Anda di halaman 1dari 2

Puasanya Gandhi

Oleh Hairussalim HS
Puasa, menahan diri dari makan minum dan berhubungan seks, menjadi suatu ritual umum di
dalam hampir semua kelompok spiritual dan keagamaan. Kenyataan bahwa puasa adalah praktik
spiritual yang lazim jauh sebelum Islam diakui sendiri oleh Islam, ketika mengeluarkan perintah
kewajiban puasa kepada pemeluknya: Wahai orang-orang beriman diperintahkan atas kamu
puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu. (QS 2:183). Ayat ini
menunjukkan dengan jelas bahwa ada praktik puasa di kalangan umat sebelum atau di selain
Islam.
Tentu saja puasa antara Muslim dan kelompok-kelompok keagamaan dan spiritual lain berbeda
baik di dalam bentuk maupun tujuannya. Kendati demikian, secara umum tujuan puasa adalah
suatu upaya pengendalian dan pembentukan jiwa. Jiwa adalah sebuah kawasan terbuka. Ia akan
menjadi hutan rimba segala kejahatan jika dibiarkan tumbuh dan berkembang begitu saja. Iri,
dengki, dendam, marah, dan segala bentuk penyakit hati lainnya, bisa membuat jiwa menjadi
kawasan hitam. Disiplin pengendalian diri akan menjadikan jiwa sebagai taman yang indah,
tempat segala kebaikan bermuara dan berkembang. Salah satu di antara formula pengendalian
jiwa tak lain adalah dengan berpuasa.
Puasa adalah gerakan batin. Gerakan yang halus dan lembut. Ia berbasis pada ketulusan dan
keikhlasan. Ia laku pribadi yang tenang, jernih dan bersih. Namun di balik ketenangan dan
diamnya itu terdapat kekuatan untuk mendorong perubahan. Tujuan utama puasa adalah
transformasi jiwa pribadi. Dari jiwa pribadi itu kemudian pindah ke jiwa sosial masyarakat,
ketika puasa memendarkan pengaruh positifnya pada lingkungan sekelilingnya.
Dalam hal ini, barangkali perlu mengenang puasa seorang jiwa besar abad 20: Mahatma Ghandi.
Sejak 6 Oktober 1924 Mahatma Ghandi melaksanakan puasa selama 21 hari. Puasa ini ia
dilakukan di rumah seorang Muslim nasionalis India, Mohamad Ali, adik Shaukat Ali. Dua
dokter Islam terus menerus menjaganya dan seorang misionaris Kristen, Charles Freer Andrewa,
menjadi perawatnya.
Ghandi memutuskan berpuasa sebagai suatu seruan terhadap orang-orang Muslim dan Hindu
yang kala itu terlibat konflik. Konflik itu menghabiskan energi, merusak batin dan pikiran, dan
akhirnya menghancurkan sendi-sendiri kehidupan sosial. Perlawanan nasional terhadap
kolonialisme melalui gerakan tanpa kekerasan menjadi melemah dan mengendor ketika tulang
punggung gerakan itu sendiri: Hindu dan Muslim terpecah. Mati tenggelam dalam perseteruan
internal.
Sepanjang 21 hari itu, Ghandi tidak makan apapun, kecuali minum sedikit air putih plus sejimpit
garam. Tiap hari ia duduk, diam dan merenung. Dari taman jiwanya yang tenang dan hampa dari

nafsu dunia itu, lahir sejumlah kata-kata hikmah yang sangat inspiratif. Yang perlu pada saat ini
bukanlah suatu agama, melainkan saling menghormati dan toleransi antar pemeluk berbagai
agama, demikian tulisnya pada hari kedua puasa. Kehendak merdeka yang diangankan warga
India, dan dipimpin di antaranya oleh Ghandi sendiri melalui gerakan ahimsanya, ia renungkan
ulang melalui puasanya itu. Ia katakan bahwa perjuangan harus ditujukan kepada hati orangorang India terlebih dulu. Jiwa mereka harus bebas dari nafsu untuk menyingkirkan dan
meniadakan orang lain. Mereka harus percaya diri, karena percaya diri berarti percaya kepada
Tuhan. Kemerdekaan batin mendahului dan mengalasi kemerdekaan fisik.
Puasa Ghandi memang tidak sepenuhnya berhasil menghentikan konflik Hindu-Musim yang
telah menyala dan membakar hati masing-masing pemeluk itu sedemikian rupa. Tapi dunia terus
mengenang bagaimana meditasi timur, puasa itu, digunakan oleh Ghandi sebagai suatu seruan
untuk perubahan.
Puasa, apakah itu sebagai suatu kewajiban keagamaan atau kehendak pribadi, pertama-tama
adalah suatu upaya transformasi diri. Perubahan di dalam diri akan membawa perubahan di
dalam masyarakat. Puasa di sini bukan semata untuk memenuhi kewajiban ilahi, tapi telah
menjadi tuntutan kemasyarakatan, tuntutan kemanusiaan.

Anda mungkin juga menyukai