Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah penyakit mental atau gangguan mental adalah penyakit diagnosa yang
secara signifikan mempengaruhi kemampuan individu kognitif, emosional atau sosial.
Masalah kesehatan jiwa terjadi ketika sesuatu mengganggu atau tantangan kesehatan
mental kita. Hal ini dapat berdampak negatif pada pikiran, perasaan dan interaksi
sosial, tetapi mungkin tidak memenuhi kriteria untuk penyakit. Sebagai contoh,
masalah duka cita atau pribadi yang mungkin membuat kita merasa 'tertekan' untuk
sementara waktu, namun perasaan ini memecahkan dan ini berbeda dari memiliki
penyakit depresi. Penyakit didefinisikan oleh kehadiran sejumlah gejala, dari
keparahan tertentu, selama waktu yang ditentukan. Masalah kesehatan mental
biasanya lebih mudah sembuh dari penyakit mental, ketika keadaan memperbaiki atau
kita menemukan cara yang konstruktif untuk mengatasinya. Ada berbagai jenis
gangguan, yang terjadi pada berbagai tingkat keparahan. Contoh penyakit mental
termasuk depresi, gangguan panik, penyalahgunaan zat, gangguan bipolar dan
skizofrenia.
Gangguan mental atau penyakit mental adalah psikologis atau perilaku pola
umumnya terkait dengan subjektif distress atau cacat yang terjadi pada individu, dan
yang bukan merupakan bagian dari normal pembangunan atau budaya yang dapat
mempengaruhi gangguan mental dalam tiga cara termasuk efek pada bentuk identitas
individu dan kolektif, pelebaran ketimpangan ekonomi dan pembentukan dan
penyebaran pengetahuan kejiwaan

Ketimpangan di berbagai belahan dunia juga

memiliki implikasi pada asal dan manajemen gangguan kesehatan mental. Ada

kesenjangan antara sosial, status, kekayaan prestise dan kekuasaan. status sosial
ekonomi yang rendah dikaitkan dengan tingkat tinggi morbiditas psikiatri.
Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah Penderita kelainan jiwa di Kota
Semarang melonjak tajam selama tahun 2011. Data di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Amino
Gondohutomo Pedurungan mencatat kenaikan hingga 100 persen dalam 3 bulan
terakhir. Faktor dominanyang menyebabkan adalah, tak kuat menghadapi sulit nya
ekonomi saat ini. pasien penderita kelainan jiwa menyebabkan over kapasitas tempat
tidur rumah sakit. Lonjakan Pasien Penderita kelainan jiwa menyebabkan lebih dari
kapasitas rumah sakit Tempat Tidur. Di RSJ Amino Gondohutomo, tercatat ada 285
tempat tidur pasien. Bed Tingkat Hunian (BOR) pada Januari tercatat 85,4 persen.
Sementara pada Februari BOR 86,19 persen. Pada Maret, BOR melonjak mencapai
101 persen. BOR salah satu indikator tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat
tidur rumah sakit merupakan persentase pemakaian tempat tidur pada satu satuan
waktu tertentu. Pasien rawat inap di RSJ Amino Gondohutomo pada Januari tercatat
ada 359 pasien, pada Februari melonjak jumlahnya yaitu ada 365 pasien. Sedangkan
pada Maret melonjak tajam, ada sebanyak 401 pasien.
Pada orang dengan gangguan jiwa biasanya akan terjadi masalah-masalah
dalam pemenuhan kebutuhan diri, diantaranya adalah kurangnya kebutuhan merawat
diri atau deficit perawatan diri. Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar
manusia

dalam

memenuhi

kebutuhannya

guna

mempertahankan

hidupnya,

kesehatannya, dan kesejahteraannya sesuai dengan kondisi kesehatannya. Klien


diyatakan tergangguperawatan dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan dirinya.
Tanda-tanda klien yang mengalami deficit perawatan diri diantaranya adalah rambut
dan kulit kotor, Kuku panjang dan kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapi.

