Anda di halaman 1dari 14

Mekanisme Terjadinya Resistensi

Untuk mendapatkan efek terapi, antibiotika pertama kali harus mencapai target kedalam
sel kuman. Kuman gram negatif mempunyai outer membrane yang sedikit menghambat
antibiotika masuk kedalam sitoplasma. Selanjutnya apabila terjadi mutasi dari lubang pori outer
membrane berakibat antibiotika menjadi lebih sulit masuk kedalam sitoplasma atau menurunnya
permeabilitas membrane terhadap antibiotika,oleh karena lubang pori dari outer membrane
tersebut tidak bersifat selektif maka satu mutasi dari pori tersebut dapat menghambat masuknya
lebih dari satu jenis antibiotika.
Ada berbagai mekanisme yang menyebabkan suatu populasi kuman mejadi resisten
terhadap antibiotika, mekanisme itu antara lain
1)

Mikroorganisme memproduksi enzym yang merusak daya kerja obat, contohnya adalah
stafilokokus yang resisten terhadap penisilin disebabkan karena stafilokokus memproduksi
enzym beta laktam yang memecah cincin beta laktam dari penisilin sehingga penisilin tidak aktif
lagi bekerja.

2)

Terjadinya perubahan permeabilitas kuman terhadap obat tertentu, contohnya adalah


streptokokus yang mempunyai barier alami terhadap obat golongan aminoglikosida.

3) Terjadinya perubahan pada tempat tertentu dalam sel sekelompok mikroorganisme yang menjadi
target obat, misalnya obat golongan aminoglikosida yang memecah atau membunuh kuman
karena obat ini merusak sistem ribosom sub unit 30S. Bila oleh suatu hal,tempat/lokus kerja obat
pada ribosom sub unit 30S berubah, maka kuman tidak lagi sensitif terhadap golongan obat ini.
4) Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat,misalnya kuman yang
resisten terhadap obat golongan sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat
menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi dengan PABA tidak
berpengaruh pada metabolisme sel.
5)

Terjadi perubahan enzymatik sehingga kuman meskipun masih dapat hidup dengan baik, tapi
kurang sensitif terhadap antibiotik, contohnya adalah kuman yang sensitif terhadap sulfonamida
yang mempunyai affinitas yang lebih besar terhadap sulfonamida dibandingkan dengan PABA
sehingga kuman akan mati.
Antibiotik bisa membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mempunyai
target tertentu dalam bakteri, yaitu menghambat sintesis asam nukleat (pembentuk inti sel
bakteri), menghambat sintesis dinding sel bakteri dan menghambat sintesis protein bakteri.

Struktur Bakteri (http://scienceaid.co.uk/biology/micro/bacteria.html).


Secara alami, pemakaian antibiotik akan menyebabkan resistensi, yang artinya bakteri menjadi
resisten atau kebal terhadap antibiotik. Namun, resistensi antibiotik ini makin cepat terjadinya
bila kita menggunakan antibiotik secara tidak rasional. Karena bila bakteri dipapar dengan
antibiotik terus, lama-kelamaan bakteri tersebut akan membuat mekanisme mempertahankan
diri.
Resistensi antibiotik ini sebenarnya bisa terjadi secara alami (innate resistance). Artinya,
resistensi akan terjadi walaupun antibiotik tersebut belum pernah dikenalkan pada bakteri. Selain
itu, ada yang namanya resistensi dapatan (acquired resistance). Resistensi dapatan ini
merupakan masalah besar. Resistensi dapatan merupakan akibat adanya perubahan komposisi
genetik bakteri sehingga antibiotik yang awalnya sensitif (bisa membunuh atau menghambat
bakteri) menjadi tidak sensitif lagi, mengakibatkan resistensi. Resistensi ini bervariasi, terkadang
perubahan genetis hanya berakibat penurunan aktivitas antibiotik, tetapi tidak sampai
menghilangkan keseluruhan efektivitas antibiotik.
Strategi bakteri untuk menurunkan kemampuan kerja atau aktivitas antibiotik terjadi melalui
beberapa cara yaitu: (1) penetralan antibiotik oleh enzim dalam bakteri, (2) membatasi kadar
antibiotik dalam bakteri dengan menurunkan influx dan meningkatkan efflux, (3) mengubah
target antibiotik sehingga antibiotik tidak mampu lagi membunuh bakteri, atau (4)
menghilangkan target antibiotik dengan membentuk jalur metabolik baru.
Bakteri mungkin menggunakan satu atau beberapa strategi untuk melawan satu jenis antibiotik
tertentu. Satu strategi bisa menyebabkan resistensi terhadap beberapa jenis antibiotik, atau
bahkan multi resisten terhadap antibiotik dari berbagai jenis. Bakteri tertentu mampu
menghasilkan enzim yang membuat antibiotik jadi tidak aktif lagi. Terbentuknya enzim yang
menginaktivasi antibiotik ini diduga merupakan penyebab tersering resistensi berbagai jenis
antibiotik.
Perubahan enzim ini bisa diturunkan melalui perantara kromosom atau plasmid (DNA diluar
kromosom yang bisa bereplikasi atau berkembang biak secara otonom). Penurunannya bisa
dengan cara bertahap atau sekaligus. Contohnya, bakteri Staphylococcus menghasilkan enzim
beta lactamase yang akan menghambat antibiotik jenis beta lactam (misalnya penisilin) sehingga

