Uraian Per Bidang Kesehatan
Uraian Per Bidang Kesehatan
KELOMPOK KESEHATAN
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pada United Nation General Assembly Special Session on Children yang diselenggarakan
pada bulan Mei 2002 di New York, negara-negara peserta menegaskan kembali dan
mendeklarasikan komitmen terhadap kesejahteraan anak. Komitmen tersebut dikenal sebagai
A World Fit for Children (WFC). Selain berisi pernyataan tentang tekad berbagai negara
untuk terus memperjuangkan kesejahteraan dan kemaslahatan anak, dokumen tersebut juga
berisi hasil telaah terhadap kemajuan yang telah dicapai dan rencana aksi untuk mencapai
target yang telah ditetapkan dan disepakati oleh negara-negara peserta.
Sebagai pengejawantahan komitmen terhadap deklarasi WFC tahun 2002, setiap negara yang
terlibat dan meratifikasinya perlu mengembangkan suatu program nasional bagi anak.
Dokumen tentang program nasional tersebut sangat diperlukan sebagai pedoman bagi
berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam upaya mencapai target WFC. Ada 4
area pokok yang mendapat perhatian khusus dalam deklarasi WFC tahun 2002, yaitu
peningkatan hidup sehat (promoting healthy lives), penyediaan pendidikan berkualitas
(providing quality education), perlindungan terhadap abuse, eksploitasi, dan kekerasan
(protecting against abuse, exploitation and violence), dan penanggulangan HIV/AIDS
(combating HIV/AIDS).
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia menyusun Program Nasional Bagi
Anak Indonesia (PNBAI) yang mencakup keempat komponen tersebut. Dokumen ini khusus
berisi tentang PNBAI Bidang Kesehatan.
1.2
LANDASAN
World Health Organization memberikan arahan bagi pengembangan upaya kesehatan anak
dan remaja pada masa depan, yaitu:
1. Peningkatan kesehatan ibu dan neonatal
2. Peningkatan status gizi
3. Pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit menular
4. Pencegahan dan penanggulangan kecelakaan dan kekerasan
5. Penurunan ancaman lingkungan (fisik)
6. Peningkatan kesehatan remaja
7. Promosi perkembangan psikososial dan kesehatan jiwa anak
Menurut SUSENAS 2001 jumlah penduduk Indonesia 202.707.418 jiwa dengan rasio lakilaki/perempuan hampir seimbang (1,003). Anak umur 0-4 tahun mencapai 5,8persen dari
total penduduk Indonesia, sedangkan anak umur sekolah 5-14 tahun mencapai 20,76persen.
Meskipun proporsi anak umur 0-19 tahun dari seluruh penduduk Indonesia sejak tahun 1996
telah menurun dari 42.9persen menjadi 41.1persen. Namun seiring dengan pertambahan
jumlah penduduk maka jumlah anak umur 0-19 tahun juga terus meningkat. Hal ini berarti
bahwa populasi anak Indonesia yang harus diperhatikan dan diperjuangkan kesejahteraannya
terus meningkat. Beban untuk menanggulangi masalah kesehatan anak juga terus meningkat.
2.2
Data SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa tingkat kematian bayi dan balita yang telah
sempat menurun ternyata cenderung meningkat kembali. Tabel 2.2.1 berikut ini menyajikan
AKB, angka kematian anak (AKA) dan AKBA menurut hasil SUSENAS 1995, 1998 dan
2001. Disamping kemajuan yang cukup bermakna tersebut, tingkat kematian bayi dan balita
di Indonesia masih yang tertinggi di antara negara-negara anggota Association of South-East
Asian Nations (ASEAN). Masalah lain timbul dari besarnya variasi antar propinsi, maupun
relatif besarnya perbedaan antara tingkat kematian di daerah rural dan urban.
