Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Menua merupakan suatu proses alami yang dihadapi oleh seluruh manusia
dan tak dapat dihindari. Setiap individu akan mengalami proses menua, ditandai
oleh terjadinya perubahan pada berbagai aspek fisik / fisiologis, psikologis dan
sosial (Miller, 2004). Menurut Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 tahun ke atas. Pertambahan jumlah lansia di Indonesia periode 1990 2025 merupakan pertumbuhan lansia yang tercepat di dunia. Jumlah lansia di
Indonesia pada tahun 2002 sebesar 16 juta jiwa dan pada tahun 2010 mencapai
18 juta jiwa. Dengan demikian, Indonesia berada pada urutan kelima yang
mempunyai jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia. (Statistik Indonesia,
2010).
Menurut Darmojo (2006) pertambahan lansia di Indonesia dipengaruhi oleh
perbaikan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan sosio-ekonomi, yang
pada akhirnya

akan

meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat

dan

memperpanjang usia harapan hidup. Hasil survei united nation development


program (UNDP) dalam rentang tahun 1980 sampai 2008 menunjukkan
peningkatan angka harapan hidup masyarakat Indonesia dari 54,4 tahun sampai
70,4 tahun. Menurut Bappenas (2009) proyeksi angka harapan hidup pada tahun
2025 diperkirakan mencapai 73,7 tahun.
Dalam beberapa kasus keberadaan lanjut usia sering dianggap beban dalam
keluarga sehingga mereka kurang mendapat perhatian bahkan sampai terlantar
(Samsudi, 2012). Hal ini memunculkan kenyataan baru yaitu semakin banyak
jumlah lanjut usia yang tinggal di panti sosial khusus untuk lansia yang biasa
disebut panti werdha. Pelayanan ini dapat diselenggarakan oleh pemerintah

maupun swasta. Pada beberapa tahun terakhir, jumlah lanjut usia penghuni panti
sampai pada batas maksimal, yaitu 100 orang (Meta Amelia, 2012).
Cohen dan Wills mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan
dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Meta Amelia (2012) menunjukkan bahwa
dukungan sosial lansia yang tinggal di panti werdha berada pada kategori rendah.
Menurut penelitian Meta Amelia tersebut, kegiatan-kegiatan rekreatif, kegiatan
agama, dan berbagai macam kegiatan yang telah diberikan oleh pihak panti,
belum cukup memenuhi kebutuhan lanjut usia terhadap dukungan sosial yang
berasal dari keluarganya. Ini membuktikan bahwa dukungan sosial di panti
sangatlah penting.
WHO (1996) mendefinisikan kualitas hidup adalah persepsi individu
terhadap posisinya di dalam kehidupan dalam konteks budaya sebuah sistem
nilai dimana mereka tinggal dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka,
harapan, standar dan kepedulian. Kualitas hidup lansia terus menurun seiring
dengan semakin bertambahnya usia. Karena ketika seseorang sudah mencapai
usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik
maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas-aktivitas
kehidupannya. Perubahan fisik yang cenderung mengalami penurunan tersebut
akan menyebabkan berbagai gangguan secara fisik sehingga mempengaruhi
kesehatan, serta akan berdampak pada kualitas hidup lansia (Darmodjo, 2006).
Kualitas hidup seseorang dapat diukur dengan sebuah instrumen. Menurut
instrumen yang dibuat oleh WHOQOL BREF (1996) tentang kualitas hidup,
terkandung empat domain kualitas hidup yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan
psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan.
Penelitian yang dilakukan Bangun Jayanegara (2007) dan Desy Indra Yani ,
dkk (2010) menyatakan bahwa terdapat perbedaan kualitas hidup lansia yang
tinggal di panti dan di komunitas. Hasil penelitian secara keseluruhan didapatkan
bahwa sebagian besar lansia yang tinggal di panti mempersepsikan kualitas
hidupnya rendah dibandingkan dengan lansia yang tinggal di komunitas.

Pernyataan tesebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan Setyoadi, dkk


(2012) yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kualitas hidup lansia ditinjau
dari hubungan sosial pada wanita lansia di komunitas dan panti. Masing-masing
tempat tinggal memberikan dukungan yang cukup bagi lansia, baik dari
keluarga, pasangan hidup maupun teman sebaya. Lansia yang tinggal di panti
werdha memiliki teman-teman sebaya sebagai pemberi dukungan sosial. Selain
itu, mereka juga mendapat kunjungan dari keluarganya. Sedangkan lansia yang
tinggal di rumah memiliki kedekatan dengan keluarga dimana keluarga
merupakan sumber dukungan emosional.
Dukungan sosial yang berasal dari berbagai pihak seperti contohnya
dukungan yang diberi oleh pihak keluarga akan berpengaruh terhadap kualitas
hidup lansia. Pernyataan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Risdianto (2009) bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan
sosial dengan kualitas hidup lanjut usia di komunitas. Penelitian yang dilakukan
Risdianto tersebut memiliki kesimpulan bahwa semakin besar dukungan sosial
yang diterima oleh lansia, maka semakin tinggi pula kualitas hidup yang dimiliki
oleh lansia tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk
meneliti korelasi antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada lanjut usia yang
tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka disusun perumusan masalah
penelitian sebagai berikut :
Apakah terdapat korelasi antara dukungan sosial dan kualitas hidup
lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4
Margaguna Jakarta Selatan?

I.3. Tujuan Penelitian


I.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui korelasi antara dukungan sosial dan kualitas hidup lansia
yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan.
I.3.2. Tujuan Khusus
1.

Mengetahui korelasi antara dukungan sosial dan kesehatan fisik yang


tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan

2.

Mengetahui korelasi antara dukungan sosial dan kesejahteraan


psikologis yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4
Margaguna Jakarta Selatan

3.

Mengetahui korelasi antara dukungan sosial dan hubungan sosial yang


tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan

4.

Mengetahui korelasi antara dukungan sosial dan hubungan dengan


lingkungan yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4
Margaguna Jakarta Selatan.

I.4. Manfaat Penelitian


I.4.1. Bagi Bidang Layanan Masyarakat
Dapat menambah informasi bagi pemerintah daerah dan Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan mengenai
hubungan dukungan sosial dan kualitas hidup lansia.
I.4.2. Bagi Penulis dalam Bidang Akademik
Menambah wawasan penulis dalam hal pembuatan karya tulis ilmiah
dan sebagai bahan untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih
tinggi lagi.

I.4.3. Bagi Bidang Penelitian


Dapat menjadi sumber referensi dan informasi untuk mengembangkan
dan meneliti masalah yang terkait dengan dukungan sosial dan kualitas
hidup pada lanjut usia.

BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1.

Lansia

II.1.1.1. Pengertian Lansia


Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia (Darmodjo, 2006). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4)
UU No.13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.
Lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami
perubahan biologi dan fisik serta kejiwaan dan sosial. Sedangkan menua
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaiki kerusakan yang diderita (Nugroho, 2008).
Meskipun UU Kesehatan memberi patokan bahwa yang dikatakan
lansia adalah seseorang dengan usia lebih dari 60 tahun. Terdapat
pendapat lain yang mengklasifikasikan lansia menjadi beberapa macam.
II.1.1.2. Klasifikasi Lansia
Dikatakan lansia apabila sudah berumur lebih dari 55 tahun, sesuai
umur pensiun pegawai negeri di Indonesia. Untuk negara-negara yang
sudah maju dengan keadaan ekonomi, keadaan gizi, dan kesehatan yang
telah baik, batas umur 65 tahun baru dikatakan lansia.
Sedangkan menurut Maryam, dkk (2008) lansia dibagi dalam lima
klasifikasi, meliputi :
1.

Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45 - 59 tahun.

2.

Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3.

Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau


lebih

4.

Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan


pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau
jasa.

5.

Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari


nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

II.1.1.3. Karateristik Lansia


Menjadi lansia tidak bisa dihindari karena merupakan tahapan
dalam proses kehidupan manusia. Lansia juga memiliki beberapa sifat
atau karateristik tertentu. Menurut Irwan (2008) lansia memiliki
karateristik antara lain:
1.

Berusia lebih dari 60 tahun.

2.

Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai


sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari
kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.

3.

Lingkungan tempat tinggal bervariasi.

II.1.1.4. Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia


Darmodjo (2006) mengatakan bahwa proses menua adalah suatu
proses menghilangnya secara perlahan lahan kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Nugroho (2008) menambahkan bahwa terdapat banyak perubahan
yang terjadi pada lanjut usia mencakup perubahan-perubahan fisik,
mental, psikososial, dan perkembangan spiritual.

