Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tetanus merupakan salah satu

penyakit infeksi yang dapat

dicegah dengan imunisasi. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum
diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup, karena tidak
melakukan booster secara berkala.
Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di
seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta
kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%. Pada
tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.
Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield
dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di
seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun. Selama
20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara
tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir
sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster
yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang
yang lupa melakukan jadwal imunisasi. Di Amerika Serikat, tetanus
sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50%
kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka
kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran
hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah
sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30%
kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi
<12 bulan.
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak. Meskipun insidens tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka

60%. Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap


tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun
pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh
dunia. Oleh karena itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai
penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka
kematian penderita tetanus, khususnya pada anak.

1.2 TUJUAN UMUM


Diharapkan mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit
tetanus yang dapat dicegah dengan imunisasi

1.3 TUJUAN KHUSUS


1.3.1

Memahami definisi penyakit tetanus

1.3.2

Memahami etiologi penyakit tetanus

1.3.3

Mengetahui klasifikasi dari tetanus

1.3.4

Mengetahui patofisiologi dari tetanus

1.3.5

Mengetahui manifestasi klinis dari klien dengan tetanus

1.3.6

Mengetahui penatalaksanaan klien dengan tetanus

1.3.7

Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan tetanus

1.4 MANFAAT PENULISAN


Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk menambah dan
memperdalam pengetahuan mahasiswa tentang asuhan keperawatan pada
klien dengan tetanus sehingga dapat menerapkan langsung asuhan
keperawatan pada klien

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin
kuman Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara
paroksisme dan diikuti kekuatan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot
ini tampak pada otot maseter dan otot-otot rangka (Batticaca, Fransisca
B, 2008:126).
Tetanus Neonatorum adalah penyakit infeksi pada neonates yang
disebabkan oleh spora tetanus yang masuk melalui tali pusat, karena
perawatan/tindakan yang tidak memenuhi syarat kebersihan (Nugroho,
2011:83).
Tetanus adalah suatu penyakit akut yang disebabkan oleh
Clostridium tetani yang menghasilkan exotoksin (Suriadi, 2010:247).
2.2 ETIOLOGI
Clostridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang
bersifat anaerob, membentuk spora (tahan panas), gram positif,
mengeluarkan eksotosin yang bersifat neurotoksin (yang efeknya
mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik (pyogenic). Basil ini banyak ditemukan pada
kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk kotoran kuda. Penyakit
tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan
jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik
untuk proliferasi anaerob. Luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi
anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus (Batticaca, Fransisca
B, 2008).
2.3 KLASIFIKASI
Menurut Nugroho, 2011:83, terdapat klasifikasi menurut gejala:
-

Stadium 1 : tanpa kejang tonik umum, trismus 3 cm

Stadium 2 : kejang tonik umum bila dirangsang, trismus 3 cm atau


lebih kecil

Stadium 3 : kejang tonik umum spontan, trismus 1 cm

2.4 PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat
pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya
kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan
fisik atau biologik. Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti,
namun diduga melalui :
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang,
luka bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali
pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daundaunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali
pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang
masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa
faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan
berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi.
Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel
vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin,
yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan
oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat
sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3)
otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis.
Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5
nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram),
atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat
motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum
tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut
daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini
melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada
ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan
kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke
arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial
membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak
aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang
terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan
impuls pada tonus otot,sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan
kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme
terutama pada otot yang besar.
Dampak toksin antara lain :
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan
karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas
pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.
Berdasarkan Suriadi

(2010:207), menjelaskan patofisiologi

tetanus sebagai berikut:


1. Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka
tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar,
luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat.
2. Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanospasmin yang
merupakan toksin kuat dan atau neurotropic yang dapat menyebabkan

ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi system saraf


pusat.Kemudian tetanolysin yang tampaknya tidak signifikan.
3. Exsotoksin yang dihasilkanakan mencapai pada system saraf pusat
dengan melewati akson neuron atau system vascular. Kuman ini
menjadi terikat pada sel saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi
dinetralkan oleh antitoksin spesifik.Namun toksin yang bebas dalam
peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh arititoksin.
4. Hipotesa cara absorbs dan cara bekerjanya toksin; adalah pertama
toksin diabsorbsi pada ujung saraf motoric dan melalui aksis silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan saraf pusat. Kedua toksin
diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
5. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot
menjadi kejang dan mudah sekali terangsang.
6. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata- rata 10 hari.Kasus yang
sering terjadi adalah 14 hari. Sedangkan untuk neonates biasanya 5
sampai 14 hari.