Tabel 2.2.1
AKB, AKA, dan AKBA di Indonesia Menurut Tempat Tinggal
Hasil SUSENAS 1995, 1998 dan 2001
Tempat tinggal
SUSENAS 1995
SUSENAS 1998
SUSENAS 2001
Angka Kematian Bayi
Perkotaan
45
35
39
Pedesaan
66
54
59
Kota + Desa
60
49
51
Angka Kematian Anak
Perkotaan
13
8
10
Pedesaan
26
19
21
Kota + Desa
22
15
17
Angka Kematian Balita
Perkotaan
58
42
49
Pedesaan
90
74
78
Kota + Desa
81
65
68
Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik
4
9,6 persen.
Secara keseluruhan 29,9 persen bayi umur <1 tahun, 32,8 persen anak umur 1-4 tahun dan
30,1 persen anak umur 5-14 tahun menderita satu jenis disabilitas atau lebih.
Jenis disabilitas fungsi tubuh yang paling banyak diderita anak-anak adalah disabilitas fungsi
pencernaan, metabolisme dan endokrin dan disabilitas fungsi kardiovaskuler, hematologi,
imunologi dan pernafasan.
Tabel 2.2.2 Prevalensi Disabilitas Fungsi Tubuh Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Disabilitas Fungsi Tubuh
Mental
Sensorik dan nyeri
Bicara dan suara
Kardiovaskuler, hematologi, imunologi dan
pencernaan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Urogenital dan reproduksi
Neuromuskuloskeletal dan pergerakan
Kulit, rambut dan kuku
<1 tahun
1,0
1,0
16,7
15,2
Kelompok Umur
1-4 tahun
5-14 tahun
3,0
2,4
1,3
1,8
3,0
0,6
11,6
5,7
19,6
18,1
0,1
0,4
0,3
0,1
1,5
1,9
1,3
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
Jenis kelainan struktur organ yang terbanyak diderita anak-anak adalah kelainan mata dan
telinga.
Tabel 2.2.3 Prevalensi Kelainan Struktur Organ Pada Anak (dalam persen)
Jenis
Kelainan Struktur Organ
Sistem syaraf
Mata dan telinga
Pembentukan suara
Kardiovaskuler, imunologi, dan sistem
pernafasan
Pencernaan, metabolisme dan endokrin
Sistem urogenital
Kulit, kuku dan rambut
<1 tahun
1,0
1,5
-
Kelompok Umur
1-4 tahun
5-14 tahun
0,1
1,5
1,4
0,5
0,7
0,1
0,3
0,3
0,5
0,1
0,2
0,5
1,0
0,8
Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
6
Derajat kesehatan anak tidak dapat dipisahkan dari derajat kesehatan ibu. Data SUSENAS
2001 menunjukkan Angka kematian ibu (AKI) sebesar 394 per 100.000 kelahiran hidup.
Dalam kurun waktu 15 tahun AKI tidak menunjukkan penurunan, malah terlihat stagnant.
Dari hasil survei tahun 2001 tersebut terlihat bahwa penyebab kematian ibu tertinggi adalah
perdarahan termasuk abortus adalah 34,3 persen, diikuti oleh eklampsia (23,7 persen). Data
rumah sakit menunjukkan bahwa kematian ibu di rumah sakit semakin meningkat, yaitu dari
4 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 8 per 1000 pada tahun 1999. Case
fatality rate kasus maternal juga meningkat dari 0,4 persen (1993 dan 1994) menjadi 0,5
persen (1996) dan 0,8 persen (1999).
2.4.
STATUS GIZI
Dari berbagai sumber data dari tahun 1986 sampai 1999, prevalens BBLR berkisar antara 716 persen. Diperkirakan ada 5 juta bayi lahir, maka setiap tahun diperkirakan 355.000
sampai 710.000 bayi lahir dengan kondisi BBLR.
Data terakhir menurut SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa prevalensi pendek/sangat
pendek pada balita mencapai 34 persen, pada anak usia sekolah 5-14 tahun 0,1 persen.
Prevalensi kurus/sangat kurus pada balita 16 persen, dan apda anak usia sekolah 0,5 persen.