II.1.1.4.1. Perubahan-Perubahan Fisik


a. Sel
Sel menjadi lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukurannya,
berkurangnya jumlah cairan cairan tubuh dan berkurangnya cairan
intraseluler, menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal,
darah, dan hati, jumlah sel otak menurun, terganggunya
mekanisme perbaikan sel, serta otak menjadi atrofi, beratnya
berkurang 5 - 10% (Nugroho, 2008).
b. Sistem Persarafan
Terjadi penurunan berat otak sebesar 10 - 20%, cepatnya menurun
hubungan persarafan, lambat dalam respon dan waktu untuk
bereaksi khususnya stress, mengecilnya saraf panca indra, serta
kurang sensitif terhadap sentuhan. Pada sistem pendengaran
terjadi presbiakusis (gangguan dalam pendengaran) hilangnya
kemampuan pendengaran pada telinga dalam terutama terhadap
bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit mengerti kata-kata, otosklerosis akibat atrofi membran
timpani, dan terjadinya pengumpulan serumen yang dapat
mengeras

karena

meningkatnya

keratin,

serta

pendengaran bertambah menurun pada lanjut

biasanya
usia

yang

mengalami ketegangan jiwa atau stress (Nugroho, 2008).


c. Sistem Penglihatan
Timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar, kornea
lebih berbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa menyebabkan
katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya
gelap, hilangnya daya akomodasi, menurunnya lapangan pandang,
serta menurunnya daya membedakan warna biru atau hijau
(Nugroho, 2008).

d. Sistem Kardiovaskuler
Terjadi penurunan elastisitas aorta, katup jantung menebal dan
menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun,
kurangnya elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas
pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi dari
tidur ke duduk atau dari duduk ke berdiri bisa menyebabkan
tekanan darah menurun, mengakibatkan pusing mendadak, serta
meningginya tekanan darah akibat meningkatnya resistensi
pembuluh darah perifer (Nugroho, 2008).
e. Sistem Pengaturan
Temperatur tubuh terjadi hipotermia secara fisiologis akibat
metabolisme yang menurun, keterbatasan refleks menggigil dan
tidak dapat memproduksi panas akibatnya aktivitas otot menurun
(Nugroho, 2008).
f. Sistem Respirasi
Otot-otot pernapasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,
menurunnya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas,
menarik napas lebih berat, kapasitas pernapasan maksimum
menurun, dan kedalaman bernapas menurun, ukuran alveoli
melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, kemampuan untuk
batuk berkurang, serta kemampuan kekuatan otot pernapasan
menurun (Nugroho, 2008).
g. Sistem Gastrointestinal
Terjadi kehilangan gigi akibat periodontal disease, kesehatan gigi
yang buruk dan gizi yang buruk, indra pengecap menurun,
hilangnya sensitivitas saraf pengecap di lidah terhadap rasa manis,
asin, asam, atau pahit, esofagus melebar, rasa lapar menurun,
asam lambung menurun, peristaltik lemah dan biasanya timbul
konstipasi, serta melemahnya daya absorbsi (Nugroho, 2008).

h. Sistem Reproduksi
Terjadi penciutan ovari dan uterus, penurunan lendir vagina, serta
atrofi payudara, sedangkan pada laki-laki, testis masih dapat
memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur, kehidupan seksual dapat diupayakan sampai
masa lanjut usia asal kondisi kesehatan baik (Nugroho, 2008).
i. Sistem Perkemihan
Terjadi atrofi nefron dan aliran darah ke ginjal menurun sampai
50%, otot-otot vesika urinaria menjadi lemah, frekuensi buang air
kecil meningkat dan terkadang menyebabkan retensi urin pada
pria (Nugroho, 2008).
j. Sistem Endokrin
Terjadi penurunan semua produksi hormon, mencakup penurunan
aktivitas tiroid, BMR, daya pertukaran zat, produksi aldosteron,
progesterone, estrogen, dan testosteron (Nugroho, 2008).
k. Sistem Integumen
Kulit mengerut atau keriput akibat kehilangan jaringan lemak,
permukaan kulit kasar dan bersisik karena kehilangan proses
keratinisasi, serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel
epidermis, rambut menipis berwarna kelabu, rambut dalam
hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat
menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih
lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, pudar dan kurang
bercahaya, serta kelenjar keringat yang berkurang jumlah dan
fungsinya (Nugroho, 2008).
l. Sistem Muskuloskeletal
Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh, kifosis,
pergerakan pinggang, lutut, dan jari-jari terbatas, persendian
membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan mengalami
sclerosis, serta atrofi serabut otot (Nugroho, 2008).

II.1.1.4.2. Perubahan-Perubahan Mental


Kuntjoro (2002) mengatakan bahwa pada lansia dapat timbul
gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa lansia
kearah kerusakan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek
psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis
dsb.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental mencakup
penurunan kondisi fisik, penurunan fungsi dan potensi seksual,
perubahan aspek psikososial, perubahan yang berkaitan dengan
pekerjaan, dan perubahan dalam peran sosial di masyarakat.
a. Penurunan kondisi fisik seperti yang telah dijelaskan di atas.
b. Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lansia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti gangguan
jantung, gangguan metabolisme, dan vaginitis, kekurangan gizi,
penggunaan obat-obat tertentu, faktor psikologis yang menyertai
lansia seperti rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan
seksual, sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang
serta diperkuat oleh tradisi dan budaya, kelelahan atau kebosanan
karena kurang variasi dalam kehidupannya, pasangan hidup telah
meninggal, dan disfungsi seksual.
c. Perubahan aspek psikososial akan dijelaskan pada perubahanperubahan psikososial.
d.

Perubahan yang berkaitan dengan pekerjaan, pada umumnya


perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau
jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan
sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan
harga diri.

e.

Perubahan dalam peran sosial di masyarakat, lansia sebaiknya


selalu diajak untuk melakukan aktivitas dan memiliki peranan di
masyarakat, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar tidak
merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi
akan semakin menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain
dan kadang-kadang terus muncul perilaku regresi seperti mudah
menangis, mengurung diri, dan merengek-rengek bila bertemu
dengan orang lain.

II.1.1.4.3. Perubahan-Perubahan Psikososial


Kuntjoro (2002) mengatakan pada umumnya setelah orang
memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi kognitif dan
psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi,
pemahaman,

pengertian,

perhatian

dan

lain-lain

sehingga

menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat.


Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat lansia menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia akan
mengalami perubahan-perubahan psikososial yang berkaitan dengan
keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan tersebut dapat
dibedakan berdasarkan 5 tipe kepribadian lansia yaitu sebagai
berikut:
1. Tipe kepribadian konstruktif (Construction personality), biasanya
tipe ini tidak banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap
sampai sangat tua.
2. Tipe kepribadian mandiri (Independent personality), pada tipe ini
ada kecenderungan mengalami post power syndrome, apalagi jika
pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi pada dirinya.

3. Tipe kepribadian tergantung (Dependent personality), pada tipe


ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila
kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak
bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan
yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera
bangkit dari kedukaannya.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini
setelah memasuki lansia tetap merasa tidak puas dengan
kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-kadang tidak
diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi
ekonominya tidak stabil.
II.1.1.5. Dampak Perubahan dan Kemunduran pada Lansia
Perubahan dan kemunduran yang terjadi akan memberikan dampak
terhadap tingkah laku dan perasaan orang yang memasuki usia lanjut.
Kemunduran fisik yang terjadi pada lansia memberikan kesimpulan
bahwa kecantikan atau ketampanan yang mereka miliki mulai hilang, ini
berarti kehilangan daya tarik bagi diri lansia. Wanita biasanya lebih risau
dan tertekan karena keadaan tersebut sebab biasanya wanita dipuji karena
kecantikan dan keindahan fisiknya. Tetapi tidak berarti bahwa pria pada
masa kini tidak mengalami hal tersebut. Pada pria yang mengalami
proses menua tetap dirinya menarik bagi lawan jenisnya (Raudhah,
2012).
Selain itu yang menjadi permasalahan pada lansia di Indonesia
meliputi ketergantungan, sistem nilai kekerabatan yang berubah, sumber
pendapatan lansia yang menurun, dan masalah kesehatan dan
pemberdayaan pola hidup sehat, serta masalah psikologi dan kesehatan
mental dan spiritual.

a. Masalah kesehatan dan pemberdayaan pola hidup sehat


Untuk mempertahankan kualitas hidup yang baik, lansia
sebaiknya memelihara kesehatan dan mengetahui sedini
mungkin masalah pada organ tubuhnya (Kosasih, 2005).
b. Ketergantungan
Angka harapan hidup yang semakin tinggi dan jumlah lansia
yang terus meningkat akan menjurus pada perubahan
demografis dan berdampak pada rasio ketergantungan. Setiap
calon penduduk lansia harus menyiapkan keluarga dan anakanaknya dengan baik agar pada waktunya kelak dapat
menanggung lansia (Darmodjo, 2006).
c. Sistem nilai kekerabatan yang berubah
Menurut Hamid (2001) ukuran keluarga yang telah berubah
menjadi lebih kecil disertai perubahan sistem nilai kekerabatan
dalam keluarga ditandai sikap pada setiap anggota keluarga
termasuk lansia. Yang menjadi lebih modern ditandai oleh
perencanaan masa depan dengan lebih seksama, dilandasi
perhitungan rasional tentang untung rugi, keinginan untuk
hidup mandiri yang telah mengubah tradisi yang selama ini
dianut. Hal ini akan memposisikan lansia pada kedudukan dan
peran yang baru dalam keluarga. Perubahan ini akan
memberikan pengaruhnya pada berbagai aspek kehidupan
ekonomi dan sosial budaya, terutama pengaruh dalam
kemampuan keluarga memberikan pelayanan bagi lansia.
d. Sumber pendapatan lansia yang menurun
Menurut Darmodjo (2006) lansia perlu memiliki sumber
pendapatan untuk mendukung kehidupan yang sejahtera,
sumbersumber pendapatan lansia dapat berupa pensiun,
tabungan, asuransi hari tua, bantuan keluarga, atau bagi yang

masih aktif produktif pada usia lanjut, sumber pendapatannya


adalah perolehan sebagai penghasilan dari pekerjaannya tidak
sedikit yang memiliki kesejahteraan ekonomi yang cukup
namun tetap ingin bekerja. Penyediaan lapangan pekerjaan
bagi lansia perlu dukungan kebijakan pemerintah di bidang
ketenagakerjaan para lansia.
Berdasarkan teori karakteristik lansia di atas bahwa lansia
memiliki tempat hidup yang bervariasi. Salah satu tempat tinggal lansia
adalah panti wreda (panti jompo) yang biasanya dikelola oleh pemerintah
maupun pihak swasta.
II.1.2.

