Oleh:
Sagung Adi Sresti
Mahayana
0910313193
Diana Sari
0910313215
Dita Eka Novriana
0910313218
Pembimbing:
dr. Sylvia Rachman, Sp. Rad
BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL
PADANG
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
dan
garam
empedu.
Cairan
empedu
ini
membantu
dalam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
1. Hepar
Hepar terdiri dari dua lobus besar, yaitu lobus kanan dan kiri, yang
mengisi kavitas abdominis bagian kanan atas dan tengah, tepat di bawah
diafragma. Sel-sel hepar memiliki banyak fungsi, salah satunya fungsi pencernaan
yaitu menghasilkan empedu. Empedu memasuki duktus koledokus minor yang
disebut kanalikuli empedu pada sel-sel hepar, yang kemudian akan bergabung
menjadi saluran yang lebih besar dan akhirnya bersatu membentuk duktus
hepatikus, yang akan membawa empedu keluar dari hepar. Duktus hepatikus akan
bersatu dengan duktus sistikus biliaris untuk membentuk duktus koledokus
komunis, yang akan membawa empedu ke dalam duodenum.4
Empedu sebagian besar tersusun atas air dan memiliki fungsi ekskretorik,
yaitu membawa bilirubin dan kelebihan kolesterol ke dalam usus untuk
dikeluarkan bersama feses. Fungsi pencernaan empedu dilakukan oleh garam
empedu, yang akan mengemulsikan lemak di dalam intestinum tenue.
Emulsifikasi berarti pemecahan lemak yang berukuran besar menjadi molekul
yang berukuran kecil. Proses ini bersifat mekanik, bukan kimiawi. Produksi
empedu dirangsang oleh hormon sekretin yang diproduksi oleh duodenum ketika
makanan memasuki intestinum tenue.4
bilier
(kolestasis)
merupakan
suatu
keadaan
dimana
terganggunya aliran empedu dari hati ke kandung empedu atau dari kandung
empedu ke usus halus. Obstruksi ini dapat terjadi pada berbagai tingkatan
dalam biliari sistem mulai dari saluran empedu yang kecil (kanalikuli) sampai
ampula Vateri. Penyebab obstruksi bilier secara klinis terbagi dua yaitu
intrahepatik (hepatoseluler) yaitu terjadi gangguan pembentukan empedu
dan ekstrahepatik (obstruktif) yaitu terjadi hambatan aliran empedu. 1
2.3 Epidemiologi
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000
orang per tahun di AS. Angka kesakitan dan kematian akibat obstruksi bilier
bergantung pada penyebab terjadinya obstruksi. Mayoritas kasus yang
terbanyak adalah kolelitiasis (batu empedu). Di Amerika Serikat, 20% orang
tua berusia 65 tahun menderita kolelitiasis (batu empedu) dan 1 juta kasus
baru batu empedu didiagnosa setiap tahunnya. Resiko terjadinya kolelitiasis
terkenal dengan kriteria 4F yaitu female, fourty, fat, dan fertile. Resiko
terjadinya batu empedu meningkat pada usia >40 tahun. Insiden teringgi
terjadi pada usia 50-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin wanita lebih sering
terkena kolelitiasis dari pada pria. Hampir 25% wanita AS menderita batu
empedu dengan 50% diantaranya berusia 75 tahun, dan 20% pria dengan
usia yang sama menderita batu empedu. Rasio penderita wanita terhadap
pria yakni 3:1 pada kelompok usia dewasa masa reproduktif dan berkurang
menjadi >2:1 pada usia di atas 70 tahun. Faktor predisposisi terjadinya batu
empedu antara lain obesitas terutama pada wanita, kehamilan, penurunan
berat badan yang cepat, kontrasepsi oral, dan diabetes mellitus. 1,6,7,8
Faktor genetik juga terlibat pada pembentukan batu empedu yang
dibuktikan oleh prevalensi batu empedu yang tersebar luas di antara
berbagai berbagai bangsa dan kelompok etnik tertentu. Prevalensi paling
menyolok pada suku Indian Pima di Amerika Utara (>75%), Chili dan kaukasia
di Amerika Serikat. Prevalensi terendah pada orang Asia.6
Jenis batu empedu yang banyak ditemukan adalah batu kolesterol (75%),
berhubungan dengan obesitas terutama pada wanita. Pada penderita diabetes mellitus
