PENDAHULUAN
Mekanisme perencanaan pembangunan nasional berjalan melalui dua
pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan
tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia
untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan
masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan
keselarasan dan keserasian dua strategi tersebut merupakan hal pelik, bahkan
terkadang cenderung kontradiktif dan dikotomis.
Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih
menonjol dan semakin menguat dibanding pendekatan kedua (regional), hal ini dapat
dilihat dari orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan
ekonomi
(economic
growth)
sektoral
sebagai
cara
untuk
mencapai
tujuan
Sumodininrat
(1995)
mencatat
tiga
bentuk
ketimpangan
aspek
distribusi
(pemerataan),
perluasan
kesempatan
kerja,
pengapusan kemiskinan serta aspek wilayah, walaupun pada tahap awalnya berhasil
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya akan mengalami berbagai
masalah tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan kebijaksanaan yang
menangani masalah ruang, dalam hal ini adalah kebijaksanaan pengembangan
wilayah. Kebijaksanaan ini berkenaan dengan lokasi di mana pembangunan ekonomi
dilakukan. Wilayah nasional tidak homogen, dan kegiatan pembangunan tidak terjadi
pada tiap bagian wilayah dengan merata. Peranan perencanaan wilayah adalah untuk
menghubungkan kegiatan yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan pembangunan
nasional (Friedmann, 1966:5).
PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PERANANNYA
Pengembangan wilayah berkenaan dengan dimensi spasial (ruang) dan
kegiatan pembangunan. Didasari pemikiran bahwa kegiatan ekonomi terdistribusi
dalam ruang yang tidak homogen, oleh karena lokasi mempunyai potensi dan nilai
relative terhadap lokasi Iainnya, maka kegiatan yang bertujuan ekonomi maupun sosial
akan tersebar sesuai dengan potensi dan nilai relatif lokasi yang mendukungnya
(Luthfi, 1994).
Begitu pula kesejahteraan penduduk akan tergantung kepada sumberdaya dan
aksesibilitasnya terhadap suatu lokasi, dimaka kegiatan ekonomi terikat (Richardson,
1981 :270). Usaha-usaha untuk mengkaitkan kegiatan ekonomi sektor industri dengan
sektor pertanian, atau pengkaitan beberapa jenis industri akan sulit tercapai tanpa
memperhatikan aspek ruang, karena masing-masing terpisah oleh jarak geografis.
Oleh karena itu arti pembangunan juga perlu diberi perspektif baru sebagai upaya
pengorganisasian ruang (Luthfi, 1994). Untuk tujuan ini maka pendekatan
pengembangan wilayah yang menyangkut aspek tata ruang mendapatkan peranannya.
Pendekatan
melalui
pengembangan
wilayah
ini
mempunyai
beberapa
keuntungan, Pertama, akan didasari pengenalan yang Iebih baik atas penduduk dan
budaya pada berbagai wilayah, serta pengenalan atas potensi unik daerah. sehingga
memudahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi,
kapasitas serta problem khusus daerah tersebut. Dengan pengembangan wilayah ini
dapat diharapkan kemungkinan Iebih baik untuk memperbaiki keseimbangan sosial
ekonomi antar wilayah (Friedmann, 1979:38).
Alasan politis diterapkannya perencanaan pengembangan wilayah antara lain
adalah bahwa pembangunan nasional yang terlalu bersifat sektoral dan tidak
mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, atau bagaimana penjalaran pertumbuhan
tersebut dalam ruang ekonomi. Tindakan mengabaikan dimensi tata ruang, ditambah
dengan hanya menekankan pemikiran jangka pendek, akan memberikan kontribusi
terhadap semakin tajamnya kesenjangan antar wilayah (Miller, 1989 :8).
Pengembangan wilayah merupakan perangkat yang melengkapi atau bagian
integral dari pembangunan nasional. Pembangunan wilayah diarahkan untuk
mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar
desa dan kota, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan Kawasan
Timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan,
dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah
bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan
Wawasan Nusantara (GBHN, 1993). Selanjutnya tujuan dan prinsip pendekatan dalam
pengembangan wilayah juga tidak terlepas dari tujuan dan prinsip pembangunan
nasional.
Hal
ini
berarti
setiap
kegiatan
pembangunan
di
daerah
harus
keserasian
hubungan
antara
pusat-pusat
wilayah
dengan
keserasian
hubungan
antara
pusat-pusat
wilayah
dengan
Model seperti inilah yang oleh Dean K. Forbes (1986) disebut sebagai model
pembangunan non-marxis. Pada model seperti ini pada kenyataannya tidak jelas
mekanisme
industrialisasi
penetesannya
dan
bahkan
urbanisasi
serta
cenderung
telah
mengakselerasikan
menimbulkan
proses
terkonsentrasinya
menggunakan
indikator
kesenjangan
pendapatan
per
kapita,
terminologi
pembangunan
KBI
(sebagai
wilayah
yang
diuntungkan) dan KTI (wilayah yang kurang beruntung) akhir-akhir ini menjadi indikator
penjelas adanya ketimpangan antar wilayah. Apabila tidak segera diantisipasi dengan
cepat maka tidak hanya akan menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi tetapi juga
politik, terutama pada aspek integrasi nasional dan hamkamnas.
Dalam konteks situasi seperti ini beberapa program pembangunan yang
berdimensi pemerataan akan sulit diharapkan keberhasilannya selama orientasi
(model) pembangunan dan faktor serta mekanisme ketimpangan itu tidak diubah.
Artinya harus ada perubahan atau penyesuaian pembangunan pada tingkat makro.
Jika selama ini pengembangan wilayah-wilayah pusat terus dilaksanakan, sudah
saatnya pengembangan wilayah pinggiran dilakukan dengan lebih serius. Adanya
kenyataan di atas mendorong uaya-upaya untuk mencari paradigma pengembangan
kawasan alternatif yang Iebih fungsional dan mampu merespon pertumbuhan ekonomi
dan mewujudkan pemerataan.
Ditetapkannya Undang-Undang no. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(UUPR) yang menjadi dasar bagi perumusan Strategi Nasional Pembangunan Tata
Ruang Nasional (SNPPTR) dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah pada tingkat yang
Iebih rendah belum memberikan hasil yang optimal, hal ini nampak dari banyaknya
konflik kepentingan terhadap ruang yang terjadi. Meskipun demikian dukungan aspek
kelembagaan atau perundang-undangan dan beberapa kebijakan lain yang bernuansa
regional
semacam
Program
Pengembangan Wilayah
(PPW)
atau
Provincial
regional
dan
mengurangi
kesenjangan
antar
wilayah
adalah
miskin.
Beberapa
policy
tentang
pengembangan
kawasan
andalan,