Panti Wreda
Panti Wreda merupakan tempat mengurus dan merawat lansia

(Depdiknas, 2005). Panti wreda merupakan suatu institusi hunian bersama


dari para lansia yang secara fisik atau kesehatan masih mandiri, akan tetapi
mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari
para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti. Panti Wreda yang
dikelola oleh pemerintah memiliki sasaran pelayanan pada usia lanjut berusia
60 tahun ke atas yang tidak memiliki keluarga, terlantar, tidak mempunyai
keluarga

yang

dapat

membantu

kehidupannya

sehari-hari,

karena

kemauannya sendiri atau terpaksa (Darmodjo, 2006).


Pelayanan yang diberikan pada sistem ini adalah
1. Pemenuhan kebutuhan setiap hari, kebutuhan makan, pakaian, dan
tempat tinggal,
2. Bimbingan keagamaan,
3. Pelayanan kesehatan, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan dokter,
pelayanan dokter Puskesmas, menyediakan obat-obat ringan,
4. Pembinaan fisik guna menjaga kesehatan seperti senam yang
bermanfaat untuk peregangan otot, pernapasan dan jantung,

5. Kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan kebersamaan dan


interaksi sosial,
6. Kesehatan, memberikan penyuluhan hidup sehat dan bersih,
7. Konseling,
8. Bantuan tambahan modal usaha bagi usia lanjut,
9. Rekreasi dan senam ringan (Nugroho, 2008).
Kegiatan lansia yang dilakukan di Panti Wreda salah satunya
adalah melakukan kegiatan-kegiatan bersama untuk meningkatkan
kebersamaan dan interaksi sosial. Karena tidak bisa dipungkiri lagi
bahwa manusia termasuk makhluk sosial yang membutuhkan dukungan
sosial dari orang-orang sekitar. Oleh karena itu, berikut ini diuraikan
mengenai dukungan sosial.
II.1.3.

Dukungan Sosial

II.1.3.1. Pengertian Dukungan Sosial


Menurut Duffy & Wong (2000), dukungan sosial adalah
pertukaran sumber daya diantara dua individu yaitu pemberi dan
penerima dukungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
penerima dukungan. Definisi lain dikemukakan Farmer & Farmer (dalam
Danielsen, 2009) yaitu proses pertukaran sosial yang berkontribusi
terhadap perkembangan pola tingkah laku individu, kognisi sosial, dan
nilai-nilai.
Menurut Sarason dukungan sosial adalah transaksi interpersonal
yang melibatkan salah satu faktor atau lebih dari karakteristik berikut ini:
afeksi (ekspresi menyukai mencintai, mengagumi daan menghormati),
penegasan (ekspresi persetujuan, penghargaan terhadap ketepatan,
kebenaran dari beberapa tindak pernyataan, pandangan) dan bantuan
(transaksi-transaksi dimana bantuan dan pertolongan dapat langsung
diberikan seperti barang, uang, informasi, nasehat, dan waktu).

Cohen dan Wills mendefinisikan dukungan sosial sebagai


pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya
dengan orang lain. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah suatu bantuan yang nyata
atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan
subjek yang terjadi karena adanya hubungan interpersonal yang akrab
atau ada ikatan sosial yang bermanfaat bagi individu di dalam lingkungan
sosialnya.
II.1.3.2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Sosial
Menurut Stanley (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi
dukungan sosial adalah sebagai berikut :
1. Kebutuhan fisik
Kebutuhan fisik dapat mempengaruhi dukungan sosial. Adapun
kebutuhan fisik meliputi sandang, pangan dan papan. Apabila
seseorang tidak tercukupi kebutuhan fisiknya maka seseorang
tersebut kurang mendapat dukungan sosial.
2. Kebutuhan sosial
Dengan aktualisasi diri yang baik maka seseorang lebih kenal oleh
masyarakat daripada orang yang tidak pernah bersosialisasi di
masyarakat. Orang yang mempunyai aktualisasi diri yang baik
cenderung selalu ingin mendapatkan pengakuan di dalam kehidupan
masyarakat.

Untuk

itu

pengakuan

sangat

diperlukan

untuk

memberikan penghargaan.
3. Kebutuhan psikis
Dalam kebutuhan psikis pasien pre operasi di dalamnya termasuk rasa
ingin tahu, rasa aman, perasaan religius, tidak mungkin terpenuhi
tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang
menghadapi masalah baik ringan maupun berat, maka orang tersebut

akan cenderung mencari dukungan sosial dari orang-orang sekitar


sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan dicintai.
II.1.3.3. Klasifikasi Dukungan Sosial
Menurut Cohen & Syme (1985), mengklasifikasikan dukungan
sosial dalam 4 kategori yaitu :
1. Dukungan informasi, yaitu memberikan penjelasan tentang situasi dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang sedang
dihadapi individu. Dukungan ini, meliputi memberikan nasehat,
petunjuk, masukan atau penjelasan bagaimana seseorang bersikap.
2. Dukungan emosional, yang meliputi ekspresi empati misalnya
mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap
apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang dan
perhatian. Dukungan emosional akan membuat si penerima merasa
berharga, nyaman, aman, terjamin dan disayangi.
3. Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara
langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas
yang

diperlukan,

meminjamkan

uang,

memberikan

makanan,

permainan atau bantuan yang lain.


4. Dukungan appraisal atau penilaian, dukungan ini bisa terbentuk
penilaian yang positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan
sesuatu, umpan balik atau menunjukkan perbandingan sosial yang
membuka wawasan seseorang yang sedang dalam keadaan stres.
II.1.3.4. Sumber-Sumber Dukungan Sosial pada Lansia
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri,
tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil
penelitian bahwa dukungan sosial merupakan mediator yang penting
dalam menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu

merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan


agama ataupun bagian dari kelompok lainnya (Nursalam 2009). Sumbersumber dukungan sosial, antara lain :
1. Keluarga
Keluarga memegang peranan besar dalam pemberian dukungan bagi
individu. Keluarga yang dimaksud terdiri dari pasangan, anak-anak,
cucu-cucu, saudara yang memiliki hubungan darah. Hal ini juga
didukung oleh Smolak (1993) diacu dalam Jauhari (2003) mengatakan
bahwa jaringan sosial lansia memiliki porsi yang besar pada anggota
keluarga.
Pada kenyataannya lansia yang tinggal di panti tidak tinggal bersama
keluarga walaupun ada yang masih memiliki keluarga. Ada juga diantara
mereka yang tidak memiliki keluarga inti karena tidak menikah, dan ada
yang sama sekali tidak memiliki keluarga. Salah satunya sumber pada
lansia yang tinggal di panti adalah staf atau perawat panti. (M. Rosa
Hermina, 1996)
2. Staf dan perawat
Staf dan perawat adalah elemen penting bagi lansia yang tinggal di
panti. Staf dan perawat yang dimaksud adalah karyawan panti, baik yang
menetap di panti maupun yang tidak tinggal di panti. Bagi lansia, staf dan
perawat merupakan tempat bergantung karena dianggap mengerti akan
kebutuhan-kebutuhan lansia. (M. Rosa Hermina, 1996)
3. Teman atau sahabat
Teman secara umum menunjukkan peran unik dan penting dalam
kehidupan lansia. Lansia yang tinggal dengan kelompok umur yang
sama, cenderung untuk memiliki interaksi sosial yang lebih luas
dibandingkan bila ia tinggal dengan kelompok umur yang lain. Hal ini
dapat disebabkan karena lansia lebih menyukai bila ia ditemani oleh
orang-orang yang seumur dengan mereka dan lansia cenderung berpikir

bahwa orang muda tidak ingin berhubungan dengan mereka (Jauhari ,


2003)
II.1.3.5. Komponen-Komponen dalam Dukungan Sosial pada Lansia
Para ahli berpendapat bahwa dukungan sosial dapat dibagi ke
dalam berbagai komponen yang berbeda-beda. Dalam kuesioner
dukungan sosial Sarason (1983), dukungan sosial mencakup dua hal
yaitu:
1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia; merupakan
persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat
diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (pendekatan
berdasarkan

kuantitas)

atau

disebut

dengan

social

questionnaires number.
2. Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima;
berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan
terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas) atau disebut
dengan social questionnaires satisfaction.
Menurut Weiss (dalam Zainuddin, 2002), mengemukakan adanya
6 (enam) komponen dukungan sosial yang disebut sebagai "The Social
Provision Scale", dimana masing-masing komponen dapat berdiri
sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan. Adapun
komponen-komponen tersebut adalah :
1. Kerekatan Emosional (Emotional Attachment)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan
seseorang memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional
sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima. Orang
yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tenteram,
aman dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan
bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling
sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup,

anggota keluarga, teman dekat, sanak keluarga yang akrab dan


memiliki hubungan yang harmonis. Bagi lansia adanya orang
kedua yang cocok, terutama yang tidak memiliki pasangan
hidup, menjadi sangat penting untuk dapat memberi dukungan
sosial atau dukungan moral (moral support).
2. Integrasi sosial (Social Integration)
Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan lansia
untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang
memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta
melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersamasama. Sumber dukungan semacam ini memungkinkan lansia
mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan
dimiliki dalam kelompok. Adanya kepedulian oleh masyarakat
untuk mengorganisasi lansia dan melakukan kegiatan bersama
tanpa ada pamrih akan banyak memberikan dukungan sosial.
Mereka merasa bahagia, ceria dan dapat mencurahkan segala
ganjalan yang ada pada dirinya untuk berceritera, atau
mendengarkan ceramah ringan yang sesuai dengan kebutuhan
lansia. Hal itu semua merupakan dukungan sosial yang sangat
bermanfaat bagi lansia.
3. Adanya Pengakuan (Reanssurance of Worth)
Pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat pengakuan
atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan
dari orang lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial
semacam ini dapat berasal dari keluarga, lembaga atau instansi
atau perusahaan dan organisasi dimana sang lansia pernah
bekerja. Karena jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia
tetap mendapat perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk
penghargaan.