Deficit perawatan diri dapat mengakibatkan beberapa penyakit fisik diantaranya


adalah penyakit kulit panu (pitiriasis versikolor).
Penyakit panu merupakan "penyakit rakyat" yang dapat menyerang semua
orang pada semua golongan umur. Penyakit panu yang dalam bahasa kedokteran
disebut pitiriasis versikolor atau tinea versikolor yang disebabkan oleh jamur dalam
genus malassezia dan sebagai spesies tunggal disebut sebagai Malassezia furfur.
Spesies ini merupakan flora normal pada kulit. Penyakit ini lebih prevalen di daerah
tropis yang bersuhu hangat dan lembab. Laporan dari berbagai rumah sakit bagian
kulit di Indonesia menunjukkan kasus panu ini masih cukup prevalen.
Faktor lingkungan yaitu faktor kelembaban kulit, sedangkan faktor individual
yaitu kebersihan diri dan penyakit yang mempengaruhi imunitas, malnutrisi,
penggunaan obat-obatan yang menurunkan imunitas dan adanya kecenderungan
genetik (keturunan). Akibat kondisi tersebut, malassezia furfur akan berkembang
menjadi bentuk miselial yang bersifat patogenik yang terlihat secara klinis sebagai
penyakit panu. Penyakit ini paling banyak dijumpai pada usia belasan, walaupun
pernah dilaporkan pada usia yang lebih muda dan tua. Penyakit ini terutama
ditemukan pada daerah yang menghasilkan banyak keringat, karena jamur ini hidup
dan berkembang biak dari hasil metabolisme sebum. Biasanya terdapat pada bagian
atas dada dan meluas ke lengan, leher, perut, kaki, ketiak, pelipatan paha, muka, dan
kepala. Penyakit ini terutama ditemukan pada daerah yang tertutup pakaian yang
bersifat lembab. Keluhan ini pada awalnya timbul bercak yang berwarna coklat,
bercak putih yang disertai dengan rasa gatal terutama pada waktu berkeringat.
Dari hasil pengkajian yang dilakukan selama tiga minggu yaitu pada tanggal
18 April 2011 hingga 5 Mei 2011 di RSJ Amino Gondoutomo didapatkan data bahwa

dari 62 pasien yang dirawat di ruang 6 sebanyak 31 pasien dan ruang 7 sebanyak 31
pasien RSJ Amino Gondoutomo, 10 pasien (30%) mengalami deficit perawatan diri,
dan 13 pasien (40%) mengalami penyakit kulit panu di ruang 6. Sedangkan di ruang
7, 13 pasien (40%) mengalami deficit perawatan diri, 12 pasien (39%) diantaranya
terkena penyakit kulit panu. Hal ini membuat penulis sangat tertarik untuk
mengadakan mini riset untuk mengetahui adakah hubungan antara deficit perawatan
diri dengan kejadian panu di ruang 6 dan ruang 7 RSJ Amino Gondoutomo.

B.

Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diajukan dalam penelitian ini
adalah: Adakah hubungan antara deficit perawatan diri dengan kejadian penyakit panu
di ruang 6 dan 7 RSJ Amino Gondoutomo Semarang.

A. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan adakah hubungan antara deficit perawatan diri
dengan kejadian penyakit panu di ruang 6 dan 7 RSJ Amino Gondoutomo Semarang.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh deficit perawatan terhadap
merebaknya penyakit panu di ruang 6 dan 7 RSJ Amino Gondoutomo Semarang.
b. Untuk mengetahui seberapa besar fenomena kejadian penyakit panu pada pasien
gangguan jiwa dengan masalah deficit perawatan diri.
B. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
Mengetahui dengan lebih jelas fenomena kejadian penyakit panu pada pasien
gangguan jiwa dengan masalah deficit perawatan diri
2. Bagi perawat
Agar perawat mampu menerapkan metode dan langkah-langkah pencegahan,
pengendalian, dan pemulihan penyakit panu pada pasien gangguan jiwa dengan
masalah deficit perawatan diri dengan benar.
3. Bagi Pasien.

