Anda di halaman 1dari 27

Tumbal

July 16, 2007 · Leave a Comment

Copyright 2005, by Mario Soares (msoares_bombay@yahoo.com)

(Wanita dan Kera, Wanita dan Gendruwo, Keroyokan, Istri Selingkuh)

Sapto adalah seorang buruh pekerja bangunan lepas. Pria muda kelahiran sebuah dusun
terpencil di Jawa Tengah ini terpaksa mengadu nasib ke Jakarta karena di daerah asalnya
pun ia menganggur tak punya pekerjaan. Kekeringan yang berkepanjangan melanda
kampung halamannya. Sawah-sawah tidak produktif lagi. Banyak petani yang kehilangan
pekerjaannya, termasuk Sapto.

Di usianya yang kedelapan belas saat masih di kampungnya, ia telah menikahi seorang
wanita cantik bernama Maya. Wanita yang usianya selisih dua tahun lebih muda ini
adalah tetangganya sendiri di kampung. Sama seperti Sapto, Maya pun berasal dari
keluarga yang sangat sederhana.

Walaupun kehidupan yang menanti di Jakarta belum menentu, Sapto nekat mengajak
istrinya untuk pergi ke kota harapan itu saat usia pernikahan mereka masih seumur
jagung. Ia malu terus-menerus membebani kedua orang tuanya maupun mertuanya yang
sama-sama kekurangan.

Pria ini beruntung mendapatkan pekerjaan pada seorang kontraktor kecil-kecilan di


daerah pinggiran ibukota. Sapto mengenal majikannya dari sesama temannya di kampung
yang kebetulan pernah bekerja pada beliau. Dengan kemampuan seadanya, ia belajar
menjadi kuli bangunan. Pekerjaannya pun tak tentu, bergantung pada order yang diterima
majikannya.

Dengan penghasilan yang seadanya, tentu saja kehidupan Sapto dan Maya di kota yang
keras itu masih tetap prihatin.

Kesulitan ekonomi semakin terasa setelah Maya melahirkan anaknya yang pertama, tepat
dua tahun setelah kepindahan mereka ke Jakarta. Sapto pun semakin pontang-panting
menghidupi keluarganya yang telah bertambah anggotanya.

Sapto sebenarnya beruntung memiliki istri seperti Maya. Wanita itu sangat sabar dan mau
sepenuhnya mengerti kesusahan yang mereka alami bersama. Ia tak pernah mengeluh dan
menuntut macam-macam. Walau ia pun tak mampu berbuat banyak untuk membantu
suaminya, tak hentinya ia memotivasi suaminya untuk bersabar dan tidak tergoda
menempuh jalan yang tidak benar dalam mengatasi kemiskinan mereka.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Keadaan ternyata berkembang jadi
semakin sulit setelah majikan tempat Sapto bekerja bangkrut. Otomatis Sapto pun
kehilangan satu-satunya mata pencahariannya. Dengan kemampuan yang terbatas, jelas ia
mengalami kesulitan untuk mendapatkan mata pencaharian yang baru.

Dalam keadaan putus asa, Sapto mengambil jalan pintas. Suatu hari ia nongkrong dengan
sesama temannya yang juga menganggur. Saat ngobrol, temannya menceritakan tentang
pesugihan yang diyakini dapat memberikan pelakunya kekayaan yang melimpah ruah.
Dari sekedar iseng, Sapto jadi mulai tertarik dengan cerita itu. Diajaknya temannya untuk
sama-sama menjalani pesugihan tersebut.

Walaupun tertarik juga, temannya menolak untuk melakukannya. Ia takut karena


syaratnya sangat berat. Begitu pula konsekuensi yang harus ditanggung jika syaratnya tak
terpenuhi. Belum lagi mengingat cara itu adalah jalan yang dikutuk oleh agama.

Sapto yang telah buntu pikirannya tetap berkeras untuk mencobanya. Temannya yang
telah mencoba mengingatkannya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah dipaksa Sapto,
temannya lalu menceritakan bagaimana cara melakukan pesugihan itu, yang disebut
pesugihan Ki Edan.

Pesugihan itu harus dilakukan dengan memuja jin bernama Ki Edan. Tempatnya adalah
di sebuah gua terpencil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Dengan alasan mencari pekerjaan, Sapto pamit kepada istrinya untuk pergi ke luar kota
selama beberapa hari. Dititipkannya anak dan istrinya kepada tetangganya.

Dengan berdebar-debar Sapto menemui juru kunci tempat itu untuk minta petunjuk dan
bimbingan dalam menjalaninya. Sebelum melakukan itu, sama seperti yang telah
dilakukan oleh temannya, si juru kunci mengingatkan Sapto akan semua konsekuensi
yang harus diterimanya. Pria tua itu mengatakan bahwa Sapto masih dapat mundur saat
itu seandainya ia masih ragu-ragu. Merasa kepalang tanggung, Sapto tetap
menyanggupinya. Ia pun menjalani ritual yang disiapkan oleh si juru kunci untuk
melakukan perjanjian dengan Ki Edan.

Ki Edan adalah sejenis jin tingkat tinggi yang memiliki kesaktian mandraguna. Usianya
telah mencapai ribuan tahun. Berbagai macam manusia dari puluhan generasi sudah
pernah ditemuinya. Ia hidup di tengah hutan Lawang bersama para pengikutnya.
Pengikutnya berasal dari berbagai golongan jin dan hewan liar yang hidup di hutan itu. Ia
tak akan membantu sembarang orang. Syarat yang ditetapkannya pun berat.

Saat melakukan ritual di dalam gua, Sapto pun berkesempatan untuk bertatap muka
dengan jin itu.

Badan Ki Edan berwujud manusia tapi bagian paha ke bawah menyerupai kaki belakang
seekor lembu. Tubuhnya yang jangkung tampak tegap didukung oleh badannya yang
kekar dan berwarna gelap kemerahan. Wajahnya berbentuk segitiga dengan ujung dagu
yang sangat lancip. Kedua matanya tajam dan berwarna merah. Sepasang tanduk besar
menyerupai tanduk kerbau jantan menghiasi kepalanya yang gundul.
Sapto bergidik melihat penampakan jin tua yang mengerikan itu.

“Hai manusia, ceritakan apa yang kau mau,” suara jin tua itu terdengar menggema di
dalam gua.

“A..a.. ku ingin mendapatkan kekayaan, Ki,” kata Sapto terbata-bata.

Mata Ki Edan yang tajam menatap dalam-dalam pada Sapto yang agak merinding.

“Kau tahu apa syaratnya?” tanya jin itu.

“Apa itu, Ki?” tanya Sapto gemetar. “Aku akan menyanggupinya…”

“Setiap purnama kau harus mempersembahkan mayat bayi yang baru saja dikuburkan…”

Sapto terdiam.

“Jika kau lalai…. Bukan hanya kekayaanmu yang akan kutarik kembali….” lanjut Ki
Edan.

Sapto menanti lanjutan kata-kata jin tua itu dengan harap-harap cemas.

“…Melainkan juga orang yang sangat kausayangi akan kuambil….” Ki Edan menutup
penjelasannya yang singkat.

“Baiklah, Ki…” jawab Sapto yang sudah gelap matanya menyanggupi.

Setelah perjanjian diikat, Sapto pun kembali ke Jakarta.

Aneh, tak lama kemudian Sapto pun mendapatkan rezeki. Ada orang yang menawarinya
modal untuk membuka usaha. Sapto pun membuka warung dan bengkel. Usahanya
ternyata maju sehingga dalam waktu singkat Sapto dapat mengembalikan modalnya dan
memiliki sendiri seluruh usahanya. Kehidupan ekonomi mereka pun semakin membaik.
Tentu saja Sapto tak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada Maya.

Sementara itu, setiap menjelang bulan purnama, Sapto memiliki kebiasaan baru. Ia akan
mendatangi kuburan dan menggali makam bayi yang baru saja dikuburkan. Jasad bayi
yang masih baru itu lalu dipersembahkannya kepada Ki Edan sebagai tumbal.

Bulan demi bulan pun berlalu. Semakin lama Sapto pun semakin merasa sulit untuk
memenuhi janjinya. Bukan saja ia harus mencari mayat bayi ke daerah yang semakin
jauh, penduduk pun mulai resah dan curiga dengan maraknya penggalian kuburan bayi
yang baru meninggal. Akibatnya, Keamanan pun semakin diperketat. Ruang gerak Sapto
pun semakin terbatas.
Sampai suatu ketika, Sapto akhirnya gagal memenuhi janjinya pada Ki Edan tepat pada
malam bulan purnama yang ketujuh sejak perjanjiannya.

Saat itu sudah lewat tengah malam. Sapto merasa sangat gelisah karena tahu akan terjadi
sesuatu. Maya yang saat itu sedang di sampingnya juga merasa curiga melihat gelagat
suaminya yang dari tadi tampak menyembunyikan sesuatu. Wanita itu baru saja selesai
menyusui anaknya yang sempat terbangun beberapa waktu yang lalu.

Tanpa ada tanda apa pun, Ki Edan tiba-tiba muncul diikuti oleh para pengikutnya. Walau
sudah menduga hal itu, Sapto tetap saja merasa terkejut. Ia tak tahu harus mengatakan
apa pada istrinya. Maya yang tak mengetahui pokok permasalahannya tentu saja tak
kalah terkejutnya.

“Sapto, kau tahu apa yang telah kau lalaikan malam ini?” suara Ki Edan terdengar
menggema di tengah malam yang hening.

Sapto hanya diam dengan tubuh gemetar dan tegang.

“Kalau kau tak mampu memenuhi janjimu dalam pesugihan ini, aku sudah
mengatakannya dengan jelas apa yang harus kau bayar…”

“Aku akan mengambil nyawa anakmu sebagai tumbal…” kata jin tua itu mengingatkan.