4. Ketergantungan yang dapat diandalkan (Reliable Reliance)


Dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat
dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat
diandalkan bantuannya ketika lansia membutuhkan bantuan
tersebut. Jenis dukungan sosial jenis ini pada umum berasal
dari keluarga. Untuk lansia yang tinggal di lembaga, misalnya
pada Panti Wreda ada petugas yang selalu siap untuk
membantu para lansia yang tinggal di lembaga tersebut,
sehingga para lansia mendapat pelayanan yang memuaskan.
5. Bimbingan (Guidance)
Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan
kerja atau pun hubungan sosial yang memungkinkan lansia
mendapatkan informasi, saran, atau nasehat yang diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang
dihadapi. Jenis dukungan sosial jenis ini bersumber dari guru,
alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang dituakan
dan juga orang tua.
6. Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance)
Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan
perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini
memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan bahwa
orang

lain

tergantung

padanya

untuk

memperoleh

kesejahteraan. Sumber dukungan sosial ini adalah keturunan


(anak-anak) dan pasangan hidup.
Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat
orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau
peristiwa yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan
tersebut dirasakan dapat menaikkan perasaan positif serta mengangkat
harga diri. Kondisi atau keadaan psikologis ini dapat mempengaruhi

respon-respon dan perilaku individu sehingga berpengaruh terhadap


kesejahteraan atau kualitas hidup individu secara umum. Berikut ini
diuraikan mengenai kualitas hidup.
II.1.4.

Kualitas Hidup

II.1.4.1. Defenisi Kualitas Hidup


Menurut Unit Penelitian Kualitas Hidup Universitas Toronto,
kualitas hidup adalah tingkat dimana seseorang menikmati hal-hal
penting yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang
memiliki

kesempatan

dan

keterbatasan

dalam

hidupnya

yang

merefleksikan interaksinya dan lingkungan. Sedangkan kenikmatan itu


sendiri terdiri dari dua komponen yaitu pengalaman dari kepuasan dan
kepemilikan atau prestasi. Hays menyatakan bahwa kualitas hidup dapat
disimpulkan dua bagian yaitu pertama kesehatan fisik terdiri dari fungsi
fisik, keterbatasan peran fisik, nyeri pada tubuh, dan persepsi kesehatan
secara umum, kedua kesehatan mental terdiri dari vitalitas, fungsi sosial,
keterbatasan peran emosional, dan kondisi mental (Diana, 2010).
Kualitas Hidup berati hidup yang baik, hidup yang baik sama
seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi (Ventegodt,
Merriek, Andersen, 2003). Hal ini digambarkan pada kebahagiaan,
pemenuhan kebutuhan, fungsi dalam konteks sosial, dan lain-lain.
World Health Organization Quality Of Life atau WHOQOL
mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap
kehidupannya di masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai yang
ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan juga perhatian.
Selain itu, kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana
seseorang menikmati hidupnya (Purwanto,2008). Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Ahmad Munir (2010) bahwa keadaan fisik,
psikologik, lingkungan tinggal banyak mempengaruhi kualitas hidup.

II.1.4.2. Komponen Kualitas Hidup


Beberapa
diklasifikasikan

literatur
ke

dalam

menyebutkan
beberapa

kualitas

hidup

dapat

komponen.

World

Health

Organization Quality Of Life (WHOQOL-100) membagi kualitas hidup


dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan
sosial, lingkungan, spiritual, agama atau kepercayaan seseorang (WHO,
1996).
WHOQOL-100 ini kemudian dibuat lagi menjadi instrumen
WHOQOL BREF dimana enam domain tersebut kemudian dipersempit
lagi menjadi empat domain yaitu kesehatan fisik, kesejahteraan
psikologis, hubungan sosial dan hubungan dengan lingkungan.
Keempat domain ini kemudian dijabarkan sebagai berikut yaitu :
1. Domain Kesehatan Fisik
Aktivitas

sehari-hari:

menggambarkan

kesulitan

dan

kemudahan yang dirasakan individu ketika melakukan


kegiatan sehari-hari.
Ketergantungan pada obat-obatan dan bantuan medis:
menggambarkan seberapa besar kecenderungan individu
dalam menggunakan obat-obatan atau bantuan medis
lainnya dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
Energi dan kelelahan: menggambarkan tingkat kemampuan
yag dimiliki oleh individu dalam menjalankan aktivitasnya
sehari-hari.
Mobilitas: menggambarkan tingkat perpindahan yang
mampu dilakukan oleh individu dengan mudah dan cepat
Sakit dan ketidaknyamanan : menggambarkan sejauh mana
perasaan kesehatan yang dirasakan individu terhadap halhal yang menyebabkan individu merasa sakit.

Tidur dan istirahat : menggambarkan kualitas tidur dan


istirahat yang dimiliki oleh individu.
Kapasitas kerja : menggambarkan kemampuan yang
dimiliki individu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
2. Domain Kesejahteraan Psikologis
Bodily

image

dan

appearance

menggambarkan

bagaimana individu memandang keadaan tubuh serta


penampilannya.
Perasaan negatif: menggambarkan adanya perasaan yang
tidak menyenangkan yang dimilik oleh individu.
Perasaan

positif

menggambarkan

perasaan

yang

menyenangkan yang dimiliki oleh individu.


Self-esteem: melihat bagaimana individu menilai atau
menggambarkan dirinya sendiri.
Berpikir,

belajar,

menggambarkan
memungkinkan

memori,

keadaan
untuk

dan

kognitif

berkonsentrasi,

konsentrasi
individu
belajar

yang
dan

menjalankan fungsi kognitif lainnya.


3. Domain Hubungan Sosial
Relasi personal : menggambarkan individu dengan orang
lain.
Dukungan sosial : menggambarkan adanya bantuan yang
didapatkan oleh individu yang berasal dari lingkungan
sekitarnya.
Aktivitas seksual : menggambarkan kegiatan seksual yang
dilakukan individu.
4. Domain Hubungan dengan Lingkungan
Sumber financial : menggambarkan keadaan keuangan
individu

Freedom, physical safety dan security: menggambarkan


tingkat keamanan individu yang dapat mempengaruhi
kebebasan dirinya.
Perawatan kesehatan dan social care : menggambarkan
ketersediaan layanan kesehatan dan perlindungan sosial
yang dapat diperoleh individu.
Lingkungan rumah : menggambarkan keadaan tempat
tinggal individu.
Kesempatan untuk mendapatkan berbagai informasi baru
dan keterampilan (skill) : menggambarkan ada atau
tidaknya kesempatan bagi individu untuk memperoleh halhal baru yang berguna bagi individu.
Partisipasi dan kesempatan untuk melakukan rekreasi atau
kegiatan

yang

menyenangkan

menggambarkan

sejauhmana individu memliki kesempatan dan dapat


bergabung untuk berkreasi dan menikmati waktu luang.
Lingkungan fisik : menggambarkan keadaan lingkungan
sekitar tempat tinggal individu (keadaan air, saluran udara,
iklim, polusi, dll).
Transportasi : menggambarkan sarana kendaraan yang
dapat djangkau oleh individu.

II.2. Hubungan Dukungan Sosial dan Kualitas Hidup pada Lansia


Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya
tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak
bantuan dalam menjalani aktivitas-aktivitas kehidupannya. Belum lagi berbagai
penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka
memerlukan perhatian ekstra dari orang-orang disekelilingnya. Penurunan fungsi
fisik tersebut ditandai dengan ketidakmampuan lansia untuk beraktivitas atau

melakukan kegiatan yang tergolong berat. Perubahan fisik yang cenderung


mengalami penurunan tersebut akan menyebabkan berbagai gangguan secara
fisik sehingga mempengaruhi kesehatan, serta akan berdampak pada kualitas
hidup lansia (Darmodjo, 2006).
Dukungan sosial timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat orang-orang
yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa yang
dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat
menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan
psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu
sehingga berpengaruh terhadap kesejahteraan atau kualitas hidup individu secara
umum.
Kualitas hidup lansia yang tinggi bisa disamakan dengan kesejahteraan
sosial yakni suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, baik material maupun
spiritual, yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin
yang memungkinkan setiap lanjut usia untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, kelurga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi manusia
(Setiabudhi, 2005).
Dukungan sosial yang diterima dari berbagai pihak pada lansia akan
berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia. Penelitian Risdianto (2009) telah
membuktikan bahwa ada hubungan yang tinggi atau signifikan antara dukungan
sosial dengan kualitas hidup lanjut usia.

