramai bersahut-sahutan. Baju tidurnya basah oleh keringat. Nafasnya tersengal-sengal. dan tangannya
dirasakan sedingin es. Hari ini sebetulnya ia malas sekali untuk bangkit dari tempat tidurnya, tetapi ia
paksakan karena tidak ingin membuat ibunda nya khawatir. Ibunda yang sangat ia sayangi, yang selalu
berdoa untuk kesembuhannya di setiap akhir Shalat nya. yang menangis hampir setiap malam tatkala
kondisi putri kecil nya drop dan tidak ada biaya untuk berobat.
Gadis kecil itu pergi ke sumur di belakang rumah, menimba air 1 ember kecil untuk nya menyikat gigi
dan membasuh wajah. Sudah ia putuskan, hari ini ia akan menjadi gadis kecil yang ceria dan selalu
tersenyum. Diintipnya Ibunda nya dari balik pintu, malaikat itu sedang meniup api di tungku. sesekali ia
terbatuk-batuk karena asap dari tungku itu. Dihampirinya ibunda tersayangnya itu, Ia mencium pipi
ibunda yang sudah nampak banyak kerutan. bulan sayang ibu diucapkannya kata-kata itu sambil
tersenyum dengan sangat manis. Ibundanya mendekap erat putri kesayangannya itu. Gadis kecil itu dapat
mencium bau asap yang sangat menyengat dari baju ibundanya. Bau kerja keras ibunya menyiapkan
makanan untuk keluarga. Berkutat di dapur yang sempit dan pengap. Bau kasih sayang seorang Ibu untuk
keluarganya. Ibu.. hari ini bulan ingin dimanja seharian ya pinta gadis kecil itu. ibundanya mencium
kening putri kecilnya, tanda menyetujui.
Malam ini cuaca sangat bagus. Sang purnama telah mencapai fase tercantiknya. Masih setia
berdampingan dengan bintang-bintang kecil yang berkilauan di sekelilingnya. Katak dan jangkrik
mengambil tempat nya masing-masing dalam konser akbar malam ini. Angin membelai lembut dan
membisikkan nada-nada syahdu. Shymponi alam karya sang Maestro. Sang bunda duduk di teras, di
bawah naungan temaram sinar rembulan, dan gadis kecil berbaring di pangkuan ibundanya. Mereka
saling bercerita dan bersenandung. Sang bunda bercerita, 8 tahun lalu saat bulan kecil akan lahir ke dunia,
cuaca pun sebagus ini. Itulah sebabnya putri kecil itu diberi nama Rembulan. Sang bunda membelai
lembut rambut sang putri kecil, menciumi kening nya dan mendekap erat tubuhnya seakan tidak akan ada
hari lain untuk melakukannya. Gadis kecil itu merasakan nafasnya semakin sesak, tubuhnya dingin dan
lidah nya kelu. Ia menanggapi setiap cerita ibu nya hanya dengan anggukan dan senyuman. Tak terasa air
mata menetes membasahi pipinya. Ia menatap sang bunda dengan dalam dan berkata Ibu.. bulan masih
ingin menghitung bintang dan gadis kecil itu pun menutup mata untuk selamanya.

Anda mungkin juga menyukai