“Atau akan mengambil istrimu untuk menjadi budakku di alam gaib sana… sebagai ganti
atas semua kekayaan yang telah kuberikan padamu…”

Maya yang terkejut mendapati kenyataan itu tentu saja tak merelakan nyawa anak semata
wayangnya diambil oleh Ki Edan.

“Mas Sapto…. Benarkah…?” tanya Maya seperti tak percaya sambil memandang ke arah
suaminya. “Teganya kau… Jadi selama ini….?”

Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Sapto hanya menunduk. Ia tak berani membalas pandangan istrinya. Tubuhnya terasa
gemetar.

“Baiklah, sekarang aku akan mengambil anakmu…” kata Ki Edan sambil melangkah
mendekati ranjang tempat anak Sapto dan Maya sedang tidur.

Maya sangat terkejut mendapati kenyataan anaknya akan diambil secara paksa.
Dihalanginya jin tua yang besar itu dalam langkahnya menuju ranjang. Naluri keibuannya
untuk melindungi anaknya serta merta muncul.

“Aku tak rela nyawa anakku hilang demi melunasi hutangmu…” tegas wanita itu sambil
memandang suaminya.
“Biar aku saja yang ikut dia untuk menebusnya…”

Sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu, Maya sempat terkejut. Bagaimana bisa ia
membuat keputusan seperti itu? Keputusan yang spontan dikeluarkannya untuk
melindungi jiwa putri satu-satunya. Dalam hati ia sebetulnya sangat khawatir akan
nasibnya jika mengikuti setan itu. Bagaimanapun, saat itu ia tak melihat cara lain sebagai
jalan keluarnya.

“Baiklah, tak masalah bagiku,” kata Ki Edan sambil memeluk bahu Maya yang ada di
dekatnya.

“Anakmu atau istrimu, salah satu saja…. Sudah cukup bagiku…” kata Ki Edan.

Sapto tak mampu berkata apa-apa. Mulutnya serasa terkunci.

Ki Edan lalu melucuti seluruh pakaian Maya. Maya sama sekali tak menolak… Maya tak
tahu mengapa ia tak melawan saat direndahkan seperti itu…. Apakah ia berada di bawah
pengaruh hipnotis?

Sapto hanya bisa memandangi peristiwa itu tanpa daya sama sekali. Begitu istrinya telah
bugil, ia melihat Ki Edan mengeluarkan seuntai rantai yang besar lalu mengalungkannya
ke leher wanita cantik itu…

Siluman sakti itu kemudian menyerahkan rantai itu kepada seekor kera jantan besar yang
setia mengikutinya. Entah dari mana datangnya, segumpal asap yang tebal tiba-tiba
muncul memenuhi ruangan. Ki Edan pun berjalan menembus asap itu. Diikuti oleh si
kera besar yang menuntun istrinya… menghilang ditelan kegelapan….

Sapto hanya bisa memandang seluruh kejadian itu sambil menangis… Kedua kakinya
benar-benar kaku tak bisa digerakkan. Sekujur badannya gemetar menahan perasaan
takut, geram, dan tak berdaya yang bercampur aduk. Beban yang demikian beratnya
membuatnya terjatuh. Perlahan-lahan asap pun menghilang tanpa bekas. Sama seperti
istrinya yang raib dibawa Ki Edan… Pandangannya pun menjadi gelap. Ia pun pingsan
tak sadarkan diri.

Maya memulai kehidupan barunya di alam jin. Setelah melalui asap tebal yang
mengantarkannya meninggalkan alam manusia, sampailah ia di kediaman jin tua itu.
Tempat tinggal Ki Edan ada di tengah-tengah hutan. Hutan yang aneh dalam
pandangannya sebagai manusia. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di situ tak pernah
dijumpainya di alam manusia. Semuanya dari jenis yang berbeda…

Pondok Ki Edan terbuat dari kayu dan menyatu dengan sebuah pohon besar yang
dikelilingi oleh sepetak lapangan yang agak luas. Lapangan yang merupakan pekarangan
rumah itu menjadi pemisah antara rumah dengan hutan lebat yang mengitarinya.
Ki Edan membawa Maya berkeliling meninjau rumahnya yang cukup besar dan
pekarangan di sekelilingnya. Dijelaskannya satu per satu tugas yang akan menjadi
kewajibannya sehari-hari.

Dengan penuh perhatian wanita itu menyimak setiap penjelasan dan instruksi dari tuan
barunya. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu-nunggu sesuatu dari penjelasan
jin tua itu.

Sampai Ki Edan selesai menjelaskan, apa yang ditunggunya dengan harap-harap cemas
ternyata tak juga keluar.

Jelas bahwa Ki Edan sama sekali tak berniat untuk ‘menyentuh’-nya. Padahal Maya
tadinya mengira ia juga harus melayani jin itu di tempat tidur. Wajar saja jika ia mengira
demikian. Saat ia diambil dari suaminya, Ki Edan telah melucutinya hingga bugil. Begitu
pula saat memberikan penjelasan, Ki Edan telah menegaskan padanya bahwa ia tak
diperkenankan mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya selama berada di
alam gaib itu. Suasana yang dibangun memang seolah mengarahkannya untuk menjadi
seorang pelayan seks.

Nyatanya ia hanya harus melayani Ki Edan seperti seorang pembantu rumah tangga atau
baby sitter. Ia tiap hari harus memasak makanan untuk Ki Edan, membersihkan
rumahnya, mencuci pakaiannya, menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan sehari-
harinya… tapi tidak melayani nafsu birahinya…

Seolah bisa membaca pikiran wanita itu, Ki Edan menceritakan penyebabnya. Rupanya
jin tua itu sedang menjalani ritual tertentu yang tidak memungkinkannya untuk
melakukan hubungan seks sama sekali.

Sejenak Maya menarik nafas lega… Memang sejak dibawa oleh Ki Edan ia telah
mengantisipasi jika dirinya akan dijadikan sebagai pelayan seks. Toh ia tetap merasa
gentar juga saat semakin sering berdekatan dengan Ki Edan dan dapat melihat ukuran
penisnya. Alat kelamin itu menggelantung-gelantung seperti belalai gajah di balik kain
tipis yang menutupi pangkal pahanya…

Sayangnya kelegaan wanita itu tak berlangsung lama. Ki Edan rupanya menyadari sosok
wanita yang ada di hadapannya itu benar-benar cantik dengan postur tubuh yang sangat
indah. Sangat mubazir jika tidak dimanfaatkan. Dengan demikian, bukan berarti Maya
benar-benar bebas dari kewajiban yang berhubungan dengan seks…. karena ternyata Ki
Edan akhirnya menghadiahkan Maya kepada Wanara, kera jantan piaraannya…

Dengan demikian kera peliharaan Ki Edan lah yang akhirnya ketiban untung
mendapatkan Maya.

Itu pun sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi Maya. Sudah jadi pengetahuan umum,
birahi seekor hewan lebih tinggi frekuensinya daripada seorang manusia.
Belakangan Maya belajar bahwa lima kali hubungan seks adalah jatah minimal yang
harus diberikannya kepada hewan itu tiap harinya. Maya pun jelas harus bersusah payah
beradaptasi dengan kebiasaan itu. Dulu saat masih di alam manusia, tidak setiap hari ia
harus melayani Sapto suaminya.

Sekarang dengan frekuensi hubungan seks minimal lima kali sehari, Maya biasanya
hanya dapat ikut menikmati sampai hubungan yang kedua atau ketiga. Selebihnya,
dirasakannya semata-mata untuk memenuhi kewajibannya melayani birahi kera itu.

Untunglah Ki Edan pun mengamati hal itu. Suatu hari ia memberikan wanita itu ramuan
untuk meningkatkan daya tahan dan nafsu seksualnya supaya ia bisa mengimbangi
pasangan barunya itu…

“Minumlah…” kata Ki Edan pada Maya.

“Apa ini, Ki…?” tanya Maya sambil melihat minuman berwarna kecoklatan yang
disodorkan padanya.

“Jamu ramuanku… untuk menambah daya tahan tubuhmu dan meningkatkan


birahimu…” kata Ki Edan tersenyum.

“Aku lihat kau agak kewalahan melayani si Wanara…” lanjutnya.

Maya tersipu malu. Mukanya yang putih bersemu kemerahan seperti udang rebus. Ia baru
sadar bahwa Ki Edan mengamati setiap aktifitasnya bersama kera itu. Memang benar apa
yang dikatakan oleh majikannya itu.

“Minumlah, tak usah ragu… Setelah kau rutin minum ramuan ini… bahkan nanti kau lah
yang akan minta jatah kepada keraku itu…” jelas Ki Edan.

“Sekarang ini kan dialah yang selalu mendatangimu untuk minta bersetubuh… Nanti bisa
terbalik…” kata jin tua itu sambil terkekeh.

Dalam hati Maya agak sangsi dengan kata-kata Ki Edan. Benarkah bisa seperti itu?
Sekarang saja rasanya ia sudah sangat kewalahan melayani nafsu seks kera jantan itu.
Alat kelaminnya pun rasanya hampir-hampir lecet karena terus-menerus digunakan
sepanjang hari…

“Kita lihat saja nanti kalau kau tak percaya,” lanjut Ki Edan.

“Kalau alat kelaminmu yang terasa lecet, itu masalah biasa… karena kau selama ini tak
menggunakannya secara maksimum,” jelas Ki Edan seolah bisa membaca pikiran Maya.

“Seperti kau berolah raga, kau harus membiasakannya sedikit demi sedikit…
Kemampuan tubuhmu akan beradaptasi sendiri nantinya…”
“Memang aku tahu, selama ini suamimu jarang memanfaatkanmu semaksimal
mungkin…” goda Ki Edan.