II.3. Kerangka Teori

Lansia

Penurunan Kondisi Lansia

Fisik

Mental

Psikososial

Dampak Permasalahan Lansia

Masalah kesehatan
Ketergantungan
Nilai kekerabatan yang
berubah
Pendapatan menurun
Dukungan sosial

Kualitas hidup lansia

Kesehatan Fisik
Kesejahteraan Psikologis
Hubungan sosial
Hubungan dengan
Lingkungan

Bagan 2.1 Kerangka Teori

II.4.

Kerangka Berpikir

Kualitas Hidup Lansia

Dukungan Sosial

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir


II.5.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penilitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan kesehatan fisik yang


tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan.

2.

Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis


yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan.

3.

Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan hubungan sosial yang


tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan.

4.

Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan hubungan dengan


lingkungan yang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4
Margaguna Jakarta Selatan.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan cara mewawancarai
serta memberikan kuesioner kepada lansia yang menempati Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan (Sastroasmoro S, Ismael S.
2008).
III.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4
Margaguna Jakarta Selatan pada bulan April sampai dengan Mei 2013.
III.3. Subjek Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah semua lansia yang menempati Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan yang berjumlah 150
orang.
2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah semua lansia yang menempati Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan yang memenuhi
kriteria sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
1. Berusia 60 tahun
2. Bersedia jadi responden
b. Kriteria Eksklusi
1. Lansia yang tidak kooperatif (tidak dapat berkomunikasi)

Jika jumlah populasi diketahui, maka bisa memakai rumus Slovin.

Keterangan :
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi yang diketahui
e = tingkat kesalahan 5%
n

150
n = 109
1 150 (0,05) 2

III.4. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik sampling dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
purposive sampling. Sampel diambil berdasarkan pertimbangan tertentu oleh
peneliti (Sopiyudin M. 2008).
III.5. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian cross sectional. Dalam
penelitian jenis ini peneliti mencari pengaruh variabel bebas dengan variabel
terikat dengan melakukan pengukuran sesaat, jadi pada desain penelitian ini
tidak dilakukan tindak lanjut atau follow up (Sastroasmoro S, Ismael S. 2008).
III.6. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel Bebas (Independen)

Variabel Terikat (Dependen)

Bagan 3.1 Identifikasi Variabel Penelitian

III.7. Definisi Operasional


Berdasarkan kerangka konsep yang telah dikemukakan, dapat disusun
definisi operasional. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :
Tabel 3.1 Definisi Operasinal
No.
1

Variabel
Lansia

Definisi

Alat Ukur

Menurut UU No.13

Kuesioner

Hasil Ukur

Skala
Rasio

tahun 1998 tentang


kesehatan dikatakan
bahwa

lanjut

adalah

usia

seseorang

yang telah mencapai


usia lebih dari 60
tahun.
2

Dukungan

Pertolongan

sosial

dukungan

dan

Kuesioner

yang

SSQ 6

diperoleh seseorang
dari

interaksinya

(Sarason,

Total

nilai

dari

Rasio

skor SSQ6N dan


SSQ6S

1983)

dengan orang lain.


3

Kualitas

Persepsi

Hidup

individu

Kuesioner

Nilai dari masing-

terhadap kehidupan

WHOQOL

masing domain :

di masyarakat dalam

BREF

1. Kesehatan Fisik

konteks budaya dan

(WHO,

2. Kesejahteran

sistem nilai yang ada

1996)

Psikologis

yang terkait dengan

3. Hubungan sosial

tujuan,

4. Hubungan

standar,
perhatian.

harapan,
dan

juga

dengan
Lingkungan

Rasio

III.8. Instrumen Penelitian


Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan informasi yang memungkinkan
peneliti mempelajari sikap-sikap, keyakinan, perilaku, dan karakteristik
beberapa orang utama di dalam organisasi yang bisa terpengaruh oleh sistem
yang diajukan oleh sistem yang sudah ada.
Peneliti menggunakan dua jenis kuesioner, yang masing-masing adalah
kuesioner untuk mengukur dukungan sosial dan kuesioner untuk mengukur
kualitas hidup lansia. Kuesioner yang diberikan kepada responden terdiri dari :
1. Lembar informed consent, yang diberikan informasi mengenai tujuan
penelitian yang akan dilakukan dan permintaan kesediaan responden
untuk mengisi kuesioner.
2. Kuesioner SSQ 6 (Social Support Questionnaires) digunakan untuk
mengukur dukungan sosial. Kuesioner ini telah diadaptasi kedalam bahasa
Indonesia. Kuesioner ini terdiri dari 6 pertanyaan yang masing-masing
pertanyaan mengukur dua komponen social support, yakni kuantitas
SSQ6N (social questionnaires number) dan kualitas SSQ6S (social
questionnaires satisfaction). Penggunaan SSQ sebagai alat ukur
dikarenakan SSQ telah banyak dipergunakan dan dalam penelitian
sebelumnya telah teruji validitas maupun reabilitasnya. Pada SSQN
memiliki validitas berkisar antara 0,35 - 0,751 dengan reabilitas sebesar
0,97. Pada bagian SSQS memiliki validitas berkisar antara 0,48 - 0,74
dengan reabilitas sebesar 0,944 ( Nikolaus Firdaus, 2011).
3. Kuesioner WHOQOL BREF (World Health Organization Quality Of
Life) digunakan untuk mengukur kualitas hidup seseorang. Instrumen ini
telah teruji validitas dan reabilitasnya. Distribusi ke-26 pertanyaan dari
WHOQOL-BREF adalah simetris dan hasil penelitian menunjukkan
instrumen WHOQOL-BREF valid (r = 0,89 0,95) dan reliable ( R = 0,66
- 0,87 ) untuk mengukur kualitas hidup pada lansia (Oktavianus Ch. Salim

et al. , 2007). Kuesioner ini merupakan pengembangan dari alat ukur


WHOQOL 100 dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh
Dr.Riza Sarasvita dan Dr. Satya Joewana (Edesia Sekarwiri, 2008).
Kuesioner ini terdiri dari 26 pertanyaan yang mencakup 4 domain, yakni
kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, hubungan sosial, dan hubungan
dengan lingkungan dengan skala pengukuran ordinal dari 1 - 5 seperti
tertera pada tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2 Skala Pengukuran Kuesioner WHOQOL-BREF


Skala
1, 15
2, 16 - 25
3-9
10 - 14
26

Jenis Jawaban
Sangat buruk, buruk, biasa-biasa saja, baik, sangat baik
Sangat tidak memuaskan, tidak memuaskan, biasa-biasa saja,
memuaskan, sangat memuaskan
Tidak sama sekali, sedikit, dalam jumlah sedang, sangat sering,
dalam jumlah berlebihan
Tidak sama sekali, sedikit, sedang, seringkali, sepenuhnya dialami
Tidak pernah, jarang, cukup sering, sangat sering, selalu

III.9. Protokol Penelitian


Tahapan penelitian, yakni :
1. Mengajukan surat permohonan izin untuk penelitian kepada Kepala
Kesatuan Bangsa dan Politik di Gedung Walikota Jakarta Selatan untuk
kemudian meminta surat rekomendasi mengadakan penelitian di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan
2. Penelitian kemudian dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan dengan memberikan kuesioner pada
responden (lansia),
3. Pengumpulan data tentang dukungan sosial lansia di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan
4. Pengumpulan data tentang kualitas hidup lansia
5. Penghitungan jumlah tiap kuesioner yang didapat :

- Pada kuesioner SSQ6 (Social Support Questionnaires) masingmasing pertanyaan mengukur dua komponen social support, yakni
kuantitas SSQ6N (social questionnaires number) dan kualitas
SSQ6S (social questionnaires satisfaction). Penilaian pada
komponen SSQ6N bergantung pada banyaknya tempat yang diisi,
tiap tempat yang diisi mendapat skor =1, sedangkan tempat yang
tidak diisi mendapatkan skor = 0. Skor minimal responden dalam
satu pertanyaan adalah 0 dan skor maksimal adalah 9. Skor akhir
diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap item lalu dibagi
enam. Skor akhir pada SSQ6N ini berkisar antara 0 - 9. Sedangkan
pada komponen SSQ6S responden diminta untuk memilih pilihan
yang menggambarkan kepuasan yang diterimanya pada komponen
SSQ6N. Pilihan jawaban yang tersedia adalah sangat puas, cukup
puas, agak puas, agak tidak puas, cukup tidak puas, sangat tidak
puas. Skor untuk setiap pilihan jawaban mulai dari 6 hingga 1.
Skor minimal tiap pertanyaan adalah 1 dan skor maksimal adalah
6. Skor akhir diperoleh dengan menjumlahkan skor pada setiap
item lalu dibagi enam. Skor akhir pada SSQ6N ini berkisar antara
1 - 6. Pada akhirnya skor pada kuesioner ini didapatkan dengan
menjumlahkan nilai rata-rata skor SSQ6N dengan nilai rata-rata
skor SSQ6S dan didapatkan skor tertinggi sebesar 15.
- Penghitungan hasil data kuesioner kualitas hidup WHOQOLBREF dibagi menjadi 4 domain, yaitu :
Tabel 3.3 Skor Tiap Domain WHOQOL-BREF
Domain

Kesehatan Fisik
Kesejahteraan Psikologis
Hubungan Sosial
Hubungan dengan
Lingkungan

Equation for computing domain scores


(6-Q3) + (6-Q4) + Q10 + Q15 + Q16 + Q17 + Q18
Q5 + Q6 + Q7 + Q11 + Q19 + (6-Q26)
Q20 + Q21 + Q22
Q8 + Q9 + Q12 + Q13 + Q14 + Q23 + Q24 + Q25

Raw
Score

Transfomed
Score
(0 - 100)

6. Pengolahan data
Data

yang

sudah

terkumpul

selanjutnya

diolah

dengan

menggunakan sistem komputerisasi software untuk mengolah data


statistika. Ada empat tahapan mengolah data:
a. Editing
Semua data yang terkumpul dilakukan penyuntingan (editing)
terlebih dahulu. Pada tahap ini merupakan kegiatan pengecekan
terhadap data yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi.
b. Coding
Kegiatan merubah data berbentuk huruf atau kalimat menjadi
angka atau bilangan. Kegunaan coding adalah mempermudah pada
saat analisis data dan juga pada saat entry data.
c. Data entry
Memindahkan hasil data dari responden yang dalam bentuk
kode dimasukkan ke dalam program atau software komputer secara
teliti.
d. Cleaning
Berupa pengecekan kembali data yang sudah masuk dari
kemungkinan adanya kesalahan kode, ketidaklengkapan dan sebagainya.
7. Laporan
Data penelitian yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel,
diagram, atau grafik. Hasil penelitian tersebut dijabarkan pada bab 4 hasil dan
pembahasan. Adapun cara kerja penelitian disajikan dalam bentuk bagan, tersaji
dalam bagan 3.2 di bawah ini.

