Anda di halaman 1dari 7

BAB I

A. PENDAHULUAN
Hukuman pidana Islam (Fiqih Jinayah) sering mendapat tudingan sebagai hukum yang out of
date dan dehumanis. Tudingan itu terjadi karena ketidaksanggupan mereka menangkap ruh
syariat islam. Padahal hukum pidana islam sebagaimana yang tertera dalam nash tidaklah absolut
(letterlijk). Nabi tidak selalu memberlakukan hukum sebagaimana bunyi teks tetapi sangat
kondisional. Hukuman pidana Islam bukanlah bersifat ortodoks melainkan memberikan ruang
gerak bagi akal pikiran manusia untuk ijtihad. Ijtihad ini diberikan dalam rangka
menginterpretasikan teks-teks hukum sehingga mampu merespon kebutuhan dan tuntutan
masyarakat secara dinamis. Oleh karena itu perlu diadakan reaktualisasi pemikiran hukum
pidana Islam terutama dari sisi klasifikasi tindak pidana sampai kepada persoalan sanksi.

Berkaitan dengan pemahaman hukum pidana Islam yang berorientasi pada penegakan amar
maruf nahi munkar, maka tegaknya al-maqasid asy-syariah merupakan sebuah keniscayaan.
Perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, harta dan akal. Hukum pidana Islam, ketika
menerapkan sanksi mendasarkan kepada kepentingan kolektif di atas kepentingan pribadi atau
golongan. Reaktualisasi pemikiran hukum Islam sebenarnya bukan hal yang baru. Umar ibn alKhattab pernah mengadakan penyimpangan asas legalitas dalam hukum potong tangan yang
terjadi pada muslim paceklik. Sikap Umar bukan menghianati hukum Allah, melainkan semangat
menangkap ruh syariat Islam Dengan Pemahaman yang Kontesktual. Hal senada juga dilakukan
Rasulullah jauh sebelum peristiwa tersebut, yakni ketika Rasulullah tidak menghukum apa-apa
bagi pencuri buah-buahan yang makan ditempat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI JINAYAT
Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian
atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda. Kata jinayah berasal dari kata jana-yajni yang
berarti akhaza (mengambil) atau sering pula diartikan kejahatan, pidana atau kriminal. Jinayah
dalam pengertian ini sama artinya dengan kata jarimah yang sering digunakan oleh para fukaha
(ahli fikih) di dalam kitab-kitab fikih.
Pada dasarnya, pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang.
Biasanya, pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Dikalangan fuqoha, kata
jinayah berarti perbuatan perbuatan yang dilarang menurut syara. Meskipun demikian,pada
umumnya, fuqoha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang
mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu,
terdapat foqohayang membatasi istilah jinyah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman hudud dan qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman tazir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu laranganlaragan syara yang diancam Allah dengan hukuman had atau tazir.

:
(
;
,
,
,
, :
)



;

Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa aku adalah Utusan Allah, kecuali salah satu dari tiga orang: janda yang berzina,
pembunuh orang dan orang yang meninggalkan agamanya berpisah dari jama'ah." Muttafaq
Alaihi.
Dari berbagai batasan mengenai istilah jinayah diatas, maka pengertian jinayah dapat dibagi
kedalam dua jenis pengertian, yaitu : pengertian luas dan sempit. Klasifikasi ini terlihat dari
sanksi yang dapat dikenakan terhadap jinayah.
1. Dalam pengertian luas, jinayah merupakan perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara, dan
dapat menagkibatkan hukum had atau tazir.
2. Dalam pengertian yang sempit, jinayh merupakan perbuatan perbuatan yang dilarang oleh
syara, dan dapat menimbulakn hukuman had bukan tazir. Jarimah tazir

,
( :


, ,




:


, ) .
,

, ,
,


Dari 'Aisyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali salah satu dari tiga hal: Orang yang telah kawin
yang berzina, ia dirajam; orang yang membunuh orang Islam dengan sengaja, ia dibunuh; dan
orang yang keluar dari agama Islam lalu memerangi Allah dan Rasul-Nya, ia dibunuh atau

disalib atau dibuang jauh dari negerinya." Riwayat Abu Dawud dan Nasa'i. Hadits shahih
menurut Hakim.
B. PEMBAGIAN JINAYAT
Perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagi jinayah jika perbuatan-perbuatan
tersebut diancam hukuman. Karena larangan-larangan tersebut dari syara, maka laranganlarangan tadi hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal
sehat saja yang dapat menerima panggilan (khithab). Perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak
kecil atau orang gila tidak dapat dikategorikan sebagai jinayah, karena tidak dapat menerima
khithab atau memahami taklif.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik unsur atau rukun jinayah, unsur atau rukun jinayah tersebut
adalah:
1. Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas
perbuatan-perbuatan diatas.unsur ini dikenal dengan unsur formal (al ruknu al-syari).
2. Adanya perbuatn yang membentuk jinayah, baik melakukan perbuatan yang dilarang atau
meniggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu almadi).
3. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif. Unsur
ini dikenal dengan unsur material (al-ruknu al-adabi).

