Anda di halaman 1dari 19

L.I.

1 Memahami dan Menjelaskan Informed Consent


L.O.1 Definisi Informed Consent

Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat
penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi
izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan
dengannya.
Menurut D. Veronika Komalawati, SH , informed consent dirumuskan sebagai suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap
dirinya setelah memperoleh informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi mengenai segala resiko yang mungkin
terjadi. Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3
(tiga) unsur sebagai berikut :
a. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter.
b. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan
c. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.

Menurut Komalawati (1989) pengertian Informed Consent sebagai suatu kesepakatan/persetujuan


pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya setelah mendapat informasi
dari dokter mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi
mengenai segala resiko yang mungkin terjadi.
Informed Consent dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 ditafsirkan sebagai Persetujuan Tindakan
Medik adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan
mengenai tindakan medik yang dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1).

L.O.2 Tujuan Informed Consent

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti
mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan
sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat
mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan
dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.
Manfaat Informed Consent
Informed Consent bermanfaat untuk :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medik yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien. Misalnya tindakan medik yang tidak perlu atau tanpa indikasi, penggunaan alat
canggih dengan biaya tinggi dsbnya.
b. Memberikan perlindungan hukum bagi dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat
negatif. Misalnya terhadap resiko pengobatan yang tidak dapat dihindari walaupun dokter
telah bertindak seteliti mungkin.
Dengan adanya informed consent maka hak autonomy perorangan di kembangkan, pasien dan
subjek dilindungi, mencegah terjadinya penipuan atau paksaan, merangsang profesi medis untuk

mengadakan introspeksi, mengajukan keputusan-keputusan yang rasional dan melibatkan


masyarakat dalam memajukan prinsip autonomy sebagai suatu nilai sosial serta mengadakan
pengawasan dalam penelitian biomedik.
Skema Pelaksanaan Informed Consent
Pasien

Dokter

Informasi

Mempertimbangkan / memutuskan

SETUJU

Penandatanganan
Form persetujuan

MENOLAK

Penandatanganan
Form penolakan

L.O.3 Bentuk Informed Consent

1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)


Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh masyarakat umum,
sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan darah untuk laboratorium,
suntikan, atau hecting luka terbuka.
2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan tindakan segera
untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya tidak bisa membuat
persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti jantung.
3. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan melebihi
prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku,
tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan invasive.
L.O.4 Isi Informed Consent

Informasi yang harus diberikan dokter kepada pasien:


a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran, meliputi:
Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis

b.

c.
d.

e.

f.

Diagnosis penyakit; atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang-kurangnya
diagnosis kerja dan diagnosis banding
Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran
Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan
Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan, meliput:
Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik
ataupun rehabilitatif
Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan
serta efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif tindakan
Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko
dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga lainnya
Alternatif tindakan lain dan risikonya
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum
Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan
Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya
Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, meliputi:
Prognosis tentang hidup-matinya
Prognosis tentang fungsinya
Prognosis tentang kesembuhan
Perkiraan pembiayaan

Kapan Persetujuan Tindakan Medis dilakukan:


a. Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi
c. Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat
indikasi sebelumnya untuk menyelamatkan jiwa pasien
Yang berhak memberikan persetujuan
Pasien yang kompeten atau keluarga terdekat suami atau isteri, ayah atau ibu kandung, anakanak kandung, saudara-saudara kandung atau pengampunya
Tata cara pemberian persetujuan:
a. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan
secara tertulis atau lisan dan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan yang diperlukan
tentang perlunya tindakan kedokteran yang dilakukan
b. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan
tertulis yang tertuang dalam formulir khusus yang ditanda tangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan
c. Dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien dan / atau mencegah
kecacatan tidak diperlukan tindakan keokteran
d. Tindakan penghentian / penundaan bantuan hidup pada seorang pasien harus mendapat
persetujuan keluarga terdekat pasien setelah mendapat penjelasan dari tim dokter yang
bersangkutan

e. Persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi
persetujuan secara tertulis sebelum dimulainya tindakan
Penolakan Tindakan Kedokteran
a. Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan / atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan. Penolakan
tindakan kedokteran tersebut dilakukan secara tertulis
b. Akibat penolakan tindakan kedokteran menjadi tanggung jawab pasien
c. Penolakan tindakan-tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter dan pasien
Tanggung Jawab
a. Pelaksanaan tindakan kedokteran yang telah mendapat persetujuan menjadi tanggung jawab
dokter atau dokter gigi yang melakukan tindakan kedokteran
b. Sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas pelaksanaan persetujuan tindakan
kedokteran
KETENTUAN INFORMED CONSENT
Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1
Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (SOP)
dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.
2
Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3.
Informed Consent dianggap benar :
a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)
c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan
4
Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :
a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
c. Tentang risiko
d. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko risikonya (alternative
medical procedure and risk)
f. Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
g. Diagnosis
5.
Kewajiban memberi informasi dan penjelasan
o Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab
o Berhalangan
diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan
6.
Cara menyampaikan informasi
o Lisan
o Tulisan

7.

8.

9.
10.
13.

14.

Pihak yang menyatakan persetujuan


a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
Ayah/ibu kandung
Saudara saudara kandung
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
Ayah/ibu adopsi
Saudara-saudara kandung
Induk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
Ayah/ibu kandung
Wali yang sah
Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
Wali
Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
Suami/istri
Ayah/ibu kandung
Anak-anak kandung
Saudara-saudara kandung
Cara menyatakan persetujuan
Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi
Lisan; tindakan tidak beresiko
Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
Format isian informed consent persetujuan atau penolakan
o Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai salah
satu saksi
o Materai tidak diperlukan
o Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
o Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
o Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan informasi
o Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanannya
Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

L.I.2 Memahami dan Menjelaskan Malpraktik


L.O.1. Definisi Malpraktik

Kegagalan dokter untuk memenuhi standar pengobatan dan perawatan terhadap pasien atau
adanya kekurangan keterampilan atau kelalaian dalam pengobatan dan perawatan yang
menimbulkan cedera pasien. Namun,tidak semua kegagalan medis disebabkan oleh
malpraktek kedokteran. Contohnya adalah perjalanan penyakir seorang pasien yang semakin

berat, reaksi tubuh yang tidak dapat diramalkan, komplikasi penyakit yang terjadi secara
bersamaan. (World Medical Association, 1992)
Secara harfiah mal mempunyai arti salah sedangkan praktik mempunyai arti
pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktik berarti pelaksanaan atau tindakan
yang salah. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter
atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance
Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).
L.O.2 Klasifikasi Malpraktik

Ethical malpraktik adalah kesalahan dari sudut pandang etika, sedangkan yuridical
malpractice adalah kesalahan dari sudut pandang hokum. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice
pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).

Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang
hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal Malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni Perbuatan tersebut (positive act
maupun negative act) merupakan perbuatan tercela, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens
rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).

Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional)


misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332
KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa
indikasi medis pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness)
misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan
klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada

criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada
rumah sakit / sarana kesehatan
b. Civil Malpractice
Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah
disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil
malpractice antara lain:
Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan
tetapi terlambat
melakukannya.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula
dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah
sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
(tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas
kewajibannya.
c. Administrative Malpractice
Dokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice, disaat tenaga perawatan tersebut
telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan,
misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin
Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan
tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar
hukum administrasi.
Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktiannya dapat dilakukan dengan dua
cara yakni :
1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
Duty (kewajiban)
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa
harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya
hubungan hukum, maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah
sakit itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai
menderita cedera karenanya. Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien,
dokter haruslah bertindak berdasarkan
a. Adanya indikasi medis
b. Bertindak secara hati-hati dan teliti
c. Bekerja sesuai standar profesi

d. Sudah ada informed consent.


Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus
bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan
penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti
adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada
rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau
kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka
hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur. Tolak ukur yang dipakai secara
umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan
keadaan yang sama.
Direct Cause (penyebab langsung)
Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi,
yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada
diagnosis dan perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara
medis yang menjadi bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus
manapun. Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik,
maka harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan
kerugian (damage) yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter
itu harus merupakan penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah
cuklup untuk mengajukan tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu
sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien
tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara edekuat, maka hanya atas dasar suatu
kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah cukup kuat untuk meminta
pertanggungjawaban hukumannya.
Damage (kerugian)
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak
sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka
ia tidak dapat dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik,
namun kadangkala juga termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental
anguish). Juga apabila tejadi pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. Dokter untuk
dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome)
negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu
pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan
oleh si penggugat (pasien).
2. Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter


c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu:
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum
atau
tidak tepat
/
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang
memadai.
Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan
tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan
menyalahi prosedur
Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk
malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang
dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi
yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama.
L.O.3 Pencegahan Malpraktik

Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga perawatan karena adanya
mal praktek diharapkan para dokter dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati,
yakni:
a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada dokter supervisor
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
g. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat
memenuhi standar kualifikasi yang ada.
h. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
i. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
j. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien.
Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur
yang ada.
k. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
l. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
m. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
n. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
o. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi
yang ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.
p. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.

q. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis.


r. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang
penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
s. Jangan mengabaikan pasienmu.
t. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal.
Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.
u. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan
pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.
v. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan
menjadi komprehensif.
w. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien.
Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
x. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien
masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung
narkotika.
y. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika
pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan
limpahkan kepada polis asuransi yang kita miliki.
z. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu
L.O.4 Alur Hukum Penentuan Malpraktik

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)


MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) adalah badan otonom IDI yang bertanggung
jawab mengkoordinasi kegiatan internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan
pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran.
Dalam hal pengembangan dan pelaksaaan kebijakan yang bersifat nasional dan strategis, MKEK
wajib mendapat persetujuan dalam forum Musyawarah Pimpinan Pusat.
MKEK dibentuk pada tingkat pusat, wilayah, dan cabang. MKEK di tingkat cabang dibentuk
apabila dianggap perlu atas pertimbangan dan persetujuan dari MKEK wilayah. MKEK
bertanggung jawab kepada muktamar musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai
dengan tingkat kepengurusan. Masa jabatan MKEK sama dengan PB IDI Kepengurusan MKEK
sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota. MKEK wilayah dan cabang
mengadakan koordinasi dengan pengurus wilayah dan pengurus cabang, sesuai dengan tingkat
kepengurusan.
Tugas dan wewenang

Melaksanakan isi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta semua keputusan yang
ditetapkan muktamar.
Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik kedokteran,
termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.
Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus besar, pengurus
wilayah dan pengurus cabang, serta kepada Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia.
Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik profesi,
baik pemerintah maupun organisasi profesi lain.
Bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang.

Manfaat Pedoman MKEK


Pedoman MKEK ini merupakan jabaran dan pedoman pelaksanaan dari Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga IDI tentang MKEK dalam rangka pengaturan substansi etika
kedokteran bagi setiap pengabdian profesi dokter di Indonesia, penegakan, pengawasan,
bimbingan, penilaian pelaksanaan, penjatuhan sanksi etika, rehabilitasi (pemulihan hak-hak
profesi), dan interaksi kelembagaan MKEK dengan sesama perangkat dan jajaran internal IDI
atau lembaga etika lainnya di luar IDI.
Status MKEK:
o Sebagai badan otonom IDI
o Segala keputusannya di bidang etika tidakdipengaruhi pengurus IDI
o Keputusan MKEK mengikat pengurus IDI
Kewajiban MKEK
1) MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter pasien sebagai hubungan
kepercayaan.
2) MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerja dari program kerjanya kepada Muktamar,
MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI dan MKEK Cabang ke Rapat Anggota
Cabang IDI setempat
3) MKEK wajib menyimpan kerahasiaan medik kasus yang disidangkannya apabila secara
eksplisit diminta oleh pasien pengadu.
4) MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas pengetahuan, sikap
dan ketrampilan anggota MKEK Wilayah dan Cabang yang memerlukannya.