7
Prevalensi balita dengan gizi kurang/gizi buruk (underweight) 31 persen. Data ini
menunjukkan adanya penurunan prevalensi gizi kurang dibandingkan dengan kondisi pada
tahun 1989. Namun demikian ditinjau dari jumlah penduduk dan proporsi balita, jumlah
balita dengan gizi buruk pada tahun 2002 dapat dikatakan lebih tinggi daripada tahun 1989.
Sedangkan prevalensi gizi kurang pada anak usia sekolah adalah sebesar 0,4 persen pada
anak laki-laki dan 0,5 persen pada anak perempuan.
Selain itu, terlihat pula bahwa jumlah dan proporsi balita dengan gizi buruk cenderung
meningkat dari tahun 2000 ke tahun 2002. Hasil Susenas 2001 juga menunjukkan bahwa
status gizi balita di desa lebih rendah daripada di kota, dan status gizi balita di Kawasan
Timur Indonesia lebih rendah daripada di kawasan lain. Data ini menunjukkan bahwa secara
umum krisis multi-dimensi di Indonesia juga menimbulkan dampak negatif terhadap status
gizi balita.
Masalah gizi lain yang cukup penting adalah adalah defisiensi gizi mikro. Meskipun
Indonesia sudah dinyatakan bebas dari xeroftalmia pada tahun 1992, balita di Indonesia
berisiko untuk kembali mengalami xeroftalmia. Hal ini disebabkan proporsi balita dengan
serum retinol <20g/100mL masih tinggi. Selain itu kebiasaan balita mengkonsumsi sayur
dan buah berwarna masih belum membudaya.
Prevalens gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak usia sekolah telah
menurun dari 30 persen pada tahun 1980 menjadi 9,8 persen pada tahun 1998. Namun
demikian masih dijumpai sekitar 7 persen kecamatan endemik berat (prevalens GAKY >30
persen) dan 5,1 persen kabupaten endemik berat.
Data tahun 1986 menunjukkan prevalens anemia defisiensi besi pada perempuan hamil
sebesar 73 persen, yang kemudian menurun menjadi 63,5 persen pada tahun 1992 dan 50,9
persen pada tahun 1995. Data SUSENAS 2001 menunjukkan prevalensi anemia diantara
balita mencapai 48 persen, dengan prevalensi tertinggi pada bayi <1 tahun. Prevalensi anemia
pada balita di desa lebih tinggi daripada di kota. Sedangkan prevalensi anemia pada anak
umur 5-14 tahun masih sekitar 28,3 persen.
Data tentang status gizi remaja sangat terbatas. Berdasarkan data SKRT 1995 sekitar 51,7
persen remaja perempuan menderita anemia. Di DKI Jakarta sekitar 17,9 persen siswa SLTA
menderita anemia (Budiarso, Lubis dan Kristanti, 1999) dan 42,1 persen memiliki Indeks
Massa Tubuh (IMT) di bawah normal menurut standard Thomas. Data lain menunjukkan
bahwa pada remaja umur 13-19 tahun di Jawa Barat terdapat prevalensi KEP 16,8 persen dan
prevalensi anemia 42,4 persen. Sedangkan di Bali prevalensi KEP 30,2 persen dan
prevalensi anemia 44,5 persen.
2.5
Hasil SUSENAS 2001 menunjukkan bahwa aksesibilitas terhadap sumber air bersih yang
terlindung dalam kurun waktu 3 tahun tidak banyak berubah, yaitu hanya meningkat dari 73
persen menjadi 75 persen (83 persen di Jawa-Bali, 59 persen di Sumatera, dan 60 persen di
Kawasan Timur Indonesia), sementara penggunaan jamban saniter meningkat dari 38,9
8
PERILAKU KESEHATAN
Data terakhir menunjukkan adanya penurunan prevalens ASI eksklusif (bayi mendapat hanya
ASI saja sampai umur 4 bulan) dari 65,1 persen (Susenas 1998) menjadi 49,2 persen
(Susenas 2001). Proporsi bayi mendapatkan ASI eksklusif di perdesaan lebih tinggi daripada
di perkotaan dan di Kawasan Timur Indonesia lebih tinggi daripada di kawasan Jawa, Bali
dan Sumatera. Sedangkan ibu menyusui bayinya sampai umur 12-15 bulan sekitar 86 persen,
dan sekitar 66 persen menyusui sampai bayi umur 22-23 bulan.
