Anda di halaman 1dari 16

BRONKOPNEUMONIA

DEFINISI
Bronkopneumonia merupakan radang dari saluran pernapasan yang terjadi pada
bronkus sampai dengan alveolus paru. Saluran pernapasan tersebut tersumbat oleh
eksudat yang mukopurulen, yang membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang
berdekatan. Penyakit ini bersifat sekunder yang biasanya menyertai penyakit ISPA
(Infeksi Saluran Pernapasan Atas), demam infeksi spesifik dan penyakit yang
melemahkan daya tahan tubuh. Sebagai infeksi primer biasanya hanya dijumpai pada
anak-anak dan orang tua.
Secara anatomis pneumonia dibagi 3, yaitu :
a. pneumonia lobaris
b. pneumonia intertitialis (bronkiolitis)
c. pneumonia lobularis (bronkopneumonia)

WHO memberikan pedoman klasifikasi pneumonia, sebagai berikut :


1. Usia kurang dari 2 bulan
a. Pneumonia berat
-

Chest indrawing (subcostal retraction)

Bila ada napas cepat (> 60 x/menit)

b. Pneumonia sangat berat


-

tidak bisa minum

kejang

kesadaran menurun

hipertermi / hipotermi

napas lambat / tidak teratur

2. Usia 2 bulan-5 tahun


a. Pneumonia
-

bila ada napas cepat

b. Pneumonia Berat
-

Chest indrawing

Napas cepat dengan laju napas

> 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan 1 tahun

> 40 x/menit untuk anak > 1 5 tahun

c. Pneumonia sangat berat


-

tidak dapat minum

kejang

kesadaran menurun

malnutrisi.

3. ETIOLOGI
Virus merupakan penyebab tersering pneumonia pada bayi usia 1 bulan sampai 2
tahun, . Pola kuman penyebab bronkopneumonia biasanya berubah sesuai dengan
distribusi umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam
bronkopneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae,

Staphylococcus aureus, Streptococcus group B serta kuman atipik Chlamydia


pneumoniae dan Mycoplasma pneumoniae.

Umur
Neonatus

Bakteri Patogen
E. Coli, Streptococcus group B, Listeria
monocytogenes
Klebsiella sp, Enterobacteriaceae

1-3 bulan

Chlamydia trachomatis

Usia

Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma

prasekolah

pneumoniae
Haemophillus influenzae B, Streptococcus
pneumoniae
Staphylococcus aureus

Usia sekolah

Chlamydia pneumoniae, Mycoplasma


pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI


Bronkopneumonia dimulai dengan masuknya kuman melalui inhalasi, aspirasi,
hematogen dr fokus infeksi atau penyebaran langsung. Sehingga terjadi infeksi dalam
alveoli, membran paru mengalami peradangan dan berlubang-lubang sehingga cairan dan

bahkan sel darah merah dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli.
Dengan demikian alveoli yang terinfeksi secara progresif menjadi terisi dengan cairan
dan sel-sel, dan infeksi disebarkan oleh perpindahan bakteri dari alveolus ke alveolus.
Kadang-kadang seluruh lobus bahkan seluruh paru menjadi padat (consolidated) yang
berarti bahwa paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.5

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat


asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan.
Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe
II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan
menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam
alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN.

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :


1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin

untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

3. Stadium III (3 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan

leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar bronkopneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen.
Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam
keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat
masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
MANIFESTASI KLINIS

Gejala dan tanda klinis bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien, status
imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestsi klinis bisa sangat berbeda, bahkan
pada neonatus mungkin tanpa gejala. Gejala dan tanda bronkopneumonia meliputi gejala
infeksi pada umumnya demam, menggigil, sefalgia, rewel, dan gelisah. Beberapa pasien
mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit
perut.
Walaupun tanda pulmonal paling berguna, namun mungkin tanda-tanda itu tidak
muncul sejak awitan penyakit. Tanda-tanda itu meliputi nafas cuping hidung (neonatus),
takipneu, dipsneu, dan apneu. Otot bantu nafas interkostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa
batuk. Tanda brokopneumonia berupa retraksi (penarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam saat bernafas bersama dengan peningkatan frekuensi nafas), perkusi redup,
fremitus melemah, suara nafas melemah dan ronkhi.
Frekwensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui beratnya
penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan memantau tatalaksana.
Pengukuran frekwensi nafas dilakukan dalam keadaan anak tenang atau tidur. Perkusi
thorak tidak bernilai diagnostik karena umumnya kelainan patologisnya menyebar. Suara
redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura.
WHO menetapkan kriteria takipneu berdasarkan usia, sebagai berikut :
- usia kurang dari 2 bulan

: 60 kali per menit

- usia 2 bulan -1 tahun

: 50 kali per menit

- usia 1 5 tahun

: 40 kali per menit.