1.

a.
b.
c.
d.

e.

f.

g.

Jinayat/Jarimah itu dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan aspek yang
ditonjolakan, pada umumnya, para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan
ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dal al-hadits, atas dasar ini
mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu : Jarimah hudud, Jarimah qishas/diyat, dan tazir.
Jinayat/Jarimah Hudud
Jinayat hudud yaitu hukum dengan aturan tertentu terhadap tindak kejahatan atau maksiat, untuk
mencegah tindak serupa pada yang kedua kalinya.
Yang termasuk dalam jinayat hudud adalah:
Zina
Zina adalah memasukkan zakar kedalam faraj yang haram secara naluri mamuaskan nafsu.
Qodzaf
Qodzaf adalah menuduh orang baik-baik telah melakukan perzinaan.
Minum khomr
Khomr adalah minuman yang mengandung alcohol dan atau yang dapat memabukkan
Mencuri
Mencuri adalah mengambil harta orang lain dengan jalan diam-diam, diambil dari tempat
penyimpanannya.
Merampok
Perbedaan asasi antara pencurian dan perampokan/pembegalan terletak pada cara pengambilan
harta. Bila pencurian dilakukan dengan diam-diam, sedangkan perampokan dengan terang
terangan atau disertai kekerasan.
Pemberontakan
Ulama Syafiyyah berkata :Pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi imam , dengan
cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki
kekuatan, argumentasi dan pemimpin.
Murtad

Murtad adalah keluar dari agama islam atau pindah ke agama lain atau menjadi tidak beragama.
2. Jinayat/jarimah Qishas
a. Pembunuhan sengaja.
Yaitu dilakukan oleh yang membunuh guna membunuh orang yang dibunuhnya dengan perkakas
yang biasa dapat digunakan untuk membunuh orang.

,



(
. ?
,
:

) .
, ,

,

Dari Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang gadis ditemukan kepalanya
sudah retak di antara dua batu besar, lalu mereka bertanya kepadanya: Siapakah yang berbuat ini
padamu? Si Fulan? atau Si Fulan? Hingga mereka menyebut nama seorang Yahudi, gadis itu
menganggukkan kepalanya. Lalu ditangkaplah orang Yahudi tersebut dan ia mengaku. Maka
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan untuk meretakkan kepalanya di antara
dua batu besar itu. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.
b. Pembunuhan semi sengaja.
Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan, yang terjadi karna unsur kekeliruan dan ketidak
sengajaan.


(
:


, , , ,
,
, , )
,

Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Barangsiapa terbunuh dengan tidak diketahui pembunuhnya, atau terkena lemparan
batu, atau kena cambuk, atau kena tongkat, maka dendanya ialah denda bunuh karena kekeliruan.
Barangsiapa dibunuh dengan sengaja, maka dendanya hukum mati. Barangsiapa menghindar dari
berlakunya hukuman itu, maka laknat Allah padanya." Riwayat Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu
Majah dengan sanad kuat.

c.

Pembunuhan karena kesalahan.


Yaitu pembunuhan yang tidak direncanakanyang terjadi seolah-olah disengaja, maksudnya,
seseorang bermaksud memukul, atou melukaidengan suatu alat yang bukan alat-alat senjata yang
digunakan untuk membunuh
3. Jinayat/Jarimah dengan hukuman tazir
Jarimah tazir ini dibagi menjadi tiga bagian :
Jarimah hudud atau qishah/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah
merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian
dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik.
b. Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak ditentukan sanksinya,
misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama.
c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemashlahatan umum. Dalam hal ini,
nilai ajaran islam di jadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan umum.
a.

C. SEJARAH MUNCULNYA HUKUM PIDANA DALAM ISLAM


Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk alQuran dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim
yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw.
memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah.
Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh alKulafaar-Rasyidun sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah
pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.
Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Quran dan
sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut,
khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan
ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain alQuran .
Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah. Untuk menjalankan
tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan pertimbangan ulama, khalifah
menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali
menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705
M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H 102 H/682 M - 720 M).
Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman
yang dipakai adalah al-Quran, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing
juga belum memasuki pemikiran pidana Islam Perubahan terjadi pada abad ke-19 ketika
pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam. Negara yang pertama kali memasukkan
unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani.
Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan
Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam
undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat
persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan
disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan
pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat
ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap
pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina. Perumusan undang-undang hukum
pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas
membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya,
Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan
Swiss.
Undang-undang hukum pidana Libanon menjiwai undang-undang hukum pidana Suriah.
Perumusannya diawali dengan pembuatan komisi untuk membuat rancangan undang-undang
hukum pidana Suriah pada tahun 1949. Pada tanggal 22 Juni 1949 berdasarkan Penetapan
Pemerintah No. 148 rancangan tersebut disahkan menjadi undang-undang hukum pidana dan
dinyatakan efektif berlaku pada bulan September 1949.