Hanya sekitar 6 persen bayi umur 6-7 bulan belum mendapatkan makanan pendamping ASI
(Susenas 2001). Proporsi ini hampir sama antara perdesaan dan perkotaan. Akan tetapi
kualitas makanan tambahan yang diberikan kepada bayi kebanyakan tidak adekuat.
Umumnya makanan tambahan tersebut hanya mengandung sekitar 50 persen dari jumlah
energi yang disarankan WHO dan sekitar 30 persen dari kandungan mikronutrien yang
dibutuhkan anak.
Di antara penduduk yang mempunyai keluhan sakit hanya 36,6 persen yang berobat jalan ke
sarana pelayanan kesehatan, sebesar 27,8 persen berobat ke Puskesmas dan Puskesmas
Pembantu, 30,55 persen ke dokter praktek, 14,54 persen ke rumah sakit, 14,37 persen ke
petugas kesehatan lain, serta 3,5 persen ke dukun/tabib/ sinshe (Susenas 2000).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa dari penduduk yang mengeluh sakit dalam 1 bulan
terakhir ada sekitar 56,3 persen yang mengobati sendiri. Kondisi ini lebih rendah dari
Susenas 1998 yang mencapai 62,2 persen. Di antara yang mengobati sendiri sekitar 85,2
persen menggunakan obat modern, 28,7 persen menggunakan obat tradisional, dan 8,5 persen
menggunakan cara lainnya. Penggunaan obat tradisional meningkat hampir 2 kali lipat,
dimana pada tahun 1998 hanya mencapai 15 persen.
Posyandu adalah Pos Pelayanan Terpadu yang diselenggarakan oleh masyarakat di tingkat
desa. Hasil Survei Potensi Desa (PODES) tahun 2000 menunjukkan bahwa 92 persen desa
telah memiliki Posyandu. Di antara desa yang tidak memiliki Posyandu, 50 persen
menyatakan mudah menjangkau Posyandu (di desa lain). Berdasarkan data tersebut secara
keseluruhan 96 persen desa secara fisik memiliki aksesibilitas ke Posyandu relatif mudah.
Namun demikian pemanfaatan Posyandu oleh balita belum seperti yang diharapkan. Menurut
Susenas 2001, hanya 40 persen balita dilaporkan dibawa ke Posyandu dalam 1 bulan terakhir
dan sekitar 28 persen balita tidak pernah dibawa mengunjungi ke Posyandu. Jika ditinjau dari
kelompok umurnya, yang terbanyak memanfaatkan Posyandu adalah bayi 0-11 bulan.
Selanjutnya proporsi tersebut menurun seiring dengan meningkatnya umur anak. Di
perkotaan lebih banyak yang tidak memanfaatkan Posyandu dibandingkan di perdesaan (30,6
persen vs 25,7 persen).
Hasil Susenas 2001 menunjukkan bahwa sekitar 27,7 persen penduduk umur >10 tahun
merokok dalam 1 bulan terakhir. Prevalensi merokok di antara penduduk laki-laki adalah
54,5 persen dan di antara penduduk perempuan 1,2 persen. Sekitar 92 persen perokok
9
menyatakan kebiasaan merokoknya di dalam rumah ketika berada bersama dengan anggota
rumah tangga lainnya. Sekitar 9,4 persen perokok mulai merokok pada usia 10-14 tahun, dan
terbanyak mulai pada usia 15-19 tahun (59,1 persen).