Identifikasi, pemilihan, dan perumusan masalah

Tinjauan kepustakaan
Penetapan kerangka konsep, kerangka teori, dan
hipotesis penelitian
Menentukan populasi dan sampel

Identifikasi variabel dan menentukan definisi


operasional

Pemilihan instrumen dan rancangan penelitian

Pelaksanaan penelitian (pengumpulan data yang sesuai dengan kriteria insklusi dan ekslusi)
wawancara dan pengisian kuesioner

Pengolahan, analisis, dan interpretasi data

Hasil dan kesimpulan

Bagan 3.2 Cara Kerja Penelitian


III.10. Analisis Data
1.

Analisis univariat
Digunakan untuk mendeskripsikan distribusi masing-masing variabel
yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat pada distribusi
frekuensi.

2.

Analisis bivariat
Digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan
variabel terikat yang memiliki skala numerik, maka uji yang dipakai
adalah uji Pearson dan bila tidak memenuhi syarat uji parametrik maka
akan dilakukan uji alternatif yaitu uji Spearman (Sopiyudin, 2006).

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Gambaran Umum Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna
Jakarta Selatan
Panti Sosial Tresna Werdha (PTSW) Budi Mulia 4 Margaguna merupakan
unit pelaksana teknis bidang kesejahteraan sosial lanjut usia Dinas Sosial Provinsi
DKI Jakarta. Sebagai lembaga pelayanan masyarakat PSTW Budi Mulia 4
Margaguna adalah lembaga pemerintah yang memberikan pelayanan kepada
masyarakat, khususnya lanjut usia yang tidak mampu atau kurang beruntung dengan
sumber dana APBD Provinsi DKI Jakarta. PSTW Budi Mulia 4 Margaguna ini
berdiri tahun 1965 yang berpindah-pindah lokasi. Bermula dari Jakarta Timur Kel.
Ceger lalu ke Kel. Dukuh Kec.Kramat Jati dan akhirnya pada tahun 2002 PSTW Budi
Mulia ditempatkan di Jl.Margaguna No.1 Radio Dalam Jakarta Selatan dengan nama
PSTW Budi Mulia 4 Margaguna.
Tugas pokok PTSW Budi Mulia 4 Margaguna adalah memberikan pelayanan
dan perawatan jasmani dan rohani kepada para lanjut usia terlantar agar dapat hidup
secara wajar. Kriteria lanjut usia yang diterima PSTW ini adalah warga DKI Jakarta
dengan umur minimal 60 tahun, terlantar karena tidak ada keluarga atau tidak diurus
oleh keluarganya, dan mempunyai surat keterangan tidak mampu.
Sarana dan prasarana di PSTW Budi Mulia 4 ini sudah sangat baik, mulai dari
adanya poliklinik, mushola, dapur umum, aula, kendaraan operasional, hingga sarana
olahraga melengkapi sarana di PSTW ini. Kegiatan di PSTW ini sangat bervariasi dan
sangat baik untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial untuk para lansia.
Kegiatannya seperti adanya bimbingan rohani (keagamaan), olahraga senam lansia,
keterampilan, kesenian, dan rekreasi.
Jumlah lansia di PSTW Budi Mulia 4 Margaguna ini kurang lebih terdapat
150 orang lansia. Diantaranya lansia wanita berjumlah 91 orang dan lansia pria
berjumlah 59 orang. Pembagian kamar di PSTW Budi Mulia 4 Margaguna ini

dikelompokkan menjadi kamar lansia mandiri, lansia setengah renta, lansia renta, dan
kamar observasi yang masing-masing kamar kurang lebih bisa mencakup 20 orang.
Lansia di PSTW ini yang tergolong lansia renta termasuk yang terbanyak
dibandingkan dengan PTSW lainnya. Jumlah nya bisa mencapai sepertiga dari
populasi seluruhnya. Untuk itu dilakukan pembagian kamar menurut masingmasing
golongan lansia yang ditujukan untuk menghindari adanya pertikaian dan juga
mencegah menularnya suatu penyakit.
IV.2. Hasil Penelitian
Populasi lansia di PSTW Budi Mulia 4 Margaguna ini berjumlah 150 orang.
Lansia yang sudah renta dan tidak dapat berkomunikasi sebanyak 57 orang, lansia
yang tidak bersedia menjadi responden 23 orang, lansia yang bedrest dan sudah tidak
mampu lagi berkomunikasi 19 orang, dan lansia dalam kamar observasi sebanyak 15
orang. Jadi, jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat menjadi
responden dalam penelitan ini adalah 36 orang lansia (sampel jenuh).
IV.2.1.

Kriteria Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah semua lansia yang berusia 60 tahun yang

menempati Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta


Selatan. Responden yang memenuhi kriteria inklusi, yaitu sebanyak 36 lansia
berdasarkan sampling jenuh. Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada
tabel 4.1.

Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Penelitian


Variabel
Pria
Wanita
Tidak sekolah
Pendidikan Terakhir
SD / SR
SMP
SMA
PT
Menikah
Status Pernikahan
Janda / Duda
Belum
menikah
Total masing-masing variabel
Jenis Kelamin

n
19
17
8
11
11
5
1
6
28

%
52,8
47,2
22,2
30,6
30,6
13,9
2,8
16,7
77,8

5,6

36

100 %

Dari tabel 4.1 di atas didapatkan sebagian besar responden berpendidikan


rendah yaitu sebanyak 11 orang (30,6%) dengan pendidikan terakhir SD / SR
dan 11 orang (30,6%) dengan pendidikan terakhir SMP. Didapatkan pula,
sebagian besar

responden berstatus janda / duda yaitu sebanyak 28 orang

(77,8%).
IV.2.2.

Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk melihat distribusi dari variabelvariabel yang

telah diteliti. Analisis univariat yang dilakukan meliputi variabel independen,


yaitu dukungan sosial lansia, dan variabel dependen yaitu kualitas hidup lansia.
Karena sebaran data tidak normal, maka yang dideskripsikan adalah median
(nilai minimal - nilai maksimal).
IV.2.2.1. Dukungan Sosial
Dukungan sosial pada lansia pada penelitian ini diukur dengan
menggunakan kuesioner SSQ6 (Social Support Questionnaires). Belum
ada kategori baku untuk menggambarkan dukungan sosial. Untuk itu

peneliti mengkategorikan dukungan sosial menjadi baik dan buruk


berdasarkan dengan nilai median. Dikatakan baik jika lebih besar dari nilai
median dan dikatakan buruk jika lebih kecil sama dengan nilai median.
Deskripsi analisis univariat dukungan sosial ditampilkan pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Deskripsi Analisis Univariat Dukungan Sosial
Kategori

Dukungan
Sosial

Min

Max Mean Median

3,17

11,83 5,5417

36

5,0000

Baik
47,2%

Buruk
52,8%

Dari hasil uji univariat di atas maka diperoleh nilai median adalah
sebesar 5 (3,17 - 11,83). Kategori buruk sebesar 52,8 % dan kategori baik
sebesar 47,2%.
IV.2.2.2. Kualitas Hidup Lansia
Kualitas

hidup

lansia

pada

penelitian

ini

diukur

dengan

menggunakan kuesioner WHOQOL BREF (World Health Organization


Quality Of Life). Alat ukur WHOQOL BREF ini tidak memberikan skor
tunggal atau skor gabungan dari keempat domain, yang didapat hanyalah
skor dari tiap tiap domain. Skor yang didapat dari subjek (raw score)
kemudian ditransformasikan terlebih dahulu sehingga perhitungan
menggunakan skor yang sudah ditransformasikan ke dalam rentang 0-100.
Kategori baku untuk menggambarkan kualitas hidup belum ditentukan
oleh WHO itu sendiri. Untuk itu peneliti mengkategorikan kualitas hidup
menjadi baik dan buruk berdasarkan dengan nilai median tiap domain.
Dikatakan baik jika lebih besar dari nilai median dan dikatakan buruk jika
lebih kecil sama dengan nilai median. Berikut ini adalah tabel yang
memberikan gambaran statistik deskriptif dari tiap domain kualitas hidup.

