Anda di halaman 1dari 8

AMPHETAMINE

Disusun oleh:
DARINI SAHARA
DEVI MELLINDA
FADILA ZITRIA
KOMARUDDIN
MUHAMMAD IQBAL
MULAN ADE PUTRI S
SARTIKA NOPRADILOVA

YARSI
YARSI
YARSI
UMJ
YARSI
YARSI
UMJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA ISLAM JAKARTA
2013

BAB I
NAPZA

1.1. DEFINISI
Napza (narkotika, psikotropika, zat adiktif) atau Narkoba (narkotika, psikotropika, zat
berbahaya) adalah bahan/zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan/psikologi seseorang
(pikiran, perasaan, dan perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan
psikologi.
1.2. JENIS-JENIS
1.2.1. NARKOBA
Menurut UU RI No 22/1997, Narkotika adalah: zat atau obat yang berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetik maupun semesintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
Narkoba dibagi menjadi 3 golongan:
1.2.1.1. Golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan.
Contoh: heroin, kokain, ganja.
1.2.1.2. Golongan II
Narkoba yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh: morfin, petidin
1.2.1.3. Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.
Contoh: kodein

1.2.2. PSIKOTROPIKA
Menurut UU RI No 5/1997, Psikotropika adalah: zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku.
Psikotropika terdiri atas 4 golongan:
1.2.2.1. Golongan I
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Contoh: ekstasi
1.2.2.2. Golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Contoh: amphetamine
1.2.2.3. Golongan III
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Contoh: phenobarbital
1.2.2.4. Golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
Contoh: diazepam, nitrazepam

1.2.3. ZAT ADIKTIF LAINNYA


Yang termasuk zat adiktif lainnya adalah: bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar
Narkotika dan Psikotropika, meliputi:
1.2.3.1. Minuman Alkohol
Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan saraf pusat, dan sering
menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika
digunakan bersamaan dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat pengaruh
obat/zat itu dalam tubuh manusia.
Ada 3 golongan minuman beralkohol:

Golongan A: kadar etanol 1-5 % (bir)


Golongan B: kadar etanol 5-20 % (berbagai minuman anggur)
Golongan C: kadar etanol 20-40 % (whisky, vodca, manson house, johny walker)

1.2.3.2. Inhalasi (gas yang dihirup) dan Solven (zat pelarut)


Berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga,
kantor, dan sebagai pelumas mesin.
Yang sering disalahgunakan adalah: lem, tiner, penghapus cat kuku, bensin
1.2.3.3. Tembakau
Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Dalam upaya
pananggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja,
harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu
masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.

BAB II
AMPHETAMINE

2.1. SEJARAH
Amphetamine telah disintesis pada tahun 1887 oleh ilmuwan Jerman yang bernama L.
Edeleano. Pada tahun 1927, peneliti bernama Gordon Ales dari USA menemukan bahwa
amphetamine dapat berefek sebagai pengganti ephedrine. Kemudian, pada tahun 1930
diketahui bahwa amphetamine dapat meningkatkan tekanan darah dan tahun 1932 dipasarkan
sebagai benzidine secara over the counter inhaler untuk mengobati hidung yang tersumbat
(nasal congestion). Selanjutnya, pada tahun 1935 diketahui efek stimulansia dari
amphetamine untuk pertama kalinya. Pada tahun 1938, untuk pertama kalinya dipublikasikan
hasil laporan bahwa amphetamine dapat menyebabkan addiction (kecanduan) dan penyakit
kejiwaan.
2.2. DEFINISI
Amphetamin adalah 1-phenylpropan-2-amine atau C9H13N merupakan psikostimulan
(stimulan susunan saraf pusat) dari kelas phenethylamine.
Amphetamine dikenal juga dengan sebutan methamphetamine. Jenis-jenisnya adalah ekstasi,
speed, whiz, dll. Jenis-jenis methamphetamine adalah: ice, shabu-shabu, dll.
2.3. SIFAT FISIKA KIMIA
Ampetamine merupakan cairan tak berwarna dengan bau amina dan mudah larut dalam air
(1:50) serta larut dalam alkohol. Bentuk basa mudah menguap pada suhu kamar dan telah
digunakan sebagai inhalant. Amphetamine sulfate merupakan serbuk kristal putih dan tidak
berbau serta sedikit berasa pahit. Ampetamine sulfate memiliki kelarutan tinggi dalam air
(1:9) dan sedikit larut dalam alkohol (1:500).
2.4. MEKANISME KERJA
Amphetamine merupakan obat perangsang susunan syaraf pusat (CNS stimulant ). Dalam
bidang kedokteran digunakan untuk mengobati narkolepsi, kegemukan dan gangguan
hiperaktif dengan kesulitan konsentrasi.
Amphetamine meningkatkan pelepasan ketekolamin yang mengakibatkan jumlah
neurotransmiter golongan monoamine (dopamin, norepinefrin, dan serotonin) dari saraf
prasinapsis meningkat. Sehingga neurotransmiter tetap berada dalam sinaps dengan
konsentrasi lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama dari biasanya. Semua sistem
saraf akan berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan. Menggunakan amphetamine
dapat berpengaruh terhadap perangsangan yang diberikan. Menggunakan amphetamine dapat
menyebabkan otak untuk menghasilkan tingkat dopamin yang lebih tinggi. Jumlah dopamin

