Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Irigasi
Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang
pertanian, yang jenisnya meliputi irigasi air permukaan, irigasi bawah tanah,
irigasi pompa, dan irigasi tambak. Daerah Irigasi adalah kesatuan wilayah yang
mendapat air dari satu jaringan irigasi. Jaringan irigasi adalah saluran,
bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan dan
diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan,
pembagian, pemberian, pembinaan, dan pembuangannya. (PP No. 20/2006
tentang Irigasi).
Jaringan utama adalah jaringan irigasi yang berada dalam satu sistem
irigasi, mulai dari bangunan utama, saluran induk/primer, saluran sekunder, dan
bangunan sadap serta pelengkapnya. Jaringan tersier adalah jaringan irigasi
yang berfungsi sebagai prasarana pelayanan air di dalam petak tersier yang
terdiri dari saluran pembawa yang disebut saluran tersier, saluran pembagi yang
disebut kuarter dan saluran pembuang berikut saluran bangunan turutan serta
pelengkapnya termasuk jaringan irigasi pompa yang luas areal pelayanannya
disamakan dengan areal tersier (PP No. 20/2006 tentang Irigasi).
Menurut (Nurrochmad, 2007) prasarana jaringan (bangunan sadap /
bagi / pemberi, saluran, bangunan pengatur dan pengukur air irigasi) harus siap
dioperasikan sesuai dengan standar operasi berdasarkan pola dan tata tanam.
Prasarana jaringan irigasi yang ada di Indonesia setelah mengalami rahabilitasi
tahun tujuh puluhan rancang bangun ditentukan oleh kebutuhan pasar (rice
based system). Pengelolaan yang baik telah mengakibatkan keberadaan
prasarana tersebut masih dapat berfungsi sampai dengan saat ini. Sistem
jaringan irigasi dibangun untuk memenuhi kebutuhan air irigasi dan merubah
sawah tadah hujan menjadi
sawah beririgasi teknis. Pada era otonomi dan sesuai dengan Undang-undang
No. 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, pengelolaan jaringan irigasi dengan
luas layanan kurang dari 1000 ha ditangani oleh pemerintah kabupaten/kota.

2.2 Keandalan Prasarana Jaringan Irigasi


Prasarana jaringan merupakan inti dari kegiatan irigasi. Keandalan
prasarana jaringan irigasi dicirikan dengan proses penyadapan, pengaliran,
pembagian dan pemberian ke daerah layanan dapat efektif dan efisien tanpa
mengenal cara dan waktu. Cara dan waktu pemberian air tergantung kepada
pengelola jaringan berdasar pola dan tata tanam. Kerusakan jaringan irigasi akan
mengakibatkan gangguan terhadap fungsi pelayanan sehingga air irigasi tidak
sepenuhnya dapat diberikan ke daerah layanan. Kerusakan ringan didefinisikan
sebagai gangguan fisik bangunan tetapi tidak mengganggu proses penyadapan,
pengaliran, pembagian dan pemberian air irigasi ke daerah layanan. Kerusakan
sedang dapat menggangu proses pemberian yang tidak sesuai dengan
permintaan dan kerusakan berat dicirikan dengan air irigasi tidak dapat diterima
daerah layanan sama sekali. Hirarki pemberian air irigasi ke daerah layanan
dimulai

dari

bangunan

sadap

utama

(bendung),

saluran,

bangunan

bagi/sadap/beri dan bangunan pengatur dan pengukur debit. Nilai total


kerusakan jaringan irigasi (100%) merupakan penjumlahan kerusakan masingmasing bangunan dengan prosentase didasarkan pada hirarki pelayanan
(Nurrochmad, 2007).
2.2 Kondisi Jaringan Irigasi
Puslitbang Sumber Daya Air (2003) meyatakan bahwa kriteria kondisi fisik
jaringan irigasi dibedakan menjadi 3 (tiga) klasifikasi berikut :
1. Klasifikasi baik (mantap) dengan indikator tingkat fungsi pelayanan saluran
irigasi > 70%.
2. Klasifikasi cukup (kurang mantap) dengan indikator tingkat fungsi pelayanan
saluran irigasi 50% - 69%.
3. Klasifikasi rusak (kritis) dengan indikator tingkat fungsi pelayanan saluran
irigasi < 49%.
2.3.