Memotivasi agar terjadi perbaikan dalam perawatan diri dan tidak terjadi
masalah yang akibatkan oleh defisit pearawatan diri misal nya panu

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab dan
perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 2000 : 46).
Skizofrenia merupakan suatu gangguan psikotik yangg kronik, sering mereda, namun
hilang timbul dengan manifestasi klinis yang amat luas variasinya (Kaplan 2000 :

407). Menurut Eugen Bleuler (Maramis, 1998 : 217), Skizofrenia adalah suatu
gambaran jiwa yang terpecah belah, adanya keretakan atau disharmoni antara proses
pikir, perasaan dan perbuatan. Dari ketiga pengertian diatas, penulis menyimpulkan
bahwa skizofrenia merupakan suatu gambaran sindrom dengan berbagai macam
penyebab dan perjalanan yang banyak dan beragam, dimana terjadi keretakan jiwa
atau ketidak harmonisan dan ketidaksesuaian antara proses pikir, perasaan dan
perbuatan serta hilang timbul dengan manisfestasi klinis yang beragam.
2. Etiologi
Dengan beragamnya presentasi gejala dan prognostik, maka tidak ada faktor etiologi
yang dianggap kausatif. Oleh karena itu terdapat berbagai penyebab, antara lain :
a. Model Diatesis Stress
Merupakan model yang sering di gunakan. Model ini mengemukakan bahwa
seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis). Apabila hal
tersebut dipengaruhi oleh stressor baik biologis, genetik, psikososial, dan
lingkungan akan menimbulkan perkembangan gejala skizofrenia.
b. Faktor Biologis
Area otak utama yang terlibat dalam skizofrenia adalah sistem limbik, ganglia
basalis, lobus frontalis. Sistem limbik berfungsi mengendalikan emosi. Pada
skizofrenia

terjadi

penurunan

daerah

amigdala,

hipokampus

dan

girus

parahipokampus. Jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan gejala


skizofrenia yaitu terjadi gangguan emosi. Ganglia basalis berkaitan dengan
pengendali pergerakan. Pada pasien dengan gejala skizofrenia memperlihatkan
pergerakan yang aneh, seperti gaya berjalan yang kaku, menyeringaikan wajah dan
stereotipik. Selain itu ganglia basalis berhubungan timbal balik dengan lobus
frontalis sehingga jika terjadi kelainan pada area lobus frontalis maka akan
mempengaruhi fungsi ganglia basalis.
c. Genetik
Telah banyak penelitian yang memastikan bahwa pengarus genetik sanat besar
pada pasien skizofrenia. Kemabr monozigot memiliki angka kesesuaian yang
tertinggi. Penelitian yang mutakhir telah menemukan bahwa pertanda kromosom
yang berhubungan dengan skizofrenia adalah kromosom 5,11 dan 18 pada bagian
lengan panjang dan kromosom 19 pada bagian lengan pendek, dan yang paling
sering dilaporkan adalah terjadi pada kromosom X. Pada skizofrenia kromososm-

kromosom ini mengalami kelainan yaitu saat mengkode dapat terjadi kekacauan
seprti translokasi.
d. Faktor Psikososial
1) Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik mengemukakan bahwa gejala skizofrenia mempunyai arti
simbolik bagi pasien individual. Misalnya, fantasi tentang dunia akan berakhir
mungkin menyatakan suatu perasaan bahwa dunia internal seseorang telah
mengalami kerusakan. Perasaan kebesaran dapat mencerminkan narsisme yang
direaktivasi dimana orang percaya bahw amereka adalah maha kuasa.
2) Teori Psikodinamik
Dasar dari teori dinamia adalah untuk mengerti dinamika pasien dan untuk
mengerti makna simbolik dari gejala. Teori ini menganggap bahwa
hipersensitivitas terhadap stimuli persepsi yang didasarkansecara kontitusional
sebagai suatu defisit. Pendekatan psikodinamika berdasar bahwa gejala
psikotik punya arti pada skizofrenia.
3. Tanda dan Gejala Skizofrenia
Tanda dan gejala skizofrenia menurut Maslim (2000 : 46)
a. Though echo : isi pikiran dirinya yang berulang atau berguna dalam kepalanya dan
isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama namun kualitasnya berbeda. Though
isertion atau withdrawl : isi pikiran asing dari luar masuk ke dalam pikirannya oelh
sesuatu dari luar dirinya. Thought broadcasting : isi pikirnya keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delsion of
influence), waham ketidakberdayaan (delision of passivity), persepsi terhadap
mistik (delusional perception).
c. Waham menetap jenis lainnya , yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa.
d. Arus pikir yang terputus atau yang mengalami sisipan, ayng berakibat inkoherensi
atau pembicaraan yang tidak relevan.
e. Perilaku katatonik.
f. Gejala-gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respon emosional
yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial.