antibiotik ini tidak bisa bekerja melawan bakteri. Perubahan permeabilitas membran sel
menyebabkan penurunan masuknya (influx) antibiotik dan mengaktifkan pengeluaran (efflux)
antibiotik. Akibatnya, akumulasi antibiotik di dalam bakteri menurun. Karena kadarnya
menurun, efektivitas antibiotik juga akan menurun. Contohnya adalah bakteri yang resisten
terhadap antibiotik tetrasiklin.
Perubahan target antibiotik dengan cara mengubah tempat pengikatan antibiotik didalam bakteri.
Antibiotik jenis tertentu (contohnya aminoglikosida) biasanya akan terikat oleh ribosom (organel
dalam sel bakteri untuk membentuk protein) bakteri dan menghambat sistesis protein. Bila
bakteri menjadi resisten terhadap aminoglikosid, tempat pengikat antibiotik akan diubah. Sebagai
akibatnya, antibiotik menjadi tidak terikat lagi sehingga antibiotik tidak bisa beraksi melawan
bakteri.
Strategi bakteri yang lain adalah dengan membentuk jalur metabolik alternatif. Contohnya
resistensi dapatan terhadap kotrimoksazol disebabkan terbentuknya enzim dihydrofolate
reductase yang resisten terhadap antibiotik dari plasmid atau transposon (DNA yang mampu
berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dalam kromosom yang sama atau berbeda). Elemen
genetik yang bisa bergerak atau mobile ini menyebabkan penyebaran resistensi antibiotik
antarbakteri menjadi cepat terjadi.
Proses-proses di atas merupakan mekanisme resistensi antibiotik di dalam bakteri
(mikroorganisme). Namun, permasalahan terbesar saat ini adalah resistensi antibiotik dari satu
spesies bakteri ternyata dapat disebarkan ke sekelompok bakteri lain melalui perubahan gen
sehingga masalah resistensi ini sudah menjadi masalah ekologi yang luas.
Pemakaian antibiotik yang tidak rasional (tidak tepat atau berlebihan) disinyalir merupakan
penyebab bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik. Akibatnya, antibiotik tidak lagi efektif
membunuh ataupun menghambat aktivitas bakteri. Pemakaian antibiotik yang tidak rasional
sering terjadi pada pasien rawat jalan di komunitas ataupun pasien yang dirawat inap di rumah
sakit, baik sebagai pengobatan (terapi) ataupun pencegahan (profilaksis). Selain itu, resistensi ini
diduga juga berkembang akibat penggunaan antibiotik dalam industri agrikultur, khususnya
produksi makanan. Masalah resistensi ini bukan hanya menjadi masalah lokal tapi sudah
merupakan masalah global.
Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh antibiotika
(Setiabudy dan Gan, 1987:514).
Resistensi atau kepekaan sebenarnya bukanlah sifat yang mutlak tetapi bisa juga perubahan pada
penggunaan konsentrasi antibiotika. Sifat ini merupakan mekanisme yang alamiah untuk
bertahan hidup. Sifat resistensi bakteri terhadap antibiotika yang terdapat pada gen maka dikenal
dengan resistensi yang disebabkan non-genetik atau disebabkan genetik.
Penyebab resistensi secara umum adalah sebagai berikut :
1. Penyebab non-genetik
2. Penyebab genetik
a. Resistensi kromosal
b. Resistensi ekstrakromosal
Plasmid

Faktor R (Gen Resisten)


Faktor F (Fili Sex)
Toksin
Bakteri sferoplas yang telah kehilangan dinding selnya maka akan resisten terhadap antibiotik
yang merusak dinding sel seperti penisilin dan sefalosporin. Ini terjadi karena bakteri telah
berubah strukturnya sehingga bakteri sebagai target antibiotik menjadi tidak cocok.

