Anda di halaman 1dari 13

TUGAS INDIVIDU

SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

SOSIOLOGI MASYARAKAT PESISIR

Dosen Pengampu : Dr. Partini, SU


Oleh :
Muhammad Dalvi Mustafa
NIM. 12/338874/PMU/07405

MAGISTER PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PEMBANGUNAN


SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013

SOSIOLOGI
MASYARAKAT PESISIR
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar yang terdapat di dunia.
Dengan jumlah garis pantai kurang lebih 95.000 kilo meter dan jumlah pulau kurang lebih
17.000 buah pulau yang terdapat dari Sabang sampai Merauke. Menurut BPS tahun 2010 jumlah
suku yang terdapat di Indonesia mencapai 1.340 jenis suku yang sebagian besar berada pada
masyarakat pesisir di Indonesia. Dengan keragaman suku dan budaya yang terdapat di negara
kita ini dijadikan salah satu alasan tidak dapatnya negara Indonesia menjadi negara maju.
Masyarakat pesisir salah satu masyarakat dominan di Indonesia merupakan salah satu kalangan
masyarakat yang termasuk golongan masyarakat miskin terbesar. Dengan pekerjaan yang
memiliki tingkat resiko tinggi, bergantung pada kondisi alam, serta harga komoditi hasil
perikanan yang berfluktuasi menyebabkan masyarakat pesisir masih dalam ranah kemiskinan
yang bersifat structural maupun cultural.
Dalam menyusun suatu program peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, salah satu
aspek yang menjadi perhatian adalah kajian sosiologi masyarakat pesisir. Sosiologi masyarakat
pesisir berbeda dengan sosiologi pertanian, dimana sosiologi pedesaan berbasis pada masyarakat,
sedangkan sosiologi masyarakat pesisir direkonstruksi dari basis sumberdaya (Satria, 2002:5).
Konsentrasi sosiologi masyarakat pesisir lebih pada penekanan aktivitas dari masyarakat pesisir
itu sendiri terhadap sumberdaya yang ada disekitarnya. Dengan dikelilingi oleh budaya dan pola
hidup tradisional, masyarakat pesisir memiliki keragaman kajian sosiologi yang menarik untuk di
kaji.

B. KARAKTERISTIK MASYARAKAT PESISIR


1.

Budaya Masyarakat Pesisir


Masyarakat pesisir yang sering didefenisikan sebagai suatu masyarakat yang tinggal di

pinggir pantai dan menggantungkan hidupnya pada hasil sumber daya laut memiliki karakteristik
yang berbeda dengan masyarakat petani. Dalam perspektif antropologis yang berada daerah
pantai, menciptakan realitas masyarakat nelayan memiliki pola-pola kebudayaan yang menjadi
kerangka berpikir atau referensi perilaku masyarakat pesisir dalam menjalani kehidupan sehariharinya. Masyarakat petani yang menghadapi suatu sumberdaya yang dapat dikontrol dengan
baik berbeda dengan masyarakat pesisir atau nelayan yang dimana tempat mata pencahariannya
bersifat open acces sehingga tidak ada kepastian dalam mencari nafkah. Konsentrasi pola hidup
masyarakat pesisir yang berhubungan langsung dengan sumberdaya alam yang ada di sekitar
mereka, menyebabkan kondisi mereka yang terisolasi dalam satu daerah saja. Redfield
(Koentjaraningrat, 1990;141) mejelaskan bahwa terdapat dua tipe komunitas kecil yaitu
komunitas yang terisolasi dan komunitas petani, dimana komunitas kecil tersebut memiliki cirri
(i) mempunyai suatu identitas yang khas, (ii) terdiri dari penduduk dengan jumlah yang cukup
terbatas sehingga masih saling mengenal sebagai individu yang berkepribadian, (iii) bersifat
seragam dnegan diferensiasi terbatas, dan (iv) kebutuhan hidup penduduknya sangat terbatas
sehingga smua dapt dipenuhi sendiri tanpa tergantung dari pasaran luar. Tingkat resiko yang
tinggi dalam mencari nafkah tersebut, masyarakat pesisir masih mempercayai hal-hal mitos dan
kepercayaan yang mereka anut untuk mendapatkan perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Comte
(Veeger,1991:20) menjelaskan bahwa mula-mula pada awal berkembangnya akal budi manusia
memakai gagasan-gagasan keagamaan untuk menerangkan semua gelaja dan kejadian, sehingga
semua gejala alam, hidup-mati, suka-duka, untung-rugi yang dialami oleh manusia adalah