paling banyak ditemukan mixed stones (80%), sedangkan batu kolesterol murni hanya
10%. 25% dari batu empedu merupakan batu pigmen (bilirubin, kalsium, and berbagai
material organik lainnya) berhubungan dengan hemolisis dan sirosis. Sedangkan batu
pigmen hitam ditemukan pada kolelitiasis yang tidak sembuh dengan medikamentosa.8
Batu kolesterol banyak ditemukan di negara barat (80-90%), sedangkan batu pigmen
sekitar 10%. Batu pigmen lebih banyak ditemukan di negara Asia dan Afrika. Walaupun
demikian akhir-akhir ini batu kolesterol meningkat di Asia dan Afrika, terutama di Jepang
ketika westernisasi pola diet dan gaya hidup.1
Di negara Barat 10-15% pasien batu empedu juga disertai batu saluran
empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran empedu dapat terbentuk
primer di dalam saluran empedu intra atau ekstrahepatik tanpa melibatkan
kandung empedu. Batu saluran empedu primer lebih banyak ditemukan pada
pasien di wilayah Asia dibandingkan dengan pasien di negara Barat. 3
bilier, kista duktus koledokus, striktur jinak (operasi terdahulu) pada duktus koledokus,
karsinoma duktus koledokus, pankreatitis, dan kolangitis sklerosing.1,9
2.5 Patofisiologi
Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif. Ikterus
(jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya
dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin heme dari metabolisme sel darah
merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera mata, dan ini
menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus
jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl.
Tahapan metabolisme bilirubin berlangsung melalui 3 fase yaitu fase prehepatik,
intrahepatik, dan pascahepatik, atau dikenal juga melalui tahapan 5 fase yaitu (1) fase
pembentukan bilirubin dan (2) transpor plasma, terjadi pada fase prahepatik, (3) liver
uptake dan (4) konyugasi, pada fase intrahepatik, serta (5) ekskresi bilirubin pada fase
ekstrahepatik.
Dalam mendiagnosis suatu batu, sensitivitas USG 25 58% sedangkan spesifisitas USG
68 91%. Data diatas menjelaskan bahwa kekurangan dari USG adalah tidak dapat
menggambarkan derajat dan penyebab suatu kolestasis. Selain itu, USG sangat tergantung
pada keterampilan operator dalam melakukan pencitraan terutama organ retroperitoneal
yang diselimuti oleh usus yang berisi gas atau pada pasien obesitas.
B. Computed Tomographic Cholangiography (CT-Cholangiography)
CT-Cholangiography
menggunakan
kontras
oral
ataupun
intravena
yang
diekskresikan melalui hepar untuk memberi gambaran opak pada duktus bilier. Kontras
yang sering digunakan adalah kontras intravena, sehingga pemeriksaan ini lebih dikenal
dengan CT- intravenous cholangiography (CT-IVC).
Teknik ini bergantung pada fungsi hepatosit yang mendekati normal, sehingga
pemeriksaan ini tidak bisa menginvestigasi ikterik dan sulit dilakukan pada kadar
bilirubin yang meningkat lebih dari dua kali lipat. CT-IVC dapat menunjukkan suatu
kebocoran bilier, patensi duktus dan obstruksi segmental.
C. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
MRCP sudah menggantikan diagnosis PTC dan ERCP. Pemeriksaan ini
menggunakan T2 yang menampilkan air sebagai sinyal tinggi. MRCP memiliki
keuntungan karena pemeriksaannya tidak bergantung pada fungsi hepar seperti pada CTIVC.
Pemeriksaan MRCP juga dapat menggunkan kontras hepatobilier, namun tidak
sensitif untuk mendeteksi suatu koledokolitiasis. Titik diagnosis MRCP meliputi tanda
pengosongan terlokalisir yang diakibatkan klip surgikal dan gas intraduktal. Pengosongan
aliran empedu menyerupai gambaran batu kecil, namun letaknya sentral dan tidak
berbatas tegas seperti batu. Waktu akuisisi lebih lama pada MRCP dibandingkan dengan
CT-IVC.