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih
pendek (1 hari atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung
berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat
luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak
antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi akan semakin lama.
Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan
terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat
luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma

yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar


tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki
pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti
dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot
abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus,
seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran
klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah,hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi
dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena
dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan
berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 34 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa
bulan
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang
terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini
merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik.
Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus
umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus
yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau
terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf
kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa
tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa
inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum
terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar
setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan
alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang
belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya
gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat.
Angka mortalitas dapat melebihi 70%.
Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya
penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan :
Tabel Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis Tetanus
Derajat
I : Ringan

Manifestasi Klinis
Trismus ringan sampai sedang;spastisitas umum
tanpa spasme atau gangguan pernapasan;tanpa
disfagia atau disfagia ringan

II : Sedang

Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan


sampai

sedang

dalam

waktu

singkat;

laju

napas>30x/menit; disfagia ringan


III : Berat

Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama;


laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit,
apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat

(derajat III + gangguan sistem otonom termasuk

berat

kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia


yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif
dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut
dapat menetap

2.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu
farmakologi dan non-farmakologi.
1. Farmakologi
1. Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru
diberikan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2. Anti kejang (antikonvulsan)

Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan


mula-mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max.
200mg/hari).

Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6


mg/kg BB.

Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.


3. Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin
1gr/hari/1.V.

Dapat

memusnahkan

tetani

tetapi

tidak

mempengaruhi proses neurologiknya.


2. Non-farmakologi
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
2. Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila
trismus, diberikan lewat sonde parenteral.
3. Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
4. Memberikan penjelasan terkait dengan pentingnya imunisasi
tetanus
2.7 ASUHAN KEPERAWATAN
Contoh kasus : Ny. F datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang.
Keluarga klien mengatakan pasien kejang sejak 2 bulan yang lalu. Kejang
dirasakan semakin hebat sejak seminggu terakhir. Berdasarkan keterangan
dari keluarga, 3 tahun yang lalu pasien pernah mengalami luka robek di
kakinya karena terkena patahan kayu yang tajam.

a.

Pengkajian

1. Identitas/ biodata klien


Nama

: Ny. F

Tempat/tgl lahir

: Surabaya, 15 September 1954

Umur

: 56 tahun

Jenis kelamin

: perempuan

Agama

: islam

Warga Negara

: Indonesia

Bahasa

: Bahasa Jawa

Penanggung jawab
Nama

: Tn.H

Alamat

: Jln. Kertosari no 14 Sby

Hubungan dg klien

: suami

1. Keluhan utama: kejang


2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Ny. F datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang. Keluarga klien
mengatakan pasien kejang sejak 2 bulan yang lalu. Kejang dirasakan semakin
hebat sejak seminggu terakhir. Berdasarkan keterangan dari keluarga, 3 tahun
yang lalu pasien pernah mengalami luka robek di kakinya karena terkena
patahan kayu yang tajam. Klien juga mengalami kesulitan mengunyah
makanan.
3. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keluarga pasien mengatakan bahwa 3 tahun yang lalu pasien pernah
mempunyai luka robek akibat terkena patahan kayu
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita tetanus.
5. Keadaan Lingkungan

Pasien bertempat tinggal di daerah yang kurang bersih.


b. Observasi
1. Keadaan Umum
Suhu

: 38oC

Nadi

: 116 x/menit

Tekanan darah

: 120/90 mmHg

RR

: 26 x/menit

BB

: 52 kg

TB

: 160 cm
2. Review of Sistem (ROS)

B1 (breathing) : takipnea, RR= 26 x/menit


B2 (blood)

: disritmia, febris.

B3 (brain)

: kelemahan fisik, kelumpuhan salah satu saraf otak.

B4 (bladder) : retensi urine (oliguria)


B5 (bowel)

: konstipasi akibat menurunnya gerak peristaltic usus

B6 (bone)

: sulit menelan.

c. Analisis Data
No.
Data
Etiologi
1.
DS: Pasien sering
Tetanus
Kejang
mengeluh pening diikuti
dengan kejang-kejang
Proliferasi
clostridium tetani ke
DO: Pasien sering terlihat pembuluh darah
kejang oleh keluarga

Toksin dari
clostridium tetani
menyebar ke system
saraf di otak melalui

MK

pembuluh darah

2.

3.

4.

5.