kehendak dan tindak dari Yang Mahakuasa. Proses ritual, pemberian sesajen dalam masyarakat
pesisir masih sangat kental dilakukan dengan mempecayai bahwa terdapat tuan laut yang harus
disembah sehingga mendapatkan izin dalam melakukan penangkapan dan menghasilkan jumlah
tangkapan yang banyak. Sumner (et al) menjelaskan bahwa kebiasaan rakyat (folkway) apabila
telah mencapai tingkat di mana mereka tidak hanya sebagai pegangan kritis, tetapi menjadi
bahan refleksi juga, yang disampaikan kepada generasi mereka dalam rupa mitos dan bersifat
sakral.
2.

Struktur Sosial Masyarakat Pesisir


Pola hidup masyarakat pesisir layaknya dalam masyarakat pedesaan pada umumnya

memiliki struktur yang mencermikan status stratafikasi dan peran mereka dalam kehidupan
masyarakat pesisir tersebut. Terdapat kelas-kelas dalam masyarakat pesisir yang diukur dari
kemampuan memiliki modal khususnya dalam bentuk materi. Sehingga menyebabkan
terdapatnya kesenjangan yang sangat tampak dalam kehidupan masyarakat pesisir yang biasa
disebut dengan relasi patron-client dimana posisi patron yang memiliki modal banyak yang biasa
dinamakan juragan dan posisi client pada nelayan buruh yang tidak memiliki modal tetapi
menjual tenaganya untuk dapat bertahan hidup. Kondisi ketidakpastian hidup masyarakat pesisir
senantiasa membayangi kehidupan mereka, sehingga untuk mengantisipasi ketidakpastian
pendapatan dan menjaga kelangsungan hidup, masyarakat nelayan mengembangan jaringan
hubungan tradisional yang bersifat patron-klien untuk menciptakan rasa aman social dan
diharapkan menetralisasi kegundahan social nelayan karena tidak memperoleh penghasilan yang
memadai untuk menopang kelangsungan hidup mereka secara normal. Pelras dalam Karim (1982
; 127) menjelaskan bahwa hubungan patron klien adalah hubungan tidak setara yang terjalin
secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dan sejumlah pengikut, dimana hubungan

tersebut berdasarkan pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien pada patron dibalas oleh
perlindungan patron terhadap kliennya. Ketergantungan nelayan buruh terhadap para pemilik
modal atau jaringan bukan hanya sebagai ikatan ekonomi saja, tetapi telah sampai pada tahap
emosional dan kepercayaan tinggi menjalani hidup bersama-sama. Ketidakmampuan nelayan
buruh dalam posisi tawar dan jaringan patron klien tersebut merupakan wadah dan sarana yang
yang menyediakan sumber daya sebagai jaminan social secara tradisional yang dapat menjaga
kelangsungan hidu nelayan buruh terebut menyebabkan nelayan masih tetap pada ranah
ketergantungan yang tinggi sehingga pergerakan social menuju yang lebih baik tidak dapat
dilakukan. Scott (et al), melihat hubungan patron-klien sebagai fenomena yang terbentuk atas
dasat ketidaksamaan dan sifat fleksibilitas yang tersebar sebagai sebuah system pertukaran
pribadi. Bourdieu (Jenkins 2004;135) menjelaskan bahwa dalam suatu komunitas masyarakat
terdapat deretan asusmsi dan kepercayaan yang berkembang tanpa tidak pernah mereka
pertanyakan sehingga didominasi oleh suatu situasi yang sulit karena pengaruh yang kuat dari
hirarki social tersebut yang disebut sebagai doxa. Dengan kepercayaan yang tinggi dalam pola
hirarki social yang bukan hanya dalam ekonomi saja, tetapi telah terikat dengan adanya ikatan
emosional yang kuat antara patron atau juragan dan klient atau nelayan buruh menciptakan
solidaritas yang kuat dalam masyarakat pesisir. Berujuk pada teori Durkheim dimana
menganggap bahwa perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur
social mereka, sehingga melahirkan solidaritas yang kuat didalamnya yang terbagi dua yaitu
solidaritas mekanistis dan solidaritas organis. Dalam masyarakat pesisir, solidaritas
mekanistislah yang terbangun secara kuat karena, ciri masyarakat pesisir yang masih bersifat
homogen baik dalam perilaku kerja maupun perilaku kehidupan sehari-hari dan kehidupan
bersamanya berdasarkan pada keyakinan dan nilai-nilai bersama dalam kesadaran kolektif