Keuntungan dari MRCP adalah prosedur yang dikerjakan bersifat non-invasif, tidak
membutuhkan sedasi, kontras intravena atau radiasi. MRCP dapat memberikan gambaran
traktur biliaris diatas dan dibawah lokasi obstruksi. Pada kolangiokarsinoma pencitraan
dapat berbentuk 3D. Kekurangan MRCP dibandingkan ERCP adalah resolusi spatial yang
lebih rendah, ketersediaan alat, tidak memiliki terapi segera, tidak cocok untuk penderita
klaustrophobia, tidak bisa mengevaluasi pasien dengan pacemaker tambahan atau
memiliki prostesis yang bersifat feromagnetik. Dapat juga ditemukan artefak
pneumobilia, pembuluh darah normal dan divertikulum duodenal. Klip abdomen pada
pasien dengan riwayat pembedahan dapat menurunkan kualitas gambar yang dihasilkan
D. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
ERCP dapat memberikan gambaran opak langsung pada duktus bilier dan duktus
pankreatikus., dengan tingkat kesuksesan 92-97% dan memberikan informasi tentang
medium kontras dan drainasenya. ERCP dapat memeriksa duodenum dan ampula Vateri,
serta dapat melakukan biopsi, brushing, sfingterektomi dan ekstraksi batu, stenting bilier
dan dilatasi striktur bilier. Untuk dapat mendiagnosis menggunakan ERCP, duktus harus
terisi diatas striktur.
ERCP dilakukan menggunakan tampilan sisi duodenoskopi yang dapat menampilkan
ampula. Instrumen dari endoskopi memungkinkan untuk dilakukan kanulasi pada papila
dan menyuntikkan kontras ke dalam duktus biliaris dan duktus pankreatikus untuk
mendapatkan gambaran diagnostik. Intervensi terapi seperti sfingterektomi, ekstraksi
batu, dilatasi striktur, insersi stent dan pengambilan sampel jaringan dapat dilakukan pada
waktu yang bersamaan.
ERCP sering dikatakan sebagai gold standard pencitraan sistem biliaris. ERCP dapat
menunjukkan penyebab dari suatu kolestasis dan membantu menegakkan diagnosis
berdasarkan morfologi duktus biliaris dan duktus pankreatikus. Untuk mengevaluasi batu
pada CBD, ERCP memiliki sensitivitas 90% dan spesifisitas 98%, serta akurasi 96%.
Prosedur standar seperti sfingterektomi dan ekstraksi batu dapat membersihkan batu CBD
hingga 85 90% kasus. Jika hal ini tidak berhasil dapat dilakukan litotripsi dan
pemasangan stent pada kasus yang lebih berisiko.
ERCP juga memegang peranan penting dalam mendiagnosis tumor pankreatobilier.
Gambaran radiologis dapat menunjukkan sugestif keganasan, namun diagnosis definitif
memerlukan sampel jaringan. Teknik yang sering dilakukan adalah brush cytology dan
biopsi forseps. Biopsi forseps memiliki sensitivitas tinggi dalam menentukan
kolangiokarsinoma, karsinoma pankreas dan tumor ampula. Upaya paliatif dalam terapi
kanker juga dapat dilakukan dengan ERCP yaitu dengan teknik insersi stent bilier. Studi
menunjukkan pemasangan stent endoskopi lebih murah dibandingkan pembedahan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien
Kekurangan dari ERCP adalah kurangnya sensitivitas dalam mendeteksi batu kecil
dalam duktus yang berdilatasi dan juga sulit untuk membedakan batu dengan gelembung
udara. Kekurangan ini dapat mengakibatkan lamanya waktu prosedur, sfingterektomi
yang tidak diperlukan dan pemasangan kateter atau balon yang tidak diperlukan. Akibat
adanya beberapa risiko tindakan dan adanya metode non-invasif lain untuk kolangiografi,
ERCP berkembang lebih dominan untuk prosedur terapeutik.
E. Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)
Penggunaan PTC dilakukan dengan menusukkan jarum Chiba berukuran 22G yang
diarahkan oleh fluoroskopi untuk memasuki duktus intrahepatik yang ditusukkan dari
pinggang kanan dan kiri untuk mencapai daerah epigastrium. Kontraindikasi tindakan ini
adalah pasien yang memiliki koagulopati. Tindakan ini memerlukan sedasi, antibiotik
intravena spektrum luas dan anestesi umum jika diperlukan. Kontras disuntikkan untuk
memberi gambaran opak pada duktus biliaris.
Komplikasi dari tindakan PTC (< 5%), seperti kebocoran empedu, peritonitis,
hemobilia, sepsis, perdarahan intraperitoneal, fistula intrahepatik, tertusuk kandung
empedu, pneumothorax, abses subhepatik, pseudoaneurisma, AV-shunts dan reaksi alergi
terhadap kontras.