Fungsi
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK IDI
Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin profesi,
yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di

pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya


persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.
Tatacara Pengelolaan
a. Ketua MKEK dipilih dan ditetapkan dalam muktamar, musyawarah wilayah dan
musyawarah cabang.
b. Pengurus MKEK adalah anggota biasa.
c. Ketua MKEK tingkat pusat dipilih dalam sidang khusus MKEK di muktamar dan
dikukuhkan dalam sidang pleno muktamar.
d. MKEK segera menjalankan tugas-tugasnya setelah selesainya muktamar, musyawarah
wilayah, dan musyawarah cabang.
e. MKEK dapat melakukan kegiatan atas inisiatif sendiri ataupun atas usul serta permintaan.
f. MKEK mengadakan pertemuan berkala sesama pengurus ataupun dengan pihak lain yang
ditentukan sendiri oleh MKEK.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)


MKDKI adalah lembaga yang berwenang untuk :
1. Menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi.
2. Menetapkan sanksi disiplin.
Sesuai dengan UU PRADOK NO.29 Tahun 2004 Pasal 55 ayat (1) yang berisi Menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktil kedokteran.
Tujuan penegakan disiplin adalah :
1. Memberikan perlindungan kepada pasien.
2. Menjaga mutu dokter/dokter gigi.
3. Menjaga kehormatan profesi kedokteran/kedokteran gigi.
Kedudukan dan Keanggotaan MKDKI
MKDKI sebagai lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. Majelis ini dibentuk
ditingkat pusat dan provinsi. Anggota MKDKI terdiri dari 3 orang dokter dari organisasi profesi,
1 orang dokter dari asosiasi rumah sakit (dalam hal ini PERSI), dan 3 orang sarjana hukum.
Anggota-anggota dalam majelis ditetapkan oleh menteri atas usulan organisasi profesi. Masa
bakti MKDKI adalah 5 tahun dan dapat diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan lagi.
Tugas MKDKI :

a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.
Dalam melaksanakan tugas MKDKI mempunyai wewenang:
a) menerima pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
b) menetapkan jenis pengaduan pelanggaran disiplin atau pelanggaran etika atau bukan
keduanya
c) memeriksa pengaduan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
d) memutuskan ada tidaknya pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
e) menentukan sanksi terhadap pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
f) melaksanakan keputusan MKDKI
g) menyusun tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi
h) menyusun buku pedoman MKDKI dan MKDKI-P
i) membina, mengkoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan tugas MKDKI-P
j) membuat dan memberikan pertimbangan usulan pembentukan MKDKI-P kepada Konsil
Kedokteran Indonesia
k) mengadakan sosialisasi, penyuluhan, dan diseminasi tentang MKDKI dan dan MKDKI-P
mencatat dan mendokumentasikan pengaduan, proses pemeriksaan, dan keputusan MKDKI.
Disiplin Kedokteran
Disiplin kedokteran berarti kepatuhan menerapkan aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan. Lebih khusus lagi yaitu kepatuhan menerapkan kaidahkaidah penatalaksanaan klinis yang mencakup penegakan diagnosis, tindakan pengobatan,
menetapkan prognosis, dengan standar atau indikator dari Standar Kompetensi, Standar Perilaku
Etis, Standar Asuhan Medis dan Standar Klinis
Tujuan Penegakan Disiplin Kedokteran
Tujuan utama adalah untuk proteksi pasien. Tujuan lainnya yaitu untuk menjaga mutu dokter
atau dokter gigi dan juga untuk menjaga kehormatan profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
Pelanggaran Disiplin
Sesuai putusan KKI No. 17/KKI/KEP/VIII/2006
1. Kegagalan penatalaksanaan pasien oleh karena:
- Ketidakcakapan (Incompetence)
- Kelalaian (Gross Negligence)
2. Perilaku tercela (menurut ukuran profesi)
3. Ketidaklayakan fisik dan mental (Unfit to practice)
Atau dengan kata lain Tidak memenuhi:
1. Standard of care, Clinical Standard
2. Standard of competence
3. Standard of professional atitude