Klasifikasi Jaringan Irigasi


Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran aliran air dan lengkapnya

fasilitas, jaringan irigasi dapat dibedakan dalam tiga tingkatan yaitu : sederhana,
semiteknis, dan teknis. Ketiga tingkatan tersebut diperlihatkan pada tabel dan
gambar berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi Jaringan Irigasi


Klasifikasi jaringan irigasi
Teknis
Semiteknis
Sederhana
Bangunan
Bangunan
Bangunan
permanen atau
permanen
sementara
semi permanen

Bangunan
Utama

Kemampuan
bangunan
dalam
mengukur
dan mengatur
debit

Baik

Jaringan
saluran

Saluran irigasi
dan pembuang
terpisah

Petak tersier

Efisiensi
secara
keseluruhan

Ukuran

Jalan Usaha
Tani

Kondisi O & P

Sedang

Jelek

Saluran irigasi
dan pembuang
tidak
sepenuhnya
terpisah
Belum
dikembangkan
atau densitas
bangunan
tersier jarang
Sedang
40 50%
(Ancar-ancar)
Sampai 2.000
ha
Hanya sebagian
areal

Dikembangkan
sepenuhnya
Tinggi
50 60 %
(Ancar-ancar)
Tak ada
batasan
Ada ke seluruh
areal
- Ada instansi
yang
menangani
- Dilaksanakan
teratur

Belum teratur

Saluran irigasi
dan pembuang
jadi satu
Belum ada
jaringan
terpisah yang
dikembangkan
Kurang
< 40%
(Ancar-ancar
Tak lebih dari
500 ha
Cenderung
tidak ada
Tidak ada
O&P

(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP 01)

Terdapat empat unsur fungsional pokok pada suatu jaringan irigasi,


yaitu (Pradana, 2008) :
1. Bangunan-bangunan utama

(headworks) di

mana

air

diambil

dari

sumbernya, umumnya sungai atau waduk,


2. jaringan pembawa berupa saluran yang mengalirkan air irigasi ke

petak-

petak tersier,
3. petak-petak

tersier

dengan

sistem

pembagian

air

dan

sistem

pembuangan kolektif, air irigasi dibagi-bagi dan dialirkan ke sawah sawah,


dan kelebihan air ditampung di dalam suatu sistem pembuangan di
dalam petak tersier,

4.

sistem

pembuang

berupa

saluran

dan

bangunan

bertujuan

untuk

membuang kelebihan air dari sawah ke sungai atau saluran-saluran alamiah.


2.3.1 Jaringan Irigasi Sederhana
Di dalam irigasi sederhana, pembagian air tidak diukur atau diatur, air
lebih akan mengalir ke saluran pembuang. Para petani pemakai air itu tergabung
dalam satu kelompok jaringan irigasi yang sama, sehingga tidak memerlukan
keterlibatan pemerintah di dalam organisasi jaringan irigasi semacam ini.
Persediaan air biasanya berlimpah dengan kemiringan berkisar antara sedang
sampai curam. Oleh karena itu hampir-hampir tidak diperlukan teknik yang sulit
untuk sistem pembagian airnya.
Jaringan irigasi yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi
memiliki kelemahan - kelemahan

yang

serius.

Pertama - tama,

ada

pemborosan air dan, karena pada umumnya jaringan ini terletak di daerah yang
tinggi, air yang terbuang itu tidak selalu dapat mencapai daerah rendah yang
lebih subur. Kedua, terdapat banyak penyadapan yang memerlukan lebih banyak
biaya lagi dari penduduk karena setiap desa membuat

jaringan

dan

pengambilan sendiri-sendiri. Karena bangunan pengelaknya bukan bangunan


tetap atau permanen, maka umurnya mungkin pendek. Contoh gambar jaringan
irigasi sederhana dituangkan pada Gambar 2.1 berikut ini.