Maya pun kembali tersipu malu. Ia akhirnya bisa menerima penjelasan Ki Edan. Lagipula
apa salahnya ia mencoba ramuan itu. Jika benar apa yang dikatakan jin tua itu, bukankah
manfaatnya juga bagi dirinya sendiri. Karena itu ia pun memutuskan meminumnya tanpa
banyak pikir lagi.

Rasanya bercampur antara pahit dan pedas. Terasa hangat di tenggorokan seperti arak.

“Minumlah ramuan itu tiap hari. Cukup sekali saja sehari. Nanti kutunjukkan tempat
penyimpanannya,” kata Ki Edan setelah wanita itu menghabiskan isi gelasnya.

Maya hanya mengangguk sambil tersenyum berterima kasih.

Baru saja Maya meletakkan kembali gelasnya di atas meja, tiba-tiba terdengar bunyi
pintu dibuka dengan keras. Ternyata Wanara telah berdiri di muka pintu dengan wajah
yang beringas menahan nafsu… Maya tersenyum melihat kekasih barunya itu… Ia tahu
kalau kera itu bermaksud meminta jatah padanya.

“Maaf, Ki Edan… Permisi dulu,” katanya meminta izin pada jin tua itu sambil geli
melihat raut wajah kera itu yang tampaknya sudah tak kuat lagi membendung
nafsunya….

“Waah, panjang umur… baru saja kauminum ramuanku, ternyata sekarang kau bisa
praktekkan langsung… Baiklah, selamat bersenang-senang….” jawab Ki Edan penuh
pengertian.

Wanara bergegas melompat mendekati gendaknya. Tangannya yang panjang kekar dan
berbulu menggapai ke atas menyentuh punggung Maya yang telanjang lalu
mendorongnya. Maya yang sudah mengerti segera mengubah posisinya dari berdiri jadi
menyentuh lantai dengan kedua lutut dan tangannya sambil membelakangi kera itu.
Wanita itu mengambil posisi untuk disebadani oleh Wanara dari belakang, sebagaimana
layaknya sepasang hewan yang akan kawin.

Maya memang selalu siap untuk disetubuhi setiap saat karena selama tinggal di kediaman
Ki Edan, ia tak pernah mengenakan pakaian sehelai pun, alias senantiasa bugil… Satu-
satunya aksesori yang menempel di tubuhnya adalah seuntai kalung yang mirip kalung
anjing. Itu dikenakannya sebagai penanda bahwa ia adalah piaraan Ki Edan. Wanara pun
mengenakan kalung yang sama pula.

Maya tersenyum nikmat ketika merasakan penis kekasihnya yang besar dan tumpul
memasuki dirinya… Inilah yang memang ditunggu-tunggunya… Terasa panas dan
kasar…

Maya mendesis merasakan kekasihnya menyentuh dan memasuki dirinya…


Maya merasakan rambutnya yang panjang terurai itu ditarik Wanara ke belakang… Ia
pun memasrahkan sepenuhnya tubuhnya kepada kera jantan yang sedang birahi itu…
Sementara tangannya memegangi rambut Maya, pinggul Wanara mulai bergerak maju
mundur menggesekkan penisnya di dalam alat kelamin wanita itu…

Maya pun sesekali tertahan nafasnya. Matanya merem melek sambil mendesis-desis
merasakan kenikmatan itu…

Beberapa waktu kemudian, Wanara meningkatkan genjotannya pada tubuh wanita itu.
Demikian kuatnya hingga tubuh putih mulus itu terhempas-hempas… Kedua tangan
Wanara yang kekar lalu memegangi pinggang Maya supaya tak terlepas. Maya pun tak
kuat untuk tak mengeluarkan suara-suara erangan dan jeritan nikmat sebagai reaksi
genjotan itu… Vagina Maya terasa makin panas… Runtutan orgasme pun tak terelakkan
lagi… Sementara kedua tangannya mencengkeram lantai, jeritan-jeritan nikmat pun
terlontar dari mulutnya…

Ki Edan hanya tersenyum mengamati tingkah polah kedua makhluk yang berbeda spesies
dan berbeda kelamin itu. Lalu ditinggalkannya sepasang kekasih yang sedang kawin di
ruang tamu itu…

Wanara adalah seekor kera jantan bertubuh kekar. Bulu-bulunya yang berwarna kelam
bertekstur kasar dan lebat. Tinggi badannya hanya sebatas dada Maya. Akan tetapi
tenaganya menyamai kekuatan dua orang pria yang kuat. Demikian pula kekuatan
seksnya yang beberapa kali lipat kekuatan seorang pria normal.

Berhubungan seks dengan seekor kera tentu saja berbeda dengan melakukannya bersama
seorang pria. Maya harus membiasakan diri bertempelan dengan bulu-bulu Wanara yang
kasar… Ia pun harus membiasakan diri dengan bau badan seekor kera yang tentu saja
berbeda jauh dengan bau badan seorang manusia…

Belum lagi wajah seekor kera yang tentu saja jauh dari gambaran ketampanan seorang
pria yang ada di dalam benak seorang wanita muda seperti Maya…

Satu hal yang sangat terasa adalah kekuatan seksual Wanara. Kera itu dapat
menyetubuhinya dalam waktu yang lama hingga Maya dapat mengalami orgasme
berkali-kali sebelum kera itu menyudahinya dengan menyemprotkan cairan spermanya
yang banyak ke dalam rahimnya…. Selain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
bahwa kera itu membutuhkan hubungan seks dalam frekuensi yang tinggi tiap harinya…

Hal lain yang harus dibiasakan oleh Maya adalah perilaku Wanara yang tak mengenal
tempat jika ingin menuntaskan birahinya kepadanya… Saat hidup bersama Sapto, Maya
biasa melakukannya hanya di seputar tempat tidur. Sekarang, bersama Wanara, praktis
mereka bisa melakukannya di mana saja… Di dalam rumah, di pekarangan, di dalam
hutan, di sungai, di atas pohon… dan sebagainya…
Maya pun harus membiasakan dirinya untuk berhubungan seks di muka umum. Tak
jarang sehabis ia menyiapkan makanan bagi Ki Edan, Wanara langsung menaiki dirinya
untuk meminta jatah. Maka, biasanya saat itu juga mereka akan menuntaskan nafsu
birahinya di depan Ki Edan.

Sebenarnya awalnya Maya merasa malu… Pada mulanya ia selalu mengajak kera itu
untuk mencari tempat yang tersembunyi terlebih dahulu. Akan tetapi Ki Edan sendiri
yang mengajarkan Maya untuk tidak menunda-nunda hajat kera itu terhadap dirinya.
Karena sekarang ia telah diperistri oleh kera itu, sudah jadi kewajiban Maya untuk
melayaninya sesegera mungkin…

“Sebenarnya aku malu, Ki… makanya aku selalu mengajaknya pergi dulu mencari
tempat yang tersembunyi… Barulah kubiarkan ia menyebadaniku…” kata Maya suatu
waktu.

“Lagipula apakah kegiatan kami tak akan mengganggu seandainya dilakukan di depan Ki
Edan?” tanya wanita itu.

“Tentu saja tidak… Kau kira aku tidak terbiasa melihat pasangan yang sedang kawin?”
kata Ki Edan sambil tersenyum.

“Lakukan saja langsung jika si Wanara menginginkannya… Anggap saja itu tontonan
pengantar makanku…” kata Ki Edan penuh pengertian.

Sebenarnya Maya khawatir jika Ki Edan jadi tergoda saat melihat aksinya yang panas
bersama kera itu. Padahal tentulah ia sungguh-sungguh ingin menuntaskan ritual itu
untuk menyempurnakan kesaktiannya. Bagaimanapun, karena Ki Edan sendiri sudah
menyatakan tak keberatan, Maya pun mengikutinya saja.

“Baiklah, Ki… Kalau begitu,” kata Maya menyanggupi instruksi majikannya. Sejak
itulah wanita itu akan serta-merta melayani Wanara kapan saja dan di mana saja kera itu
menginginkannya.

Untunglah ada jamu ramuan Ki Edan yang kini rutin diminum oleh Maya. Benarlah apa
kata jin tua itu… Maya tak pernah merasakan gairahnya setinggi ini seumur hidupnya.
Setiap hari birahinya selalu naik sampai ke ubun-ubun… Jika itu terjadi, maka harus
segera dilampiaskan… Jika tidak, pusinglah kepalanya ditambah dengan rasa gelisah
yang tak henti-henti…

Maya bersyukur karena di situ ada Wanara yang kini memiliki libido yang sama
dengannya dan dengan demikian mengerti akan kebutuhan seks dirinya… Ki Edan tentu
saja tak bisa memenuhi kebutuhannya karena sedang menjalankan ritualnya. Bahkan
Maya pun berandai-andai, jika Sapto suaminya ada di sini, tentulah ia pun kewalahan dan
tak akan sanggup melayani nafsunya yang sekarang jadi menggebu-gebu.
Kini Wanara dan Maya jadi bergantian saling meminta terlebih dahulu untuk
berhubungan seks. Jika kera itu yang birahi, ia akan segera mencari Maya yang biasanya
beristirahat di pondok Ki Edan jika sedang tak ada pekerjaan. Sebaliknya, jika Maya
sudah merasa suntuk dan pusing, dialah yang akan mencari Wanara di pepohonan atau di
pekarangan rumah Ki Edan untuk minta disetubuhi saat itu juga di tempat.

Jika kera itu sedang tidak bernafsu, Maya tak segan untuk berusaha membangkitkan
nafsunya dengan segala cara. Biasanya ia akan menggodanya dengan membelai-belai dan
menciumi seluruh tubuh kera jantan itu lalu mengulumi penisnya sampai benar-benar
berdiri mengeras…

Tenyata kebiasaan mereka bersetubuh di tempat terbuka dan disaksikan oleh siapa saja
yang berada di sekitarnya itu memicu suatu peristiwa. Peristiwa yang akan mengubah
hidup Maya di alam gaib itu…

Suatu hari sesosok gendruwo bernama Ki Gendeng berkunjung ke kediaman Ki Edan.