yang berlebih di dalam otak akan menghasilakan perasaan euforia dan kesenangan yang biasa
dikenal sebagai high.
Amphetamine akan memberikan efek langsung yang bekerja dalam waktu 15 sampai 30
menit. Apabila dihisap (snort) maka akan menimbulkan yang lebih cepat (5 hingga 10 menit).
Apabila disuntikkan akan memberikan efek yang seketika dan langsung.
Efek klinis amphetamine akan muncul dalam waktu 2-4 jam setelah penggunaan. Senyawa
ini memiliki waktu paruh 4-24 jam dan dieksresikan melalui urin sebanyak 30% dalam
bentuk metabolit. Metabolit amfetamin terdiri dari p-hidroksiamfetamin, phidroksinorepedrin, dan penilaseton.
Setelah konsumsi methamphetamine, di dalam urine akan ditemukan amphetamine dan
methamphetamine 30% dari dosis amphetamine/methamphetamine yang dikonsumsi
dikeluarkan dalam bentuk utuh (unchanged) melaui urine.
Amphetamine/methamphetamine bisa terdeteksi dalam 2-7 jam setelah penggunaan dan akan
tetap terdeteksi 2-4 hari setelah penggunaan terakhir.
2.5. PENYALAHGUNAAN
Penyalahgunaan amphetamin dalam kurun waktu yang cukup lama atau dengan dosis yang
tinggi dapat mengakibatkan timbul banyak masalah diantaranya:

Psikosis (pikiran menjadi tidak nyata, jauh dari realitas)


Kelainan psikologis dan tingkah laku
Pusing
Perubahan mood atau mental
Kesulitan bernafas
Kekurangan nutrisi
Gangguan jiwa
Efek pada sistem saraf pusat: dalam keadaan keracunan akut, pengguna amphetamine
pada umumnya merasakan euforia, keresahan, agitasi, dan cemas berlebihan. Kirakira 512% pengguna mengalami halusinasi, keinginan untuk bunuh diri, dan
kebingungan. Sebanyak 3% pengguna amphetamine mengalami kejang-kejang.

2.6. EFEK DAN GEJALA KLINIS


2.6.1. Efek

Agitasi psikomotor
Harga diri meningkat
Banyak bicara
Kewaspadaan meningkat
Halusinasi visual
Tingkah laku maladaptif (perkelahian, gangguan daya nilai realitas, gangguan fungsi
sosial dan pekerjaan)

2.6.2. Gejala Klinis


Efek amphetamine hampir mirip seperti adrenalin namun mempunyai efek kerja yang lebih
lama. Obat ini bekerja dengan cara yang mirip dengan kokain dimana akan membuat
penggunanya merasa energik. Amphetamine bekerja dengan cara seperti adrenalin, yaitu
sebuah hormon yang diproduksi secara alami dalam tubuh manusia. Zat ini di kalangan
pengguna napza dikenal sebagai upper yang mana dapat menurunkan nafsu makan dan
akan menyebabkan pengguna tidak mempunyai rasa lelah.
Gejala lain yang dapat timbul adalah:

Jantung berdebar-debar
Midriasis
Tekanan darah meningkat
Keringat banyak dan kedinginan
Mual, muntah
Gerakan otot tidak terkendali