(Sumber : Standarr Perencanaan Irigasi KP 01)

Gambar 2.1 Jaringan Irigasi Sederhana


2.3.2 Jaringan Irigasi Semi Teknis
Perbedaan satu-satunya antara jaringan irigasi sederhana dan jaringan
semiteknis adalah bahwa jaringan semiteknis ini bendungnya terletak di
sungai lengkap dengan bangunan pengambilan dan bangunan pengukur di
bagian hilirnya. Memungkinkan juga dibangun beberapa bangunan permanen di
jaringan saluran. Sistem pembagian air biasanya serupa dengan jaringan
sederhana. mungkin bahwa pengambilan dipakai untuk melayani/mengairi
daerah yang lebih luas dari daerah layanan pada jaringan sederhana. Oleh
karena

itu

biayanya

ditanggung

oleh

lebih

banyak

daerah

layanan.

Organisasinya akan lebih rumit jika bangunan tetapnya berupa bangunan


pengambilan dari sungai, karena diperlukan lebih banyak keterlibatan dari
pemerintah, dalam hal ini Departemen Pekerjaan Umum. Sebagai contoh
jaringan irigasi setengah teknis ditunjukkan pada Gambar 2.2 di bawah ini.
8

(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP 01)

Gambar 2.2 Jaringan Irigasi Semi Teknis


2.3.3 Jaringan Irigasi Teknis
Salah satu prinsip dalam perencanaan jaringan teknis adalah pemisahan
antara jaringan irigasi dan jaringan pembuang/pematus. Hal ini berarti bahwa
baik

saluran

fungsinya

irigasi

maupun

masing-masing, dari

pembuang
pangkal

tetap
hingga

bekerja

sesuai dengan

ujung.

Saluran irigasi

mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan saluran pembuang mengalirkan air


lebih dari sawah-sawah ke saluran pembuang alamiah yang kemudian akan
diteruskan ke laut. Petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan irigasi
teknis. Sebuah petak tersier terdiri dari sejumlah sawah dengan luas
keseluruhan yang idealnya maksimum 50 ha, tetapi dalam keadaan tertentu
masih bisa ditolerir sampai seluas 75 ha. Perlunya batasan luas petak tersier
yang ideal hingga maksimum adalah agar pembagian air di saluran tersier lebih
efektif dan efisien hingga mencapai lokasi sawah terjauh.

Permasalahan yang banyak dijumpai di lapangan untuk petak tersier


dengan luasan lebih dari 75 ha antara lain.
1. Proses pemberian air irigasi untuk petak sawah terjauh sering tidak
terpenuhi,
2. kesulitan dalam mengendalikan proses pembagian air sehingga sering
terjadi pencurian air,
3. banyak petak tersier yang rusak akibat organisasi petani setempat yang
tidak terkelola dengan baik.
Semakin kecil luas petak dan luas kepemilikan maka semakin mudah
organisasi

setingkat

P3A/GP3A

untuk

melaksanakan

tugasnya

dalam

melaksanakan operasi dan pemeliharaan. Petak tersier menerima air di suatu


tempat dalam jumlah yang sudah diukur dari suatu jaringan pembawa yang
diatur oleh Institusi Pengelola Irigasi. Pembagian air di dalam petak tersier
diserahkan kepada

para

petani.

Jaringan

saluran

tersier

dan

kuarter

mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung di dalam suatu jaringan


saluran pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya dialirkan ke jaringan
pembuang primer.
Jaringan irigasi teknis yang didasarkan pada prinsip-prinsip di atas
adalah cara pembagian air yang paling efisien dengan mempertimbangkan
waktu merosotnya
Jaringan

irigasi

persediaan
teknis

air

serta

memungkinkan

kebutuhan-kebutuhan
dilakukannya

pertanian.

pengukuran

aliran,

pembagian air irigasi dan pembuangan air lebih secara efisien. Jika petak
tersier

hanya

memperoleh

air

pada

satu

tempat

saja

dari jaringan

(pembawa) utama, hal ini akan memerlukan jumlah bangunan yang

lebih

sedikit di saluran primer, eksploitasi yang lebih baik dan pemeliharaan


yang

lebih

murah

dibandingkan

dengan

apabila

setiap petani diizinkan

untuk mengambil sendiri air dari jaringan pembawa. Kesalahan


pengelolaan air

di

petak-petak tersier juga

tidak

dalam

akan mempengaruhi

pembagian air di jaringan utama.