PTC telah digantikan oleh ERCP dan MRCP karena tingkat kesuksesan ERCP lebih
tinggi, selain itu komplikasi tindakan oleh ERCP lebih sedikit. PTC pada umumnya
dipilih untuk pasien yang sulit ditentukan posisi anatomi dari duktus biliaris, sepeti pasien
post tindakan gastroenterostomi. PTC juga digunakan untuk drainase bilier pada pasien
tumor hilar inoperabel dan hepatolithiasis
F. Intraoperative Cholangiography (IOC)
IOC dilakukan rutin atau selektif selama kolesistektomi untuk mendeteksi
koledokolitiasis, memastikan klirens batu duktus dan meluruskan anatomi untuk
meminimalkan cedera pada duktus biliaris.
G. T-Tube Cholangiography
Jika duktus biliaris komunis telah dieksplorasi saat kolesistektomi, T-tube pada
umumnya ditinggalkan dan kolangiografi dilakukan pada tube ini setelah 7 hari, dan juga
untuk melepaskan T-tube. Kolangiografi sebaiknya dilakukan untuk memastikan klirens
batu dan kelancaran kontras sampai ke duodenum. Injeksi kontras harus hati-hati agar
tidak terbentuk gelembung udara,
H. Skintigrafi Hepatobilier
Skintigrafi hepatobilier atau Hepatobiliary iminodiacetic acid (HIDA) scintigraphy
menggunakan derivat asam iminodiasetik, analog bilirubin berlabel 99Tc. Zat ini diinjeksi
intravena dan pencitraan dengan kamera gama serial dilakukan 2 4 jam setelahnya.
Pemeriksaan ini bergantung dengan kadar bilirubin mendekati normal, meskipun
beberapa agen dapat diekskresi saat nilai bilirubin sedikit meningkat. Pada gambar dapat
dilihat akumulasi isotop di dalam hepar, duktus bilier, duodenum, usus halus dan
kandung empedu. Hal ini terjadi jika duktus sistikus paten.
I. Endoscopic Ultrasound (EUS)
EUS menampilkan pencitraan grey-scale frekuensi tinggi, Colour Doppler dan
contrast-enhanced ultrasound (CEUS) sebagai evaluasi terhadap gambaran cabang
duktus biliaris ekstrahepatik dan pankreas. EUS memiliki sensitivitas dan spesifitas yang
mirip dengan MRCP dalam mendiagnosis penyebab obstruksi bilier. Meskipun sedikit
invasif, keuntungannya adalah EUS memungkinkan untuk visualisasi langsung
duodenum, sitologi BAJAH dan drainase bilier. Probe yang lebih canggih dan mahal
dapat memeriksa duktus biliaris komunis intraduktal, namun tidak rutin tersedia.
EUS sangat akurat dalam menentukan penyebab kolestasis ekstrahepatal dan dalam
mendiagnosis batu empedu dalam ukuran kecil. EUS juga dapat membedakan sumbatan
yang diakibatkan oleh suatu keganasan. EUS-FNA (Endoscopic ultrasonography - fine
needle aspiration) memberikan hasil lebih baik dalam mendiagnosis suatu keganasan
pankreas. EUS dapat mendeteksi tumor dengan ukuran < 3 cm. EUS juga dapat
melakukan staging TNM terhadap tumor pankreas dengan akurat dan lebih akurat dalam
menentukan invasi ke vena portal, vena splenikus dan konfluens vena portal serta pada
vena mesentrika superior dibandingkan CT dan angiografi.
Banyak fitur yang membuat EUS menjadi prosedur yang lebih menarik. EUS lebih
tidak invasif dibandingkan ERCP, dan dapat mendiagnosis hampir seluruh penyebab
kolestasis termasuk keganasan dan batu. Pemeriksaan ini tidak memaparkan radiasi atau
kontras pada pasien. Kekurangan EUS adalah visualisasi terbatas 8 10 cm kedalaman
probe, dan pencitraan dapat terganggu oleh pneumobilia, stent, surgical clip, pankreatitis
kalsifikasi dan divertikulum duodenal.
Tabel 2.1 Perbandingan kelebihan dan kekurangan teknik pencitraan sistem bilier
Modalitas
Indirek
Direk
USG
MRCP
EUS
ERCP
PTC
Mudah dibawa
+++
++
Keamanan
+++
+++
++
Biaya murah
+++
++
+++
++
++
Ketergantungan operator
+++
++
Staging keganasan
+++
+++
Sampel jaringan
+++
+++
++
Terapi
+++
+++