Bentuk Pelanggaran Disiplin Kedokteran


1. Tidak kompeten
2. Tidak merujuk
3. Dokter atau dokter gigi pengganti tidak diberitahu ke pasien, Tidak memiliki SIP
4. Tidak layak praktik (kesehatan fisik dan mental)
5. Kelalaian dalam penatalaksanaan pasien
6. Pemeriksaan dan pengobatan berlebihan
7. Tidak memberikan informasi yang jujur
8. Tidak ada informed consent
9. Tidak membuat atau menimpan rekam medis
10. Penghentian kehamilan tanpa indikasi medis
11. Euthanasia
12. Penerapan pelayanan yang belum diterima ilmu kedokteran
13. Penelitian klinisi tanpa persetujuan etis.
14. Tidak memberi pertolongan darurat.
15. Menolak atau menghentikan pengobatan tanpa alasan yang sah
16. Membuka rahasia medis tanpa izin
17. Membuat keterangan medis tidak benar
18. Ikut serta tindakan penyiksaan
19. Peresepan obat psikotropik/narkotik tanpa indikasi
20. Pelecehan seksual, initimidasi, dan kekerasan
21. Penggunaan gelar akademik atau profesi palsu
22. Menerima komisi terhadap rujukan atau resepan
23. Pengiklanan diri yang menyesatkan
24. STR, SIP, Sertifikan kompetensi tidak sah
25. Imbalan jasa tidak sesuai tindakan.
Proses Pengaduan Pelanggaran
Pelanggaran disiplin kedokteran adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan dan/atau ketentuan
dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi. Dokter/dokter gigi dianggap
melanggar disiplin kedokteran bila :
1. Melakukan praktik dengan tidak kompeten
2. Tidak melakukan tugas dan tanggung jawab profesionalnya dengan baik (dalam hal ini tidak
mencapai standar-standar dalam praktik kedokteran)
3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan profesinya
Yang termasuk pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi antara lain ketidakjujuran dalam
berpraktik, berpraktik dengan ketidakmampuan fisik dan mental, membuat laporan medis yang
tidak benar, memberikan "jaminan kesembuhan" kepada pasien, menolak menangani pasien
tanpa alasan yang layak, memberikan tindakan medis tanpa persetujuan pasien/keluarga,
melakukan pelecehan seksual, menelantarkan pasien pada saat membutuhkan penanganan
segera, mengistruksikan atau melakukan pemeriksaan tambahan/pengobatan yang berlebihan,
bekerja tidak sesuai standar asuhan medis, dsb
Suatu pengaduan diputuskan menjadi kewenangan MKDKI apabila :
1. Dokter/dokter gigi yang diadukan telah terregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia.

2. Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi yang diadukan terjadi setelah tanggal
6 Oktober 2004 (setelah diundangkannya UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran)
3. Terdapat hubungan profesional dokter-pasien dalam kejadian tersebut
4. Terdapat dugaan kuat adanya pelanggaran disiplin kedokteran/kedokteran gigi
Jika keempat kriteria tersebut terpenuhi, akan dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Majelis
Pemeriksa Disiplin (MPD)
Dalam formulir pengaduan, terdapat beberapa informasi yang harus diberikan, antara lain :
1. Identitas pengadu/pelapor;
2. Identitas pasien (jika pengadu bukan pasien);
3. Nama dan tempat praktik dokter/dokter gigi yang diadukan;
4. Waktu tindakan dilakukan;
5. Alasan pengaduan dan kronologis;
6. Pernyataan tentang kebenaran pengaduan, dsb
Setelah semua kelengkapan data pengaduan diterima, Anda akan mendapatkan tanda terima
pengaduan (berisi nomor register pengaduan). Setelah dilakukan verifikasi, pengaduan akan
ditangani oleh Majelis Pemeriksa Awal ataupun Majelis Pemeriksa Disiplin.
Sesuai UU Praktik Kedokteran, sanksi disiplin dalam keputusan MKDKI dapat berupa:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP);
dan/atau
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi
MKDKI dapat menangani permintaan ganti rugi/kompensasi yang diajukan terhadap dokter
teradu:
1. MKDKI berwenang untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran disiplin oleh dokter/dokter
gigi
2. MKDKI berwenang menetapkan sanksi disiplin kepada dokter/dokter gigi yang dinyatakan
melanggar disiplin kedokteran/kedokteran gigi
3. MKDKI tidak menangani sengketa antara dokter dan pasien/keluarganya
4. MKDKI tidak menangani permasalahan ganti rugi yang diajukan pasien/keluarganya
Keputusan MKDKI bersifat final dan mengikat dokter/dokter gigi yang diadukan, KKI,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta instansi terkait. Dokter/dokter
gigi yang diadukan dapat mengajukan keberatan terhadap keputusan MKDKI kepada Ketua
MKDKI dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari sejak dibacakan atau diterimanya keputusan
tersebut dengan mengajukan bukti baru yang mendukung keberatannya
L.I.3. Memahami dan Menjelaskan Hukum Malpraktik Menurut Islam

