BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab
ini
akan
membahas
konsep
teoritis
yang
terkait
dengan
Asuhan
dari Anatomi
Fisiologi
Madula
Asuhan Keperawatan
Medula Spinalis
Menurut Mahadewa dan Maliawan (2009, hlm. 3) medula spinalis adalah bagian dari
susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh
tiga lapis selaput pembungkus yang disebut meningen. Lihat pada gambar 2.1 dibawah ini:
struktur
yang
(terdiri atas vertebrae dan ligamen), Lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung
anyaman pembuluh-pembuluh darah vena, Duramater, Arachnoid, Ruangan subaraknoid
(cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor cerebrospinalis, Piamater, yang kaya dengan
pembuluh-pembuluh darah dan yang Iangsung membungkus permukaan sebelah luar medula
spinalis
Berikut ini dijelaskan segmen-segmen medula spinalis menurut Mahadewa dan Maliawan
(2009, hlm. 4) seperti pada gambar 2.2 dibawah ini:
Medula spinalis terbagi menjadi sedikitnya 30 segmen, yaitu 8 segmen servikal (C), 12
segmen thorax (T), 5 segmen lumbar (L), 5 segmen sacral (S), dan beberapa segmen coccygeal
(Co). Dari tiap segmen akan keluar beberapa serabut saraf. Medula spinalis Iebih pendek
daripada kolumna vertebralis sehingga segmen medula spinalis yang sesuai dengan
segmen kolumna vertebralis terletak diatas segmen kolumna vertebralis tersebut (Mahadewa
dan Maliawan, 2009, hlm. 6)
2.
Kolumna Vetebralis
Menurut Syaifuddin (2006, hlm. 46) anatomi fisiologi kolumna vetebralis di
klasifikasikan menjadi ruas tulang belakang, bagian bagian tulang belakang dan lengkung
kolumna vetebralis yang di paparkan sebagai berikut:
a.
1)
Badan ruas merupakan bagian yang terbesar, bentuknya tebal dan kuat terletak di sebelah depan
2)
Lengkung ruas, bagian yang melingkari dan melindungi lubang ruas tulang belakang, teletak di
sebelah belakang dan pada bagian ini terdapat tonjolan yaitu:
a)
b)
Prosesus transversum/taju sayap, terdapat di samping kiri dan kanan lengkung ruas
c)
Prosesus artikularis/taju penyendi, membentuk persendian dengan ruas tulang belakang (vertebralis)
Ruas-ruas tulang belakang ini tersusun dari atas ke bawah dan di antara masing-masing ruas
dihubungkan oleh tulang rawan yang disebut cakram antar-ruas sehingga tulang belakang bisa tegak dan
membungkuk. Di samping itu di sebelah depan dan belakangnya terdapat kumpulan serabut-serabut kenyal
yang memperkuat kedudukan ruas tulang belakang. Di tengah bagian dalam ruas-ruas tulang belakang
terdapat pula suatu saluran yang disebut saluran sumsum belakang (kanalis medula spinalis) yang di
dalamnya terdapat sumsum tulang belakang (Syaifuddin, 2006, hlm. 46).
Fungsi ruas tulang belakang menurut Syaifuddin (2006, hlm. 52) yaitu:
1) Menahan kepala dari alat alat tubuh yang lain
2) Melindungi alat halus yang ada didalamnya (sumsum tulang belakang)
3) Tempat melekatnya tulang iga dan tulang panggul
4) Menetukan sikap tubuh
b.
1)
2)
3)
Vertebra koksigialis (tulang ekor) terdiri dari 4 ruas. Ruas-ruasnya kecil dan menjadi sebuah tulang
yang disebut juga os koksigialis.
c.
Dilihat dari samping kolumna vertebralis terlihat ada empat kurva.atau lengkung. Lengkung
vertikal, daerah leher melengkung ke depan, daerah torakal melengkung ke belakang, daerah lumbal
melengkung ke depan dan daerah pelvis melengkung ke belakang. Sendi kolumna vertebralis dibentuk
oleh bantalan tulang rawan yang terletak di antara tiap dua vertebra yang dikuatkan oleh ligamentum yang
berjalan di depan dan di belakang vertebra sepanjang kolumna vertebralis (Syaifuddin, 2006, hlm.