Contoh : Bakteri Streptococcus pneumoniae merubah struktur ribosomnya sehingga tidak


dicocok lagi sebagai target antibiotik eritromisin
b. Resistensi ekstrakromosomal
Resistensi ekstrakromosomal sering disebut plasmid. Plasmid adalah molekul DNA yang bulat/
sirkuler. Ciri-ciri plasmid :
1. Kira-kira memepunyai berat 1-3% dari kromosom bakteri
2. Berada bebas dalam sitoplasma bakteri
3. Adakalanya dapat bersatu ke dalam kromosom bakteri
4. Dapat melakukan replikasi sendiri secara otonom
5. Dapat pula berpindah atau dapat dipindahkan dari spesies ke spesies lain
Beberapa contoh dari plasmid adalah :
Faktor R (Gen Resisten)
Faktor R adalah satu golongan plasmid yang membawa gen-gen resisten terhadap satu atau lebih
antibiotik. Gen dalam plasmid yang sering kali menyebabkan resistensi obat dengan
memproduksi enzim-enzim yang dapat merusak daya kerja obat.
Contoh : Bakteri Staphylococcus aureus pada gennya mengandung faktor R yang terdapat gen
untuk replikasi mengatur sintesis protein yang mengkode enzim enzim -laktamase yang dapat
merusak struktur -laktam pada penisilin.
Faktor F (Fili Sex)
Bakteri Gram negatif umumunya memiliki fili pada struktur tubuhnya. Fili merupakan rambut
pendek dan keras di sekililing bada sel bakteri Fili terdiri dari subunit-subunit protein. Terdapat
dua jenis fili :
1. Fili yang memegang peranan dalam adhesi kuman dengan tubuh hospes
2. Fili seks, yaitu fili yang berfungsi dalam konjugasi 2 sel bakteri.
Fili seks inilah yang berperan dalam konjugasi terhadap bakteri lain dan memberikan gen
resisten pada suatu antibiotik.
Contoh : E. coli, Salmonella, Shigella, Klebsiella, Serratia, Vibrio cholerae dan Pseudomonas
dengan cara konjugasi memberikan gen resisten melalui fili sex sehingga resisten pada
aminoglikosida, tetrasiklin, kloramphenikol dan penisilin.

Toksin
2. Penyebab genetik

1. Penyebab non-genetik
Beberapa toksin dari bakteri merupakan produk dari plasmid sehingga toksin yang dihasilkan
bakteri menghambat antibiotik untuk bekerja membunuh bakteri.
Resistensi genetik yaitu suatu keadaan mikroorganisme yang semula peka terhadap suatu
antibiotik pada suatu saat dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak peka atau memerlukan
konsentrasi yang lebih besar. Perubahan ini karena gen bakteri mendapatkan elemen genetik
yang terbawa sifat resistensi. Yaitu resistensi bakteri yang terjadi karena perubahan genetik
meliputi kromosom maupun ekstra kromosom. Perubahan genetik dapat ditransfer atau
dipindahkan dari satu spesies bakteri ke spesies lainnya melalui berbagai mekanisme.
Resistensi non-genetik adalah suatu keadaan bakteri pada stadium istirahat, sehingga bakteri
tidak peka terhadap antibiotik. Atau dengan kata lain, antibiotik yang bekerja untuk membunuh
bakteri pada saat aktif pembelahan maka populasi bakteri yang tidak berada pada fase
pembelahan akan relatif resisten terhadap antibiotik tersebut. Resistensi non-genetik umumnya
terjadi karena perubahan pada pertahanan tubuh bakteri itu sendiri atau perubahan struktur
bakteri sehingga tidak sesuai lagi sebagai target antibiotik.
Contohnya : Pada kasus diare yang disebabkan bakteri Escherichia coli pemberian antibiotik
justru memperparah diare karena Escherichia coli yang menghasilkan toksin enteroksigenik
sehingga antibiotik sendiri bisa menyebabkan diare dan mendorong timbulnya bakteri yang
resisten.
a. Resistensi kromosomal
Contoh :
Resistensi kromosomal bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi karena adanya mutasi DNA yang
mengontrol kecocokan (susceptibility) terhadap obat tertentu. Resistensi bakteri terhadap
antibiotik yang mempunyai sebab genetik kromosal terjadi secara spontan, misalnya karena
terjadi mutasi spontan terhadap lokus DNA (Deoksi Nukleat Acid) yang mengontrol kecocokan
(susceptibility) terhadap antibiotik tertentu.
Bakteri Tuberkulosis yang menginfeksi di dalam jaringan yang tidak membelah aktif pada saat
pemberian antibiotik sehingga terjadi mekanisme pertahanan tubuh bakteri maka akan resisten
terhadap antibiotik tersebut. Lalu karena suatu hal maka diberikan kortikosteroid yang
menyebabkan daya tahan bakteri menurun sehingga bakteri yang tadi belum membelah aktif lalu
memebelah aktif lagi sehingga antibiotik dapat membunuh bakteri Tuberkulosis.