mereka. Relasi patron-klien bukan hanya sebagai pola kerja sama jaringan tetapi merupakan sifat
yang menjadi suatu lembaga kultur yang terdapat di masyarakat pesisir. Dalam pembuatan aturan
maupun norma merupakan hasil dari interaksi yang dilakukan sejak lama maupun dibuat pada
masa sekarang menyesuaikan dengan kondisi zaman sekarang. Spencer (et al) mejelaskan bahwa
masyarakat dapat menjadi badan yang terintegrasi, asal anggotanya menyadari tanggung jawab
mereka dan menyesuaikan perilaku dengan norma itu. Dimana lembaga juragan-nelayan buruh
biasa disebutkan memiiki norma-norma dan aturan yang kemudian menjadi pegangan yang
penting dalam perilaku masyarakat pesisir. Parsons (et al) memaparkan nilai-nilai budaya yang
dibagi bersama kemudian dilembagakan menjadi norma-norma social dan dibatinkan oleh
individu-individu menjadi sebuah motivasi. Relasi patron-klien yang menjadi suatu lembaga
nonformal dalam kalangan masyarakat pesisir terbukti dapat menciptakan norma-norma dan
perilaku yang seragam dalam pola hidup mereka.
C. MODAL SOSIAL MASYARAKAT PESISIR
Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi untuk
mendapatkan sumber daya baru. Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainya yaitu modal
manusia, di mana modal manusia adalah segala sesuatunya lebih merujuk kedimensi individual
yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu, sedangkan modal sosial lebih
menekankan pada potensi kelompok dan pola hubungan antar-individu dalam suatu kelompok
dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan
antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Putnam dalam
Field (2010) menjelaskan salah satu teori modal sosial yang menjadi kiblat para peneliti dalam
menjelaskan modal sosial. Putnam menggunakan konsep modal sosial untuk lebih banyak
menerangkan perbedaan-perbedaan dalam keterlibatan yang dilakukan warga. Modal sosial