Gendruwo adalah golongan jin tingkat rendah yang dikenal sangat tinggi hasrat birahinya
dan juga doyan pada bangsa manusia. Saat itu kebetulan Wanara sedang mendapatkan
jatah rutinnya dari Maya dan terlihat oleh Ki Gendeng. Wanita yang cantik itu tampak
sedang pasrah ditunggangi oleh kera jantan yang sedang birahi itu.

Ki Gendeng pun mau tak mau berhenti dulu menyaksikan tontonan gratis itu dari
kejauhan sebelum menjalankan niatnya menemui Ki Edan. Maya yang sedang digenjot
Wanara pun sebenarnya sempat melihat sosok makhluk itu lalu bertatapan mata
dengannya selama beberapa detik. Sejak terbiasa disetubuhi oleh Wanara di depan
umum, Maya biasanya jadi lebih bergairah bila tahu ada yang menontonnya. Karena itu
saat tahu ada pendatang asing yang memperhatikan aktifitasnya, wanita itu sama sekali
tak merasa terganggu.

Sang gendruwo menyimak setiap detik perkawinan si wanita dan kera itu tanpa berkedip.
Dilihatnya betapa wanita itu mengalami orgasme yang hebat sebelum si kera pun
menyemprotkan spermanya ke dalam tubuh gendaknya itu. Ki Gendeng sampai
meneteskan air liur melihatnya dan tak terasa air maninya pun ikut muncrat…

Begitu bertemu Ki Edan, ia pun mengadukan apa yang dilihatnya.

“Ki Edan, aku lihat kau memiliki piaraan seorang wanita cantik di pekaranganmu…
Siapakah dia?”

“Ooh… Ya… Itu adalah tumbal pesugihanku yang tak dapat memenuhi janjinya…” jelas
Ki Edan.

“Ia adalah istri dari si pelaku…” lanjutnya.

Ki Gendeng pun manggut-manggut mendengarnya.


“Tapi mengapa ia kauberikan begitu saja pada kera piaraanmu? Tidakkah kau suka lagi
pada manusia?
Apalagi wanita itu sangatlah cantik…” tanya Ki Gendeng terheran-heran.

Ki Edan tersenyum.

“Tentu saja aku masih suka wanita dari bangsa manusia… Mataku pun tak buta, Ki
Gendeng…”

“Aku tahu wanita itu sangat cantik…” lanjutnya. “Tapi saat ini aku sedang menjalani
laku wesi geni untuk meningkatkan kesaktianku… selama 12 bulan purnama…”

“Selama itu pulalah aku harus menahan nafsu birahiku….”


Kembali gendruwo itu manggut-manggut mendengar penjelasan Ki Edan.

“Buatku tak masalah…” jelas Ki Edan lebih lanjut. “Tak sulit bagiku untuk mendapatkan
wanita dari bangsa manusia untuk di lain waktu…”

“Kalau begitu, berikan saja wanita itu padaku, Ki Edan…” minta Ki Gendeng spontan.

“Sayang sekali kalau manusia secantik itu hanya untuk melayani nafsu seekor kera…
Kau kan tahu kalau aku sangat doyan wanita…”

“Aku sudah langsung jatuh cinta padanya begitu melihat kecantikannya dan juga tahi
lalat yang ada di tubuhnya… Sepertinya wanita itu benar-benar diciptakan khusus
untukku, Ki…”

Ki Edan tampak termenung memikirkan permintaan itu. Sementara gendruwo itu tak bisa
menyembunyikan keinginannya yang kuat dari wajahnya.

“Wanara adalah pengikutku yang sangat setia… Walaupun hanya seekor kera, ia telah
banyak berjasa bagiku…”

“Mengambil wanita itu dari sisinya tentu akan berat baginya…. Kesedihannya adalah
kesedihanku juga… Kira-kira apa yang bisa kau tawarkan padaku untuk menggantinya?”

“Aku akan membawa semua kaumku untuk mengabdi padamu, Ki Edan…”

“Apa pun akan kulakukan untuk mendapatkan wanita itu…. Aku sangat ingin
menikmatinya dan mendapatkan keturunan darinya…”

Ki Edan kembali termenung sejenak.

“Baiklah, begini saja… Kuterima tawaranmu… Kau akan kuberikan wanita itu…” kata
Ki Edan. Sontak wajah Ki Gendeng pun berubah senang…
“Tapi… supaya adil,” lanjut Ki Edan. “Akan kubiarkan Wanara mendapatkan terlebih
dahulu persis seperti yang kauinginkan dari wanita itu…”

“Yaitu…?” tukas Ki Gendeng dengan wajah bertanya-tanya.

“Biarkan Wanara mendapatkan keturunannya terlebih dahulu dari wanita itu… barulah
setelah itu giliranmu…”

Ki Gendeng termangu sejenak. Tentu saja itu berarti ia harus menunda hasratnya…
namun tampaknya ia tak punya pilihan lain.

“Bagaimana… Cukup adil?” tanya Ki Edan meminta penegasan.

“Baiklah, Ki…. Aku terima…” tanggap gendruwo itu akhirnya.

Keduanya lalu berjabat tangan erat sambil tersenyum lebar menyikapi kesepakatan itu.

Sepeninggal Ki Gendeng, Ki Edan pun mengabarkan berita itu kepada Wanara dan Maya.

Wanara tentu saja sedih. Apalagi Maya telah mulai terbiasa dengan kebutuhan nafsu
birahinya pada wanita itu. Wanita itu sudah benar-benar mengerti kapan dan bagaimana
harus memuaskan hasrat birahinya. Ia bahkan sudah tak perlu meminum ramuan dari Ki
Edan untuk bisa mengimbangi kebutuhan seks kera itu. Mereka sudah sampai ke tahapan
saling menikmati hubungan seks mereka dengan frekuensi dan irama yang sama. Kera itu
pun sudah mulai ketagihan menyetubuhi wanita cantik itu dan tidak bernafsu lagi
terhadap makhluk sesama speciesnya.

Anehnya, Maya pun merasakan hal yang kurang lebih sama. Memang mereka berdua tak
bisa saling berkomunikasi secara lisan. Bagaimanapun, selama ia diperistri oleh Wanara
telah terjalin tak hanya hubungan fisik melainkan juga hubungan batin. Tentu saja di lain
pihak ia pun tak mampu menolak perintah dari Ki Edan. Apapun, statusnya di alam itu
adalah tetap sebagai piaraan Ki Edan. Ia harus pasrah dan mematuhi semua yang
diperintahkan jin tua itu.

Wanara pun akhirnya mau menerima keputusan tuannya. Apalagi setelah ia diberi tahu
bahwa wanita itu tak akan diserahkan kepada sang gendruwo sebelum ia berhasil
menghamilinya.

Maka kehidupan kedua makhluk itu berjalan normal kembali seperti semula. Sampai
suatu kejadian yang tak masuk akal pun akhirnya terjadilah.

Semakin hari Maya semakin sering merasakan mual. Ia pun semakin lama bisa
merasakan adanya kehidupan baru di dalam perutnya… Ya, Maya telah hamil… Wanita
itu pun mengabarkan berita itu untuk pertama kali kepada Wanara. Ia tak peduli apakah
kera itu mengerti kata-katanya, yang jelas ia terus bercerita tentang kehamilannya.
Tampaknya Wanara pun bisa mengerti. Ia pun tampak senang sambil mengelus-elus perut
Maya dengan lembut. Mereka berdua pun lalu berciuman mesra.

Maya sebenarnya tak habis pikir, bagaimana bisa ia mengandung bayi seekor kera? Ia
dan Wanara berasal dari spesies yang berbeda. Tentulah itu adalah suatu mukjizat yang
hanya terjadi sekali di antara beberapa ribu atau bahkan beberapa juta kemungkinan…

Maya dan Wanara merasa gembira karena percintaan mereka ternyata membuahkan hasil.
Namun mereka juga sadar bahwa itu menandai semakin berkurangnya hari-hari yang bisa
mereka lewati berdua… Karena itulah mereka seolah ingin menikmati setiap detik
kebersamaan mereka sebaik-baiknya. Di samping tentu saja sekarang mereka harus lebih
berhati-hati dalam berhubungan intim karena adanya bayi yang dikandung oleh Maya…

Semakin hari perut Maya pun semakin besar. Ki Edan dengan penuh pengertian
mengurangi pekerjaan yang harus ditangani Maya sehari-hari.

“Terima kasih, Ki..” kata Maya ketika diberitahu Ki Edan hal itu.

“Ya, kau jagalah kandunganmu… dan kauuruslah kera piaraanku,” kata Ki Edan.

“Baik, Ki..” angguk Maya mematuhinya.

Pada waktunya, Maya pun melahirkan bayinya yang berwujud seekor kera sebagai hasil
hubungannya dengan Wanara.

Walaupun bayinya adalah seekor kera, naluri keibuan Maya serta-merta muncul.
Disayanginya bayi kera itu sepenuh hatinya karena bagaimana pun darah manusianya
ikut mengalir pula di dalamnya.

Setelah menyusui bayinya selama enam bulan, Ki Gendeng pun datang menagih janjinya.

Dengan berat hati Maya menitipkan bayinya pada Wanara dan Ki Edan. Lalu dengan
pasrah ia mengikuti Ki Gendeng untuk memulai hidup barunya bersama gendruwo itu.

Ki Gendeng adalah gendruwo kelas rendah yang hidupnya di tempat lembab dan gelap.
Berbeda dengan Ki Edan yang berasal dari jenis jin tingkat tinggi dan memiliki
kecerdasan yang tinggi.