Malpraktek adalah tindakan yang salah dalam pelaksanaan suatu profesi. Istilah ini bisa dipakai
dalam berbagai bidang, namun lebih sering dipakai dalam dunia kedokteran dan kesehatan.
Perlu diketahui bahwa kesalahan dokter atau profesional lain di dunia medis kadang

berhubungan dengan etika/akhlak. Malpraktek juga kadang berhubungan dengan disiplin ilmu
kedokteran.
Bentuk-bentuk malpraktek:
a. Tidak punya keahlian (jahil)
Melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki
keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi
bertindak diluar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di bidang kedokteran
kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung oleh Nabi SAW dalam sabda beliau:




Barang siapa yang mengobati orang sakit dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggung jawab (HR. Abu Dawud no.4575, an-Nasai no.4845 dan
Ibnu Majah no. 3466. Hadits hasan. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 635)
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga para Ulama sepakat bahwa Mutathabbib (pelaku pengobatan yang bukan ahlinya)
harus bertanggung jawab jika timbul masalah dan harus dihukum agar jjera dan menjadi
pelajaran bagi orang lain
b. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah (mukhalafatul ushul al-ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan prinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku
dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh
dokter saat menjalani profesi kedokteran.
c. Ketidaksengajaan (khatha)
Adalah suatu tindakan / kejadian tanpa ada maksud pelaku dalam melakukannya. Misalnya,
tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggung jawab terhadap
akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena
ini termasuk jinayat khatha (kejahatan tidak sengaja)
d. Sengaja menimbulkan bahaya (itidd)
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini adalah bentuk malpraktek
yang paling buruk. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun
juga faktor kesengajaan ini dapat diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai
terjadinya malpraktek yang sangat jelas.
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan. Demikian pula, tuduhan malpraktek
harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini
adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung diterima
tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat mereka meninggalkan
profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika
tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien terzhalimi, dan
para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka. Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa
memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
a. Pengakuan pelaku malpraktek (iqrar).

Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.
b. Kesaksian ( syahadah ).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang
adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi, hendaknya hakim
juga memperhatikan bahwa saksi tidak memiliki tuhmah (kemungkinan mengalihkan
tuduhan malpraktek dari diri pelaku).
c. Catatan medis.
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
Bentuk tanggung jawab malpraktek
Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab tersebut adalah sebagai berikut:
a. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja untuk
menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya,
dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq alMaliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja.
b. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:
Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan tidak
disengaja.
Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip- prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin dari
pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.
c. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zir berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan tidak ada
kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
Pihak yang bertanggung jawab
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang dokter melakukan kesalahan
langsung, dan bisa juga karena menjadi penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung.
Misalnya, seorang dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja
merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak ahli, kemudian terjadi
malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah adalah pelaku langsung malpraktek,
sedangkan dokter pemeriksa ikut menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.

Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak yang bertanggung-jawab.
Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah
sakit atau klinik juga bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab
yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya malpraktek, misalnya
mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

Anda mungkin juga menyukai