Tabel 4.3 Deskripsi Tiap Domain Kualitas Hidup Lansia

Domain

Min

1. Kesehatan
fisik
2. Kesejahteraan
psikologis
3. Hubungan
Sosial
4. Hubungan
dengan
Lingkungan

Max

Mean

Median

Kategori
Baik

Buruk

31

69

45,19

44

36

25%

75%

38

69

47,36

44

36

36,1%

63,9%

19

50

30,89

31

36

22,2%

77,8%

44

88

55,97

56

36

27,8%

72,2%

Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan nilai median tertinggi pada domain


hubungan lingkungan dengan nilai median 56 (44 - 88). Domain tertinggi
kedua terdapat pada dua domain, yakni domain kesehatan fisik dengan
nilai median sebesar 44 (31 - 69) dan domain kesejahteraan psikologis
dengan nilai median sebesar 44 (38 - 69). Nilai terendah didapatkan pada
domain hubungan sosial dengan nilai median sebesar 31 (19 - 50).
Berdasarkan kategori tiap domain dapat diketahui pula sebagian besar
lansia di PTSW Budi Mulia 4 Margaguna ini kualitas hidupnya masih
dalam kategori buruk yaitu sekitar 63,9% - 77,8%.
IV.2.3.

Analisis Bivariat Korelasi antara Dukungan Sosial dan Kualitas


Hidup Lansia
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua

variabel dan juga untuk membuktikan hipotesis penelitian. Analisis bivariat


dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dukungan sosial
lansia, dan variabel dependen yaitu kualitas hidup lansia.
Penelitian ini bersifat korelatif dan kedua variabel berskala numerik, untuk
itu uji bivariat yang paling cocok adalah uji Pearson. Sebelum melakukan uji

Pearson, harus dilakukan uji normalitas data pada kedua variabel terlebih
dahulu. Uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk karena
sampel pada penelitian ini kurang dari 50. Diperoleh signifikansi yang
besarnya semua variabel memiliki nilai p < 0,05 (sebaran data tidak normal)
seperti terdapat pada lampiran 13. Kemudian data ditranformasikan dengan
fungsi Log10 seperti pada lampiran 12, dan kembali dilakukan uji normalitas
data, namun semua variabel masih memiliki nilai p < 0,05 (sebaran data tidak
normal). Maka syarat uji Pearson tidak terpenuhi, sehingga digunakan uji
alternatif yaitu Uji Spearman.
Peneliti juga melakukan deskripsi analitik dengan tabulasi silang kedua
variabel kategorik dukungan sosial dan tiap domain kualitas hidup. Disajikan
pada tabel 4.4 sebagai berikut :

Tabel 4.4 Tabel Tabulasi Silang Variabel Kategorik Dukungan Sosial dan
Kualitas Hidup Tiap Domain

Dukungan Buruk
Sosial
Baik

Kesehatan Fisik

Kesejahteraan
Psikologis

Buruk

Baik

Buruk

Baik

Buruk

Baik

Buruk

Baik

16

13

19

19

11

10

10

Hubungan Sosial

Hubungan dengan
Lingkungan

Hasil analisis bivariat antara dukungan sosial dan kualitas hidup lansia
dapat dilihat dari empat domain seperti tertera pada tabel 4.5 .

Tabel 4.5 Uji Korelasi Spearman Dukungan Sosial dan Kualitas Hidup
Tiap Domain

Dukungan Sosial
r

Kesehatan Fisik

0,014*

0,407

Kesejahteraan Psikologis

0,464

0,126

Hubungan Sosial

0,003*

0,485

Hubungan dengan Lingkungan

0,000*

0,566

bermakna

IV.2.3.1. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Kesehatan Fisik


Pada tabel 4.4 didapatkan 16 orang lansia yang mendapatkan
dukungan sosial buruk memiliki kesehatan fisik yang buruk pula. Dari
hasil uji Spearman pada tabel 4.5 di dapatkan nilai r = 0,407 dan p = 0,014
(bermakna bila p < 0,05). Kesimpulan dari hasil tersebut adalah terdapat
hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dan kesehatan fisik
dengan kekuatan korelasi cukup kuat (0,40 - 0,599), dengan arah positif.
IV.2.3.2. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Kesejahteraan
Psikologis
Pada tabel 4.4 dari 36 lansia didapatkan sebanyak 13 orang lansia
yang mendapatkan dukungan sosial buruk memiliki

kesejahteraan

psikologis yang buruk pula. Berdasarkan tabel 4.5 di dapatkan nilai r =


0,126 dan p = 0,464 (bermakna bila p < 0,05). Artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dan kesejahteraan
psikologis dengan kekuatan korelasi sangat rendah (0,00 0,199).

IV.2.3.3. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Hubungan Sosial


Pada tabel 4.4 dari 36 lansia didapatkan sebanyak 19 orang lansia
yang mendapatkan dukungan sosial buruk memiliki hubungan sosial yang
buruk pula. Dapat dilihat pada tabel 4.5 di dapatkan nilai r = 0,485 dan p =
0,003. Kesimpulan dari hasil tersebut adalah terdapat hubungan yang
bermakna antara dukungan sosial dan hubungan sosial dengan kekuatan
korelasi cukup kuat (0,40 - 0,599), dengan arah positif.
IV.2.3.4. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Hubungan dengan
Lingkungan
Pada tabel 4.4 dari 36 lansia didapatkan 19 orang lansia yang
mendapatkan dukungan sosial buruk memiliki hubungan dengan
lingkungan yang buruk pula. Berdasarkan tabel 4.5 di dapatkan nilai r =
0,566 dan p = 0,000. Artinya terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan sosial dan hubungan dengan lingkungan dengan kekuatan
korelasi cukup kuat (0,40 - 0,599), dengan arah positif.
IV.3. Pembahasan Hasil Penelitian
IV.3.1.

Dukungan Sosial
Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan nilai median sebesar 5 (3,17 - 11,83)

pada skala 0-15. Kategori baik sebesar 47,2% dan kategori buruk sebesar
52,8%. Berdasarkan kategori di atas, dukungan sosial pada lansia di PTSW
Budi Mulia 4 Margaguna masih tergolong buruk.
Berdasarkan data yang diperoleh pada karakteristik responden didapatkan
sebagian besar responden berstatus janda dan duda yang tidak mempunyai
keluarga lagi. Sebagian besar lansia ini adalah orangorang jalanan yang di
razia oleh pihak berwajib. Ini menunjukkan bahwa lansia tersebut hidup
sebatangkara, terlantar di jalanan dan tidak terurus dengan baik. Maka
dukungan sosial yang diperoleh dari keluarga dan kerabat dekat relatif tidak
ada.

Dari hasil observasi dan wawancara dengan responden dapat diketahui


bahwa lansia pada panti ini sebagian besar memiliki sifat tertutup untuk
bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan sekitar, menyebabkan
kurangnya dukungan sosial yang bersumber dari orang-orang sekitar dan
lingkungannya. Pernyataan ini sesuai dengan teori disengagement yang
menyatakan bahwa lansia berangsur-angsur menarik diri dalam berinteraksi
dengan orang lain dan kehidupan sosialnya (Darmodjo,et al., 2006). Meskipun
panti ini didukung oleh staf, pramusosial dan perawat yang bertugas untuk
melayani dan membantu berbagai kebutuhan lansia, namun agaknya dukungan
emosi yang dibutuhkan lansia belum terpenuhi sepenuhnya.
Menurut Rosa Hertamina (1996), kurangnya dukungan sosial di panti
mungkin terjadi karena adanya kesenjangan komunikasi antara lansia penghuni
panti dengan pihak staf perawat atau pramusosial. Rosa menyatakan kembali
bahwa sesuai dengan keadaan lansia, dukungan sosial dari staf yang paling
diharapkan lansia adalah dukungan emosi, dukungan persahabatan, dukungan
informasi, dukungan penghargaan, dukungan instrumen dan dukungan untuk
memberikan pertolongan bagi orang lain.
IV.3.2.

Kualitas Hidup Lansia


Berdasarkan tabel 4.3, didapatkan nilai median tertinggi dari domain

hubungan dengan lingkungan. WHO menjabarkan kualitas hidup domain


hubungan dengan lingkungan, meliputi keuangan individu, transportasi,
lingkungan tempat tinggal individu, layanan kesehatan dan tingkat keamanan.
Menurut hasil wawancara dan observasi yang telah peneliti lakukan ke PTSW
Budi Mulia 4 Margaguna bisa terlihat lingkungan pelayanan panti yang cukup
baik. Baik dari segi pelayanan kesehatan maupun fasilitas transportasi yang
memadai. Walau dari segi pendapatan atau keuangan masing-masing lansia
masih sangat kurang, karena sebagian besar lansia dipanti ini tidak memiliki
penghasilan tetap seperti uang pensiun.