53).
Cakram antar-badan vertebra adalah bantalan tebal dari tulang rawan fibrosa yang terdapat di
antara badan vertebra yang dapat bergerak. Gerakan sendi dibentuk antara cakram dan vertebra
dengan gerakan yang terbatas dan gerakannya fleksi, ekstensi, lateral, samping kiri, dan samping
kanan (Syaifuddin, 2006, hlm. 53).
Fungsi kolumna vertebralis sebagai penopang badan yang kokoh sekaligus bekerja sebagai
penyangga dengan perantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang Iengkungnya memberi
fleksibilitas untuk membengkok tanpa patah. Cakram juga berguna untuk meredam goncangan yang
terjadi bila menggerakkan badan seperti waktu berlari dan meloncat, dengan demikian otak dan
sumsum belakang terlindung terhadap goncangan (Syaifuddin, 2006, hlm. 53).
anterior,
traktus
vetibulopsinalis,
traktus
rubrospinalis,
traktus
Terdapat banyak jalur saraf (traktus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut
dapat dilihat pada gambar 2.5 dibawah ini :
d.
Sistem anastomosis anterior adalah cabang terminal arteria radikularis anterior. Cabang terminal
tersebut berjumlah dua, satu menuju rostra dan yang lain menuju ke caudal dan kedua-duanya berjalan di
berjalan di garis tengah permukaan ventral medula spinalis.
berlangsung beberapa hari dari hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
b. Proliferasi Sel. Dalam sekitar 5 hari, hematoma akan mengalami. organisasi Terbentuk benang-benang
fibrin dalam jendalan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi fibroblast dan
osteoblast.
c. Fibroblast dan osteoblast (berkembang dari osteosit, kolagen dan mengontrol) akam menghasilkan
kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrus
dan tulang rawan (osteoid).
d. Pembentukan Kalus. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara
langsung berhabungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perin waktu 3 sampai 4
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrus. Secara klinis,
fragmen tulang tak bisa lagi digerakkan.
e. Osifikasi. Pembentukan calus mulai mengalami penulangan dalam 2 sampai 3 minggu patah tulang
melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar
telah bersatu dengan keras, pemulangan memerlukan waktu 3 sampai 4 bulan.
f. Remodeling. Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu
berbulan-bulan sampai bertahun- tahun tergantung beratnya modifikasi tulang yang dibutuhkan,
fungsi tulang, dani pada kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus stres fungsional pada
tulang.
B.
1. Definisi
Trauma pada medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis, vertebra, dan
lumbal akibat trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga,
dan sebagainya. (Arif Muttaqin, 2005, hal. 98)
Trauma medula spinalis adalah trauma yang bersifat kompresi akibat trauma indirek dari
atas dan dari bawah.. (Nugroho,2011, hlm 71)
B
Gambar 2.8 . A, ilustrasi dislokasi pada servikal B, foto Rontgen servikal (Arif Mutaqim,
2005, hal. 110)
2. Etiologi
Menurut Arif muttaqin (2005, hal. 98) penyebab dari cedera medula spinalis dalah :
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Kecelakaan olahraga
3. Kecelakaan industri
4. Kecelakaan lain, seperti jatuh dari pohon atau bangunan
5. Luka tusuk, luka tembak
6. Trauma karena tali pengaman (Fraktur Chance)
7. Kejatuhan benda keras
Trauma yang menyebabkan terjadinya fraktur tulang belakang dan dislokasi pada tulang
belakang.
4. Jenis-jenis Trauma Pada Sumsum Dan Saraf Tulang Belakang
Menurut Arif Mutaqim, (2005, hal. 99) jenis-jenis trauma pada sumsum tulang
belakang dan saraf tulang belakang adalah:
1)
2)
Transeksi total. Transeksi total terjadi akibat suatu trauma yang menyebabkan fraktur dislokasi.
Fraktur tersebut disebabkan oleh fleksi atau rotasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi
segmen di bawah trauma.
5. Patofisiograf
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien fraktur lumbal menurut
Mahadewa dan Maliawan, (2009, hlm148) adalah :
a.