Kombinasi antibiotik
Akibat-akibat yang disebabkan oleh kombinasi antibiotika dapat merupakan suatu
modifikasi efek farmakologi antara lain meliputi sinergis, antagonis, aditif atau efek baru yang
tidak terjadi pada pemberian masing-masing. Kemungkinan kombinasi antibiotika dapat berupa
kombinasi yang diperbolehkan atau kombinasi yang tidak dianjurkan.
Percobaan yang dilakukan tidak menggunakan difusi agar atau pengenceran agar. Untuk
menguji atau mengamati efek kombinasi antibakteri dengan menggunakan kedua metode
tersebut harus dilakukan pada KHM yang tepat. KHM belum bisa ditentukan dari praktikum
periode I. Untuk menentukan KHM yangtepat, maka harus dilakukan pengujian lagi dengan
interval konsentrasi yang lebih kecil. Dengan demikian dalam praktikum ini pengamatan
kombinasi antibiotika tidak bisa dengan meggunakan metode difusi agar atau pengenceran agar.
Sehubungan dengan itu, maka dalam percobaan ini metode yag digunakan adalah metode pita
kertas.
Secara klasik selalu dianjurkan bahwa kombinasi antibiotik bakterisid dan bakteriostatik
akan merugikan oleh karena antibiotik bakterisid bekerja pada kuman yang sedang tumbuh,
sehingga kombinasi dengan jenis bakteriostatik akan memperlemah efek bakterisidnya. Tetapi
konsep ini mungkin tidak bisa begitu saja diterapkan secara luas dalam klinik, oleh karena
beberapa kombinasi yang dianjurkan dalam klinik misalnya penisilin (bakterisid) dan
kloramfenikol (bakteriostatik) justru merupakan alternatif pengobatan pilihan untuk meningitis
bacterial yang umumnya disebabkan oleh kuman Neisseria meningitides.
Dalam klinik banyak dijumpai pemakaian kombinasi antibiotika, yang sayangnya tidak
semuanya dapat diterima secara ilmiah begitu saja. Pemakaian kombinasi antibiotika juga
mengadung resiko, misalnya adanya akumulasi toksisitas yang serupa, misalnya nefrotoksisitas
aminoglikosida dan nefrotoksisitas dari beberapa jenis sefalosforin. Kemungkinan juga dapat
terjadi antagonism, kalau prinsip-prinsip kombinasi di atas tidak di taati, misalnya kombinasi
penisilin dan tetrasiklin. Walaupun pemakaian beberapa kombinasi dapat diterima secara ilmiah,
tetap diragukan perluya kombinasi tetap oleh karena kemungkinan negatif yang dapat terjadi.
Sebagai contoh, kombinasi tetap penisilin dan streptomisin justru akan meyebabkan inaktivasi
dari masing-masing antibiotika oleh karena terjadinya kerusakan secara kimiawi. Tetapi terdapat
kombinasi antibiotika yang sudah tetap yang secara klinis memberikan efek lebih baik.
-

Tujuan kombinasi antibiotic

lasan ini diberikan atas pertanyaan rekan kita diforum ini yang mempertanyakan tentang
antibiotik yaitu :
1. adakah kerugian antibiotic secara umum ??
2. cefixime sama AB gol makrolida bisa dikombine?
Dengan pertimbangan dalam forum ini mungkin terdapat juga para mahasiswa, orang awam,
serta bisa jadi keawaman pemahaman kita tentang antibiotik secara utuh maka saya mencoba
memberi ulasan tentang antibiotika secara umum berturut turut kemudian akan kita hubungkan
dengan dengan dua pertanyaan tentang antibiotik diatas.
PENGERTIAN ANTIBIOTIK
Antibiotika pada prinsipnya adalah zat atau senyawa obat alami maupun sintetik yang
digunakan untuk membunuh kuman penyakit (bakteri yang bersifat parasit) dalam tubuh manusia
dengan berbagai mekanisme sehinga manusia terbebas dari infeksi bakteri. Antibiotik hanya
untuk bakteri dan tidak digunakan untuk virus.
PENGGOLONGAN ANTIBIOTIK
Ada banyak penggolongan antibiotik, setidaknya ada 3 golongan Antibiotik yang perlu kita
ketahui yaitu :
1. Penggolongan Berdasarkan daya bunuh terhadap bakteri.
2. Penggolongan Berdasarkan spektrum kerja antibiotik
3. Penggolongan Berdasarkan cara kerjanya
Ad 1. Golongan Antibiotik Berdasarkan daya bunuh terhadap bakteri.
Dikelompokkan menjadi :
a) Bakterisid :
Antibiotika yang bakterisid secara aktif membasmi kuman. Termasuk dalam golongan ini adalah
: penisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid dll.
b) Bakteriostatik :
Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau menghambat pertumbuhan kuman,
TIDAK MEMBUNUHNYA, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung pada daya tahan
tubuh. Termasuk dalam golongan ini adalah : sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin, trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dll.
Manfaat dari pembagian ini dalam pemilihan antibiotika mungkin hanya terbatas, yakni pada
kasus pembawa kuman (carrier), pada pasien-pasien dengan kondisi yang sangat lemah
(debilitated) atau pada kasus-kasus dengan depresi imunologik tidak boleh memakai antibiotika
bakteriostatik, tetapi harus bakterisid.
Ad. 2 Penggolongan Berdasarkan spektrum kerja antibiotik
a) Spectrum luas : antibiotic yang bersifat aktif terhadap bakteri gram positif dan gram negative.
Contoh antibiotic dalam kelompok ini adalah : tetrasiklin, kloramfenikol
b) Spectrum sempit : antibiotic yang bersifat aktif hanya terhadap bakteri gram positif atau gram
negative saja. Contohnya : Penisilin G, streptomisin