Dari tabel 4.3 juga didapatkan nilai median terendah yaitu dari domain
hubungan sosial. Ini dikarenakan sebagian besar lansia yang tinggal di panti ini
berstatus janda atau duda dan kebanyakan sudah tidak memiliki keluarga lagi.
sehingga dukungan keluarga sangatlah kurang.
Berdasarkan kategori tiap domain dapat diketahui sebagian besar lansia
di PTSW Budi Mulia 4 Margaguna ini kualitas hidupnya masih dalam kategori
buruk yaitu sekitar 63,9% - 77,8%. Didapatkan dari tiap domain kualitas hidup
lebih banyak kategori buruk nya dibandingkan kategori baiknya. Hasil tersebut
juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Elvinia, et al. (2006) bahwa
kualitas hidup lansia yang tinggal di rumah bersama keluarga secara signifikan
lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di panti werdha. Penelitian yang
dilakukan Desy Indra Yani, et al. (2010) juga menyatakan bahwa sebagian
besar lansia yang tinggal di panti mempersepsikan kualitas hidupnya rendah.
Sebagian besar responden dipenelitian ini berpendidikan terakhir SD / SR
dan SMP yang tergolong pendidikan rendah. Faktor tingkat pendidikan lansia
ternyata juga mempengaruhi tingkat kualitas hidup lansia. Pernyataan tersebut
di dukung oleh penelitian Petrin Rendayani et, all. (2008) yang menyatakan
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin baik pula kualitas hidup domain
kesehatan fisik dan lingkungan.
IV.3.3.

Korelasi antara Dukungan Sosial dan Kesehatan Fisik


Pada tabel 4.4 didapatkan dari 36 lansia, 16 orang lansia yang

mendapatkan dukungan sosial buruk memiliki kesehatan fisik yang buruk pula.
Ini berarti dukungan sosial yang buruk akan semakin memperburuk kesehatan
fisik pada lansia. Dari uji Spearman pada tabel 4.5 didapatkan hasil terdapat
hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dan kesehatan fisik dengan
kekuatan korelasi cukup kuat, arah positif. Ini berarti semakin tinggi dukungan
sosial maka semakin tinggi pula kesehatan fisik, begitu pula sebaliknya.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Rosa
Hertamina, yaitu dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap
berkurang timbulnya sebuah penyakit dan juga

berasosiasi positif dengan

kesehatan individu. Dengan adanya dukungan sosial, maka kesehatan individu,


baik kesehatan fisik maupun mental akan terjaga dan lebih baik. Penelitian Isa
Multazam (2008) menambahkan bahwa lanjut usia yang memperoleh
dukungan sosial yang kurang akan semakin rentan terhadap kemunduran saraf
dan psikologis seiring dengan pertambahan usianya.
IV.3.4. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Kesejahteraan Psikologis
Pada tabel 4.4 didapatkan sebanyak 13 orang lansia yang mendapatkan
dukungan sosial buruk memiliki kesejahteraan psikologis yang buruk pula.
Berdasarkan tabel 4.5 bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis dengan kekuatan korelasi sangat
rendah. Hasil yang didapatkan tersebut bertentangan dengan penelitian Meta
Amelia (2012) yang menyatakan terdapat hubungan antara dukungan sosial
dengan depresi pada lanjut usia.
Hal ini kemungkinan karena terpenuhinya kebutuhan psikologis pada
lansia di panti ini dengan kegiatan spiritual. Karena pemenuhan kebutuhan
psikologis dapat pula dicapai salah satunya dengan kegiatan spriritual,
contohnya seperti kegiatan yang terdapat pada PTSW Budi Mulia 4 Margaguna
yang berupa pengajian atau bimbingan rohani. Kegiatan keagamaan tersebut
diwajibkan bagi seluruh lansia penghuni panti yang masih bisa melakukan
aktifitas. Selain pengajian, lansia juga diwajibkan untuk melakukan ibadah
bersama di mushola. Jenis kegiatan tersebut memberikan dampak terhadap
psikologis pada lansia di panti ini. Penelitian yang dilakukan oleh Greenfield,
et al. (2009) menunjukkan pula bahwa tingkat persepsi spiritual yang lebih
tinggi memiliki hubungan dengan kesejahteraan psikologis yang lebih baik.

IV.3.5. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Hubungan Sosial


Pada tabel 4.4 didapatkan sebanyak 19 orang lansia yang mendapatkan
dukungan sosial buruk memiliki hubungan sosial yang buruk pula. Ini berarti
dukungan sosial yang buruk akan semakin memperburuk hubungan sosial pada
lansia. Hal ini diperkuat pada tabel 4.5 yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dan hubungan sosial dengan
kekuatan korelasi cukup kuat, arah positif. Ini berarti semakin tinggi dukungan
sosial maka semakin tinggi pula hubungan sosial, begitu pula sebaliknya.
Peran lansia dalam keluarga semakin berkurang dan pada umumnya
lansia yang bertempat tinggal di panti tidak hidup dengan pasangannya,
kebanyakan mereka adalah duda atau janda. Dukungan sosial yang diterima
dari berbagai pihak tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas hidup lansia.
Hasil penelitian Risdianto (2009) menyatakan bahwa ada hubungan yang
tinggi atau signifikan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup lanjut usia
(r = 0,632 dengan p sebesar 0,001).
Kegiatan yang mendukung adanya dukungan sosial yang terdapat pada
PTSW Budi Mulia 4 Margaguna contohnya seperti kesenian angklung, dan
ketrampilan merajut. Namun setelah dilakukan wawancara pada beberapa
responden, salah satu responden mengaku bahwa kegiatan keterampilan
tersebut bukan minatnya dan kegiatan tersebut tidak diwajibkan pula untuk
semua lansia di panti tersebut. Hanya lansia yang berminat saja yang dapat
mengikuti kegiatan tersebut.
Hanya mengandalkan pramusosial atau staf yang berkaitan agar
meningkatkan dukungan sosial di panti tersebut saja itu tidak cukup. Pada
kenyataannya, perawat lansia di panti ini selalu berganti tiap minggunya dan
lansia kurang mendapat keeratan dukungan emosional yang akan membuat
lansia merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi.

IV.3.6. Korelasi antara Dukungan Sosial dan Hubungan dengan Lingkungan


Pada tabel 4.4, didapatkan 19 orang lansia yang mendapatkan dukungan
sosial buruk memiliki hubungan dengan lingkungan yang buruk pula. Ini
berarti dukungan sosial yang buruk akan semakin memperburuk hubungan
dengan lingkungan pada lansia. Berdasarkan tabel 4.5 menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dan hubungan
dengan lingkungan dengan kekuatan korelasi cukup kuat, arah positif. Ini
berarti semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi pula hubungan
dengan lingkungan, begitu pula sebaliknya. Pada kenyataannya di panti, lansia
harus dapat menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan fisik panti, tata
tertib panti dan juga dengan orang-orang di panti. Penyesuaian yang dilakukan
lansia terhadap kualitas lingkungan, kepribadian individu, dan gaya hidup serta
tuntutan lingkungan membutuhkan upaya yang tidak mudah. Penyesuaian yang
dilakukan lansia tidak cukup dari usaha lansia sendiri, lansia juga
membutuhkan dukungan orang lain agar dapat menyesuaikan diri dengan baik,
maka lansia membutuhkan dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya (Rosa
Hertamina, 1996).
Dengan adanya penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan dalam
aspek hidupnya, lansia akan cenderung melakukan penerimaan terhadap
keadaan dirinya (Crain, 2007). Penerimaan yang dilakukan lansia tentunya
akan berdampak pada kepuasan terhadap dirinya, misalnya mengenai
gambaran diri, harga diri, perasaan dan keadaan spiritual lansia.
IV.4.

Keterbatasan Penelitian
Sampel penelitian yang ditentukan sebelum melakukan penelitian, menurut

rumus slovin didapatkan sejumlah 109 orang. Setelah melakukan observasi di PTSW
Budi Mulia 4 Margaguna dan melakukan pemilihan sampel berdasarkan kriteria
inklusi didapatkan sejumlah 36 orang lansia. Sampel yang digunakan sangat sedikit
jika dibandingkan dengan populasi lansia yang ada. Ini dikarenakan sebagian besar

lansia yang menghuni panti ini termasuk lansia yang renta, tidak dapat
berkomunikasi, dan tidak kooperatif. Sehingga sampel ini kurang mewakili seluruh
populasi yang ada.
Selain itu, sebaran data pada penelitian ini tidak normal. Sehingga tidak
menggunakan uji parametrik (uji Pearson) tetapi menggunakan uji non parametrik
sebagai alternatifnya (uji Spearman).

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang
diperoleh, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan kesehatan fisik dengan kekuatan
korelasi cukup kuat, arah positif pada Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia
4 Margaguna Jakarta Selatan. Ini berarti dukungan sosial yang buruk akan
semakin memperburuk kesehatan fisik pada lansia.
2. Tidak terdapat korelasi antara dukungan sosial dan kesejahteraan psikologis
dengan kekuatan korelasi sangat rendah pada Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan.
3. Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan hubungan sosial dengan
kekuatan korelasi cukup kuat, arah positif pada Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan. Ini berarti dukungan sosial yang
buruk akan semakin memperburuk hubungan sosial pada lansia.
4. Terdapat korelasi antara dukungan sosial dan hubungan dengan lingkungan
dengan kekuatan korelasi cukup kuat, arah positif pada Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 4 Margaguna Jakarta Selatan. Ini berarti dukungan sosial
yang buruk akan semakin memperburuk hubungan dengan lingkungan pada
lansia.
V.2. Saran
1. Memberi pengetahuan kepada staf panti atau perawat tentang pentingnya
dukungan sosial untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.

2. Untuk perawat dan pramu sosial agar bersikap pro aktif memberikan
dukungan sosial terhadap lansia dengan terus mendorong meraka untuk aktif
bersosialisasi.
3. Meningkatkan kesadaran para lansia agar aktif dalam setiap kegiatan yang
diadakan oleh panti sebagai pengisi waktu luang dan pemenuhan kebutuhan
sosial di hari tua agar dapat meningkatkan kualitas hidupnya.

Anda mungkin juga menyukai