Kodifikasi hukum pidana di negara-negara Islam lainnya berbeda-beda sesuai dengan kebijakan
pemerintahnya. Arab Saudi dan negara-negara di wilayah Teluk lainnya memberlakukan syariat
Islam dalam undang-undang hukum pidananya. Diikuti oleh Sudan, memberlakukan hukum
pidana Islam pada bulan September 1983. Sementara Pakistan, mulai tahun 1988 juga
mengadakan Islamisasi hukum pidana, Pakistan memberlakukan hukuman potong tangan, dera,
dan ketentuan hukum pidana Islam lainnya. Di Indonesia, perumusan undang-undang hukum
pidana Islam belum dilakukan hingga kini, hanya di Aceh yang mulai memberlakukan hukum
islam.

D. JINAYAT DI ERA SEKARANG


Allah menciptakan hukum untuk mengatur hak dan kewajiban manusia guna menghendaki
terjadinya kedamaian dengan sesama makhluk, Hukum Pidana Islam adalah hukum yang
mengatur tindak pidana, akan tetapi hukum pidana Islam dipandang sebagai hukum yang tidak
berkembang dan telah mati karena menyajikan qisash dan hudud yang dianggap sebagai
hukuman sadis dan tidak manusiawi.Padahal semua umat Islam meyakini bahwa hukum Islam
adalah hukum yang universal,rahmatan lil alamin.
Di sisi lain tidak semua negara Islam memberlakukan hukum itu. Para ulama harus terbuka
matanya. Meskipun hukum Jinayat dalam fiqh, kenyataanya, tidak semua negara Islam atau
negara yang basis konstitusinya syariah, seperti Mesir, Yordania, Syiria, Tunisia, Maroko, tidak
mengadopsi hukum rajam, tidak ada hukum cambuk, karena mereka mengadopsi syariah bukan
dalam bentuk hukumnya tapi dalam bentuk esensinya, nilai-nilai universal yang lebih
mengutamakan keadilan, bukan dalam bentuk formal hukumnya. Jadi, kalau Indonesia
mengadopsi hukum rajam, itu aneh karena Indonesia bukan negara Islam. Yang agama Islam
saja tidak mengadposinya.

,



(

, , )

Dari Imran Ibnu Hushoin Radliyallaahu 'anhu bahwa ada seorang budak kecil milik sebuah
keluarga fakir memotong telinga seorang budak kecil milik keluarga kaya. Lalu mereka
menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, namun beliau tidak memberikan tindakan apaapa pada mereka. Riwayat Ahmad dan Imam Tiga dengan sanad shahih.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Jinayah adalah perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena dapat menimbulkan kerugian
atau kerusakan agama, jiwa, akal atau harta benda.
2. Jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman dibagi menjadi
a. Jarimah hudud,yang meliputi : Perzinaan, Qadzaf (menuduh berbuat zina), Meminum minuman
keras, Pencurian , Perampokan.
b. Jarimah qishas/diyat, yang meliputi : pembunuhan sengaja pembunuhan semi sengaja,
pembunuhan karena kesalahan. Peluka an sengaja, pelukaan semi sengaja.
c. Jarimah tazir.
3. Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk alQuran dan as-Sunnah. Di samping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim
yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat.
4. Penerapan hokum pidana dalam islam di era sekarang masih dalam kontroversi di kalangan para
ahli. Sebagian mereka berpendapat bahwa hokum pidana dalam islam harus tetap ditegakkan
sebagaimana yang ada dalam teks alquran dan al hadits. Namun, disisi lain hokum pidana dalam
islam harus dikaji ulang sehingga relevan di era sekarang ini dan lebih manusiawi.
B. DAFTAR PUSTAKA
1. Al- ramli, Nihayatul muhtaj,, mesir
2.
3.
4.
5.
6.

H. Sulaiman Rasjid, 1994 Fiqih Islam, Bandung; Sinar Baru Algensindo,


Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Atsqalani
Subul As-Salam
Hasil wawancara Diah Irawati dengan Dr. Musdah Mulia, MA
Dan bacaan lain yang berkenaan dengan materi di atas.
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook
Reaksi:

Posted in Fikih
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
0 komentar:
Poskan Komentar

Anda mungkin juga menyukai