Ad 3. Penggolongan Berdasarkan cara kerjanya


Antibiotika golongan ini dibedakan berdasarkan sasaran kerja senyawa tersebut dan susunan
kimiawinya. Ada enam kelompok antibiotika dilihat dari target atau sasaran kerjanya
1. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri, mencakup golongan Penicillin, Polypeptide dan
Cephalosporin, misalnya ampicillin, penicillin G;
2. Inhibitor transkripsi dan replikasi, mencakup golongan Quinolone, misalnya rifampicin,
actinomycin D, nalidixic acid;
3. Inhibitor sintesis protein, mencakup banyak jenis antibiotik, terutama dari golongan
Macrolide, Aminoglycoside, dan Tetracycline, misalnya gentamycin, chloramphenicol,
kanamycin, streptomycin, tetracycline, oxytetracycline;
4. Inhibitor fungsi membran sel, misalnya ionomycin, valinomycin;
5. Inhibitor fungsi sel lainnya, seperti golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomycin,
tunicamycin; dan
6. Antimetabolit, misalnya azaserine.
Pembagian ini walaupun secara rinci menunjukkan tempat kerja dan mekanismenya terhadap
kuman, namun kiranya kurang memberikan manfaat atau membantu praktisi dalam memutuskan
pemilihan obat dalam klinik. Masing-masing cara klasifikasi mempunyai kekurangan maupun
kelebihan, tergantung kepentingannya.
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
Secara umum, berdasarkan ditemukannya kuman penyebab infeksi atau tidak, maka terapi
antibiotika dapat dibagi menjadi dua, yakni terapi secara empiris dan terapi pasti.
1. Terapi secara empiris:
Pada banyak keadaan infeksi, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui atau dipastikan
pada saat terapi antibiotika dimulai. Dalam hal ini pemilihan jenis antibiotika diberikan
berdasarkan perkiraan kemungkinan kuman penyebabnya. Ini dapat didasarkan pada pengalaman
yang layak (pengalaman klinis) atau berdasarkan pada pola epidemiologi kuman setempat.
Pertimbangan utama dari terapi empiris ini adalah pengobatan infeksi sedini mungkin akan
memperkecil resiko komplikasi atau perkembangan lebih lanjut dari infeksinya, misalnya dalam
menghadapi kasus-kasus infeksi berat, infeksi pada pasien dengan kondisi depresi imunologik.
Keberatan dari terapi empirik ini meliputi, kalau pasien sebenarnya tidak menderita infeksi atau
kalau kepastian kuman penyebab tidak dapat diperoleh kemudian karena sebab-sebab tertentu
(misalnya tidak diperoleh spesimen), maka terapi antibiotika seolah-olah dilakukan secara buta.
2. Terapi pasti (definitif):
Terapi ini dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis yang sudah pasti, jenis kuman
maupun spektrum kepekaannya terhadap antibiotika.
Dalam praktek sehari-hari, mulainya terapi antibiotika umumnya dilakukan secara empiris. Baru
kalau hasil pemeriksaan mikrobiologis menunjukkan ketidakcocokan dalam pemilihan
antibiotika, maka antibiotika dapat diganti kemudian dengan jenis yang sesuai.
Prinsip-prinsip proses keputusan pemilihan dan pemakaian antibiotika secara ringkas mencakup
langkah-langkah berikut :
1) Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis ataupun pemeriksaanpemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Apakah jenis infeksinya berdasarkan organ yang
terkena? Gejala panas sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis adanya infeksi.

2) Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan ilmiah berdasarkan


pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau dari informasiinformasi ilmiah lain.
3) Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan
terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena
kontaminasi kuman-kuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang dapat
diberikan?
4) Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan : spektrum
antikuman, pola sensitifitas, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi pada pasien, ada
tidaknya interaksi yang merugikan, dan bukti akan adanya manfaat klinik dari masing-masing
antibiotika untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya.
5) Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat kinetika masingmasing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan
lain-lain).
6) Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau
dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi?
Urutan proses-proses ini merupakan pedoman umum mengenai hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam memilih dan memakai antibiotika dalam klinik. Secara rinci prosesproses ini dapat berkembang lebih jauh berdasarkan kasus infeksi yang dihadapi.
KOMBINASI ANTIBIOTIK
Secara klasik selalu dianjurkan bahwa kombinasi antibiotik bakterisid dan bakteriostatik akan
merugikan oleh karena antibiotik bakterisid bekerja pada kuman yang sedang tumbuh, sehingga
kombinasi dengan jenis bakteriostatik akan memperlemah efek bakterisidnya. Tetapi konsep ini
mungkin tidak bisa begitu saja diterapkan secara luas dalam klinik, oleh karena beberapa
kombinasi yang dianjurkan dalam klinik misalnya penisilin (bakterisid) dan kloramfenikol
(bakteriostatik) justru merupakan alternatif pengobatan pilihan untuk meningitis bakterial yang
umumnya disebabkan oleh kuman Neisseria meningitides.
Dalam klinik banyak dijumpai pemakaian kombinasi antibiotika, yang sayangnya tidak
semuanya dapat diterima secara ilmiah begitu saja. Tujuan pemakaian kombinasi antibiotika
mencakup hal-hal sebagai berikut
Memperluas spektrum anti kuman pada pasien dengan kondisi kritis atau infeksi berat, tetapi
jenis infeksinya belum dapat dipastikan. Misalnya pada septikemia sering diberikan kombinasi
antibiotika antistafilokokus (misalnya nafsilin) dan antibiotika terhadap basil Gram negatif aerob
(misalnya gentamisin).
Untuk mengatasi adanya kuman yang resisten. Misalnya kombinasi amoksisilin dengan asam
klavulanat atau sulbaktam untuk mengatasi resistensi karena produksi enzim penisilinase.
Pemakaian kombinasi antibiotika juga mengandung risiko misalnya adanya akumulasi toksisitas
yang serupa, misalnya nefrotoksisitas aminoglikosida dan nefrotoksisitas dari beberapa jenis
sefalosporin. Kemungkinan juga dapat terjadi antagonisme, kalau prinsip-prinsip kombinasi di
atas tidak ditaati, misalnya kombinasi penisilin dan tetrasiklin. Walaupun pemakaian beberapa
kombinasi dapat diterima secara ilmiah, tetap diragukan perlunya kombinasi tetap oleh karena
kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Sebagai contoh kombinasi tetap penisilin dan

streptomisin justru akan meyebabkan inaktivasi dari masing-masing antibiotika oleh karena
terjadinya kerusakan secara kimiawi.
Tetapi terdapat kombinasi antibiotik yang sudah tetap yang secara klinis memberikan efek lebih
baik. Contoh kombinasi tetap:
Bagaimana dengan pemakaian kombinasi antibiotika? Dalam klinik banyak dijumpai pemakaian
kombinasi antibiotika, yang sayangnya tidak semuanya dapat diterima secara ilmiah begitu saja.
Tujuan pemakaian kombinasi antibiotika mencakup hal-hal sebagai berikut :

Memperluas spektrum anti kuman pada pasien dengan kondisi kritis atau infeksi berat,
tetapi jenis infeksinya belum dapat dipastikan. Misalnya pada septikemia sering diberikan
kombinasi antibiotika antistafilokokus (misalnya nafsilin) dan antibiotika terhadap basil
Gram negatif aerob (misalnya gentamisin).
Untuk mengatasi adanya kuman yang resisten. Misalnya kombinasi amoksisilin dengan
asam klavulanat atau sulbaktam untuk mengatasi resistensi karena produksi enzim
penisilinase.

Pemakaian kombinasi antibiotika juga mengandung risiko misalnya adanya akumulasi toksisitas
yang serupa, misalnya nefrotoksisitas aminoglikosida dan nefrotoksisitas dari beberapa jenis
sefalosporin. Kemungkinan juga dapat terjadi antagonisme, kalau prinsip-prinsip kombinasi di
atas tidak ditaati, misalnya kombinasi penisilin dan tetrasiklin. Walaupun pemakaian beberapa
kombinasi dapat diterima secara ilmiah, tetap diragukan perlunya kombinasi tetap oleh karena
kemungkinan negatif yang dapat terjadi. Sebagai contoh kombinasi tetap penisilin
dan streptomisin justru akan meyebabkan inaktivasi dari masing-masing antibiotika oleh karena
terjadinya kerusakan secara kimiawi.
Pada penyakit
Kombinasi Antimikroba/Antibiotik
Antimikroba adalah substansi kimia yang dihasilkan oleh bermacam-macam spesies dari mikroorganisme
(bakteri, jamur, aktinomisetes) yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain. Sampai saat ini sudah lebih sereatus macam antimikroba yang ditemukan
terutama setelah para ahli menemukan cara pembuatan antimikroba sintetis.
Oleh Weinstein, berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi menjadi :

1.