Wujud fisik Ki Gendeng sebenarnya lebih menyerupai monster. Kepalanya mirip kepala
babi hutan dengan dua telinga yang besar dan lancip. Serangkaian taring menghiasi
mulutnya. Kedua bola matanya besar dan berwarna merah menyala. Tubuhnya pun buncit
seperti tubuh babi. Bulu-bulu hitam dan kasar tumbuh mulai dari kepalanya sampai
memenuhi punggung dan kedua lengannya. Kedua lengan gendruwo itu panjang dan
kekar seperti lengan Wanara, mantan kekasihnya. Kedua kakinya besar dan dilapisi oleh
kulit yang tebal bersisik seperti kulit badak. Kakinya yang besar tidak diimbangi oleh
panjangnya yang hanya sekitar separuh panjang lengannya.
Ada satu keistimewaan Ki Gendeng yang luar biasa. Penis gendruwo itu ternyata
berukuran jumbo. Ukuran dan bentuknya tak jauh beda dengan alat kelamin seekor kuda.

Tak hanya itu, ternyata gendruwo itu pandai pula memanfaatkan ukuran alat vitalnya
untuk memuaskan lawan mainnya. Memiliki ukuran penis yang besar, jika tak mampu
mengaturnya, hanya akan menyakitkan wanita pasangannya. Dengan Ki Gendeng, Maya
tak memiliki masalah itu.

Nafsu birahi Ki Gendeng pun tak kalah tingginya dibandingkan Wanara. Untunglah
Maya sudah terbiasa melayani Wanara sehingga ia bisa langsung beradaptasi saat dituntut
melayani hasrat seks yang menggebu-gebu dari gendruwo itu.

Perbedaan yang jelas antara Ki Gendeng dan Wanara adalah bahwa Maya bisa
berkomunikasi lisan dengan gendruwo itu. Tak jarang mereka berdua terus ngobrol
setelah selesai berhubungan badan. Akibatnya tak bisa dihindari, keintiman antara Maya
dan Ki Gendeng mulai terjalin. Perlahan-lahan, Maya pun belajar untuk mencintai
majikan barunya itu. Kemesraan semakin lama semakin mewarnai hubungan kedua
makhluk itu.

Perbedaan lain yang kemudian diketahui Maya adalah bahwa Ki Gendeng tak pernah
puas dengan satu orang wanita. Ia tahu kalau gendruwo itu sering masuk ke alam
manusia dan mengganggu manusia. Biasanya yang diganggunya adalah ibu rumah tangga
yang sedang ditinggal pergi oleh suaminya. Ki Gendeng biasa menyaru sebagai suami si
wanita sehingga dengan leluasa menyebadaninya…

Pada awalnya Maya merasa cemburu.

“Saat kau menyebadani wanita-wanita itu, kau harus menyaru sebagai suami mereka…
Karena kalau tidak mereka akan ketakutan dan menolakmu…” protes Maya.

“Denganku, kau bisa leluasa memperlihatkan wujud aslimu… dan aku melayanimu
sepenuh hatiku…” lanjutnya sambil merajuk.

“Bahkan jika kau mau jujur membandingkan, aku rasa wajahku jauh lebih cantik
daripada wanita-wanita yang kautiduri itu…” cerocos Maya tak mau berhenti.

Ki Gendeng tersenyum mendengar celotehan gundiknya yang cemburu itu.

“Semua yang kaukatakan itu benar, Sayangku…”

“Tapi kau harus ingat, bangsa kami memang tak pernah puas menyetubuhi wanita
manusia… Setiap ada kesempatan, kami pasti akan melakukannya..”

“Bagaimana pun kau adalah gundikku yang paling istimewa… Kau sengaja kubawa
kemari, setelah aku bersusah payah memintamu dari pelukan kera itu…” jelas Ki
Gendeng. “Sementara wanita lainnya tak ada yang kuperlakukan seistimewa itu…”
Maya hanya terdiam mendengar penjelasan gendruwo itu. Diam-diam ia membenarkan
perkataan Ki Gendeng. Ialah satu-satunya wanita yang beruntung dijadikan sebagai
gundik gendruwo itu di alamnya. Wanita-wanita yang lain tetap tinggal bersama suami
mereka di alam manusia dan hanya dikunjungi oleh Ki Gendeng sewaktu-waktu.

“Kau juga harus belajar berbagi, Maya…” kata Ki Gendeng mengajari wanita itu.

“Aku harus membagi kenikmatan seksual kepada istri-istri yang kesepian itu… Mereka
jarang atau bahkan tak pernah menikmati kehidupan seks bersama suaminya… Karena
itulah aku membantu mereka…” kata Ki Gendeng menjelaskan perilakunya.

“Demikian juga halnya dengan kau,” lanjut Ki Gendeng. “Jangan kira kau hanya akan
melayani aku sendiri… Nanti kau juga harus belajar melayani teman-teman dan
kerabatku sesama gendruwo…”

Maya terkejut mendengar kalimat Ki Gendeng yang terakhir… Melayani gendruwo yang
lain?

“Ya, Maya… Tenang sajalah… Pelan-pelan dulu, nanti akan kukenalkan teman-temanku
satu per satu kepadamu…” kata Ki Gendeng seolah bisa membaca pikiran wanita itu.

“B.. Baiklah… Ki….” kata Maya tergagap mencoba mematuhinya.

Lambat laun Maya pun memahami konsep berbagi yang diajarkan gendruwo itu padanya.
Kini ia tak cemburu lagi jika Ki Gendeng mendatangi wanita-wanita lain untuk
disetubuhinya.

Demikian pula dengan dirinya yang mulai belajar untuk tak hanya berhubungan seks
dengan Ki Gendeng. Satu demi satu, Ki Gendeng memperkenalkan Maya dengan
gendruwo-gendruwo lainnya yang beraneka ragam bentuknya… Ada yang seperti gorila,
seperti orang Afrika, seperti serigala, dan lain-lain…

Mulanya Maya memang merasa risih… Namun dengan bimbingan Ki Gendeng yang
penuh kesabaran, wanita itu akhirnya mau juga belajar membagi tubuh dan cintanya
kepada makhluk-makhluk itu.

Sejak diajari oleh Wanara untuk bersetubuh di muka umum, Maya pun tahu kalau
makhluk-makhluk yang kebetulan menontonnya sebenarnya jadi tergiur juga untuk ikut
menyetubuhi dirinya. Cuma selama ini memang mereka takut terhadap Wanara dan Ki
Edan sehingga mereka sebatas jadi penonton saja, tidak pernah ikut nimbrung.

Bagaimanapun, melihat minat para penontonnya, lama-kelamaan Maya mulai berfantasi


disetubuhi juga oleh mereka. Ia mulai membayangkan nikmatnya disebadani oleh lebih
dari satu pejantan. Tidak disangkanya kalau sekarang, setelah hidup bersama Ki
Gendeng, khayalannya itu malah menjadi kenyataan. Maka Maya pun mulai
membiasakan diri terhadap anjuran Ki Gendeng untuk berganti-ganti pasangan dalam
bersetubuh.

Apalagi ketika Maya mulai belajar bahwa makhluk-makhluk itu ternyata menaruh hasrat
yang sangat luar biasa kepada wanita manusia. Bagi mereka, bersetubuh dengan Maya
adalah mimpi yang menjadi kenyataan. Mereka sangat memuja wanita cantik itu dan
menganggapnya seolah-olah dewi seks. Maya jadi tersanjung dan sebagai timbal
baliknya, ia merasa berkewajiban untuk melayani mereka sebaik mungkin… Membagi
kesenangan dan kenikmatan badani kepada sebanyak mungkin gendruwo yang mungkin
selama ini tak semuanya memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung apalagi
berhubungan seks dengan wanita manusia.

Beberapa purnama telah berlalu. Sebagai akibat hubungan asmara dengan Ki Gendeng
dan kawan-kawannya, Maya pun akhirnya hamil. Ki Gendeng dan gerombolannya tetap
setia memberikan nafkah batin kepada Maya sekaligus juga memuaskan nafsu birahi
mereka sendiri sampai akhirnya Maya melahirkan bayi hasil benih cinta mereka bersama.

Diberinya nama anak laki-laki itu Dalbo. Anak itu wujudnya mirip manusia namun
berbulu lebat di beberapa bagian tubuhnya. Sebagian kulitnya pun terasa keras seperti
kulit badak. Saat lahir, seluruh giginya telah lengkap. Inilah bayi ketiga yang dilahirkan
wanita itu dari rahimnya. Semuanya memiliki ayah yang berbeda-beda dan dari jenis
makhluk yang berbeda-beda pula…

Dengan penuh kasih sayang, Maya menyusui anak ketiganya itu secara rutin.
Dilakukannya hal itu di sela-sela kesibukannya melayani hasrat para ayahnya yang tak
habis-habis.

Selama hidup di alam gaib, Maya telah mengalami diperistri oleh makhluk-makhluk
selain manusia. Mulai dari hewan sampai gendruwo. Dari sisi kehidupan seksual, wanita
itu tak mengalami masalah sama sekali. Malah ia merasakan kenikmatan yang lebih
daripada saat kehidupannya berumah tangga dengan Sapto. Ia pun merasa beruntung
telah mendapatkan pengalaman yang langka tersebut.

Namun, bagaimana pun bervariasinya kehidupan seksnya di alam sana, ia tetap tak bisa
melepaskan ingatannya dari Sapto, suaminya yang sah. Hinggap dari pelukan demit yang
satu ke demit yang lain memang memberikannya kepuasan seksual yang tiada tara.
Namun ia pun tetap merindukan kehidupan normalnya di alam manusia. Ia tahu
keberadaannya di alam ini bukanlah karena salahnya, melainkan karena kesalahan
suaminya.