Suara nafas yang melemah seringkali ditemukan pada auskultasi. Ronkhi basah
halus khas untuk pasien yang lebih besar, mungkin tidak terdengar pada bayi. Pada bayi
dan anak kecil karena kecilnya volume thorak biasanya suara nafas saling berbaur dan
sulit diidentifikasi.
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terusmenerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting,
dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala
yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding

dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.

Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :


Pemeriksaan

Bakteri

Virus

Mikoplasma

Anamnesis
Umur

Berapapun, bayi

Berapapun

Usia sekolah

Awitan

Mendadak

Perlahan

Tidak nyata

Sakit serumah

Tidak

Ya, bersamaan

Ya, berselang

Batuk

Produktif

nonproduktif

kering

Gejala penyerta

Toksik

Mialgia, ruam,

Nyeri kepala, otot,

organ bermukosa

tenggorok

Fisik
Keadaan umum

Klinis > temuan

Klinis temuan

Klinis < temuan

Demam

Umumnya 39C

Umumnya < 39C Umumnya < 39C

Auskultasi

Ronkhi , suara

Ronkhi bilateral,

Napas melemah

Difus, mengi

Ronkhi unilateral,
mengi.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga >
15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit >

30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus.


Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih
mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya
positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi.
Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus.
Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.3

Foto toraks PA pada bronkopneumonia

a. C-Reactive Protein

Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan
sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus
dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah
pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon
terapi antibiotik.
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi
spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura.
Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun
biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi
pada kurang dari 50% kasus.
PENATALAKSANAAN
Tatalaksana pasien pneumonia meliputi terapi suportif dan terapi etiologik.
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :

1.

Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau nasofaring. Jika
penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat bantu napas mungkin diperlukan
terutama dalam 24-48 jam

2.

Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang diberikan mengandung
gula dan elektrolit yang cukup.

3.

Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.

4.

Mengatasi penyakit penyerta.

5.

Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan tata laksana rutin
yang harus diberikan.
Tatalaksana bronkopneumonia sesuai dengan kuman penyebabnya. Namun karena

berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia diberikan antibiotik
secara empiris. Walaupun sebenarnya pneumonia viral tidak memerlukan antibiotik, tapi
pasien tetap diberi antibiotik karena kesulitan membedakan infeksi virus dengan bakteri.

Usia
0-2 minggu

Rawat jalan

Rawat Inap

Bakteri Patogen

1. Ampisillin +

- E. Coli

Gentamisin

- Streptococcus B

2. Ampisillin +
Cefotaksim
>2-4

1. Ampisillin +

minggu

Cefotaksim atau

- Nosokomial
enterobacteria
- E. Coli
- Nosokomial

Ceftriaxon

Enterobacteria

2. Eritromisin

- Streptococcus B
- Klebsiella
- Enterobacter
- C. trachomatis

>1-2 bulan

1. Ampisillin +

- E. Coli and other

Gentamisin

Enterobacteria

2. Cefotaksim atau
Ceftriaxon

- H. influenza
- S. pneumonia
- C. trachomatis

>2-5 bulan

1. Ampisillin

1. Ampisillin

- H. influenza

2. Sefuroksim

2. Ampisillin +

- S. pneumonia

Sefiksim

Kloramfenikol
Sefuroksim

Ceftriaxon
>5 tahun

1. Penisillin A

1. Penisillin G

- S. pneumonia

2. Amoksisilin

2. Sefuroksim

- Mycoplasma 9

Eritromisin

Seftriakson
Vankomisin

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan
dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah S.
Aureus, kloksasilin dapat segera diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan
cefazolin, klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus adalah 34 minggu.

KOMPLIKASI
Komplikasi biasanya sebagai hasil langsung dari penyebaran bakteri dalam rongga
thorax (seperti efusi pleura, empiema dan perikarditis) atau penyebaran bakteremia dan
hematologi. Meningitis, artritis supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi yang
jarang dari penyebaran infeksi hematologi
PENCEGAHAN

Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian


imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk mencegah pneumonia.
Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus tertentu sesuai jenis vaksinnya.
berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat mencegah pneumonia :
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi pneumokokkus (Invasive
Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan
PCV-10. PCV 13 belum tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza

Anda mungkin juga menyukai