g. Adanya suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam suatu keseluruhan
dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat,
hidup tak bertujuan, sikap malas, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri
secara sosial.
Menurut Bleurer, gejala skizofrenia dibagi dua, yaitu :
a. Gejala primer
1) Gangguan proses pikir (bentuk, langkah, dan isi pikir)
2) Gangguan afek dan emosi
3) Gangguan memori
4) Gejala psiomotor / gejala katatonik gangguan perbuatan
b. Gejala sekunder
1) Waham
2) Halusinasi
4. Tipe-tipe Skizofrenia
Dalam PPDGJ III skizofrenia terbagi menjadi :
c. Skizofrenia Paranoid
d. Skizofrenia Hebefrenik
e. Skizofrenia Katatonik
f. Skizofrenia tak terinci
g. Defrresi pasca skizofrenia
h. Skizofrenia Residual
i. Skizofrenia Simplek
j. Skizofrenia lainnya
k. Skizofrenia tak tergolongkan
Dari sekian banyak tipe skizofrenia, ada studi kasus ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai Skizofrenia Hebefrenik.
1. Pengertian
Skizofrenia Hebefrenik adalah permulaannya perlahan-lahan atau subakut,
sering timbul pada masa remaja (antara 15-25), gejala yang dominan
adalah ganguan proses pikir, gangguan kemauan, adanya defersonalisasi,
gangguan psikomotor, neologisme, atau perilaku kekanak-kanakan,
waham dan halusinasi.

2. Tanda dan Gejala


a. Reaksi sikap dan tingkah laku yang tidak logis, suka tertawa-tawa,
kemudian menangis, sangat irritable atau muah tersinggung sering
disertai sendirian dan penuh kemarahan.
b. Terjadi kemundura psikis, kekanak-kanakan, perasaan tumpul dan
tidak logis.
c. Pikiran melantur, muka (grimasem) tanpa aa stimulus, halusinasi.
d. Inkoherensi yaitu jalan pikiran yang kacau, tidak dapat dimengerti apa
maksudnya, hal ini dapat dilihat dari kata-kata yang diucapkan tidak
ada hubungannya satu dengan yang lain.
e. Alam perasaaan (mood affect) yang datar tanpa ekspresi serta yang
menunjukan rasa puas diri, atau senyum yang hanya dihayati sendiri.
f. Waham tidak jelas dan tidak sistematis (terpecah-pecah) tidak
terorganisir sebagai suatu kekuatan.
3. Pedoman Diagnostik Skizofrenia Hebefrenik (PPDGJ III, Kode F 20.1)
a. Memenuhi kriteria umum diagnosa skizofrenia
b. Ditegakan pada usia remaja atau dewasa muda (15-25 tahun)
c. Kepribadian premorbid menunjukan ciri-ciri khas pemalu dan senang
menyendiri.
Untuk meyakinkan diperlukan pengamatan selama 2-3 bulan
untuk memastikan gambaran lihat yang bertahan, antara lain perilaku
yang tidak bertanggungjawab dan tidak dapat di ramalkan,
kecenderungan untuk selalu menyendiri, dan perilaku tanpa tujuan dan
perasaan afek dangkal dan tidak wajar, proses fikir mengalami
disorganisasi dan topik pembicaraan tidak menentu (inkoheren),
gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham biasanya ada tetapi tidak
menonjol.
B. Konsep Defisit Perawatan Diri
1. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya

jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2000). Defisit perawatan diri
adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi,
berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004). Menurut Poter Perry (2005), Personal
hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang
untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana
seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya ( Tarwoto dan
Wartonah 2000 ).
2. JenisJenis Perawatan Diri
a. Kurang perawatan diri : Mandi / kebersihan, kurang perawatan diri (mandi) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
b. Kurang perawatan diri : Mengenakan pakaian / berhias, kurang perawatan diri
(mengenakan pakaian) adalah gangguan kemampuan memakai pakaian dan
aktivitas berdandan sendiri.
c. Kurang perawatan diri : Makan, kurang perawatan diri (makan) adalah gangguan
kemampuan untuk menunjukkan aktivitas makan.
d. Kurang perawatan diri : Toileting, kurang perawatan diri (toileting) adalah
gangguan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas toileting
sendiri (Nurjannah : 2004, 79 ).
3.

