Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica
atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.

Secara klinis,

mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.
Foetor ex nasi berarti bau busuk dari dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu
penyebab seorang pasien mencari pertolongan pada dokter. Namun, pada rhinitis atrofi, foetor ex
nasi tidak dirasakan oleh penderita sehingga perasaan tidak nyaman dirasakan oleh orang
sekitarnya, bukannya oleh pasien. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan,
sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.
Etiologi dan patogenesis rhinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan
memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi.
Menurut pengalaman, untuk kepentingan klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati,
yaitu ringan, sedang atau berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya.
Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat
crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia).

Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Penyakit ini
lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada usia pubertas. Sering ditemukan
pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk dan di
negara sedang berkembang.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke
II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica
atrophicanscum foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida. Karakteristiknya
ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai
adanya crustae yang berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental
dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Penyakit ini lebih banyak
menyerang wanita daripada pria, terutama pada umur sekitar pubertas.

Insidensi
Rhinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang. Penyakit
ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu panas seperti Asia
Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania.
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rhinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,
terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk
mendapatkan 15 wanita dan 12 pria. Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.
Menurut Boies frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1. Tetapi dari segi umur,
beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50
tahun, Jiang dkk berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun. Penyakit
ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan
lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari
1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur
berkisar dari 10-37 tahun.
Ozaena lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak perang dunia ke
II tampaknya timbul bersaman dengan suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.

FREKWENSI OZAENA BERDASARKAN UMUR DAN


JENIS KELAMIN
R.S. DR. KARIADI -- SEMARANG, 1975 -- 1976
Jumlah kasus
1975

1976

Total

Wanita :
8 tahun

13-20 tahun

11

11

22

20 tahun ke atas

15-20 tahun

20 tahun ke atas

Laki-laki :

Jumlah wanita : laki-laki = 32 : 11, atau kurang lebih 3 : 1


Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.

ANATOMI HIDUNG

Struktur Makroskopis Hidung

1. Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian bagiannya dari atas ke bawah :
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Pangkal hidung (bridge)


Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,

jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas
atas nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks
(puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang
dibatasi oleh :
5

- Superior : Os frontal, os nasal, os maksila


- Inferior : Kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan kartilago
alaris minor. Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian
inferior menjadi fleksibel.

Perdarahan :
1) A. Nasalis anterior (cabang A. Etmoidalis yang merupakan cabang dari A. Oftalmika,
cabang dari a. Karotis interna).
2) A. Nasalis posterior (cabang A.Sfenopalatinum, cabang dari A. Maksilaris interna,
cabang dari A. Karotis interna)
3) A. Angularis (cabang dari A. Fasialis)
Persarafan :
1) Cabang dari N. Oftalmikus (N. Supratroklearis, N. Infratroklearis)
2) Cabang dari N. Maksilaris (ramus eksternus N. Etmoidalis anterior)

2. Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan
dengan sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas
batas kavum nasi :

Posterior : berhubungan dengan nasofaring


Atap : Os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan sebagian
os vomer

Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya


konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini

dipisahkan dengan kavum oris oleh palatum durum.


Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan
sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit,
jaringan subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri
dari kartilago ini disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna =

kolumela.
Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka
nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.
Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.

Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis
sfenoid. Kadang kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini.
Perdarahan :
Arteri yang paling penting pada perdarahan kavum nasi adalah A.sfenopalatina yang
merupakan cabang dari A.maksilaris dan A. Etmoidale anterior yang merupakan cabang dari
A. Oftalmika. Vena tampak sebagai pleksus yang terletak submukosa yang berjalan bersama
sama arteri.
Persarafan :
1. Anterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari N. Trigeminus yaitu N. Etmoidalis
anterior
7

2. Posterior kavum nasi dipersarafi oleh serabut saraf dari ganglion pterigopalatinum masuk
melalui foramen sfenopalatina kemudian menjadi N. Palatina mayor menjadi N.
Sfenopalatinus.
3. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah
nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri
dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,

yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan.