Obat yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Seperti : penisilin, sefalosporin,
siklosporin, sikloserin, vankomisin, ristosetin dan basitrasin.
2. Obat yang mempengaruhi permeabilitas membran sel bakteri. Seperti : polimiksin,
kolistin dan obat-obat anti jamur misalnya nstatin dan amfoterisin.
3. Obat yang terutama menghambat sintesis protein bakteri dengan efeknya pada ribosom.
Seperti : tetrasiklin, streptomisin, eritrommisin, linkomisin, dan klindamisin.
4. Obat yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat. Seperti : rifampisin, dan asam
nalidiksat.

5.

Obat anti metabolit. Seperti : sulfonamid, trimetropin, asam aminosalisilat dan senyawa
sulfon.

Beberapa kombinasi ternyata bermanfaat untuk indikasi klinik tertentu, tetapi banyak pula yang
akhirnya hanya menimbulkan missues klinik serta kerugian yang dapat timbul akibat penggunaan
kombinasi antimikroba yang tidak terarah.
Kombinasi Antimikroba Yang Rasional
Penggunaan antimikroba yang bersamaan masih merupakan hal yang rasional dan dianjurkan pada
keadaan tertentu. Permasalahannya adalah memilih kombinasi dan indikasi yang tepat. Untuk itu
diperlukan pengetahuan mengenai adanya interaksi obat-obat tersebut.
Dua acam antimikroba yang dikombinasikan pemakaiannya terhadap mikroorganisme dapat
menimbulkan efek :

Sinergistik, apabila kombinasi antimikroba menghasilkan efek antibakteri yang lebih


besar, dibandingkan jumlah efek masing-masing antimikroba.
Antagonistik, apabila kombinasi antimikroba menimbulkan efek antibakteri yang
kurang, dibandingkan dengan jumlah efek masing-masing antimikroba.
Indiferen, ababila kombinasi antimikroba tersebut menunjukkan efek antibakteri yang
kurang lebih sama dengan jumlah efek masing-masing antimikroba.

Untuk menduga efek yang mungkin terjadi dari kombinasi obat-oabt tersebut dari Jawetz dan Gunnison.
Mereka menyatakan bahwa jenis antimikroba bakteriostatik, seringkali bersifat antagonistik dengan
antibakteri bakterisid, dan bahwa dua obat bakterisid sering menunjukkan sifat sinergik bila
dikombinasikan.
Oleh Rahal, antimikroba dibagi menjadi dua golongan :

Golongan I : yang terutama bersifat bakterisid, termasuk penisilin, sefalosporin,


amminoglikosida, polimiksin, basitrasin, dan kombinasi trimetropin dan sufametoxazol.
Yang terakhir bahkan dalam kombinasi yang tetap.
Goongan dua : yang terutama bersifat bakteriostatik termasuk tetrasiklin, kloramfenikol,
eritromisin, dan linkomisin

Harus juga dipikirkan bahwa kombinasi antimikroba yang mungkin rasional untuk mengatasi infeksi,
di lain pihak toksisitasnya dapat bersifat afditif dan supra aditif. Misalnya vankomisin, bila dipakai
sendiri mempunyai nefrotoksisitas yang minimal. Demikian halnya juga dengan tobramisin; tetapi
apabila obat ini gunakan secara bersamaan dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang lebih
berat.
Moto pengobatan secara rasional, efektif dan aman sesungguhnya harus berlaku untuk semua
tindakan pengobatan oleh profesi kedokteran dan hendaknya tidak hanya terbatas pada
penggunaan antibiotika saja. Pengertian rasional adalah diagnosis penyakti harus ditegakkan dengan
tepat, sehingga pemilihan obat dapat delakukkan dengan tepat dan akan kena pada sasarannya
dneganmenimbulkan efek samping yang seminimal mungkin. Untuk dapat melaksanakan hal
tersebut, dierlukan :

1.

Diagnosis dan sebab penyakit secara tepat

2.
3.
4.
5.

Pilihan antibiotika yang pelin tepat


Dosis dasn cara pemberian yang tepat
Jangka waktu terapi yang tepat
Penyesuaian dengan keadaan patofisiologi pasien secara keseluruhan dengan tepat

Penggunaan antimikroba dirumah sakit dinilai tidak rasional, misalnya dalam keadaan-keadaan
sebagai berikut :