2.7. PUTUS OBAT


Tergantung dari dosis, cara pemakaian, dan pola penggunaan, ketergantunan amphetamine
memiliki bermacam efek pada kemampuan kerja dan berakibat keracunan. Dengan dosis oral
yang relatif kecil, perilaku mungkin masih dalam batas yang normal dan ketergantungan
dimanifestasi hanya dengan kelemahan tubuh dan gejala depresi. Dengan dosis yang lebih
tinggi, selain usaha untuk memperoleh obat, selalu ditemukan juga hiperaktivitas, kurang
istirahat, buxism, banyak bicara, iritabilitas dan dan sifat yang mudah tersinggung, penurunan
waktu tidur, dan penurunan selera makan yang selalu disertai dengan penurunan berat badan.
Hal ini disebabkan oleh stimulator-stimulator tersebut mengaktivasi reserve powers yang
ada di dalam tubuh manusia dan ketika efek yang ditimbulkan oleh amphetamine melemah,
tubuh memberikan signal bahwa tubuh membutuhkan senyawa-senyawa itu
lagi. Berdasarkan ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases and
Related Health Problems), kelainan mental dan tingkah laku yang disebabkan oleh
amphetamine diklasifikasikan ke dalam golongan F15. Amphetamine menyebabkan
ketergantungan psikologis.
Gejalanya dapat berupa:

Perubahan afek/mood (murung, sedih, tidak dapat merasakan senang dan keinginan
bunuh diri)
Lelah, letih, lesu, tidak berdaya, kehilangan semangat
Gangguan tidur (insomnia)
Mimpi berlebihan sehingga mengganggu tidur

2.8. DIAGNOSIS
Penggunaan amphetamine atau obat yang mirip amphetamine dapat dideteksi melalui
skrining obat pada sample urine. Hal yang terpenting dalam pemeriksaan urine adalah
mudahnya prosedur yang harus dilakukan. Keterbatasan dalam metode ini bahwa kebanyakan
obat yang disalahgunakan hanya terdeteksi kadar maksimumnya dalam urine hanya beberapa
hari dan untuk kokain mungkin hanya kurang dari 24 jam. Sebaliknya, banyak obat berada
pada rambut untuk waktu yang lama. Walaupun metode analisis rambut memiliki kelebihan
obat dapat terdeteksi selama rambut bertumbuh, tetapi jarang digunakan dalam klinik.
Laporan dari pasien sendiri tentang penggunaan obat, terutama didukung dengan hasil tes
laboratorium (tes urine) biasanya lebih tepat, tetapi riwayat pasien mungkin tidak sesuai,
contohnya pada pasien dengan status psikotik. Oleh karena itu tes harus selalu diindikasikan,
walaupun mugkin banyak masalah penolakan. Jika hasil positif telah ditegakkan pada seorang
pasien dengan suatu kelainan psikiatrik, hal ini penting untuk tidak menggunakan obat ini
lagi untuk mengurangi penyebab penyakitnya.
Cara mendeteksi:

Dalam urine, pemeriksaan rapid dengan stik amphetamine


Dalam darah, dengan KLT (Kromatografi Lapisan Tipis)

2.9. TERAPI
Pengobatannya tidak ada yang spesifik, kebanyakan pemakai yang hanya menggunakannya
secara kebetuluan tidak memerlukan pengobatan atau mencari pengobatan. Pada
ketergantungan pada tingkat sedang yang sementara mendapat terapi untuk gejala yang
timbul, tidak ada pengobatan yang spesifik untuk ketergantungannya pada amphetamine.
Sebuah program yang disajikan dengan struktur yang baik dan memanualisasikan terapi
perilaku dan kognitif menggunakan kombinasi konseling kelompok dan pribadi yang pada
awalnya dikembangkan untuk menangani pemakai kokain, ternyata menghasilkan efek yang
sama baiknya untuk penanganan ketergantungan methampetamine.
Berbagai macam agen farmakologi telah diteliti untuk mengobati ketergantungan amfetamin.
Hampir dari semua obat-obatan ini telah dicoba pada terapi ketergantungan kokain tetapi
memberikan hasil yang mengecewakan. Sebagai contoh, walaupun imipramin (Tofranil) (150
mg perhari) meningkatkan retensi pengobatan, ini tidak memiliki efek yang jauh berbeda
pada penggunaan metamfetamin. Walaupun fluoksetin (Prozac) (20 mg perhari) telah
dilaporkan dapat bermanfaat dalam penanganan ketergantungan amfetamin, keberhasilannya
pada pasien dengan ketergantungan kokain masih jarang dilaporkan.

Anda mungkin juga menyukai