2.7
PELAYANAN KESEHATAN
Dalam upaya meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan, sampai dengan tahun 2000,
telah dibangun sarana kesehatan berupa 7.277 Puskesmas (1.818 dengan rawat inap), 21.587
Puskesmas Pembantu, 5.084 Puskesmas Keliling, 935 rumah sakit umum (milik pemerintah,
swasta, dan TNI) disertai penempatan tenaga kesehatan di berbagai sarana tersebut dan
54.120 bidan di desa. Namun demikian penampilan dan mutu pelayanan kesehatan, terutama
pelayanan kesehatan ibu dan anak, masih belum optimal. Lemahnya manajemen, belum
mantapnya pelayanan rujukan, penyebaran sarana dan prasarana kesehatan yang tidak merata
dan kurangnya dukungan logistik dan biaya operasional menyebabkan mutu pelayanan belum
seperti yang diharapkan. Meskipun angka rata-rata kunjungan per hari di Puskesmas pada
tahun 1996 sudah cukup tinggi (108 kunjungan per Puskesmas per hari), namun tidak sedikit
Puskesmas yang kunjungan rata-ratanya per hari <10 orang.
Upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan di Puskesmas digalakkan sejak tahun 1994.
Peningkatan mutu (quality assurance) tersebut diarahkan pada upaya pelayanan kesehatan
dasar yang memiliki daya ungkit besar dalam menurunkan AKB, AKI, dan tingkat morbiditas
penyakit-penyakit utama sebagaimana diuraikan sebelumnya, yaitu pelayanan kesehatan ibu
dan anak, perbaikan gizi, imunisasi, penanggulangan ISPA, pemberantasan diare, malaria,
tuberkulosis paru dan vektor demam berdarah, penyuluhan kesehatan, dan upaya kesehatan
sekolah.
Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2001, cakupan K1 (pelayanan antenatal yang
pertama kali) 90,5 persen. Cakupan K4 (pelayanan antenatal 4 kali) 74.25 persen. Data
Susenas 2001 menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan mengalami
peningkatan. Sebanyak 58,9 persen persalinan, penolong pertamanya adalah tenaga
kesehatan (terdiri dari 8,4 persen dokter, 49,7 persen bidan dan 0,8 persen paramedis lain)
dan 64 persen penolong terakhirnya adalah tenaga kesehatan (9,1 persen dokter, 53,8 persen
bidan dan 1,1 persen paramedis lain).
Pada Susenas 2001 cakupan KB Aktif menurun dari 55,4 persen (1998) menjadi 53,8 persen.
Metode kontrasepsi yang dipergunakan berturut-turut dari yang terbanyak adalah suntik 25,8
persen, pil 13,4 persen, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) 6,4 persen dan susuk 4,8
persen.
Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA) ditingkat keluarga (home based)
dimaksudkan agar keluarga mempunyai buku catatan dan informasi kesehatan dan tumbuh
kembang anak. Model penggunaan Buku KIA pertama kali diterapkan di Indonesia pada
tahun 1996. Pada saat ini telah digunakan di 24 provinsi di 214 kabupaten/kota. Sekitar
10.000 bidan dan 50.000 kader posyandu dilatih dalam penggunaan Buku KIA dan sekitar 5
juta Buku KIA telah dicetak dan dibagikan kepada ibu-ibu hamil. Setelah anak lahir, buku
tersebut menjadi milik anak sekaligus untuk pembinaan perkembangan anak sejak usia dini
10
11
2.8
PEMBERDAYAAN KELUARGA
12
Visi dan Misi PNBAI mengacu pada visi dan misi Indonesia Sehat 2010. Adapun definisi
sehat yang dimaksud adalah definisi sehat sesuai dengan definisi WHO, yaitu suatu keadaan
yang tidak hanya semata-mata bebas dari penyakit dan kecacatan, tetapi suatu keadaan sehat
fisik, mental dan sosial.
3.1.1 Visi
Gambaran anak Indonesia di masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan
anak adalah setiap anak Indonesia hidup dalam keluarga, masyarakat dan lingkungan yang
sehat dan berperilaku hidup sehat, memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan
komprehensif yang bermutu secara adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
3.1.2 Misi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
3.2
3.2.1 Tujuan
Tujuan PNBAI bidang Kesehatan mengacu MDG, yang meliputi:
1. Eradikasi kelaparan dan kemiskinan
2. Menurunkan angka kematian anak
3. Meningkatkan kesehatan ibu
4. Pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain
5. Menjamin kesinambungan lingkungan
13
Ibu hamil risiko tinggi/komplikasi yang ditangani mencapai 80 persen pada tahun
2010.
