Anda di halaman 1dari 2

Pada prinsipnya pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena terpenuhinya prestasi atau perikatan

yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya
perjanjian yaitu pembayaran, penawaran pembayaran (diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan), pembaharuan hutang, perjumpaan hutang atau kompensasi, percampuran hutang,
pembebasan hutang, musnahnya barang yang terhutang, kebatalan atau pembatalan, berlakunya
suatu syarat batal, serta lewatnya waktu. 1
Dalam suatu perjanjian kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua
atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan,
bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus di laksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal
tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan dulu
suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala
macam persyaratan yang mungkin dan di perkenankan oleh hukum untuk di sepakati oleh para
pihak. Sedangkan mengenai syarat batal suatu perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1266 KUH
Perdata yang menyebutkan syarat agar suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak
adalah perjanjian harus timbal balik, terdapat wanprestasi, dan pembatalannya harus dimintakan
kepada hakim. Jika pembatalan yang dilakukan tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, maka
dapat dikatakan perbuatan pembatalan tersebut melanggar undang-undang, yakni pasal 1266
KUH Perdata tadi. Selain itu, pendapat pertimbangan lain dapat dilihat dari alasan pembatalan
perjanjian, jika pembatalan tersebut mengandung kesewenang-wenangan, atau menggunakan
posisi dominannya untuk memanfaatkan posisi lemah (keadaan merugikan) pada pihak lawan,
maka hal tersebut termasuk dalam perbuatan melawan hukum, karena kesewenang-wenangan
atau memanfaatkan posisi lemah atau keadaan merugikan dari pihak lawan di luar dari
pelaksanaan kewajiban yang diatur dalam perjanjian, sehingga bukan merupakan wanprestasi,
namun lebih ke arah melanggar kewajiban hukumnya untuk selalu beritikad baik dalam
perjanjian.2 Secara umum, pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada pengadilan, kecuali
para pihak menyepakati untuk mengakhiri perjanjian tanpa adanya putusan pengadilan terlebih
dahulu. Jika tidak diatur mengenai pengesampingan pengakhiran (pembatalan) perjanjian tanpa
adanya putusan pengadilan, maka menjadi mutlak bahwa pembatalan tersebut harus dilakukan
dengan mengajukan gugatan di pengadilan.3
Pembatalan sepihak atas suatu perjanjian dapat diartikan sebagai ketidaksediaan salah satu pihak
untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian. Pada saat
mana pihak yang lainnya tetap bermaksud untuk memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya dan
menghendaki untuk tetap memperoleh kontra prestasi dari pihak lainnya itu.

Pasal 1381 KUH Perdata.

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/view/3072

Pasal 1266 KUH Perdata.

Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal
demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang
ditentukan atau tidak dapat diperbaiki, pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua
mengalami kebangkrutan atau secara finansial tidak dapat memenuhi kewajibannya, terlibat
hukum, tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian,
pekerja meninggal dunia, jangka waktu perjanjian kerja berakhir, adanya putusan pengadilan
dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, serta adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan kerja, atau perjanjian kerja bersama yang dapat
menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Maka, apabila ditanyakan apakah sebenarnya pembatalan perjanjian sepihak ini bisa dilakukan,
tentu boleh. Namun, perlu diperhatikan apa yang mendasari pembatalan sepihak ini. Apabila kita
perhatikan mengenai ditulisnya perjanjian, tetap saja penjelasan yang telah diuraikan tetap
berlaku. Sesungguhnya, untuk mengatasi semua hal yang dapat terjadi, penting untuk dibuatnya
perjanjian yang mengakomodir segala kemungkinan bahkan kemungkinan terburuk sehingga
dapat menjamin hak-hak kedua belah pihak.

Anda mungkin juga menyukai