merujuk pada bagian organisasi sosial kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat
meningkatkan efesiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi.
Gagasan inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan sosial memiliki nilai, kontak sosial
mempengaruhi produktivas individu dan kelompok dan hubungan antar individu mengakibatkan
jaringan sosial dan norma resiprositas dan keterpercayaan yang tumbuh dari hubungan-hubungan
tersebut. Serangkaian nilai atau norma informal yang dimiliki bersama yang memungkinkan
terjadinya suatu kerjasama sehingga dapat saling mempercayai merupakan modal sosial yang
terdapat dalam suatu asosiasi (Fukuyama, 2007). Modal sosial juga sangat dekat dengan
terminologi sosial lainya seperti yang dikenal sebagai kebajikan sosial. Perbedaan keduanya
terletak pada dimensi jaringan, dimana kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di
dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik
dalam suatu bentuk hubungan sosial.
Kehidupan suatu individu sangat bergantung pada pola interaksi maupun hubungan yang
saling menguntungkan. Pada dasarnya, setiap golongan masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, masih memiliki potensi sumberdaya social yang bias didayakan guna untk mengatasi
kemiskinan antara lain, system nilai, norma-norma perilaku, etika social, jaringan dan
kepercayaan. Keberadaan suatu kelompok maupun relasi social tidak terlepas dari lingkungan
yang mempengaruhi kelompok tersebut. Bourdieu (et al) menjelaskan bahwa terdapat empat
jenis modal yang ada dalam suatu masyarakat yaitu modal ekonomi, modal sosial ( berbagai
jenis relasi bernilai dengan pihak lain yang bermakna), modal kultural (pengetahuan sah satu
sama lain) dan modal simbolis (prestise dan gengsi sosial). Struktur sosial masyarakat pesisir
yang telah dipaparkan di atas dimana terdiri dari relasi patron-klient dengan dasar hubungan
ekonomi dan tingkat kepercayaan yang tinggi karena adanya ikatan emosional yang kuat

merupakan salah satu modal yang dimiliki oleh masyarakat pesisir. Pembentukan kekerabatan
dan resiprositas dalam struktur sosial masyarakat pesisir menciptakan kerjasama yang baik
dalam proses lapangan kerja maupun kehidupan sosial mereka. Kepercayaan adalah unsur yang
penting dalam pengertin konsep modal sosial karena kepercayaan dapat mendorong seorang
bersedia menggunakan hasil kerja orang atau kelompok tersebut. Fukuyama (dalam Alfitri,2011)
menjelaskan bahwa komunitas bergantung pada kepercayana, dan kepercayaan ditentukan secara
kultural, maka komunitas spontan akan muncul dalam berbagai tingkatan yang berbeda dalam
budaya yang berbeda pula dengan menciptakan pengharapan yang muncul yang berperilaku
normal, jujur, dan kooperatif, berdasarkan norma yang dimiliki bersama. Bentuk kerjasama
antara nelayan buruh dan juragan dalam masyarakat pesisir dalam lingkungan yang terisolasi
membentuk proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial yang intensif. Kepercayaan
yang terjalin kuat dalam patron-klient masyarakat pesisir merupakan by product dari lembaga
tersebut dengan mengandalkan untuk tetap menjaga komitmen, norma-norma saling menolong
dan menghindari perilaku oportunistik, sehingga lembaga patron-klient tersebut akan mampu
mencapai tujuan-tujuan bersama secara lebih efesien. Gillin dan Gillin (Soekanto, 1990;77)
menjelaskan bahwa proses sosial yang timbul akibat adanya interaksi sosial terbagi dua yaitu
proses yang asosiatif ( akomodasi, asimilasi, dan akulturasi), dan proses yang disosiatif yang
mencakup persaingan dan pertentangan. Juragan dalam pola kerja masyarakat pesisir bukan
hanya saja sebagai status sosial yang lebih tinggi, tetapi harus dapat menyediakan kebutuhan
kepada nelayan buruh untuk dapat melakukan proses penangkapan, baik itu yang berbentuk fisik
maupun non fisik.
Pola bertahan hidup yang terdapat pada jaminan sosial pada juragannya menyebabkan
nelayan buruh memegang penuh nilai-nilai maupun norma-norma yang telah dibangun oleh para

juragan

dalam mengikat nelayan buruh sebagai pengikut untuk dapat mempertahankan

hidupnya. Awal struktur dari relasi patron-klien yang berlandaskan pada kebutuhan ekonomi
semata kemudian meningkat menjadi etika dalam berperilaku dalam masyarakat pesisir yang
masih dipercayai sampai sekarang. Blau (Ritzer 2012;731) menanggap bahwa nilai dan normanorma membantu sebagai media kehidupan sosial dan menengahi hubungan-hubungan untuk
transaksi sosial dan mengatur proses-proses intergras sosial dan diferensiasi di dalam strukturstruktur sosial. Soekanto (et al) menjelaskan bahwa norma yang terbentuk secara tidak sengaja
kemudian lama kelamaan terbentuk secara sadar yang dimana didalamnya terdapat kekuatan
yang mengikat dalam perilaku manusia. Dalam Soekanto juga membedakan kekuatan dari
norma-norma tersebut

