1. A. PENDAHULUAN
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh (depleted iron store) sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, yang pada
akhirnya pembentukan hemoglobin (Hb) berkurang.
Gambaran diagnosis etiologis dapat ditegakkan dari petunjuk patofisiologi, patogenesis, gejala
klinis, pemeriksaan laboratorium, diagnosis banding, penatalaksanaan dan terapi. Beberapa zat
gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah. Yang paling penting adalah zat besi,
vitamin B12 dan asam folat, tetapi tubuh juga memerlukan sejumlah kecil vitamin C, riboflavin
dan tembaga serta keseimbangan hormone, terutama eritroprotein. Tanpa zat gizi dan hormone
tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi, dan selnya
bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana mestinya.
Hal yang harus diingat :
1. Anemia bukan penyakit, tetapi tanda/gejala
2. Anemia adalah proses yang terus berubah
3. Anemia banyak dijumpai pada orang tua, tetapi menjadi tua bukan penyebab anemia
4. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan laboratorium
Sekali lagi diingatkan, Anemia bukan suatu penyakit, tetapi keadaan yang ditandai dengan
menurunnya kadar hemoglobin di bawah nilai normal yang diikuti dengan menurunnya nilai
hematokrit. Kadar Hb tergantung dari umur, jenis kelamin, letak geografis dan metode
pemeriksaan.
Nilai normal kadar Hb orang indonesia menurut Depkes, sesuai dengan WHO: ANAK PRASEKOLAH : Hb < 11 g/dL
ANAK SEKOLAH : Hb < 12 g/dL
DEFINISI
Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit serta jumlah hemoglobin dalam 100 ml darah.
(Ngastiyah, 1997).
Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia bukan suatu
penyakit atau diagnosis melainkan merupakan pencerminan ke dalam suatu penyakit atau dasar
perubahan patofisilogis yang diuraikan oleh anamnese dan pemeriksaan fisik yang teliti serta
didukung oleh pemeriksaan laboratorium.
1. C. EPIDEMILOGI
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini adalah
ADB da terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di Indonesia masih
merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A dan yodium.
Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30 40%, pada
anak sekolah 25 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita sebesar 5,55%.
ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa gangguan tumbuh
kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta kemampuan belajar sehingga
menurunkan prestasi belajar di sekolah
1. D. ETIOLOGI
Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara
signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Menurut Brunner
dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia secara umum antara lain :
a. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan.
b. Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah merah yang
berlebihan.
c. Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
1. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor keturunan, penyakit
kronis dan kekurangan zat besi.
1. E.
KLASIFIKASI
agen neoplastik/sitoplastik
benzene
Pansitopenia
Anemia aplastik
Gejala-gejala:
Gejala-gejala:
Penyebabnya adalah menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun defisiensi eritopoitin
c.
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan anemia jenis normositik
normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna yang normal). Kelainan ini meliputi
artristis rematoid, abses paru, osteomilitis, tuberkolosis dan berbagai keganasan
d.
Penyebab:
menstruasi
Kehilangan darah yang menetap (neoplasma, polip, gastritis, varises oesophagus, hemoroid,
dll.)
gangguan eritropoesis
Anemia megaloblastik
Penyebab:
Malnutrisi, malabsorbsi, penurunan intrinsik faktor (aneia rnis st gastrektomi) infeksi parasit,
penyakit usus dan keganasan, agen kemoterapeutik, infeksi cacing pita, makan ikan segar yang
terinfeksi, pecandu alkohol.
Eritrosit immatur dan hipofungsi
1. Anemia hemolitika, yaitu anemia defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh
destruksi sel darah merah:
Proses autoimun
Reaksi transfusi
Malaria
Anemia hemolisis
1. F.
PATOFISIOLOGI
Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah merah
secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi,
pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah
merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel
darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan destruksi
sel darah merah.
Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system
retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin
yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera
direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal 1 mg/dl, kadar diatas
1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan hemolitik)
maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila konsentrasi
plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas)
untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria).
Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh penghancuran sel darah
merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh dengan
dasar:1. hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. derajat proliferasi sel darah merah muda
dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada
tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
Anemia
payah jantung
v Terjadinya anemia karena kekurangan zat besi
Anemia karena kekurangan zat besi biasanya terjadi secara bertahap, melalui beberapa stadium,
gejalanya baru timbul pada stadium lanjut.
-
dalam tubuh, terutama di sumsum tulang. Kadar ferritin (protein yang menampung zat besi)
dalam darah berkurang secara progresif.
-
Stadium 2.Cadangan besi yang telah berkurang tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk
pembentukan se darah merah, sehingga sel darah merah yang dihasilkan jumlahnya lebih sedikit.
Stadium 3.Mulai terjadi anemia.Pada awal stadium ini, sel darah merah tampak normal,
Stadium 4. Sumsum tulang berusaha untuk menggantikan kekurangan zat besi dengan
mempercepat pembelahan sel dan menghasilkan sel darah merah dengan ukuran yang sangat
kecil (mikrositik), yang khas untuk anemia karena kekurangan zat besi.
-
Stadium 5. Dengan semakin memburuknya kekurangan zat besi dan anemia, maka akan
timbul gejala-gejala karena kekurangan zat besi dan gejala-gejala karena anemia semakin
memburuk.
1. G. DIAGNOSIS dan MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis anemia defisiensi besi dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu gejala langsung
anemia (anemic syndrome) dan gejala khas defisiensi besi. Gejala yang termasuk dalam anemic
syndrome terjadi ketika kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 mg/dL berupa lemah, cepat lelah,
mata berkunang-kunang, dan telinga berdenging. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
konjungtiva pasien pucat. Gejala khas yang muncul akibat defisiensi besi antara lain koilonychia
(kuku sendok), atrofi papil lidah, cheilosis (Stomatitis angularis), disfagia, atrofi mukosa gaster,
dan Pica (Keinginan untuk memakan tanah).
Selain gejala-gejala tersebut jika anemia disebabkan oleh penyakit tertentu maka gejala penyakit
yang mendasarinya juga akan muncul misalnya infeksi cacing tambang menyebabkan gejala
dyspepsia atau kanker kolon menyebabkan hematoskezia.
Tanda dan Gejala Anemia
1.
Pusing
2.
Mudah berkunang-kunang
3.
Lesu
4.
Aktivitas kurang
5.
Rasa mengantuk
6.
Susah konsentrasi
7.
Cepat lelah
8.
9.
Konjungtiva pucat
Diagnosis
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan tanda vital untuk melihat kondisi umum yang mungkin
menjadi penyebab utama yang mempengaruhi kondisi pasien atau efek anemia terhadap kondisi
umum pasien. Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan berbagai kondisi klinis manifestasi
kekurangan besi dan sindroma anemic.
1. Pemeriksaan laboratorium
Jenis Pemeriksaan
Nilai
1. Kriteria diagnosis
Diagnosis anemia defisiensi besi meliputi bukti-bukti anemia, bukti defisiensi besi, dan
menentukan penyebabnya. Menentukan adanya anemia dapat dilakukan secara sederhana dengan
pemeriksaan hemoglobin. Untuk pemeriksaan yang lebih seksama bukti anemia dan bukti
defisiensi besi dapat dilakukan kriteria modifikasi Kerlin yaitu:
v Kriteria Utama
-
v Kriteria Tambahan
-
Parameter laboratorium khusus: Kadar Fe serum <50 mg/L, TIBC >350 mg/L, saturasi
transferin <15%*
-
Dengan pemerian sulfas ferrosus 3 x 200 mg/hari atau preparat besi lain yang setara
1. H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis diferensial utama dari anemia defisiensi besi yang mikrostik hipokromik adalah
thallasaemia, penyakit inflamasi kronik, dan sindroma mielodisplastik. Perbedaan dari kondisikondisi tersebut antara lain:
Anemia
defisiensi
Parameter besi
Inflamasi
Thallasaemia kronik
Sindroma
mielodisplastik
Sindroma
Sindroma
anemia,
anemia
Sindroma
tanda-tanda anemia,
Klinis
jelas/tidak,
gejala
defisiensi
hepatomegali, sistemik
Sindroma
besi
anemia
Blood
Normal,
Micro/hypo,
smear
Micro/hypo micro/hypo
target cell
Micro/hypo
TIBC
Meningkat
Menurun
Normal
Ferritin
Menurun
Normal
Normal
Normal/
MeningkatTransferinMenurunNormalNormal/
Meningkat-
1. I.
TATA LAKSANA
Tatalaksana dari anemia defisiensi besi meliputi tatalaksana kausa penyebab anemia dan
pemberian preparat pengganti besi (Iron replacement therapy)
1. Tatalaksana kausa
Merupakan terapi terhadap kondisi yang menyebabkan anemia misalnya memberikan obat
cacing pada pasien dengan infeksi cacing atau pembedahan pada pasien hemmoroid.
1. Iron replacement therapy
Tujuan dari terapi ini adalah mengkoreksi nilai hemoglobin dan juga mengisi cadangan besi
tubuh secara permanen. Besi yang diberikan dapat melalui pemerian oral atau pemberian
parenteral.
1. Suplemen besi oral
Suplemen besi oral merupakan salah satu pilihan yang baik untuk mengganti defisiensi besi
karena harganya yang relatif murah dan mudah didapat. Terdapar berbagai sediaan preparat besi
oral seperti ferrous sulfas, ferrous fumarat, ferrous lactate, dan lainnya namun demikian ferrous
sulfat merupakan pilihan utama karena murah dan cukup efektif.
Suplemen besi oral ini diberikan dengan dosis 300 mg/hari yang dapat dibagikan menjadi
beberapa kali makan. Dengan dosis suplementasi tersebut diharapkan terserap 50 mg/hari karena
besi memang diserap dalam jumlah yang tidak banyak oleh sistem pencernaan manusia. Besi
yang diserap akan digunakan langsung untuk eritropoiesis, hasilnya di hari ke 4-7 biasanya
eritropoesis telah jauh meningkat dan memuncak pada hari 8-12 setelah terapi dimulai. Setelah
terjadi penyerapan besi dalam jumlah besar di awal terapi tubuh akan merespon dengan
penurunan eritropoetin sehingga penyerapan di besi di usus dikurangi, akibatnya kadar
penyerapan tidak lagi sebesar sebelumnya. Tujuan yang juga akan dicapai dari terapi ini adalah
mengisi cadangan besi tubuh sebanyak 0,5-1 g besi karena itu suplementasi ini diberikan selama
6-12 bulan untuk mengatasi asorbsi usus yang telah menurun.
Edukasi kepada pasien tentang suplementasi besi merupakan salah satu kewajiban dokter. Pasien
diberikan informasi bahwa sebaiknya suplemen tersebut dikonsumsi sebelum pasien makan
karena akan meningkatkan absorbsinya. Efek samping obat ini yaitu gangguan gastrointestinal
juga perlu diberitahukan kepada pasien. Penyebab kegagalan terapi besi oral antara lain
gangguan absorbsi dan kepatuhan minum obat pasien yang rendah. Jika defisiensi besi masih
belum juga tertangani dengan langkah-langkah tersebut dipikirkan untuk memberikan terapi besi
parenteral.
1. Terapi besi parenteral
Alur terapi ini sangat efektif karena tidak melalui sistem pencernaan dan menghadapi masalah
absorbsi, namun demikian risikonya lebih besar dan harganya lebih mahal oleh karena itu hanya
diindikasikan untuk kondisi tertentu saja misalnya kepatuhan pasien yang sangat rendah.
Preparat yang tersedia untuk terapi ini misalnya Iron dextran complex (50 mg/mL). Pemberian
terapi parenteral adalah melalui IV atau IM. Kebutuhan besi seseorang dapat dihitung dengan
persamaan
Kebutuhan besi (mg)= ((15-Hb saat ini) x BB x 2,4) + 500 atau 1000 mg
1. J.
PENCEGAHAN
v PEMANTAUAN
I. Terapi
-
Gejala sampingan pemberian zat besi yang bisa berupa gejala gangguan gastro-intestinal
misalnya konstipasi, diare, rasa terbakar diulu hati, nyeri abdomen dan mual. Gejala lain dapat
berupa pewarnaan gigi yang bersifat sementara.
II. Tumbuh Kembang
-
Daya konsentrasi dan kemampuan belajar pada anak usia sekolah dengan konsultasi ke
ahli psikologi
-
Aktifitas motorik
1. K.
KESIMPULAN
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia akibat kekurangan zat besi untuk sintesis
hemoglobin dan merupakan defisiensi nutrisi yang paling banyak pada anak dan menyebabkan
masalah kesehatan yang paling besar di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia.
Dari hasil SKRT 1992 diperoleh prevalensi ADB pada anak balita di Indonesia adalah 55,5%.
Komplikasi ADB akibat jumlah total besi tubuh yang rendah dan gangguan pembentukan
hemoglobin (Hb) dihubungkan dengan fungsi kognitif, perubahan tingkah laku, tumbuh
kembang yang terlambat dan gangguan fungsi imun pada anak.
Prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi, awal masa anak, anak sekolah dan masa
remaja karena adanya percepatan tumbuh pada masa tersebut disertai asupan besi yang rendah,
penggunaan susu sapi dengan kadar besi yang kurang
Perbedaan ADB dengan Penyakit Kronis
Ads not by this site
Mikrositik hipokromik
/normositik normokrom
Mikrositik hipokromik
MCV rendah/normal
MCV rendah
Fe rendah
Fe rendah
TIBC rendah
TIBC meningkat