Toksin menimbulkan
reaksi di system saraf
di otak dan
menyebabkan kejang
DS: Pasien mengeluh
Spasme otot faring Bersihan jalan nafas tidak
batuk
efektif.
Akumulasi sputum di
DO: Ronkhi, batuk tidak trakea
efektif disertai sputum
atau lender, hasil lab
Ronkhi
menunjukkan AGD
abnormal (asidosis
respiratorik)
DS: Pasien sesak nafas. Kekakuan otot faring Pola nafas tidak teratur
DO: RR= 26 x/menit, ada
retraksi dinding dada, ada
pernafasan cuping
Sesak nafas
hidung.
DS: pasien demam
Infeksi toksin
C.tetani
DO: suhu= 38oC, hasil
lab sel darah putih
(leukosit)= 14.000 mm3.

DS: pasien mengaku


badannya lemas.
DO: kondisi pasien
lemah.

6.

Suhu tubuh
meningkat
Sering kejang

Hipertermi

Intoleransi aktivitas.

Kondisi lemah

Kurang bisa
memenuhi kebutuhan
sehari-hari
DS: pasien jarang sekali Sering kejang
Resiko
BAK.
ketidakseimbangan cairan
& elektrolit.
DO: output pasien

munurun, intake cairan


juga menurun

7.

DS: pasien mengeluh


tidak bisa menguyah
makanan.

oliguria & intake


cairan kurang

keseimbangan cairan
elektrolit terganggu
Kejang
Perubahan nutrisi kurang
dari kebutuhan.

DO: makanan pasien


tidak di habiskan.
Spasme otot
pengunyah

Tidak bisa makan

Perubahan nutrisi
kurang dari
kebutuhan

d. Diagnosa Keperawatan
1. Kejang berhubungan dengan penyebaran toksic Clostridium tetani di
system saraf di otak
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sputum
3. Pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot pernafasan
4. Hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah
6. Resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
intake yang kurang daan oliguria
7. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan spasme otot
pengunyah
e. Intervensi Rasional
1. Diagnosa: kejang berhubungan dengan penyebaran toksic clostridium
tetani di system saraf di otak
Tujuan : tidak terjadi kejang

Criteria hasil: frekuensi kejang berkurang, pasien lebih tenang


Intervensi:
No. Intervensi
1. Mandiri
1. Anjurkan keluarga agar
menahan tubuh pasien
saat kejang
2. Anjurkan keluarga untuk
memasang sendok ke
mulut pasien saat pasien
kejang
2.

Kolaborasi
Memberikan obat anti kejang
kepada pasien

Rasional

1. Agar pasien tidak terjatuh


dari tempat tidur saat
pasien mengalami kejang
2. Melindungi pasien agar
tidak menggigit lidahnya
sendiri saat terjadi kejang

Obat anti kejang dapat membantu


pasien untuk segera lepas dari
masa kejangnya dan
menenangkan pasien

2.Diagnose: bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan


akumulasi sputum.
Tujuan: jalan nafas efektif.
Criteria hasil: AGD normal, tidak ada suara nafas ronkhi, tidak ada sputum.
Intervensi:
No. Intervensi
1.
Mandiri:
1. Bebaskan jalan nafas
dengan memberikan
posisi kepala ekstensi.

1. Lakukan pemerikasaan
fisik khususnya
auskultasi tiap 2-4 jam

Rasional

1. Bila kepala ekstensi


dapat meluruskan
sal.pernafasan sehingga
proses respirasi tetap
berjalan lancar.
2. Amati adanya ronkhi
atau tidak, karena ronkhi
menunjukkan adanya
gangguan pernafasan.
3. Untuk mengeluarkan
secret.
4. Adanya dispnea adalah
indikasi adanya

sekali.

gangguan pada system


pernafasan.

1. Lakukan suction.

1. Observasi TTV tiap 2


jam.
2.

Kolaborasi:
Berikan obat pengencer secret
atau mukolitik.

Obat mukolitik dapat


mengencerkan secret yang
kental sehingga mudah
dikeluarkan.

3.Diagnose: pola nafas tidak teratur berhubungan dengan jalan nafas


tergaggu akibat spasme otot pernafasan.
Tujuan: pola nafas teratur daan normal.
Criteria hasil: tidak sesak nafas, RR dalam rentang normal, tidak ada retraksi
dinding dada, dan tidak ada pernafasan cuping hidung.
Intervensi:
No. Intervensi
1.
Mandiri:
1. Monitor irama nafas &
RR.

1. Berikan posisi semi


fowler.

Rasional

1. Adanya kelainan pada


pernafasan dapat dilihat
dari frekuensi, jenis
pernafasan,
kemampuan & irama
nafas.
2. Posisi semi fowler
dapat memberikan rasa
nyaman bagi klien &
salah satu cara untuk
melancarkan jalan
nafas.
3. Sianosis merupakan
tanda ketidakadekuaan
perfusi O2 pada

jaringan tubuh perifer.

1. Observasi tanda & gejala


sianosis.
Kolaborasi:
1. Anjurkan klien untuk
melakukan pemeriksaan
gas darah.

1. Kompensasi tubuh thd


gangguan proses difusi
& perfusi jaringan
dapat mengakibatkan
asidosis respiratorik.
2. Mencegah terjadinya
hipoksia.

1. Berikan oksigenasi.

4.Diagnose: hipertermi berhubungan dengan efek toksin (bakterimia).


Tujuan: suhu tubuh normal.
Criteria hasil: suhu tubuh dalam rentang normal, hasil lab sel darah putih dalam
rentang normal (5.000-10.000 mm3).
Intervensi:
No. Intervensi
1.
Mandiri:
1. Anjurkan klien banyak
minum.

1. Berikan kompres dingin.

Rasional

1. Cairan merupakan
kompresi badan dari
demam.
2. Kompres dingin
merupakan salah satu
cara untuk menurunkan
suhu tubuh dg proses
konduksi.
3. Identfikasi
perkembangan gejala
kearah syok.

4. Perawatan luka yang


benar, mengeliminasi
toksin yang masih
berada di sekitar luka.

1. Pantau suhu tiap 2 jam.

1. Bila ada luka, berikan


tindakan aseptic dan
antiseptic.
2.

Kolaborasi:
1. Laksanakan program
pengobatan antibiotic dan
antipiretik.

1. Antibiotic untuk
meminimalkan
penyebaran kuman
yang menyebabkan
infeksi. Antipiretik
untuk menurunkan
demam akibat infeksi.
2. Ntuk mengetahui
perkembangan
pengobatan yang
diberikan.

1. Pemeriksaan lab sel darah


putih secara berkala.

5. Diagnose: intoleransi aktivitas berhubungan dengan kondisi lemah.


Tujuan: klien mampu melakukan aktivitas rutin.
Criteria hasil: klien tidak tamapak lemas, tampak bersemangat, mampu
melakukan aktivitas rutin dan memenuhi KDM tanpa bantuan orang lain.
Intervensi:

No. Intervensi
1.
Mandiri:

Rasional

1. Bantu klien untuk


memenuhi KDM selama
klien masih lemah.
2. Minta keluarga untuk
membantu klien dalam
melakukan aktifitas seharihari.
3. Anjurkan klien untuk
banyak makan dan banyak
minum.

1. KDM tetap harus


dipenuhi meskipun
dalam kondisi lemah.
2. Untuk melatih tonus
otot klien agar kembali
normal.

1. Mengganti energy yang


banyak hilang.

6. Diagnose: resiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan


dengan intake yang kurang dan oliguria.
Tujuan: cairan dan elektrolit seimbang.
Criteria hasil: turgor kulit baik, pasien bisa BAK, output normal.
Intervensi:
No. Intervensi
1.
Mandiri:
1. Anjurkan klien banyak
minum (8-10 gelas/hari).
2. Pantau turgor kulit.

2.

Rasional

1. Membantu
menyeimbangkan cairan
tubuh.
2. Turgor kulit baik
menunjukkan
keseimbangan cairan dan
elektrolit juga baik.

Kolaborasi:
1. Berikan obat laksatif.

1. Untuk melancarkan
BAB.
2. Makanan tinggi serat
membantu melancarkan

1. Berikan diet tinggi serat.

BAB.

7. Diagnose: perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


spasme otot pengunyah.
Tujuan: kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Criteria hasil: intake adekuat, makanan selalu dihabiskan.
Intervensi:
No. Intervensi
1.
Mandiri:
1. Jelaskan pada klien
penyebab kesulitan
makan dan pentingnya
makanan bagi tubuh.

2.

Rasional

1. Dengan tingkat
pengetahuan yang
adekuat diharapkan klien
dapat berpartisipasi dan
kooperatif terhadap
program diet.

Kolaborasi:
1. Berikan diet TKTP cair,
lunak, dan bubur kasar.

1. Berikan cairan IV line.

1. Disesuakan dg keadaan
klien, kemampuan
mengunyah dan tingkat
membuka mulut.
2. Agar kebutuhan nutrisi
terpenuhi.
3. Berfungsi sebagai jalan
masuknya makanan dan
pemberian obat.

1. Lakukan pemasangan
NGT bila perlu.

3.6 Evaluasi
1.
2.
3.
4.

Bersihan jalan nafas efektif.


Pola nafas tertaur.
Suhu tubuh normal.
Mampu melakukan aktivitas tanpa bantuan.

5. Cairan dan elektrolit tubuh seimbang.


6. Nutrisi terpenuhi.

BAB 3
KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)


tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh
kuman Clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan
kuman.Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang
otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman
closteridium tetani.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot
seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otototot rangka.

Anda mungkin juga menyukai