yaitu terdiri dari (i) cara (usage) (ii) kebiasaan (folkways) (iii) tata

kelakuan (mores) dan (iv) adat istiadat (custom). Dengan gabungan nilai-nilai budaya yang
kemudian dilembagakan membentuk norma-norma yang mengikat dalam masyarakat pesisir.
Tingkat kekuatan norma yang berlaku dalam masyarakat pesisir menjadi suatu kebiasaan dan tata
kelakuan yang di akui dan diterima dalam masyarakat tersebut. Aturan-aturan dalam bentuk
norma kolektif tersebut di masyarakat pesisir merupakan bentuk yang tidak tertulis tetapi
dipahami oleh setiap anggota masyarakat pesisir sebagai pola tingkah laku dalam interaksi
hubungan sosial mereka baik itu secara vertikal maupun horizontal. Norma-norma ini cenderung
tidak merangsang munculnya ide-ide baru, karena semua bentuk hubungan tersebut berlabelkan
dengan budaya mereka tanpa dapat disentuh dalam dimensi pembangunan lainnya.
Masyarakat pesisir di Indonesia sesuai yang dijelaskan di atas tidak terlepas dari bentuk
struktur-struktur social yang hierarki. Di mana terdapat kekuasaan dan yang dikuasai dalam pola
kehidupan mereka. Relasi patron-klient yang merupakan produk dari interaksi social masyarakat
pesisir menciptakan norma dan kepercayaan yang di budayakan dalam lembaga patron-klient itu

sendiri. Jaringan-jaringan social dalam masyarakat pesisir menjadi suatu kebutuhan yang lebih
dalam mendapatkan informasi-informasi baik dari luar maupun dari dalam. Masyarakat pesisir
yang masih bersifat homogen dan private dalam berkehidupan menyebabkan tidak mudahnya
akses informasi luar dapat masuk seketika dalam kelompok mereka. Dalam jaringan patronase,
informasi berjalan dengan mudah, tetapi batas-batas luarnya memunculkan sebuah selaput yang
menyebabkan informasi kurang mudah melewatinya, dan jaringan-jaringan patronase sangat
problematic dalam berbagai organisasi karena strukturnya tidak jelas bagi mereka yang berada di
luar organisasi, dan mereka seringkali menentang hubungan-hubungan otoritas formal. Dengan
memiliki norma-norma yang berlandaskan atas perilaku dan kebudayaan dalam masyarakat
pesisir itu sendiri, informasi-informasi informal akan bertentangan dengan kuatnya nilai dan
norma tersebut sehingga keterbukaan pada masyarakat luas sering sulit untuk dapat dimengerti.
Fukuyama (et al) mendefinisikan jaringan merupakan hubungan moral keperayaan yang berbagi
norma-norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai atau norma-norma yang penting.
Norma-norma dan nilai-nilai tersebut di dalam ini diartikan sebagai norma yang berkembang dari
resiprositas sederhana yang dimiliki bersama di antara dua orang atau kelompok. Modal social
dalam masyarakat pesisir dengan model jaringan ini menciptakan modal social yang mengikat
(eksklusif) bukan dapat menjembatani (inklusif) jaringan-jaringan yang membawa informasi
baru untuk perbaikan masyarakat pesisir itu sendiri. Putnam dalam Field (2010:52) menjelaskan
bahwa modal social

yang mengikat

cenderung mendorong identitias ekslusif dan

mempertahankan homogenitas dan modal social yang menjembantani cenderung menyatukan