Foto Polos
Pemeriksaan foto polos terpenting adalah AP Lateral dan Oblique view. Posisi
lateral dalam keadaan fleksi dan ekstensi mungkin berguna untuk melihat instabilitas
ligament. Penilaian foto polos, dimulai dengan melihat kesegarisan pada AP dan lateral,
dengan identifikasi tepi korpus vertebrae, garis spinolamina, artikulasi sendi facet, jarak
interspinosus. Posisi oblique berguna untuk menilai fraktur interartikularis, dan
subluksasi facet.
b. CT Scan
CT scan baik untuk melihat fraktur yang kompleks, dan terutama yang mengenai
elemen posterior dari medulla spinalis. Fraktur dengan garis fraktur sesuai bidang
horizontal, seperti Chane fraktur, dan fraktur kompresif kurang baik dilihat dengan CT
scan aksial. Rekonstruksi tridimensi dapat digunakan untuk melihat pendesakan kanal oleh
fragmen tulang, dan melihat fraktur elemen posterior.
c. MRI
MRI memberikan visualisasi yang lebih baik terhadap kelainan medula spinalis dan
struktur ligamen. Identifikasi ligamen yang robek seringkali lebih mudah dibandingkan yang
utuh. Kelemahan pemakaian MRI adalah terhadap penderita yang menggunakan fiksasi
metal, dimana akan memberikan artifact yang mengganggu penilaian.
Kombinasi antara foto polos, CT Scan dan MRI, memungkinkan kita bisa melihat
kelainan pada tulang dan struktur jaringan lunak (ligamen, diskus dan medula spinalis).
Informasi ini sangat penting untuk menetukan klasifikasi trauma, identifikasi keadaan
instabilitas yang berguna untuk memilih instrumentasi yang tepat untuk stabilisasi tulang.
2)
3)
4)
5)
Keadaan simetris dari pedikel dan prosesus spinosus Ketinggian ruangan diskus
intervertebralis Pembengkakanjaringan lunak.
6)
7)
8)
Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak, yaitu diskus intervertebralis dan
ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum medulla spinalis.
7. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqim, (2008 hlm.111) penatalaksanaan pada trauma tulang belakang yaitu :
1) Pemeriksaan klinik secara teliti:
a) Pemeriksaan neurologis secara teliti tentang fungsi motorik, sensorik, dan refleks.
b)
Pemeriksaan nyeri lokal dan nyeri tekan serta kifosis yang menandakan adanya fraktur
dislokasi.
a.
Identitas klien, meliputi nama, usia (kebanyakan terjadi pada. usia muda),
jenis kelamin
(kebanyakan laki-laki karena sering mengebut saat mengendarai motor tanpa pengaman helm),
pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit (MRS), nomor
register, dan diagnosis medis.
b.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah nyeri,
kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia urine dan inkontinensia alvi, nyeri tekan
otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma.
c.
Riwayat penyakit sekarang. Kaji adanya riwayat trauma tulang belakang akibat kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olahraga, kecelakaan industri, jatuh dari pohon atau bangunan, luka tusuk, luka
tembak, trauma karena tali pengaman (fraktur chance), dan kejatuhan benda keras. Pengkajian yang
didapat meliputi hilangnya sensibilitas, paralisis (dimulai dari paralisis layu disertai hilangnya
sensibilitas secara total dan melemah/menghilangnya refleks alat dalam) ileus paralitik, retensi
urine, dan hilangnya refleks-refleks.
Riwayat penyakit dahulu. Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degeneratif pada tulang belakang, seperti osteoporosis dan osteoartritis.
f. Pengkajian psikososiospiritual.
g. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B3 (Brain) dan B6 (Bone)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
3)
Pernapasan.