Sistem gabungan (fungsi saluran irigasi dan pembuang digabung) dibuat
saat terjadi kondisi-kondisi tertentu. Walaupun jaringan ini memiliki keuntungan
tersendiri, dan kelemahan-kelemahannya juga amat serius sehingga sistem
ini pada umumnya tidak akan diterapkan. Keuntungan yang dapat diperoleh dari
jaringan gabungan semacam ini adalah
ekonomis

dan

biaya

pemanfaatan

air

yang

lebih

pembuatan saluran lebih rendah, karena saluran

10

pembawa dapat dibuat lebih pendek dengan kapasitas yang lebih kecil.
Kelemahan-kelemahannya antara lain adalah bahwa jaringan semacam ini lebih
sulit diatur dan dioperasikan sering banjir, lebih cepat rusak dan menampakkan
pembagian air

yang tidak merata. Bangunan-bangunan tertentu di dalam

jaringan tersebut akan memiliki sifat-sifat seperti bendung dan relatif mahal.
Sebagai contoh jaringan irigasi teknik seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3
sebagi berikut.

(Sumber : Standar Perencanaan Irigasi KP 01)

Gambar 2.3 Jaringan Irigasi Teknis

11

2.4 Pengelolaan Irigasi


Pengelolaan irigasi sebagai usaha pendayagunaan air irigasi yang
meliputi operasi dan pemeliharaan, pengamanan, rehabilitasi, dan peningkatan
irigasi. Pengelolaan irigasi diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat khususnya petani dan melalui cara menempatkan perkumpulan
petani pemakai air sebagai pengambil keputusan dan pelaku utama dan
pengelolaan yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mencapai hal terseut perlu
dilakukan

pemberdayaan

perkumpulan

petani

pemakai

air

secara

berkesinambungan dan berkelanjutan. Usaha untuk menjamin terselenggaranya


pengelolaan irigasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan manfaat
yang

sebesar-besarnya

kepada

masyarakat

petani,

pengelolaan

irigasi

dilaksanakan dengan mengoptimalkan pemanfaatan air permukaan dan air


bawah tanah secara terpadu (PP No. 20/2006 Tentang Irigasi).
2.5 Penilaian Kinerja Kondisi Fisik pada Daerah Irigasi
Penilaian kondisi dan fungsi jaringan irigasi dilakukan terhadap beberapa
komponen utama jaringan irigasi yang meliputi bangunan utama, saluran
pembawa, bangunan bagi, bangunan bagi sadap, saluran pembuang, dan
bangunan sepanjang saluran pembuang. Menurut (Sumaryanto,. dkk, 2003)
pada dasarnya kinerja jaringan irigasi merupakan resultan dari kinerja
manajemen operasi dan pemeliharaan irigasi dan kondisi fisik jaringan irigasi
secara simultan. Antar keduanya terdapat hubungan timbal balik: kondisi fisik
jaringan irigasi yang rusak mengakibatkan pengoperasiannya tidak optimal, di
sisi lain jika operasi dan pemeliharaannya tidak memenuhi ketentuan teknis yang
dipersyaratkan maka kondisi fisik jaringan irigasi juga tidak akan berfungsi
optimal.
2.5.1 Penetapan Bobot Kondisi Tiap Komponen
Kontribusi nilai setiap komponen terhadap keseluruhan jaringan irigasi
memliki bobot yang tidak sama, bobot tiap komponen disusun berdasarkan
besarnya pengaruh komponen tersebut terhadap pelayanan air irigasi. Bobot tiap
komponen utama telah dirumuskan pada Tabel 2.2 sebagai berikut.