orang dari beragam ranah social. Modal social yang mengikat dalam relasi patron-klient
masyarakat pesisir menciptakan sesuatu yang baik untuk menopang timbal balik yang spesifik
baik dalam hubungan pembagian kerja maupun jaminan social yang diberikan oleh para patron

sehingga memelihara kesetiaan yang kuat di dalam kelompok dan memperkuat identitas-identitas
spesifik. Bourdieu

dalam Alfitri (2011:66) menyebut kondisi ini sebagai habitus yang

mengamsumsikan bahwa manusia membawa seperangkat skema dalam dirinya serta perasaannya
tentang bagaimana dunia ini bekerja yang tenteram dan mereka sendiri tidak menyadarinya yang
diproduksi secara rutin dalam masyarakat tersebut. Nelayan buruh dengan tanpa memperdulikan
untuk dapat membuka jaringan yang lebih luas keluar, dan lebih mempercayai jaringan yang
dibangun di dalam komunitasnya yaitu hanya kepada para juragan (patron) sehingga
menciptakan zona nyaman yang mereka rasakan sebagai pengikut setia dari patron. Kekuatan
integrasi dalam relasi patron-klient tersebut terkadang cenderung untuk menjauhi, menghindar
bahkan pada situasi yang ekstrim dan menciptakan kebencian dari masyarakat lain di luar
kelompok masyarakat pesisir.
D. PENUTUP
Masyarakat pesisir sebagai salah satu komunitas masyarakat yang paling banyak
menghuni wilayah di negara kita ini haruslah mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan masyarakat di daratan. Pergerseran kebijakan revolusi agraris dari revolusi hijau menuju
revolusi biru dan pemanfaatan pengetahuan local yang ada di masyarakat tradisional Indonesia
bisa menjadi titik awal yang dapat mensejahterakan masyarakat pesisir di Indonesia. Sosiologi
masyarakat pesisir yang lebih menekankan dalam hubungannya dengan sumber daya alam
sehingga sangat diperlukan mengetahui lebih dalam mengenai karakteristik masyarakat pesisir
itu sendiri. Pola kehidupan pada masyarakat pesisir yang hierarki dan kental akan budaya dapat
menjadi salah satu pengetahuan local (local wisdom) dalam menentukan arah kebijakan yang
lebih baik pada masyarakat pesisir. Sifat lahan pencaharian nafkah yang open acces memerlukan
kebijakan yang tepat agar mendapatkan win-win solution dalam kebijakan tersebut sehingga

10

dapatmenghidarkan konflik antar nelayan. Karakter masyarakat pesisir yang homogen dank eras
dengan memiliki pola interaksi dengan kedekatan emosional yang kuat, menciptakan sulitnya
intervensi dalam pengembangan pembangunan masyarakat pesisir tersebut. Tetapi dengan
interaksi yang kuat tersebut, menciptakan suatu modal social yang dimana bisa menjadi salah
satu pertimbangan dengan memanfaatkan segala modal social yang dimiliki tanpa ada
pengkhususan dalam kebijakan pembangunan akan menciptakan pembangunan yang lebih tepat
sasaran.

11

DAFTAR PUSTAKA
Alfitri. 2011. Community Development. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Field, John. 2010. Modal Sosial. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana
Fukuyama, Francis. 2007. The Great Disruption. Diterjemahkan oleh Ruslani. Jakarta : Qalam
Jenkins Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Diterjemahkan oleh Nurhadi.
Yogyakarta : Kreasi Wacana
Karim, Rusli. 1982. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya : PT. Usaha Nasional
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah teori Antropologi II. Jakarta : UI Press
Kusnadi, 2007, Strategi hidup Masyarakat Nelayan. Yogyakarta ; LKis
Ritzer, George. 2012. Teori Sosiologi (Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern). Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, dkk. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Satria, Arif. 2002. Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta : Pustaka Cidesindo
Soekanto Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Press
Veeger, K.J. 1990. Realitas Sosial. Jakarta : PT. Gramedia

Anda mungkin juga menyukai