Struktur Mikroskopis Hidung


Epitel organ pernafasan yang biasa berupa toraks bersilia, bertingkat palsu, berbeda-beda
pada berbagai bagian hidung, bergantung pada tekanan dan kecepatan aliran udara, demikian
pula suhu, dan derajat kelembaban udara. Mukoa pada ujung anterior konka dan septum sedikit
melampaui internum masih dilapisi oleh epitel berlapis torak tanpa silia, lanjutan dari epitel kulit
vestibulum. Sepanjang jalur utama arus inspirasi epitel menjadi toraks bersilia pendek dan agak
ireguler. Sel-sel meatus media dan inferior yang terutama menangani arus ekspirasi memiliki
silia yang panjang dan tersusun rapi.
Lamina propria dan kelenjar mukosa tipis pada daerah dimana aliran udara lambat atau
lemah. Jumlah kelenjar penghasil secret dan sel goblet, yaitu sumber dari mucus, sebanding
dengan ketebalan lamina propria.
Terdapat dua jenis kelenjar mukosa pada hidung, yakni kelenjar mukosa respiratori dan
olfaktori. Mukosa respiratori berwarna merah muda sedangkan mukosa olfaktori berwarna
kuning kecoklatan.
Silia, struktur mirip rambut, panjangnya sekitar 5-7 mikron, terletak pada permukaan
epitel dan bergerak serempak secara cepat ke arah aliran lapisan, kemudian membengkok dan
kembali

tegak

secara

lambat.

FISIOLOGI HIDUNG

1. Sebagai jalan nafas


Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka
media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk
lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti
jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah,
sebagian lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan udara yang
akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada musim panas,
udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada
musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan bakteri dan
dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia

10

c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini
akan dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime.
4. Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat
mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.

5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng) dimana rongga
mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin
dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan
pankreas.

ETIOLOGI

11

Penyebab rhinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat berbagai
teori mengenai penyebab rhinitis atrofik dan penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis
menekankan faktor herediter. Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan
terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :

Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman
ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus,
Pseudomonas aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus
foetidus ozaena.

Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A. Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang
mendapat terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A mengalami
perbaikan simptomatis. Adanya hiperkolesterolemia pada 50% pasien rinitis atrofi
menunjukkan peran diet pada penyakit ini.

Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.

Perkembangan hidung. Dilaporkan adanya pengurangan diameter anteropsterior hidung dan


aliran udara maksiler yang buruk pada penderita rinitis atrofi.

Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.

Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.

Lingkungan. Dilaporkan telah terjadi rinitis atrofi pada pasien yang terpapar fosforit dan
apatida.

Teori mekanik dari Zaufal.

12

Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh


darah akibat gangguan sistem saraf otonom.

Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).

Herediter. Dilaporkan adanya rinitis atrofi yang diturunkan secara dominan autosom pada
sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dari 15 anaknya menderita penyakit ini.

Supurasi di hidung dan sinus paranasal.

Golongan darah.

Selain faktor-faktor di atas, rhinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :


1. Rhinitis atrofi primer
Rhinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan
sebelumnya. Ini merupakan bentuk klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum
diketahui namun pada kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.
2. Rhinitis atrofi sekunder
Rhinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit akibat
trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang
disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung
umumnya segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu
menyebabkan rhinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri
dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera pembuluh darah
submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih
tinggi pada masyarakat sosio ekonomi rendah.
13

PATOLOGI DAN PATOGENESIS

Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel
skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat pengurangan kelenjar alveolar
baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.
Oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :
a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik;
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.

Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan


berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor
dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan
pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang
berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap
frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan
keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan

14

terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk
pertumbuhan kuman. Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :

Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

Silia hidung. Silia akan menghilang.

Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia menjadi epitel kubik
atau epitel gepeng berlapis.

Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil), atau jumlahnya


berkurang.

GEJALA KLINIS

Keluhan penderita rhinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan
penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit
kepala, epistaksis dan hidung terasa kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita
sendiri (-), orang lain (+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak
bisa tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi
semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat bernapas lewat hidung,
terutama karena katup udara yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan
impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari
gambaran.
15

Pemeriksaan THT pada kasus rhinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung
dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga
hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi media dan konka nasi inferior mengalami
hipotrofi atau atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa
juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi
ozaena secara klinik dalam tiga tingkat :
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar,
krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang
jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini mempunyai awitan
yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya pertama mengenai mukosa hidung
tampak beberapa daerah metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan
dan pendarahan.
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar namun
terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan memperbesar rongga hidung ke
segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang,
sementara fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa
hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya
kekeringan, pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
16

hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat efusi
telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus
lakrimalis termasuk keratitis sicca.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan antara
lain :

Transiluminasi.

Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.