Ada kontra indikasi terhadap penggunaan antimikroba


Indikasi pengobatan yang tepat
Dosis yang tidak benar
Cara pemberian dan waktu pemberian yang tidak tepat
Jangka waktu pemberian yang tidsak adekuat
Telah dibuat diagnosis laboratorium mengenai kuman patogen, tetapi tidak
dilanjutkan dengan pembuatan antibiogram (kultur dan uji sensitivitas)
Antibiogram dibuat tetapi tidak diperhatikan adanya resistensi selang, waktu
mengganti dengan memberikan animikroba yang lain.
Lain-lain hal :
Penyakit atau keadaan yang self limiting
Hasil kultur menunjukkan bahwa sama sekali tidak diperlukan pemngobatan
antimikroba
Tidak ada tanda-tanda infeksi yang jelas secara klinis

Obat Kombinasi Antimikroba Dosis Tetap Yang Rasional


Beberapa penulis berpendapat bahwa kombinasi dosis tetap yang rasional pada saat ini hanya
kombinasi trimetropin-sulfametoxazole. Kombinasi ini bersifat sinergistik karena mekanisme
kerjanya saling menunjang.
Obat kombinasi tetap yang tidak rasional
Contoh kombinasi obat tetap yang tidak raional adalah kombinasi penisillin G-Stretomisin yang
terdapat dalam 1 vial. Kombinasi kedua obat ini sebenarnya hanya bersifat sinergistik pada
enerokokus (streptosossus facialis) yang sering menyebabkan endokarditis bakterialis dan kadang
juga bersifat sinergistik pada infeksi E. Coli, S. Aureus, Str. Viridans, tetapi kenyataannya kombinasi
ini sudah tersebar luas dan dipergunakan untuk segala macam infeksi padahal sebenarnya dengan
obat tunggal saja sudah cukup efektif.
Kombinasi Antimikroba Dosis Tetap
Setiawan menjelaskan syarat-syarat untuk obat kombinasi dosis tetap seperti yang ditetapkan
dalam The Second Symposium On The Klinical Pharmacological Evaluation In Drug Control WHO,
Copenhagen 1974 :

1.

Setiap obat tunggal yang dikombinasikan, harus telah terbukti keamanannya dan
efektifitasnya
2. Setiap obat tunggal tesebut harus sifat-sifat kimia fisik dan farmakokinetika nya.
Stabilitas masing-masing obat tersendiri dalam bentuk campurannya harus diketahui

3.

Interaksi masing-masing komponen obat satu terhadap yang lain dalam bidang
farmakokinetika dan farmakodinamika harus diketahui
4. Bilamana masing-masing obat harus menunjukkan efek sinergistik atau aditif, maka
waktu paruh (half time) dan lamanya bekerja obat-obat tesebut harus hampir sama
besarnya
5. Kombinasi obat harus jelas menunjukkan lebuh banyak keuntungan dari pada
kerugian. Efektivitasnya bertambah, efek toksik berkurang atau spektrum aktivitas
yang meluas.
6. Masing-masing komponen obat tidak boleh menunjukkan variasi dosis yang besar
untuk menimbulkan efek terapeutiknya.
Tujuan untuk mengkombinasikan obat dalam dosis tetap ialah :

1.
2.
3.
4.
5.

Meningkattkan efektifitasnya oleh karena adanya efek sinergistik adau aditif


Memperluas spektrum aktivitas obat
Mencegah terjadinya resistensi
Mempermudah cara pemberian obat pada pasien
Meringankan biaya

Kombinasi Antimikroba Dosis Tidak Tetap


Indikasi tujuan penggunaan kombinasi antimikroba yang tepat adalah sebagai berikut :

1.
2.
3.

Mendapatkan efek sinergistik pada pengobatan infeksi tertentu


Pengobatan pada infeksi campuran oleh dua atau lebih jenis bakteri
Mencegah atau menghambat timbulnya resistensi

Pengobatan pendahuluan pada infeksi berat yang letal, dimana identifikasi kuman penyebab belum
dapat segera didapatkan, dan dimaksudkan untuk mendapatkan broad spectrum coverage
Tabel penggunaan kombinasi antimikroba
NO
1.

Dasar penggunaan
indikasi
Sinergistik

Penyakit/mikroorganisme

Endokarditis oleh
enterokokus
Pseudomonas
Kleibsela
Berbagai
mikroorganisme.

Obat kombinasi
Penisilin+streptomisin/Gentamisin

Karbenisilin+Gentamisin
Sefalotin+gentamisin
Trimetoprim+Sulfametoxazol

2.

Infeksi campuran

Infeksi intra abdominal

Penisilin/Klindamisin+Gentamisin
Ampisilin+klorampheniko

Karbenisilin+Gentamisin
3.

Mencegah resistensi

Tuberkulosis

INH+Etambutol

4.

Pengobatan
pendahuluan pada
infeksi berat, dimana
kuman penyebab
belum diketahui

Renjatan septik septikemia

Gentamisin/Tobramisin+sefalosporin, atau
Penisilin yang resisten terhadap penisillinase
segeera diganti denganobat spesifik, bila
identifikasi kuman sudah ada.

Anda mungkin juga menyukai