Seandainya saja suaminya mau bertobat, ia pun ingin dapat kembali ke kehidupannya
yang biasa-biasa saja di alam manusia. Maya pun tentu saja rindu dengan putri satu-
satunya di sana. Rasanya sudah lama sekali ia hidup di alam jin ini. Bagaimanakah
kiranya kabar dan rupa putrinya itu kini? Masihkah ia ingat akan dirinya sebagai ibu
kandungnya?
Di lain pihak, kebetulan pula Ki Edan mendapatkan kabar bahwa Sapto telah melakukan
pertobatan. Ia benar-benar telah menyesali segala perbuatannya. Tak hanya itu, ia pun
melakukan segala daya upaya untuk mendapatkan istrinya kembali. Dimintanya bantuan
seorang kiai untuk melakukan hal itu.

Di alam manusia, Sapto yang sangat stress dan mengalami depresi menjalani kehidupan
yang sangat berat. Hampir saja ia mati karena tak kuat menahan cobaan itu sendirian.
Untunglah ada seorang Kiai bernama Kiai Badrun yang mau menolong Sapto. Kiai itu
kebetulan tinggal di lingkungan yang sama dengan Sapto dan telah mengetahui cerita
tentang pria malang itu dari para tetangganya.

Kiai Badrun pelan-pelan membimbing Sapto untuk bertobat dan mulai menjalani perintah
agama. Sangat berat usaha yang dilakukannya untuk menolong pria itu walaupun
akhirnya berhasil juga. Setelah Sapto berhasil disembuhkannya, barulah mereka mulai
fokus untuk menyelamatkan istri Sapto.

Melalui kekuatan batinnya, Kiai Badrun sebenarnya mengetahui persis apa yang telah
dialami oleh Maya selama di alam gaib namun ia tak memberitahukan itu sama sekali
kepada suaminya. Ia tahu, jika Maya tak segera diselamatkan, wanita itu akan selamanya
menjadi budak para dedemit. Karena itu ia berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan
istri Sapto itu ke alam asalnya. Paling tidak di alam manusia ini ia akan bisa berusaha
membimbing wanita itu sama seperti yang sudah dilakukannya terhadap suaminya.

Ki Edan pun tak bisa berbuat banyak. Jika orang yang mencari pesugihan kepadanya
telah benar-benar bertobat, ia tak akan bisa menggunakan kekuasaannya untuk menguasai
orang itu lagi. Begitu juga apa yang telah diambilnya dari Sapto, yaitu Maya istrinya,
harus pula ia kembalikan.

Karena tak punya pilihan lain, Ki Edan pun menghubungi Ki Gendeng. Diberitahukannya
kabar itu dan disarankannya untuk segera merelakan gundiknya pergi karena ia akan
diambil kembali oleh suaminya.

Ki Gendeng tentu saja merasa terpukul. Ia telah begitu intim dengan Maya dan bahkan
telah mendapatkan keturunan pula dari wanita itu. Ki Gendeng mengatakan pada Ki
Edan, kalau Maya diambil, bukan hanya dirinya yang akan kehilangan, melainkan juga
seluruh gendruwo pria dalam kaumnya. Itu dapat dipahami karena selama ini Ki Gendeng
telah berbaik hati untuk membagi Maya kepada seluruh kerabat dan temannya. Dengan
demikian, bukan cuma dia seorang yang mendapat kenikmatan bersetubuh dengan wanita
cantik itu, melainkan juga seluruh gendruwo lelaki di dalam kaumnya.

Bagaimanapun Ki Gendeng sadar bahwa ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Pengaruh
pertobatan Sapto terasa sangat kuat. Semakin hari semakin kuat. Jika Maya tak segera
dikembalikan ke dunianya, risiko yang harus mereka tanggung terlalu besar. Kerajaan
dan kekuatan mereka lambat laun akan tergerogoti.
Akhirnya mereka pun sepakat untuk mengembalikan Maya kepada suaminya. Sekedar
untuk penghibur, mereka meyakinkan diri mereka sendiri bahwa masih banyak
kesempatan untuk mendapatkan lagi wanita manusia yang bisa mereka jadikan sebagai
pemuas birahi. Bagaimana pun, memang tak mudah untuk mendapatkan yang secantik,
seseksi, dan sepatuh Maya.

Pada waktu yang telah disepakati, Ki Gendeng dan rombongannya mengantarkan Maya
kembali kepada Ki Edan. Rombongan yang panjang itu terdiri dari seluruh gendruwo
laki-laki yang pernah mengawini Maya selama wanita itu diperistri oleh Ki Gendeng.
Maya lalu menitipkan bayi laki-lakinya kepada Ki Gendeng untuk diurus. Kejadian saat
Maya harus meninggalkan Wanara untuk dibawa Ki Gendeng seakan berulang. Kini Ki
Gendeng lah yang harus ditinggal oleh Maya supaya ia bisa dikembalikan kepada Sapto,
suaminya yang sah.

Maya tentu saja ingin dikembalikan kepada suaminya yang sah. Bagaimanapun, di lain
pihak ia pun merasa sedih harus meninggalkan gerombolan gendruwo pimpinan Ki
Gendeng yang selama ini telah mengurusnya dan memberinya kepuasan seksual. Yang
paling membuatnya sedih adalah harus meninggalkan Dalbo, darah dagingnya hasil
percampuran dengan gendruwo tersebut.

Saat diserahterimakan kembali kepada Ki Edan, Maya melihat jin tua itu menggenggam
sesuatu di tangannya. Sesuatu yang sangat familiar dengannya, yaitu seuntai kalung yang
biasa dikenakan oleh wanita itu saat masih tinggal di situ. Kalung yang menandakan
pemakainya adalah milik Ki Edan. Ya, walaupun Maya hanya transit di kediaman Ki
Edan sebelum dikembalikan kepada suaminya, status dirinya saat itu adalah kembali di
bawah kekuasaan Ki Edan. Ia pun dapat memahaminya.

Maka ketika Ki Edan mendekati dirinya untuk menyematkan kalung itu kembali ke
lehernya, Maya segera menyibakkan rambutnya yang hitam panjang untuk memudahkan
jin tua itu melakukan pekerjaannya.

Setelah berpamitan, gerombolan Ki Gendeng berlalu meninggalkan kediaman Ki Edan.


Ki Edan pun membawa Maya masuk ke rumahnya yang telah ditinggalkan oleh wanita
itu selama beberapa lama.

Pandangan Maya menerawang menjelajahi rumah jin tua yang eksotis itu. Ada nostalgia
yang muncul kembali di benaknya. Secara fisik tak banyak yang berubah. Hanya ada
suasana berbeda yang dirasakannya. Ada semacam keheningan dan kekosongan…

Ki Edan bisa merasakan apa yang ada dalam pikiran Maya.

“Wanara sekarang tak ada di sini lagi. Ia sudah kukirim kembali ke alam manusia….”
kata Ki Edan.

Maya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Ki Edan. Ia mengerti sekarang kenapa


suasana di situ dirasanya lebih sepi. Itu menjelaskan semuanya.
“Ia gelisah terus sejak dirinya kautinggalkan. Karena itulah kuiizinkan ia bersama anak
kalian pergi ke alam manusia,” lanjut Ki Edan. “Harapannya, ia dapat menemukan wanita
lain sebagai pengganti dirimu. Ia telah ketagihan menyetubuhi wanita manusia. Jika di
sini terus, tentu ia tak akan mungkin melakukannya…. Aku hanya berharap ia berhasil
menemukan jodohnya di sana…”

Maya hanya tercenung mendengar penjelasan Ki Edan. Ada sedikit perasaan bersalah
tersirat di dalam hatinya. Apa daya, waktu itu ia hanya menjalankan perintah dari Ki
Edan sebagai tuannya. Maya hanya bisa berharap kera itu segera menemukan wanita lain
di sana. Kalau tidak, mungkin ia terpaksa mencari mantan kekasihnya itu saat sudah
dikembalikan Ki Edan ke alam yang sama.

Maya sadar ia masih memiliki perhatian pada mantan kekasihnya itu. Ia ingin tahu
bagaimana kondisi mantan belahan jiwanya itu sekarang. Jika ia baik-baik saja dan telah
menemukan wanita lain yang bisa dijadikan sebagai pemenuh kebutuhan birahinya, ia
akan merasa turut senang. Jika tidak, ia ingin sekali dapat menghiburnya dan memberikan
tubuhnya kembali untuk disenggamai oleh kera yang malang itu sebagai pemuas
dahaganya untuk sementara saja, sampai ia mendapatkan penggantinya. Bukannya ia tak
mau hidup bersama Wanara lagi tapi di alam manusia sana ia telah mempunyai Sapto
sebagai suaminya.

“Lalu, bagaimana dengan anakku…?” Naluri keibuan Maya segera muncul kembali.

“Jangan khawatir… Wanara akan menitipkannya kepada keluarganya untuk diurus


dengan sebaik-baiknya… sementara ia melakukan pencariannya….”

Sedikit banyak Maya merasa lega mendengar penjelasan itu.

Maya lalu mohon izin kepada Ki Edan untuk mandi karena ia baru saja bersih kembali
dari haidnya.

Satu hal yang tak disadari Maya, bahwa Ki Edan telah berubah… Saat itu Ki Edan telah
merampungkan ilmunya. Sekarang ia tak perlu lagi menahan nafsu birahinya. Ia sekarang
sudah lebih sakti dan dapat kembali ke sifat asalnya yang senang mengumbar birahi….

Maya yang tak menyadari itu membiarkan saja ketika Ki Edan menatapinya selama ia
mandi di pancuran. Ia sudah terbiasa bugil dan mempertontonkan keindahan tubuhnya di
hadapan tuannya itu.