Pemeriksaan mikroorganisme.

Uji resistensi kuman.

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan Fe serum.

Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi


tipis, silia hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis,
kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya mengecil.

Pemeriksaan serologi darah.

DIAGNOSIS

17

Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis rhinitis atrofi (ozaena) antara lain :


1. Rhinitis kronik TBC
2. Rhinitis kronik lepra
3. Rhinitis kronik sifilis
4. Rhinitis

TERAPI

Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk
dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal dengan
endokrin; steroid; dan antibiotik; vasodilator; pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti
alkohol; dan salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha
langsung mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai darah
mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.

Konservatif

18

Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci hidung, dan
simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tandatanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan
menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat


Larutan

dihirup

ke dalam

rongga hidung dan dikeluarkan

lagi

dengan

menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,


dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi (Ozaena) biasanya
dengan pemberian preparat Fe.

19

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin
untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti
ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing
tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan
ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan
injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode
waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam
laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat,
cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali
untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6
dari 7 penderita.

Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga
hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan
mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Teknik bedah dibedakan menjadi dua
kategori utama :
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
20

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :


1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan
penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung
bergantian masing-masing selama periode tiga tahun.
2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan
ke lubang hidung.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon,
campuran Triosite dan Fibrin Glue.
5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan
membasahi mukosa hidung. Mewengkang N. melaporkan operasi penutupan koana
menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan perbaikan,
pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan
mukosa hidung pada nares anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.
Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.

KOMPLIKASI

Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :


21

1. Perforasi septum
Perforasi Septum adalah suatu keadaan dimana pada septum (pembatas antara lubang hidung
kanan dan kiri) ditemukan lubang-lubang dan luka terbuka (ulkus). Gejalanya bisa berupa
pembentukan keropeng di sekeliling lubang hidung dan perdarahan hidung berulang.
2. Faringitis
Faringitis adalah suatu peradangan pada tenggorokan (faring). Pada infeksi virus maupun
bakteri,

gejalanya

sama

yaitu

nyeri

tenggorokan

dan

nyeri

menelan.

Selaput lendir yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup
oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan nanah.
3. Sinusitis
Sinusitis adalah peradangan yang terjadi pada rongga sinus. Gejala sinusitis yang paling
umum adalah sakit kepala, nyeri pada daerah wajah, serta demam. Hampir 25% dari pasien
sinusitis akan mengalami demam yang berhubungan dengan sinusitis yang diderita. Gejala
lainnya berupa wajah pucat, perubahan warna pada ingus, hidung tersumbat, nyeri menelan,
dan batuk. Beberapa pasien akan merasakan sakit kepala bertambah hebat bila kepala
ditundukan ke depan. Pada sinusitis karena alergi maka penderita juga akan mengalami
gejala lain yang berhubungan dengan alerginya seperti gatal pada mata, dan bersin bersin.
4. Miasis hidung
Miasis hidung adalah Investasi larva lalat ke dalam suatu jaringan hidup termasuk manusia.
Miasis hidung ialah terdapatnya investasi larva (belatung=ulat) dari lalat pada hidung
manusia. Penyakit ini sering ditemukan pada negara-negara masyarakat golongan sosial
ekonomi rendah. Diantara lalat penyebab miasis di dunia, lalat Chrysomyia bezziana
mempunyai nilai medis yang penting karena bersifat obligat parasit. Investasi miasis pada

22

jaringan akan mengakibatkan berbagai gejala tergantung pada lokasi yang dikenai. Larva
yang menyebabkan miasis dapat hidup sebagai parasit di kulit, jaringan subkutan, soft tissue,
mulut, traktus gastrointestinal, sistem urogenital, hidung, telinga dan mata. Higiene yang
buruk dan bekerja pada daerah yang terkontaminasi, melatarbelakangi investasi parasit ini.
Manifestasi klinik termasuk pruritus, nyeri, inflamasi, demam, eosinofilia dan infeksi
sekunder. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian.
5. Hidung pelana

DAFTAR PUSTAKA

1. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008,


April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004.
2. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008,
April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.
3. Al-Fatih,

M.

2007.

Rinitis

Atrofi

(Ozaena).

Available

from

http://hennykartika.wordpress.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.

23

4. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available from : http://www.geocities.com.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2.
Jakarta : Media Aesculapius. 1999.
5. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
6. Endang, M. & Nusjirwan, R. 2006. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta.

24

Anda mungkin juga menyukai