12

Tabel 2.2. Bobot Tiap Komponen Jaringan Irigasi

No.
Komponen
1 Bangunan utama

Bobot (%)
35

Saluran pembawa

25

Bangunan bagi, bagi/sadap, sadap

25

Saluran pembuang

10

Bangunan sepanjang saluran pembuang

Jumlah

100

Sumber : (Departemen Pekerjaan Umum, 1991)

Bobot untuk setiap komponen utama tersebut merupakan gabungan dari


masing - masing komponen penyusunnya, dan distribusi bobot baik untuk
komponen utama maupun komponen penyusunnya (komponen yang lebih kecil)
ditampilkan pada Gambar 2.4 khusus untuk bendung tetap dan bendUng gerak,
serta Gambar 2.5 khusus untuk bangunan lainnya. Apabila pada suatu jaringan
irigasi tidak terdapat komponen saluran pembuang atau komponen bangunan
pada saluran pembuang, atau kedua-duanya, maka penilaian untuk komponen
tersebut diambil maksimum.
2.5.2 Penilaian Kondisi Tiap Komponen
Kriteria penilaian tiap komponen jaringan di lapangan, dinilai secara
visual berdasarkan tiga skala penilaian, yaitu : Baik (B), Cukup (C), dan Rusak
(R). Sebagai pedoman dalam penilaian secara visual digunakan ketentuan
penilaian. Dari hasil penilaian secara visual yaitu dengan kriteria B/C/R,
kemudian untuk evaluasi dengan computer kriteria B/C/R diidentifikasikan
sebagai berikut.
B = Baik (80% - 100%),
C = Cukup / Rusak Ringan (50% - 79%),
R = Rusak / Rusak Berat (0% - 49%).

13

Gambar 2.3 Distribusi Komponen dan Bobot pada Jaringan Irigasi


( Bendung Tetap atau Bendung Gerak )

14

15

Free Intake

Bendungan

Pompa

Pintu Intake

25%

Regime Sungai
Bocoran

10%

Pintu Intake

9%

Pintu Penguras

2%

Pelimpah/
Spilway

8%

Endapan

3%

Tanggul
Banjir

5%

Bangunan
pelengkap

3%

35%

30%

Mekanis

25%

Bangunan
Sipil

10%

35%

Gambar 2.4 Distribusi Komponen dan Bobot pada Bangunan


Utama

16

2.5.3 Metode Perhitungan Kondisi Jaringan


Penilaian

kondisi

jaringan

irigasi

keseluruhan

dilakukan

dengan

menghitung kondisi bangunan utama, saluran pembawa, bangunan bagi,


bangunan bagi-sadap, saluran pembuang, dan bangunan sepanjang saluran
pembuang,

dengan

metode

sebagai

berikut

(Departemen

Pekerjaan

Umum,1991)
a). Perhitungan kondisi jaringan secara keseluruhan :
K = Kms + Kto + Kcc + Kdc + Ksd ..(2.1)
Dimana :
K

= kondisi Jaringan (%)

Kms

= kondisi bangunan utama (%)

Kto

= kondisi bangunan bagi atau sadap (%)

Kcc

= kondisi saluran pembawa (%)

Kdc

= kondisi saluran pembuang (%)

Ksd

= kondisi bangunan sepanjang saluran pembuang (%)

b). Perhitungan kondisi bangunan utama :


Kms =

..(2.2)

Dimana :
Kms

= kondisi bangunan utama (%)

N1

= jumlah bangunan utama yang berkondisi baik

Kms1 = kondisi rata-rata bangunan utama yang baik (%)


N2

= jumlah bangunan utama yang berkondisi cukup

Kms2

= kondisi rata-rata bangunan utama yang berkondisi cukup (%)

N3

= jumlah rata-rata bangunan utama yang berkondisi buruk (%)

Kms3 = kondisi rata-rata bangunan utama yang berkondisi buruk (%)


c). Perhitungan Kondisi Bangunan Bagi/Sadap :
Kto =

.(2.3)

Dimana :
Kto

= kondisi bangunan bagi/sadap (%)

N1

= jumlah bangunan bagi/sadap yang berkondisi baik

Kto1 = kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap yang baik (%)

17

N2

= jumlah bangunan bagi/sadap yang berkondisi cukup

Kto2 = kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap yang berkondisi cukup (%)


N3

= jumlah rata-rata bangunan bagi/sadap yang berkondisi buruk (%)

Kto3 = kondisi rata-rata bangunan bagi/sadap yang berkondisi buruk (%)


d). Perhitungan Kondisi Saluran Pembawa :
Kcc =

(2.4)

Dimana :
Kcc

= kondisi saluran pembawa (%)

N1

= jumlah saluran pembawa yang berkondisi baik

Kcc1 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang baik (%)


N2

= jumlah saluran pembawa yang berkondisi cukup

Kcc2 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang berkondisi cukup (%)


N3

= jumlah rata-rata saluran pembawa yang berkondisi buruk (%)

Kcc3 = kondisi rata-rata saluran pembawa yang berkondisi buruk (%)


e). Perhitungan Kondisi Saluran Pembuang :
Kdc =

(2.5)

Dimana :
Kdc

= kondisi saluran pembuang (%)

N1

= jumlah saluran pembuang yang berkondisi baik

Kdc1 = kondisi rata-rata saluran pembuang yang baik (%)


N2

= jumlah saluran pembuang berkondisi cukup

Kdc2 = kondisi rata-rata saluran pembuang yang berkondisi cukup (%)


N3

= jumlah rata-rata saluran pembuang yang berkondisi buruk (%)

Kdc3 = kondisi rata-rata saluran pembuang berkondisi buruk (%)


f). Perhitungan Kondisi Bangunan Pembuang :
Ksd =

(2.6)

Dimana :
Ksd

= kondisi bangunan pembuang (%)

N1

= jumlah bangunan pembuang yang berkondisi baik

18

Ksd1 = kondisi rata-rata bangunan pembuang yang baik (%)


N2

= jumlah bangunan pembuang berkondisi cukup

Ksd2 = kondisi rata-rata bangunan pembuang yang berkondisi cukup (%)


N3

= jumlah rata-rata bangunan pembuang yang berkondisi buruk (%)

Ksd3 = kondisi rata-rata bangunan pembuang berkondisi buruk (%)

2.6 Analisa Kinerja Teknik Pemberian Air


Menurut (Agisaqma, 2011) Analisis kinerja teknik pemberian air irigasi
meliputi tiga indikator penilaian yaitu analisis keseragaman pemberian air irigasi,
analisis kecukupan pemberian air irigasi, dan analisis efisiensi pemberian air
irigasi.
2.6.1 Analisa keseragaman pemberian air irigasi
Keseragaman

menunjukkan

kemerataan

distribusi

air

di

lahan

(Murtiningrum, 2007). Analisa keseragaman pemberian air irigasi adalah analisa


penilaian tingkat keseragaman dalam pemberian air pada petak-petak tersier
selama satu tahun menggunakan analisa debit yang dibutuhkan tiap petak
tersier. Keseragaman pemberian air dilapangan dapat dihitung dengan
menggunakan pendekatan terhadapa keseragaman Christiansen.

Cu = 1 -

x 100%

Keterangan :
Cu = Keseragaman pemberian air
M = Selisih antara debit yang dibutuhkan per petak tersier dengan debit
keseluruhan dibagi jumlah petak tersier yang ada
= Debit rata-rata keseluruhan petak tersier.
Nilai M dicari menggunakan rumus sebagai berikut.

M=
Keterangan :
= Debit rata-rata keseluruhan petak tersier
Q = Debit yang dibutuhkan per petak tersier salama satu tahun.

19

= Jumlah petak tersier


Debit per petak tersier dicari menggunakan rumus.

x=
Keterangan :
Q = Debit terbesar selama satu tahun ( Hasil perhitungan LPR/FPR pola
tata tanam.
A = Luas baku sawah
2.6.2 Analisa Kecukupan Pemberian Air
Kecukupan adalah banyaknya bagian lahan yang menerima air cukup
untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas produksi tanaman pada tingkatan
menguntungkan. Kecukupan pemberian air dinyatakan dengan rumus
AD =

x 100 %

Keterangan :
AD

= Kecukupan air selama satu tahun.

nQterpenuhi

= Jumlah periode yang debitnya terpenuhi.

= Jumlah periode keseluruhan.

2.6.3 Analisa Efisiensi Pemberian Air


Analisa efisiensi pemberian air adalah analisa tingkat efisiensi pemberian
air selama satu tahun dengan perbandingan antara kelebihan atau kekurangan
debit yang ada pada periode-periode dengan kebutuhan air yang terpenuhi
maupun tidak tterhadap ketersediaan air di bending. Efisiensi pemberian air
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut.

E=

x 100 %

Keterangan :
Qx

= Rerata kelebihan/kekurangan air selama satu tahun.

QKebutuhan = Rerata kebutuhan debit selama satu tahun.


2.6.4 Analisa Kinerja Teknik Pemberian Air

20

Analisa kinerja teknik pemberian air didapatkan melalui penjumlahan nilai


dari ketiga indicator yaitu keseragaman, kecukupan, dan efisiensi pemberian air
kemudian dibagi dengan jumlah indicator. Rumus untuk mencari nilai dari kinerja
teknik pemberian air adalah sebagai berikut.
Kinerja Teknik Pemberian Air =

2.7 Debit Andalan


Menurut (Montarcih, 2009) debit andalan adalah debit yang tersedia
sepanjang

tahun

dengan

besarnya

resiko

kegagalan

tertentu

Menurut

pengamatan dan pengalaman. Terdapat empat metode untuk analisa debit


andalan antara lain :
1. Metode debit rata-rata minimum, karakteristik Metode Debit Rata-rata
minimum antara lain dalam satu tahun hanya diambil satu data (data debit
rata-rata harian dalam satu tahun), metode ini sesuai untuk daerah aliran
sungai dengan fluktuasi debit maksimum dan debit minimum tidaknterlalu
besar dari tahun ke tahun serta kebutuhan relatif konstan sepanjang tahun.
2. Metode flow characteristic, berhubungan dengan basis tahun normal, tahun
kering dan tahun basah. Dimaksud debit berbasis tahun normal adalah jika
debit rata-rata tahunannya kurang lebih sama dengan debit rata-rata
keseluruhan tahun. Debit berbasis tahun kering adalah jika debit rata-rata
tahunannya lebih kecil dari debit rata-rata keseluruhan tahun, untuk debit
berbasis tahun basah adalah jika debit rata-rata tahunannya lebih kecil dari
debit rata-rata keseluruhan tahun. Metode ini

cocok untuk DAS dengan

fluktuasi debit maksimum dan debit minimum relatif besar dari tahun ke tahun,
kebutuhan relatif tidak konstan sepanjang tahun, dan data yang tersedia
cukup panjang. Keandalan berdasar kondisi debit dibedakan :
a. Debit air musim kering, yaitu debit yang dilampaui debit-debit sebanyak 355
hari dalam 1 tahun, keandalan : 97,3 %
b. Debit air rendah, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 275
hari dalam 1 tahun, keandalan : 75,3 %
c. Debit air normal, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 185
hari dalam 1 tahun, keandalan : 50,7 %
d. Debit air cukup, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak 95

21

hari dalam 1 tahun, keandalan : 26,0 %


3. Metode Tahun Dasar Perencanaan, analisa debit andalan menggunakan
Metode ini biasanya digunakan dalam perencanaan atau pengelolaan irigasi.
Umumnya di bidang irigasi dipakai debit dengan keandalan 80 %, sehingga
rumus untuk menentukan tahun dasar perencanaan adalah sebagai berikut :
R80 = n/5 +1
Keterangan :
n

= kala ulang pengamatan yang diinginkan

R80

= debit yang terjadi < R80 adalah 20%

4. Metode bulan dasar perencanaan, analisa debit andalan menggunkan metode


ini hampir sama dengan Metode Flow Characteristic. Metode ini paling sering
dipakai karena keandalan debit dihitung bulan Januari sampai dengan bulan
Desember, jadi lebih bisa menggambarkan keadaan pada musim kemarau
dan penghujan.
Menurut (Tambun, 2010) debit andalan merupakan debit yang diandalkan
untuk suatu probabilitas tertentu. Probabilitas untuk debit andalan ini berbedabeda. Untuk keperluan irigasi biasa digunakan probabilitas 80%. Untuk keperluan
air minum dan industri tentu saja dituntut probabilitas yang lebih tinggi, yaitu 90%
sampai dengan 95%. Makin besar persentase andalan menunjukkan penting
pemakaiannya dan menunjukkan prioritas yang makin awal yang harus diberi air.
Dengan demikian debit andalan dapat disebut juga sebagai debit minimum pada
tingkat peluang tertentu yang dapat dipakai untuk keperluan penyediaan air. Jadi
perhitungan debit andalan ini diperlukan untuk menghitung debit dari sumber air
yang dapat diandalkan untuk suatu keperluan tertentu.
2.8 Kebutuhan Air Irigasi Metode LPR/FPR
Menurut (Huda., dkk, 2013) metode FPR (Faktor Palawija Relatif) untuk
memudahkan pelaksanaan di lapangan cara perhitungan kebutuhan air tanaman
di Jawa Timur memakai metode Faktor Palawija Relatif (FPR). Metode ini
merupakan pengembangan dari metode-metode yang telah diterapkan di Negara
Belanda yaitu Pasten. Persamaan untuk metode LPR/FPR yaitu.
Q = LPR x FPR
Keterangan:
FPR

= Faktor Palawija Relatif (ltr/det/ha.pol).

= Debit yang mengalir di sungai (ltr/det).

22

LPR

= Luas Palawija Relatif (ha.pol).

Berikut ini adalah nilai FPR berdasarkan kondisi masaing-masing tanah


pada daerah yang diteliti, dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3 Nilai FPR Berdasarkan Jenis Tanah
FPR (lt/dt/ha.pol)
Jenis Tanah
Air Kurang
Air Cukup
Aluvial
0,18
0,18 0,36
Latosol
0,12
0,12 0,23
Grumosol
0,06
0,06 0,12
Giliran
Perlu
Mungkin
Sumber : DPU Dinas Tingkat 1 Jawa Timur, 1997

Air Memadai/lebih
0,36
0,23
0,12
Tidak

Pada dasarnya nilai LPR adalah perbandingan kebutuhan air antara jenis
tanaman satu dengan jenis tanaman lainnya. Tanaman pembanding yang
digunakan adalah palawija yang mempunyai nilai satu. Semua kebutuhan
tanaman yang akan dicari terlebih dahulu dikonversikan dengan kebutuhan air
palawija yang akhirnya didapatkan angka sebagai faktor konversi tanaman.
Berikut ini adalah kriteria LPR tanaman yang dijadikan pedoman untuk
mencari nilai kebutuhan air, dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut ini.
Tabel 2.4 Kriteria LPR Tanaman
Jenis Tanaman
Faktor K
Palawijaya
1
Padi Rendeng
a. Pembibitan, penggarapan lahan dari
tanaman.
20
b. Padi, penggarapan lahannya.
6
c. Untuk padi dan tanamannya
4
Padi Gadu Ijin
Sama dengan Padi Rendeng
Padi Gadu Tak Ijin untuk Taraf apapun
1
Tebu
a. Bibit
1,5
b. Muda
1,5
c. Tua
0
Tembakau dan Rosella
1
Sumber : DPU Dinas Tingkat 1 Jawa Timur, 1977

23

Anda mungkin juga menyukai