Ibu hamil mendapat 90 tablet Fe mencapai 90 persen pada tahun 2010.
Menurunnya prevalens anemia gizi pada ibu hamil (kadar hemoglobin <8 gr persen)
menjadi 20 persen dan anemia pada wanita usia subur menjadi 15 persen pada tahun
2010.
Menurunnya angka kehamilan yang tidak diinginkan dari 17,1 persen menjadi 11
persen pada tahun 2010.
Meningkatnya kabupaten/kota yang mempunyai sedikitnya 4 puskesmas PONED
menjadi 60 persen pada tahun 2010.
Tersedianya tenaga profesional dan fasilitas di RS Kabupaten untuk pelayanan
PONEK.
3. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita menjadi pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari
kondisi pada tahun 2001 dengan perhatian khusus pada anak di bawah 2 tahun dan
penurunan angka BBLR.
- Menurunnya prevalensi balita bawah garis merah <15 persen pada tahun 2010.
- Cakupan balita gizi buruk mendapat perawatan 100 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan menjadi 80 persen pada
tahun 2010.
- Meningkatnya pemberian ASI disertai makanan pendamping ASI pada anak umur 6
bulan sampai 2 tahun menjadi 80 persen pada tahun 2010
- Menurunnya prevalensi BBLR menjadi <5persen pada tahun 2010.
- Cakupan balita mendapat kapsul Vitamin A 2 kali per tahun 90 persen pada tahun
2010.
- Eradikasi kretin baru pada bayi pada tahun 2010.
- Menurunnya total goitre rate menjadi 13 persen pada tahun 2010.
- Menurunnya prevalensi anemia pada balita menjadi 16 persen pada tahun 2010.
- Menurunnya prevalensi balita pendek/sangat pendek menjadi 10,3 persen pada tahun
2015.
- Menurunnya prevalensi balita kurus/sangat kurus menjadi 5,3 persen pada tahun 2015
4. Menurunnya proporsi rumah tangga yang tidak memiliki aksesibilitas terhadap fasilitas
sanitasi dan air bersih yang terjangkau pada tahun 2015 menjadi 1/3 dari proporsi pada
tahun 2001.
- Meningkatnya cakupan air bersih dari 73,5 persen menjadi 91,2 persen pada tahun
2015
- Meningkatnya cakupan jamban saniter dari 93 persen menjadi 97,7 persen pada tahun
2015
5. Penyelenggaraan program nasional perkembangan anak dini usia (early child
development).
- Meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan bagi balita dan anak pra-sekolah
menjadi 80 persen pada tahun 2010.
- Meningkatnya balita yang naik berat badannya menjadi 80 persen
- Meningkatnya cakupan deteksi dan stimulasi dini tumbuh kembang anak balita dan
15
16
BAB 4. S T R A T E G I
Ada lima strategi utama untuk mewujudkan visi dan menjalankan misi Program Nasional
Kesehatan Bagi Anak Indonesia. Kelima strategi utama tersebut adalah:
1. Peningkatkan mutu, distribusi dan keterjangkauan upaya kesehatan termasuk
pembiayaan, sumberdaya dan manajemen kesehatan.
2. Peningkatkan kerja sama lintas sektor termasuk dengan dukungan lembaga eksekutif dan
legislatif di semua tingkatan administrasi.
3. Pemberdayaan keluarga, orang tua dan/atau wali anak.
4. Pemberdayaan masyarakat termasuk LSM, organisasi profesi, dan swasta.
5. Melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk mendukung program kesehatan dan
kesejahteraan anak.