Perubahan sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis (klien
mengalami kelumpuhan otototot pernapasan) dan perubahan karena adanya kerusakan jalur
simpatik desenden akibat trauma pada tulang belakang sehingga jaringan saraf di medula
spinalis terputus. Dalam beberapa keadaan trauma sumsum tulang belakang pada daerah
servikal dan toraks diperoleh hasil pemeriksaan fisik sebagai berikut.
a)
Inspeksi. Didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot
bantu napas, peningkatan frekuensi pemapasan, retraksi interkostal, dan pengembangan paru
tidak simetris.
b)
Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot
interkostal tidak mampu mcnggerakkan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
c)
Palpasi. Fremitus yang menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan apabila
trauma terjadi pada rongga toraks.
d)
Perkusi. Didapatkan adanya suara redup sampai pekak apabila trauma terjadi pada
toraks/hematoraks.
e)
Auskultasi. Suara napas tambahan, seperti napas berbunyi, stridor, ronchi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk menurun sering didapatkan pada klien cedera
tulang belakang yang mengalami penurunan tingkat kesadaran (koma).
4) Kardiovaskular
Pengkajian sistem kardiovaskular pada klien cedera tulang belakang didapatkan renjatan
(syok hipovolemik) dengan intensitas sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien
cedera tulang belakang pada beberapa keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia,
berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan ekstremitas dingin atau pucat.
5) Persyarafan
a) Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respons terhadap Iingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan
dengan mengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas
motorik klien. Klien yang telah lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
perubahan status mental.
b) Pemeriksaan Saraf kranial:
(1) Saraf I. Biasanya tidak ada kelainan pada klien cedera tulang belakang dan tidak ada kelainan
fungsi penciuman.
(2) Saraf II. Setelah dilakukan tes, ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
(3) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada gangguan mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
(4) Saraf V. Klien cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks
kornea biasanya tidak ada kelainan
(5) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris.
(6) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
(7) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Ada usaha klien untuk
melakukan fleksi leher dan kaku kuduk
(8) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, Indra
pengecapan normal.
c) Pemeriksaan refleks:
(1) Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah
karena kelemahan pada otot hamstring.
(2) Pemeriksaan refleks patologis. Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang didahului dengan refleks patologis.
(3) Refleks Bullbo Cavemosus positif
d)
6) Perkemihan
Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan karakteristik urine, termasuk berat
jenis urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal.
7) Pencernaan.
Pada keadaan syok spinal dan neuropraksia, sering dida-patkan adanya ileus paralitik.
Data klinis menunjukkan hilangnya bising usus serta kembung dan defekasi tidak ada. Hal ini
merupakan gejala awal dari syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa
minggu. Pemenuhan nutrisi berkurang karena adanya mual dan kurangnya asupan nutrisi.
8) Muskuloskletal.
Paralisis motor dan paralisis alat-alat dalam bergantung pada ketinggian terjadinya
trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 14-15) diagnosa keperawatan yang muncul pada
Cedera Medula Spinalis adalah sebagai berikut:
a.
Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan kelemahan otot-otot pernapasan atau
kelumpuhan otot diafragma.
b.
c.
Penurunan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan penurunan curah jantung akibat
hambatan mobilitas fisik.
d.
Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot
sekunder.
e.
Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan kemampuan
mencerna makanan dan peningkatan kebutuhan metabolisme
f.
Risiko tinggi trauma yang berhubungan dengan penurunan kesadaran dan hambatan mobilitas
fisik.
Gangguan eliminasi alvi/konstipasi yang berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rektum.
j.
Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan fisik ekstremitas bawah.
k. Risiko infeksi yang berhubungan dengan penurunan sistem imun primer (cedera pada jaringan
paru, penurunan aktivitas silia bronkus), malnutrisi, dan tindakan invasif.
l.
Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan imobilisasi dan tidak adekuatnya
sirkulasi perifer.
m. Perubahan persepsi sensori yang berhubungan dengan disfungsi persepsi spasial dan
kehilangan sensori.
n. Ketidakefektifan koping yang berhubungan dengan prognosis kondisi sakit, program pengoba tan,
dan lamanya tirah baring.
o. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap konsep diit, dan perubahan
status kesehatan/status ekonomi/ fungsi peran.
p. Ansietas keluarga yang berhubungan dengan keadaan yang kritis pada klien.
q. Risiko ketidakpatuhan terhadap penatalaksanaan yang berhubungan dengan ketegangan akibat
krisis situasional.
3. Intervensi Keperawatan
a.
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan integritas jaringan Kaji nyeri yang dialami klien
c.
e.
Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang penyakit dan diit makanan yang dapat
mempercepat penyembuhan