Ki Edan baru menyadari betapa cantiknya Maya. Timbullah keinginannya untuk juga
melampiaskan birahinya kepada wanita itu.

“Maya, kau cantik sekali…” desah Ki Edan mengutarakan kekagumannya.

“Ada apa, Ki…?” tanya Maya keheranan sambil berdiri di bawah pancuran. “Kau telah
begitu baik kepadaku selama ini… tapi rasa-rasanya kau jarang memujiku seperti itu….”
“Aku telah berbuat baik kepadamu…?” tanya Ki Edan seolah meminta penjelasan.

“Ya, Ki… Kau telah mencarikanku jodoh selama tinggal di sini dan mengajariku banyak
hal…” jelas wanita itu sambil tersipu.

“Aaah… itu bukan apa-apa, Sayangku…” kata Ki Edan. “Memang itulah salah satu
tujuanku membawamu kemari…”

“Kau suka dengan apa yang telah kulakukan padamu selama ini?”

Maya mengangguk sambil tersenyum.

“Tapi kau belum menjawab pertanyaanku, Ki…”

“Yaitu?”

“Mengapa kau tiba-tiba memujiku…”

“Maya, aku ingin kau tahu satu hal…”

“Aku telah menyelesaikan ritualku… Kini aku semakin sakti… dan dapat menyalurkan
hasrat seksualku lagi seperti biasa…” lanjut Ki Edan.

Mata Maya terbelalak mendengar penjelasan itu. Entah kenapa rasanya ia senang sekali
mendengarnya. Tanpa berkata apa-apa, Ki Edan pun berjalan mendekati wanita itu.
Keduanya saling berpandangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seakan ada suatu
kontak batin yang kuat sedikit demi sedikit terjalin di antara mereka berdua. Lalu entah
siapa yang memulai, tiba-tiba kedua makhluk itu pun saling berpelukan dan berpagutan
di bawah pancuran…

Momen yang terjadi sekilas dan tiba-tiba itu ternyata membawa Maya ke suatu titik balik.
Suatu hal besar yang di luar pemikiran dan perkiraannya telah terjadi. Hal itu tiba-tiba
terlintas di dalam benaknya. Membuatnya tiba-tiba mampu membuat suatu keputusan
berani yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya.

“Ki, bawalah aku…” tiba-tiba Maya berkata setelah mereka berciuman beberapa lama.

“Aku rela tidak kaukembalikan kepada suamiku… asal bisa mengikuti dan mengabdikan
diriku padamu…” katanya mantap sambil menatap ke arah mata tuannya yang sekaligus
ia harapkan mau menjadi kekasihnya pula…

Maya baru sadar bahwa ia sebenarnya telah mengagumi jin tua yang gagah perkasa itu
sejak pertemuan pertama mereka. Sekarang ia baru sadar bahwa ternyata ia juga
mencintainya dan rela dijadikan sebagai apa pun olehnya.
Ki Edan balas menatap dalam-dalam mata wanita yang berada dalam pelukannya itu.
Dilihatnya pancaran mata yang tulus dan jujur dari seorang wanita yang tengah jatuh
cinta….

“Sayang… aku tahu perasaanmu… Hanya saja untuk sementara ini aku terpaksa
mengembalikan dirimu kepada suamimu. Ada banyak konsekuensinya jika itu tidak
kulakukan…” Ki Edan mencoba menjelaskan.

Ada gurat kekecewaan tergambar dalam mata wanita itu. Ki Edan bisa melihatnya
dengan jelas.

“Tapi jangan khawatir… Sebelum kau kukembalikan kepada suamimu, kita tetap bisa
menjalani malam pengantin bersama…” hibur Ki Edan.

“Oooh… Ki…” desah Maya.

Mereka pun berpelukan erat di bawah pancuran air.

Tak sulit bagi Ki Edan untuk membimbing Maya supaya mau melayaninya sehingga ia
akhirnya berkesempatan menuntaskan nafsunya pada wanita cantik itu. Kebetulan Maya
pun sedang berada di puncak birahinya karena baru memasuki masa subur.

Di ruangan pribadi Ki Edan yang bernuansa hutan, kedua makhluk berbeda alam itu pun
memadu kasih seperti layaknya sepasang pengantin baru. Maya seakan baru tersadar
bahwa inilah sebetulnya saat yang ditunggu-tunggunya sejak pertama kali ia dibawa ke
alam jin.

“Ki Edan, akhirnya kita bisa bersatu juga…” desah Maya yang terbaring pasrah tak
berdaya dalam pelukan Ki Edan.

“Sejak pertama bertemu denganmu… aku sudah ingin merasakan kejantananmu…” jelas
Maya membuka rahasianya.

“Walaupun keramu yang terlebih dahulu mendapatkan diriku… Aku lega karena
akhirnya kita pun bisa bersetubuh di ranjang ini…” kata Maya mencurahkan isi hatinya.

“Maya….” balas Ki Edan haru sambil memagut bibir wanita itu. Mereka pun berciuman
dengan dalam seperti sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan…

Ki Edan menyisipkan penisnya yang berukuran besar ke dalam vagina Maya. Wanita itu
menahan nafas. Ia menantikan kenikmatan yang sudah lama diidam-idamkannya. Maya
merasa badannya bergetar saat penis Ki Edan bersatu secara utuh dengan vaginanya…
Untunglah Maya sudah terbiasa melayani Ki Gendeng dan teman-temannya. Kebetulan
gendruwo-gendruwo itu semuanya memiliki ukuran penis yang besar melebihi ukuran
penis manusia. Bagaimanapun penis Ki Edan memang masih lebih besar lagi…
Setelah Maya terbiasa menerima alat kelamin Ki Edan di dalam tubuhnya, jin itu pun
mulai menggenjotnya. Maya pun menikmati setiap detik dari persenggamaan mereka.

Keduanya menjalani persenggamaan seperti layaknya sepasang pengantin baru. Seperti


sudah diduga oleh Maya, Ki Edan adalah pecinta yang sangat hebat di atas ranjang.
Dengan pengalamannya yang sudah mencapai ribuan tahun, dibawanya Maya ke puncak
orgasme sampai berulang-ulang dengan berbagai teknik yang membuat wanita itu
terkagum-kagum.

Hingga saat Maya sudah kelelahan dalam kubangan orgasme yang datang beruntun, Ki
Edan memberi kesempatan wanita itu untuk beristirahat sejenak. Masih dengan alat
kelaminnya yang tegang tertancap teguh di dalam kemaluan Maya, jin tua itu
mendekatkan wajahnya ke wajah Maya yang ada persis di bawahnya.

“Maya, kinilah saatnya…. aku titipkan keturunanku di dalam rahimmu…”

“Baik, Ki… anak kita berdua…” balas wanita itu dengan mesra.

“Aku berjanji… aku berjanji akan merawatnya sebaik mungkin… Lepaskanlah…


lepaskanlah spermamu ke dalam rahimku, Ki” kata Maya memohon.

“Tentu, gendakku….” balas Ki Edan sambil meningkatkan genjotannya yang membuat


kemaluan Maya terasa semakin panas… Akibatnya, orgasme yang beruntun pun tak
terelakkan lagi menerpa tubuh wanita itu… Maya pun merasa semua tulang belulangnya
bercopotan. Suasana yang memabukkan menghempas dirinya yang bugil dalam pelukan
jin tua itu….

“Ooooouuuuu….uuuuhhh…..” desah wanita itu berkepanjangan sambil satu tangannya


meremas seprai ranjang tempat mereka memadu kasih. Sementara tangannya yang lain
mendekap tubuh besar jin tua itu yang menindih tubuhnya.

Tak lama kemudian, Maya pun merasakan jin itu melepaskan semprotan air maninya ke
dalam rahimnya.

Ki Edan melenguh panjang. Maya pun tersenyum bahagia dengan lebarnya. Mereka lalu
saling berpagutan sambil berpelukan. Beberapa lama mereka berdua terpaku dalam posisi
Ki Edan menindih tubuh Maya. Kedua alat kelamin mereka masih bersatu. Cairan sperma
jin tua itu tampak mengalir keluar dari dalam vagina Maya saking banyaknya…
Membasahi seprai putih yang mereka tiduri.

Ki Edan puas karena akhirnya ia berhasil pula mencicipi tubuh Maya walaupun
terlambat. Ia pun sebetulnya masih ingin lebih jauh lagi menikmati wanita itu. Apa daya
tuntutan dari suaminya yang telah bertobat harus dipenuhinya terlebih dahulu.

Bagaimanapun, Ki Edan sadar bahwa walaupun Sapto sekarang telah kuat,


kebalikannyalah yang terjadi dengan istrinya. Istrinya memang tidak pernah meminta
pesugihan. Namun pengalamannya hidup di alam gaib dan diperistri oleh berbagai
macam makhluk tentulah sedikit banyak telah membawa pengaruh.

Maya yang sekarang berbeda dengan Maya yang dulu pada saat ia diambil dari sisi
suaminya. Wanita itu kini telah terbuka matanya terhadap semua ajaran dan praktek
kebebasan seksual yang dilakukan oleh bangsa demit dan jin. Ia telah menjadi bagian dari
mereka. Apalagi Maya pun telah melahirkan anak-anaknya di alam gaib ini. Ini membuat
ikatan yang kuat antara wanita itu dengan alam ini.

Karena alasan itulah, Ki Edan percaya sepenuhnya dengan pengakuan Maya yang tulus
sebelum mereka memulai persetubuhan tadi.