17
BAB 6. KELEMBAGAAN
Pengembangan kelembagaan dilakukan melalui 4 upaya utama, yaitu:
pemantapan kelembagaan di tingkat pusat;
pemantapan kelembagaan di daerah, baik di propinsi maupun kabupaten/kota;
pemantapan kelembagaan lintas sektor, baik di tingkat pusat maupun kabupaten/kota; dan
pemantapan peran lembaga swadaya masyarakat; dan
Pemantapan kelembagaan di tingkat pusat dilakukan untuk meningkatkan kemampuannya
dalam melaksanakan perannya dalam mengembangkan kebijakan, menetapkan standard, dan
melakukan pemantauan dan penilaian. Upaya pemantapan dilakukan antara lain dengan:
Penguatan unit-unit yang menangani masalah kesehatan anak di Departemen Kesehatan
Pembentukan lembaga nasional yang menangani masalah kesehatan anak, misalnya
berbentuk Institut Nasional Untuk Kesehatan Anak (National Institute for Child Health).
Di tingkat propinsi dan kabupaten/kota pemantapan kelembagaan perlu dilakukan khususnya
sehubungan dengan dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi daerah. Upaya khusus perlu
dilakukan misalnya untuk:
Pemantapan organisasi Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, disertai dengan
upaya pengembangan kapasitas organisasi, pengembangan sumber daya manusia, dan
pengembangan kemampuan pendanaan.
Pemantapan organisasi pemberi pelayanan kesehatan anak baik pemerintah maupun
swasta (rumah sakit, puskesmas, klinik, rumah bersalin, balai kesehatan, laboratorium
kesehatan, dan lain-lain).
Pengembangan komunikasi dan koordinasi antar Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
khususnya dalam menanggulangi masalah-masalah kesehatan yang terjadi lintas wilayah.
Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh upaya sektor kesehatan.
Untuk menanggulangi suatu masalah kesehatan secara mendasar perlu ditanggulangi faktorfaktor pengaruh yang bukan merupakan masalah kesehatan. Peran sektor-sektor lain sangat
dibutuhkan untuk menanggulangi berbagai penyebab mendasar. Upaya untuk meningkatkan
peran dan kontribusi lintas sektor antara lain:
Meningkatkan peran dan aktifitas berbagai kelompok kerja lintas sektor yang sudah ada,
misalnya kelompok kerja nasional dalam bidang kesehatan reproduksi, penanggulangan
HIV/AIDS, safe motherhood, gizi, dan lain-lain.
Menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga lintas sektor dari sektor-sektor terkait
seperti Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pendidikan Nasional,
Departemen Sosial, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan Departemen
Pertanian.
Peran dan partisipasi Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan salah satu
kunci keberhasilan pembangunan kesehatan. Untuk itu Pemerintah perlu bekerja sama
dengan LSM dan mendorong berdiri dan berkembangnya berbagai LSM yang peduli
dan/atau bergerak di bidang kesehatan.
20
BAB 7. P E N D A N A A N
Dana dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan PNBAI bidang kesehatan
meliputi dana dan sumber daya untuk:
pengembangan sumber daya manusia;
pengembangan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan;
pengadaan obat dan bahan habis pakai;
pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan
keluarga, perbaikan gizi, pencegahan dan pemberantasan penyakit, pelayanan kesehatan
jiwa, kesehatan lingkungan dan promosi kesehatan);
pengembangan peran serta masyarakat;
pengembangan kelembagaan; dan
penelitian dan pengembangan teknologi.
Kebutuhan untuk pengembangan sumber daya manusia akan mencakup dana dan sumber
daya lain untuk:
Melaksanakan pelatihan bagi tenaga kesehatan yang sudah ada, terutama bagi tenaga
kesehatan di unit-unit pelayanan kesehatan terdepan seperti Puskesmas Pembantu
(Pustu), Pondok Bersalin Desa (Polindes), dan Puskesmas, Rumah Sakit Kabupaten/Kota.
Melaksanakan pengangkatan dan penempatan tenaga kesehatan baru, terutama untuk
daerah-daerah sulit dan/atau terpencil.
Kebutuhan untuk pengembangan sarana pelayanan kesehatan akan mencakup dana dan
sumber daya lain untuk:
Menambah sarana dan prasarana pelayanan kesehatan baru khususnya sarana pelayanan
kesehatan terdepan seperti Pustu, Polindes, Puskesmas dan Rumah Sakit Kabupaten/Kota
terutama dikaitkan dengan adanya pemekaran wilayah (kabupaten/kota baru).
Memelihara dan merenovasi sarana dan prasarana pelayanan kesehatan lama.
Menambah alat kesehatan sehingga sesuai dengan standard yang ditetapkan.
Kebutuhan untuk pengadaan obat dan bahan habis pakai mencakup dana dan sumber daya
lain untuk:
Menyediakan obat esensial termasuk mikronutrien.
Menyediakan vaksin untuk imunisasi dasar (tuberkulosis, DPT, polio, campak, hepatitis).
Menyediakan makanan tambahan bagi anak, khususnya anak umur 6-24 bulan.
Kebutuhan untuk pengembangan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan meliputi dana
dan sumber daya untuk
Melaksanakan pelayanan kesehatan.
Manajemen pelayanan kesehatan termasuk pengembangan sistem informasi kesehatan
dan sistem informasi manajemen.
Melaksanakan kegiatan supervisi, pemantauan dan evaluasi
Melaksanakan sistem kewaspadaan dini.
21
Kebutuhan untuk pengembangan peran serta masyarakat mencakup dana dan sumber daya
lain untuk:
Melakukan revitalisasi berbagai kegiatan kesehatan berbasis masyarakat (misalnya
revitalisasi 240.000 Posyandu).
Melaksanakan berbagai kegiatan untuk mendorong berdiri dan berperan-aktifnya LSM
yang peduli kesehatan.
Kebutuhan untuk pengembangan kelembagaan mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Melakukan berbagai kegiatan dalam rangka advokasi kepada lembaga-lembaga legislatif,
unit-unit perencana, dan berbagai sektor terkait.
Melakukan berbagai kegiatan untuk mendorong terbentuk dan berperan-aktifnya berbagai
kelembagaan di tingkat pusat sampai kabupaten/kota (misalnya Institut Nasional Untuk
Kesehatan Anak, Konsil Kesehatan Kabupaten/Kota).
Kebutuhan untuk pengembangan teknologi mencakup dana dan sumber daya lain untuk:
Menjalin kerja sama dengan berbagai institusi yang melakukan penelitian tentang
kesehatan
Bekerja sama dengan institusi pelaksana penelitian melakukan berbagai penelitian
terapan dalam bidang kesehatan ibu dan anak.
22
DAFTAR RUJUKAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002).
Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Data Susenas 2001: Status Kesehatan,
Pelayanan Kesehatan, Perilaku Hidup Sehat dan Kesehatan Lingkungan.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan Studi Mortalitas 2001: Pola
Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia.
__________ (2002). Survei Kesehatan Nasional 2001. Laporan SKRT 2001: Studi
Morbiditas dan Disabilitas.
Badan Pusat Statistik Jakarta (2002). Statistik Kesejahteraan Rakyat 2002.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Sistem Kesehatan Nasional (Draf
Rancangan Agustus 2003)
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2002). Profil Kesehatan Indonesia 2001.
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia (2000). Profil
Kesehatan Indonesia 2000.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1999). Indonesia Sehat 2010.
Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan World Health
Organization (2001). Penilaian Situasi Kesehatan Anak Umur Sekolah Termasuk
Remaja di Indonesia.
Pemerintak Republik Indonesia (2002). Undang-undang Republik Indonesia No.23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak.
__________ (2001). Indonesia Country Report. 5th East Asia and Pacific Ministerial
Consultation on Shaping the Future Agenda for Children.
Pemerintah Republik Indonesia dan UNICEF (2001). National Report on Follow-up to the
World Summit for Children (1990-2000).
__________ (2000). The Situation of Children and Women in Indonesia, 2000
Unicef EAPRO 2003. Report of the Sixth East Asia and Pacific Ministerial Consultation On
Children 5-7 May 2003 Bali, Indonesia
World Health Organization (2001). Strategic Directions for Improving the Health and
Development of Children and Adolescents.
23