Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang
memiliki fisik tangguh, mental kuat dan kesehatan prima disamping penguasaan
terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu faktor yang dapat merusak
kualitas sumber daya manusia (SDM) adalah kekurangan gizi (Atmarita 2004).
Menurut Atmarita (2004), pada saat ini sebagian besar atau 50 %
penduduk Indonesia dapat dikatakan tidak sakit akan tetapi juga tidak sehat
umumnya disebut kekurangan gizi. Kejadian kekurangan gizi sering terluputkan
dari penglihatan atau pengamatan biasa, tetapi secara perlahan berdampak
pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita
serta rendahnya umur harapan hidup.
Dalam siklus kehidupan manusia, bayi berada dalam masa pertumbuhan
dan perkembangan yang paling pesat. Bayi yang dilahirkan dengan sehat, pada
umur 6 bulan akan mencapai pertumbuhan atau berat badan 2 kali lipat dari
berat waktu dilahirkan. Oleh karena itu peralihan ASI kepada makanan tambahan
harus dilakukan sesuai dengan kondisi anatomi dan fungsional alat pencernaan
bayi (Notoatmodjo 2003).
Status gizi yang kurang baik atau buruk pada bayi dan anak dapat
menimbulkan pengaruh yang sangat menghambat pada pertumbuhan fisik,
mental maupun kemampuan berpikir yang pada gilirannya akan menurunkan
produktivitas kerja. Keadaan ini berdampak pada menurunnya kualitas sumber
daya manusia. Oleh karenanya gizi merupakan unsur yang penting bagi
pembentukan tubuh manusia yang berkualitas. Pertumbuhan dimulai sejak
dalam kandungan sehingga memerlukan pemenuhan kebutuhan pangan dan zat
gizi di samping pemenuhan kebutuhan kebutuhan lainnya. Makanan bayi
sangat penting diperhatikan karena mereka merupakan generasi yang akan
mengisi masa depan bangsa ini. Anak dapat berkembang dengan normal bila
pertumbuhannya tidak terganggu.
Salah satu penyebab gangguan pertumbuhan yang penting adalah tidak
tepatnya pola penyapihan seperti waktu, jumlah, kualitas dan metode metode
pemberian makanan tambahan pendamping ASI. Kebutuhan gizi secara
kuantitatif dan kualitatif bagi bayi sangat berbeda dengan kebutuhan bagi anak
dan orang dewasa (Launer 1989).
Data kasus kekurangan gizi di Indonesia pada tahun 2010 tidak terjadi
penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 2007 ke tahun 2010 yaitu dengan
prevalensi sebesar 13 %, sedangkan untuk gizi buruk terjadi penurunan
prevalensi dari 18.4 % pada tahun 2007 menjadi 17.9% pada tahun 2010.
Prevalensi nasional balita pendek (stunting) tahun 2010 adalah sebesar 35.7 %
dan prevalensi nasional balita kurus (wasting)
2010).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, prevalensi balita gizi buruk dan
gizi kurang berdasarkan indikator BB/U di provinsi Jawa Barat. 3.1 % dan 9.9%.
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek berdasarkan indikator TB/U di
provinsi Jawa Barat adalah sebesar 16.6 % dan 17.1%, sedangkan prevalensi
balita sangat kurus dan kurus berdasarkan indikator BB/TB di provinsi Jawa
Barat adalah 4.6 % dan 6.4%.
Dilihat dari kebutuhan gizi, kematangan fisiologis dan keamanan
immunologi, pemberian makanan selain ASI sebelum bayi berusia 6 bulan
adalah tidak perlu dan juga dapat membahayakan karena kemampuan
kemampuan pencernaan bayi masih terbatas, dan juga kondisi bayi yang baru
lahir masih lemah dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kehidupan
diluar rahim ibu. Banyak resiko resiko yang akan terjadi pada anak apabila
telah diberikan makanan pelengkap terlalu dini diantaranya adalah meningkatkan
terjadinya diare, meningkatkan resiko infeksi dan alergi pada bayi dan obesitas
yang berupa efek jangka panjang (Akre 1993). Peneilitian yang dilakukan di
Bangladesh, India menujukkan sebanyak 28 responden yang diteliti (48.1%)
memberikan ASI kepada anaknya ketika baru lahir sisanya sekitar 28 ibu (51.9%)
menyatakan telah memberikan madu, susu sapi, dan air gula sesaat setelah
melahirkan bayinya (Kamruzzaman et al. 2009).
Pada tahun 2003 WHO menetapkan bahwa ASI eksklusif yang semula
hanya sampai 4 bulan ditingkatkan sampai bayi berusia 6 bulan (Robinson et al.
2007). Berdasarkan SK Menkes No. 450/Menkes/SK/IV/2004 maka Departemen
kesehatan mulai pada bulan April 2004 menetapkan pemberian ASI eksklusif
sampai 6 bulan dan bayi mendapatkan MP-ASI pada umur 6 bulan (Depkes
2004). Tarwotjo (1983) dalam Prihartono (1994) menyebutkan bahwa timbulnya
masalah kurang gizi pada anak dan bayi diakibatkan oleh 3 faktor utama, yaitu
dengan
kata
lain
ada
86%
ibu
yang
memberi
lainnya karena ASI tidak keluar sehingga sang ibu merasa sang anak butuh
makanan tambahan (Maseta dkk 2008).
Adanya penurunan prevalensi ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif
sangat disayangkan, hal ini tentu akan menghambat peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Penyapihan yang terlalu dini dan pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan bayi dan anak tentunya akan berdampak
pada kehidupan mereka selanjutnya. Kebanyakan ibu yang tinggal di daerah
pinggiran kota yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya sampai usia 6
bulan sedangkan ibu- ibu yang tinggal diperkotaan sebagian besar tidak
memberikan ASI secara eksklusif kepada anaknya dan telah memberikan
makanan pendamping seperti bubur susu, buah dan susu formula ( Batal et al.
2005).
Dari
kenyataan
tersebut
diatas,
tampak
bahwa
keberhasilan
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara karakteristik keluarga dengan umur
penyapihan, praktek pemberian makanan pendamping ASI dan status gizi balita.
Tujuan Khusus
a.
b.
Mengetahui
umur
penyapihan
dan
praktek
pemberian
makanan
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB.
d.
e.
f.
Mengetahui
hubungan
antara
karakteristik
keluarga
dengan
umur
penyapihan balita
g.
1. Terdapat hubungan
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai dasar pemikiran
pelaksana program terutama dalam menyusun penyuluhan gizi kepada
masyarakat di daerah penelitian. Bagi penulis penelitian ini dapat memberikan
suatu pengalaman dan menambah wawasan penulis tentang hal-hal yang
berkaitan dengan pemberian makanan tambahan dan status gizi balita.