Ki Edan percaya bahwa dia masih akan bisa bersua kembali dengan Maya di lain
kesempatan. Itu pula sebabnya ia begitu percaya diri untuk menitipkan spermanya di
dalam rahim wanita itu. Ia tak mau ketinggalan dari para hamba pengikutnya yang telah
mendapatkan keturunan dari wanita cantik yang subur itu. Setiap makhluk di alam jin itu
akan naik derajat dan wibawanya jika berhasil mendapatkan keturunan dari seorang
wanita manusia. Untunglah mereka melakukan persenggamaan itu bertepatan dengan
mulainya masa subur Maya… Harapannya, jika Maya telah kembali kepada suaminya, ia
akan hamil dan melahirkan anak sebagai hasil hubungan cinta mereka malam itu.

Dua hari dua malam Ki Edan menyetubuhi Maya. Kamar tidur Ki Edan pun menjadi
saksi bulan madu dari pasangan yang sedang dimabuk kepayang itu. Saat itulah Maya
sadar bahwa hidupnya telah ditakdirkan untuk sepenuhnya menghamba kepada jin tua
yang perkasa itu.

Walau apa pun yang telah terjadi dalam waktu yang singkat itu, Ki Edan adalah makhluk
yang mau menepati janjinya. Setelah puas menikmati malam pengantinnya bersama
Maya, Ki Edan mengingatkan wanita cantik itu untuk bersiap-siap. Hari itu ia akan
mengembalikan wanita itu kepada suaminya.

Ki Edan dan Maya berjalan berpegangan tangan menyusuri gua persemedian Ki Edan.
Udara dalam gua itu semakin ke dalam semakin dingin. Maya yang tubuhnya tak dilapisi
sehelai kain pun merasa merinding. Hari itu Ki Edan akan menepati janjinya untuk
mengembalikan Maya ke alam manusia.

Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, sampailah mereka ke sebuah kolam yang
bening di dalam gua itu. Kolam yang cukup besar itu begitu tenang airnya. Ribuan
stalagtit dan stalagmit tampak mengitarinya.

Ki Edan menyuruh Maya untuk mengambil posisi semedi di atas sebuah batu besar di
tengah kolam itu.

“Duduklah di atas batu itu dan bersemedilah, supaya aku bisa mengembalikanmu ke alam
manusia..” kata Ki Edan.
“Baiklah, Ki…. Aku pamit dulu untuk kembali ke duniaku,” kata Maya.

Maya mencium tangan Ki Edan sebelum melakukannya. Ki Edan pun lalu meraih wajah
Maya dan memagut bibirnya lama. Tubuh keduanya pun berdekapan erat.

Saat berdekapan, Maya merasa penis Ki Edan tumbuh membesar… Ia tahu, jin itu
terangsang karena bersentuhan dengan tubuh telanjangnya… Maya pun merasakan
getaran birahi yang sama. Wanita itu lalu dengan sengaja menggoda dan merangsangi
kembali majikannya dengan cara menggerak-gerakkan badannya di dalam pelukan jin itu
sampai birahinya benar-benar naik.

“Ki… Kumohon, setubuhilah aku untuk yang terakhir kalinya….” pinta Maya dengan
penuh harap.

Maka di tempat itu, Maya yang sudah memasrahkan dirinya kembali disetubuhi si jin tua.
Selain menyimpan spermanya ke dalam rahim Maya yang subur, Ki Edan pun sempat
mengguyurkan spermanya yang luar biasa banyaknya itu ke sekujur tubuh Maya.

Maya yang sudah telanjur jatuh cinta kepada jin tua itu masih merasa sulit untuk berpisah
dengannya. Wanita itu terus memeluk Ki Edan yang baru saja menyetubuhinya. Setelah
Ki Edan menyetubuhinya untuk yang kedua kalinya dan berjanji untuk menemuinya lagi
saat ia telah kembali ke alam manusia, barulah Maya bersedia untuk berpisah.

“Maya, karena keberadaanmu di sini adalah karena ulah suamimu dan sekarang suamimu
telah bertobat, maka aku berkewajiban untuk mengembalikanmu sekarang,” jelas Ki
Edan.

“Tapi setelah kau kembali ke duniamu, aku akan menemuimu lagi,” janji Ki Edan. “Dan
jika saat itu kau masih tetap ingin ikut denganku dan mengabdi padaku, tak ada lagi yang
bisa menghalangi kita.”

“Hubungilah aku, Ki…. Temuilah aku…. Aku akan merindukanmu…” Maya memohon
penuh harap.

“Aku berjanji akan mengikutimu bila kau datang menjemputku kelak….” kata wanita itu
memastikan niatnya pada kekasihnya.

Ki Edan tersenyum penuh makna mendengar janji gendaknya yang cantik rupawan itu.

“Sesampainya di sana, mungkin kau akan melupakan semua yang telah terjadi di dunia
gaib ini… tapi aku akan menghubungimu,” jawab Ki Edan.

“Aku tak akan membersihkan sperma hasil persetubuhan kita yang terakhir ini… Mudah-
mudahan sesampainya di alamku aku masih akan mengingatmu dengan melihat ini
semua…”
Ki Edan kembali tersenyum mendengar kesetiaan gundiknya. Dalam hati ia meneguhkan
niatnya untuk menghubungi Maya kembali. Akhirnya tibalah saat perpisahan. Ki Edan
melepaskan kalung yang melingkar di leher Maya yang selama ini menandakan wanita
itu adalah miliknya. Dalam dadanya, Maya merasa sesak karena ada perasaan tak rela…

Tanpa berkata-kata lagi, Ki Edan pun bergerak menjauh. Tinggallah kini wanita itu
sendirian.

Maya duduk di atas batu itu dan bersemedi sambil mengatupkan kedua telapak tangannya
dan meletakkannya di depan dadanya.

Matanya terpejam dan dikosongkannya pikirannya. Cukup lama ia berada dalam keadaan
bugil di posisi itu sampai di sekelilingnya terasa gelap. Perlahan-lahan, terasa air kolam
seperti meningkat naik dan menyelimuti dirinya. Anehnya ia tetap dapat bernafas. Seolah
ada suatu selaput gaib yang menyelubungi dirinya. Sementara air di sekelilingnya terasa
berputar perlahan-lahan mengelilingi dirinya. Makin lama makin kencang.

Maya merasa ia tenggelam di pusaran air. Pusingan air membuat kepalanya menjadi
pening. Tak lama kemudian ia tak sadarkan diri.

Sapto pun menemukan kembali istrinya yang sudah lama hilang. Kiai Badrun yang
selama ini membantu Sapto untuk bertobat dan berusaha mengambil kembali istrinya,
sebelumnya telah mengingatkannya untuk bersiap-siap pada malam itu. Berdasarkan
penerawangan gaibnya ia tahu istri Sapto akan dikembalikan malam itu.

Sapto terkejut ketika mendengar suara guntur menggelegar seperti tepat di dalam
rumahnya yang kecil. Bumi pun terasa bergoyang selama beberapa detik… Tengah
malam itu ia sedang berkontemplasi sambil berjaga-jaga. Seberkas cahaya yang sangat
terang berkelebat dari dalam kamar mandi. Didapatinya Maya tergolek tak sadarkan diri
di lantai kamar mandi dalam keadaan basah kuyup terbungkus selaput kental di sekujur
tubuhnya yang bugil. Lapisan itu terasa seperti lendir…. seperti sperma sapi… hanya
dalam jumlah yang sangat banyak…. Sapto tak tahu benda apa itu.

Yang dikhawatirkannya saat itu hanyalah kondisi istrinya. Dilihatnya istrinya tak
bergerak. Ia takut kalau-kalau istrinya telah mati. Ia sangat bersyukur ketika mendapati
jantung istrinya masih berdetak. Ia hanya pingsan.

Sambil menunggu istrinya bangun, pelan-pelan dibersihkannya tubuh istrinya dari lendir
yang lengket itu. Dibasuhnya dengan air bersih dan sabun lalu dikeringkannya.
Dibopongnya tubuh yang lunglai itu ke atas tempat tidur. Diambilnya gaun tidur istrinya
yang sudah lama tak digunakan lalu dikenakannya dengan hati-hati.

Tak lama kemudian, Maya pun terbangun dari tidur panjangnya. Dilihatnya suaminya
berada di sampingnya.

“Mas Sapto…” seru Maya lemah sambil berusaha bangkit. Badannya terasa lemas semua.
“Sayangku…,” sambut Sapto yang dari tadi duduk di sampingnya. Dipeluknya tubuh
istrinya yang terasa tak bertenaga. Ditumpahkannya kerinduannya yang telah lama
ditahannya.

“Maafkan aku, sayang… Maafkan…” Sapto meminta maaf pada istrinya sambil terisak-
isak.

“Ada apa, Mas… Apa yang telah terjadi…?” desah Maya kebingungan. Ia rasanya seperti
baru kembali dari tidur yang panjang. Rasanya seperti orang linglung. Tak ada satu pun
pengalamannya di dunia gaib sana yang diingatnya. Tubuhnya lemas bukan main.
Seluruh tulangnya serasa bercopotan. Capek sekali…

Sekilas ia ingat dibawa pergi oleh sesosok makhluk gaib yang mengerikan sebagai
tumbal pesugihan suaminya. Itu saja…. Mengingat itu Maya pun menangis… Lalu
mengapa sekarang ia bisa berada di sini? Apakah semuanya hanya mimpi?

“Mas… Bagaimana ini bisa terjadi…? Kau sudah…?” isak Maya terbata-bata. Sekilas
wanita itu melihat perbedaan pada suaminya. Wajahnya seperti jadi lebih rapi, lebih
bercahaya dan bijaksana. Apakah suaminya telah berubah?

“Jangan khawatir, sayang… Semuanya sudah usai… Sudah usai… Tak perlu kaupikirkan
lagi…” kata Sapto sambil menangis.

Sepasang suami isteri itu pun saling berpelukan melepaskan kerinduan. Mencoba
melupakan masa lalu. Sambil berusaha bangkit untuk memulai hidup baru….

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai