Industrialisasi memiliki dua pola strategi yaitu pola substitusi impor (import
substitution) dan promosi ekspor (export promotion). Dr. Paul Streeten yang
mempopulerkan dua strategi ini menyatakan, pola substitusi impor yang dikenal
dengan istilah inward looking atau orientasi ke dalam, adalah suatu strategi
industrialisasi yang lebih mendorong jenis-jenis industri tertentu untuk
menggantikan kebutuhan produk impor sejenis. Tahap awal dari strategi ini
adalah mengembangkan industri-industri penghasil barang konsumtif. Strategi ini
ditempuh dengan cara proteksi industri domestik lewat tarif dan berbagai retriksi
impor, untuk kemudian dalam jangka panjang menuju kompetisi ekspor.
Indonesia pun pernah menerapkan strategi ini pada tahun 1973-1982.
Sayangnya, pemerintah belum cukup berhasil mengantar Indonesia siap bersaing
di pasar dunia. banyak industri prematur yang membutuhkan perlakuan khusus
dari pemerintah semisal subsidi dan protective barrier dari kompetisi asing berupa
tarif impor dan quota. Tarif impor adalah pajak yang dikenakan pada produk
impor sehingga harganya menjadi lebih tinggi dibandingkan produk lokal.
Pemerintahan yang masih sangat kacau (secara institusional maupun politik)
dalam mengatur opportunity saat itu justru menciptakan masalah-masalah baru
seperti
proteksionisme
di
perdagangan
internasional,
industri
prematur,
konglomerasi, korupsi dan nepotisme (Widodo, 2008). Saat itu industri yang
terbangun adalah industri oligopolis yang masih lemah, sehingga ekspor terbatas
pada beberapa komoditas seperti minyak dan gas, kayu lapis, tekstil dan karet.
Dari uraian pada seluruh artikel, dapat diketahui bahwa tujuan utama dari
strategi inward looking adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan lapangan kerja. Import barrier akan menurunkan minat
konsumen pada produk impor karena harganya lebih mahal dibanding
produk lokal. Dengan demikian, diharapkan produsen lokal memperoleh
profit, kemudian tumbuh besar dan bisa menyediakan lapangan
pekerjaan sehingga tingkat kemiskinan dapat berkurang.
2. Memperbaiki defisit neraca pembayaran. Melalui proteksi pemerintah,
produsen lokal diharapkan mampu memproduksi untuk kebutuhan
domestik dan asing (ekspor), sehingga laju impor menurun dan ekspor
meningkat. Dengan demikian, defisit neraca pembayaran akan menurun.
3. Membangun dasar yang kuat untuk promosi ekspor. Selama dilindungi
kebijakan proteksi maka perusahaan memiliki waktu untuk memperkuat
daya saingnya agar suatu saat saat proteksi dicabut perusahaan tersebut
sudah kuat berkompetisi dengan perusahaan multinasional.
Tujuan baik diatas tidak selalu dicapai dengan mulus, strategi inwardlooking juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Inefisiensi produksi. Keadaan ini terjadi sebagai akibat dari rasa aman
yang terjadi saat diproteksi. Produsen merasa sudah nyaman sehingga
tidak berusaha menurunkan biaya produksi, akibatnya saat proteksi
dicabut produsen menghasilkan produk dengan ill-quality namun mahal.
2. Kebijakan sulit dihapus. Produser lokal cenderung bergantung pada
kebijakan pemerintah yang melindungi mereka dari pasar internasional.
3. Padat modal. Saat produsen melakukan perbaikan efisiensi biaya,
seringkali hal itu dilakukan dengan menyubtitusi tenaga kerja dengan
mesin. Akibatnya, jumlah pengangguran dapat bertambah.
4. Defisit neraca pembayaran. Saat berusaha mengefisiensikan biaya,
dengan pembelian mesin-mesin baru dari luar negeri maka laju impor di
neraca pembayaran akan meningkat. Oleh sebab itu, perbaikan neraca
pembayaran seperti yang disebutkan diatas menjadi dipertanyakan.
OUTWARD-LOOKING
Sementara itu pola promosi ekspor juga biasa disebut dengan strategi
outward-looking
atau
orientasi
ke
luar,
dimana
strategi
ini
berusaha
FREE TRADE
Era industri global dan liberalisasi perdagangan membawa negara-negara ke
dalam perdagangan bebas (free trade). Perdagangan bebas menurut Kenichi
Ohmae adalah sebuah kebebasan yang terjadi dalam empat sektor utama yaitu,
kebebasan bergerak atau berpindah suatu barang, orang, modal, dan kemerdekaan
dalam membuka usaha di negara lain tanpa adanya diskriminasi (Ohmae, 2005:
115). Free trade menawarkan kebebasan negara untuk mengekspor barang yang
menjadi keunggulan komparatifnya dan mengimpor apa yang bukan menjadi
keunggulannya. Kedua, free trade memungkinkan adanya transfer tekonologi dan
informasi antar negara karena interaksi antar negara semakin tinggi. Ketiga, free
trade juga menawarkan perdamaian dunia melalui kerjasama internasional
(Gilpin, 2001: 198).
Free trade menghilangkan tariff barrier pada kebijakan inward-looking.
Tentunya, free trade akan menguntungkan negara dengan basis produksi dan
kebijakan ekspor yang sudah kuat. Selain dari segi ekonomi, secara politik, free
trade menjadikan hubungan antar negara menjadi saling tergantung atau
interdependensi. Tingkat interdependensi yang tinggi inilah yang kemudian
memberikan keuntungan berupa perdamaian dunia karena hubungan antar negara
yang semakin komunikatif bisa menghindarkan negara dari perang terbuka.
Implikasi lain dari perdagangan bebas adalah terbentuknya free trade
agreement multilateral atau bilateral. General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) menyatakan bahwa kesepakatan paling utama dalam perjanjian
perdagangan bebas adalah penghilangan hambatan tarif/non-tarif diantara negara
anggota, dan negara anggota tidak boleh meningkatkan hambatan pada negara
non-anggota. Sebagai konsekuensinya, baik pemerintah maupun pemain usaha
didorong untuk gigih menghadapi persaingan liberal dengan menyediakan produk
berkualitas tinggi pun harga kompetitif.
Perjanjian perdagangan bebas idealnya memberikan manfaat bagi seluruh
pihak yang melakukan perjanjian, antara lain terjadinya trade creation dan trade
diversion. Trade creation adalah penciptaan transaksi dagang antar anggota yang
sebelumnya tidak terjadi karena adanya barrier. Trade diversion terjadi akibat
adanya penurunan insentif tariff sehingga produk impor sejenis dari dua negara
yang berbeda bisa memiliki harga berbeda pula.
Indonesia sendiri telah ikut dalam berbagai kemitraan seperti Asean Free
Trade Area (AFTA), Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), FTA dengan
Korea Selatan, FTA dengan Jepang, dan FTA dengan Australia dan New Zealand.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan RI (2011) sampai saat ini ekspor
Indonesia masih didominasi sektor minyak dan gas bumi. Sementara untuk ekspor
non migas didominasi oleh barang mentah (primary goods). Indonesia cenderung
memiliki daya saing rendah untuk ekspor barang setengah jadi (intermediary
goods) dan barang jadi (finished goods).
Selain
membawa
keuntungan,
FTA
juga
menimbulkan
kerugian.
Berdasarkan Ohmae dalam Hirshi (2012) kerugian tersebut lebih dirasakan oleh
masyarakat kelas bawah karena tidak memiliki cukup modal untuk berinvestasi.
Selain itu, tuntutan globalisasi yang membutuhkan tenaga kerja yang memiliki
skill cukup menjadikan kedudukan masyarakat kelas bawah semakin terpuruk.
Oleh karena itu, free trade justru menimbulkan kesenjangan sosial dimana kelas
atas semakin ke atas dan kelas bawah semakin ke bawah atau dengan kata lain
ketidaksamarataan semakin tajam (konglomerasi).