Etiologi
Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah
sebagai berikut:
a. Kelelahan fisik
b. Penurunan kesadaran
Menurut Dep Kes (2000: 20), penyebab kurang perawatan diri adalah:
Faktor predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan
inisiatif terganggu.
2. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
Kemampuan realitas turun.Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.

3. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.
4. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri.
Menurut Depkes (2000: 59) Faktor faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
1. Body Image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli
dengan kebersihan dirinya.
2. Praktik Sosial
Pada anak anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan
akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3. Status Sosial Ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat
gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
4. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes
mellitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
6. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain lain.
7. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya.

Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene.


1. Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik, gangguan fisik yang
sering terjadi adalah : Gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa
mulut, infeksi pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku.
2. Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan
kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga
diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial.
Tanda dan Gejala menurut Depkes (2000: 20).
Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
a) Fisik
Badan bau, pakaian kotor, rambut, dan kulit kotor, kuku panjang, dan kotor,
Gigi kotor disertai mulut bau, penampilan tidak rapi.
b) Psikologis
Malas, tidak ada inisiatif, Menarik diri, isolasi diri, Merasa tak berdaya,
rendah diri dan merasa hina.
c) Sosial
Interaksi kurang, kegiatan kurang, tidak mampu berperilaku sesuai norma, cara
makan tidak teratur BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi
tidak mampu mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam deficit perawatan diri adalah :
1. Data subyektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya.
2. Data obyektif
a. Rambut kotor, acak acakan
b. Badan dan pakaian kotor dan bau
c. Mulut dan gigi bau.
d. Kulit kusam dan kotor

e. Kuku panjang dan tidak terawat


Mekanisme Koping
a. Regresi
b. Penyangkalan
c. Isolasi diri, menarik diri
d. Intelektualisasi
Rentang Respon Kognitif
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat merawat diri
sendiri adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a) Bina hubungan saling percaya.
b) Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c) Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a) Bantu klien merawat diri
b) Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c) Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya, kamar
mandi yang dekat dan tertutup.

C. Penyakit kulit panu


Panu merupakan masalah kulit yang tidak hanya mengganggu kesehatan tapi
juga penampilan karena bercak putih yang ditinggalkannya. Banyak kasus yang
terjadi, walaupun sudah diobati, bercak putih tersebut seringkali tidak juga hilang.
Hal itu karena jamur penyebab panu menghasilkan suatu zat bernama asam
azaleat, yang menyebabkan warna kulit terinfeksi menjadi lebih pucat. Pada saat kita
menggunakan obat-obat panu yang bersifat anti jamur, biasanya saat sembuh pun
warna kulit pucat atau putih tersebut tetap bertahan lebih lama. Hal ini sering
dianggap masyarakat sebagai 'belum sembuh', padahal yang tersisa mungkin hanyalah
bekasnya, sedangkan jamurnya sudah mati.

Obat-obat panu biasanya bekerja membunuh jamur, tidak menghilangkan


bekas putih. Bekas putih biasanya akan hilang secara perlahan dengan sendirinya,
atau dapat dipercepat dengan banyak berjemur.
Berbagai obat anti jamur sebenarnya tersedia di Indonesia, mulai dari
golongan Klotrimasol, Mikonasol, Ketokonasol, Itrakonasol dan Fluconasol.
Beberapa di antaranya dijual bebas, namun sebagian hanya dapat dibeli dengan resep
dokter.
Panu merupakan penyakit kulit yang disebabkan infeksi jamur Malassezia
Spp. Penyakit ini ditandai dengan perubahan warna kulit (menjadi lebih putih,
kemerahan atau kecoklatan) dan disertai sisik yang halus. Jamur penyebab panu
tersebut sebenarnya secara normal dapat dijumpai pada kulit semua orang.
Beberapa faktor risiko tertentu, misalnya kelembaban yang tinggi, sering
berkeringat, meminum obat-obat antibiotik atau obat lain yang dapat menurunkan
daya tahan dalam jangka yang cukup panjang, akan membuat jamur ini berkembang
lebih pesat (overgrowth). Sehingga menimbulkan kelainan kulit, antara lain dalam
bentuk panu.

Anda mungkin juga menyukai