Anda di halaman 1dari 3

Pe(Pilih!)an Langsung (PEMILU)???

Mohamad Habibi
Tinggal menghitung hari, bangsa Indonesia akan melaksanakan tugasnya untuk memilih
presiden yang akan menahkodai Negara Indonesia 5 tahun ke depan. Semua kalangan, abangansantri-priyayi, berdiskusi dan mempunyai Satriyo Piningit mereka masing-masing yang
disertai argumen penguat dan pelemah tersendiri. Kecuali mereka yang berencana untuk abstain
(Golput) yang meletakkan diri di luar mainstream saat ini dan lebih memilih untuk diam. Tapi
yang perlu disayangkan pada pemilu sekarang yaitu banyak campur tangan media pendukung
calon masing-masing, sehingga sangat terlihat keberpihakan media. Setiap hari rakyat disuguhi
informasi yang melulu mengenai salah satu calon di salah satu media, begitu juga di media yang
lain. Yang perlu dipertanyakan apakah informasi yang diberikan oleh media tersebut benar-benar
objektif apa adanya? Secara tidak langsung media telah mengintervensi pilihan rakyat dengan
maksud harus memilih ini, jika tidak kamu harus memilih itu dengan informasi yang telah
saya sediakan. Sebagai media, sudah sebaiknya memberikan informasi yang lugas kepada
masyarakat, sehingga masyarakat mendapatkan informasi capres-cawapres yang sebenarbenarnya. Maka diharapkan nantinya masyarakat lebih aktif dan selektif menemukan sumber
informasi yang terpercaya.
Mengangkat pemimpin hukumnya wajib. Pemimpin yang dimaksud merupakan bagian
dari unsur-unsur Negara, yaitu al-raai (pemimpin), al-raaiyyah (rakyat), al-ardlu (wilayah),
dan al-dustur (konstitusi). Pada dasarnya, memilih pemimpin hukumnya fardlu kifayah
(kewajiban sosial), karena yang terpenting adalah terwujudnya kepemimpinan. Tak peduli
banyak atau sedikit rakyat yang terlibat dalam pemilihan. Ketika rakyat dihadapkan pada pilihan
yang baik atau jelek, yang baik atau yang lebih baik, dan yang jelek atau lebih jelek, maka
seorang muslim wajib memilih yang baik, lebih baik, dan yang sedikit kadar kejelekannya.
Tidak melakukan kewajiban ini termasuk dalam kitmanu al-syahadah (menyembunyikan
kesaksian), dan memilih pemimpin yang seharusnya tidak dipilih termasuk dalam syahadatu alzuur (Kesaksian palsu).
Dalam khazanah fiqih siyasah banyak dikemukakan tentang kaifiyatu nashbi al-imaam
(cara mengangkat pemimpin). Salah satunya yaitu melalui mekanisme al-ikhtiyar (pemilihan),
tetapi tidak semua orang memiliki haqqul ikhtiyar (hak memilih). Hak memilih hanya dimiliki
ahlul ikhtiyar, yaitu para pemuka dan tokoh-tokoh masyarakat, baik struktural dan kultural yang
dikenal dengan nama ahlul halli wal aqdhi. Terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi oleh ahlul
ikhtiyar :
1. Mempunyai sifat adalah (adil) dengan pengertiannya yang luas.
2. Memiliki pengetahuan tentang pemimpin yang berhak untuk dipilih.

3. Memiliki hikmah kebijaksanaan yang dapat mengantarkan kepada terpilihnya orang yang
paling layak untuk memimpin ( lihat: al-Ahkam al-Sulthoniyyah li al-Mawardy, hal 06)
Di dalam sistem Negara demokrasi, seperti Indonesia, pemilihan presiden dilaksanakan
oleh setiap warga Negara yang telah cukup umur. Tidak ada perbedaan antara orang alim
(pintar) dengan awam (bodoh) dan antara pejabat dengan rakyat. Secara teoritis sistem ini
sangat ideal, karena setiap orang berhak dan bebas menentukan pilihannya masing-masing. Oleh
karena itu, yang memegang kedaulatan adalah rakyat. Karena terpilihnya atau tidak seorang
pejabat, misal presiden, tergantung pada rakyat. Kini posisi rakyat tidak kalah strategis daripada
hakim-hakim. Kemampuan dasar yang dimiliki seorang hakim dan sebaiknya juga dipunyai oleh
rakyat dalam hal memilih pemimpin adalah marifatul haq (mengetahui yang benar) dan qodhou
bil haqqi (memutuskan dengan benar).
Maka dari itu, sebagai seorang muslim, sebaiknya kita teliti dan berhati-hati dalam
menentukan pilihan pemimpin nantinya. Dengan cara/metode yang sebenar-benarnya. Sehingga
kelak melahirkan pemimpin yang sanggup dengan benar memimpin bangsa Indonesia. Jikalau
memang harus golput/abstain, karena merasa tidak ada perbedaan signifikan diantara para
kandidat, itu juga tidak jadi persoalan. Sebaiknya sebelum mengambil keputusan, mari
melakukan salah satu metode permohonan petunjuk kepada Allah sebagai berikut:
1. Setiap pengambilan keputusan, termasuk hal Pemilu, ahsan wa afdhal jika dilakukan sendiri
secara mandiri, sebagai alabd al-baligh (hamba Allah yg dewasa) dan al-khalifah alaqil
(khalifah Allah pengguna akal)
2. Akan memilih atau tidak, dianjurkan malam sebelum hari-H melakukan tafakur, shalat
istikharoh dan shalat tahajjud, memohon petunjuk Allah dan mewiridkan berulang-ulang Ya
Hadi Ya Mubin semampunya
3. Khusus untuk Jamaah Maiyah, ahsan wa afdhal jika malam itu sebelum tidur melaksanakan
Doa Tahlukah
4. Jika pagi hari-H mengambil keputusan untuk tidak memilih (karena keyakinan atau pandangan
yg dipercaya sudah matang) dianjurkan untuk shalat Dhuha 7x (14 rokaat), membaca
Qul in dholaltu fainnama adhillu ala nafsi, wa inihtadaitu fabima yuhiya ilayya Robbi
diakhiri istighfar sebanyak-banyaknya sesanggupnya.
5. Jika mengambil keputusan untuk memilih, dianjurkan untuk memilih pihak yang paling
diharapkan (berdasarkan pengalaman dan sejarah calon pemilih terhadap yg diharapkannya
itu), meskipun tidak dimengerti benar karena terbatasnya informasi tentang pihak yg
diharapkan itu. Dengan anjuran: sejak dari rumah hingga saat-saat menunggu giliran memilih,
maupun ketika akan melaksanakan pilihan di dalam ruangan mewiridkan (berbisik-bisik
atau dengan hati)
.

6. Setiap hamba Allah berhak penuh untuk menerima dan melaksanakan anjuran ini, juga berhak
penuh untuk menolak dan mengabaikannya. Bagi teman-teman yang tidak mungkin
menggunakan anjuran-anjuran ini karena berbeda idiom dan prosedur keagamaannya, mohon
diapresiasi dimensi rohaniahnya.

Anda mungkin juga menyukai