Nama saya Reni (samaran) saat ini usia 28 tahun. Kata orang saya memiliki segalanya
kekayaan, kecantikan dan keindahan tubuh yang menjadi idaman setiap wanita. Dengan
tinggi 165 cm dan berat 51 menjadikan aku memiliki pesona bagi lelaki mana saja.
Apalagi wajahku boleh dibilang cantik dengan kulit kuning langsat dan rambut sebahu.
Aku telah menikah setahun lebih. Latar belakang keluargaku adalah dari keluarga
Minang yang terpandang. Sedangkan suamiku, sebut saja Ikhsan adalah seorang staf
pengajar pada sebuah perguruan tinggi swasta di kota Padang.
Sebagai orang baru, aku tentu saja harus bekerja keras untuk menunjukkan
kemampuanku. Apalagi tugas baruku di kantor pusat ini adalah sebagai kepala bagian.
Aku harus mampu menunjukkan kepada anak buahku bahwa aku memang layak
menempati posisi ini. Sebagai konsekuensinya aku harus rela bekerja hingga larut malam
menyeleseaikan tugas-tugas yang sangat berbeda saat aku bertugas di kepulauan dahulu.
Hal ini membuat aku harus selalu pulang larut malam karena jarak rumah kami dengan
kantor yang cukup jauh yang harus kutempuh selama kurang lebih 30 menit dengan
mobilku.
Akibatnya aku jadi jarang sekali bercengkerama dengan suamiku yang juga mulai
semakin sibuk sejak karirnya meningkat. Praktis kami hanya bertemu saat menjelang
tidur dan saat sarapan pagi.
Atas kebijakan pimpinan aku selalu dikawal satpam jika hendak pulang. Sebut saja
namanya Pak Marsan, satpam yang kerap mengawalku dengan sepeda motor bututnya
yang mengiringi mobilku dari belakang hingga ke depan halaman rumahku untuk
memastikan aku aman sampai ke rumah. Dengan demikian aku selalu merasa aman untuk
bekerja hingga selarut apapun karena pulangnya selalu di antar. Tak jarang aku
memintanya mampir untuk sekedar memberinya secangkir kopi hingga suamiku pun
mengenalnya dengan baik. Bahkan suamiku pun kerap kali memberinya beberapa
bungkus rokok Gudang Garam kesukaannya.
Pak Marsan adalah lelaki berusia 40 tahunan. Tubuhnya cukup kekar dengan kulit
kehitaman khas orang Jawa. Ia memang asli Jawa dan katanya pernah menjadi preman di
Pasar Senen Jakarta. Ia sudah menjadi satpam di bank tempat saya bekerja selama 8
tahun. Ia sudah beristri yang sama-sama berasal dari Jawa. Akupun sudah kenal dengan
istrinya, Yu Sarni. Suatu hari, saat aku selesai lembur. Aku kaget saat yang mengantarku
bukan Pak Marsan, tetapi orang lain yang belum cukup kukenal.
“Lho Pak Marsan di mana, Bang?” tanyaku pada satpam yang mengantarku.
“Anu, Bu, Pak Marsan hari ini minta ijin tidak masuk. Katanya istrinya melahirkan,”
katanya dengan sopan.
Akhirnya aku tahu kalau yang mengantarku adalah Pak Sardjo, satpam yang biasanya
masuk pagi.
“Kapan istrinya melahirkan?” tanyaku lagi.
“Katanya sih hari ini atau mungkin besok, Bu,” jawabnya.
Awal Perselingkuhan
Sudah dua hari aku selalu dikawal Pak Sardjo karena Pak Marsan tidak masuk kerja. Hari
Minggu aku bersama suamiku memutuskan untuk menjenguk istri Pak Marsan di Rumah
Sakit Umum. Akhirnya aku mengetahui kalau Yu Sarni mengalami pendarahan yang
cukup parah atau bleeding. Dengan kondisinya itu ia terpaksa menginap di Rumah Sakit
untuk waktu yang agak lumayan setelah post partum. Atas saran suamiku aku ikut
membantu biaya perawatan istri Pak Marsan, dengan pertimbangan selama ini Pak
Marsan telah setia mengawalku setiap pulang kerja.
Sejak saat itu hubungan keluargaku dengan keluarga Pak Marsan seperti layaknya
saudara saja. Kadangkala Yu Sarni mengirimkan pisang hasil panen di kebunnya ke
rumahku. Walaupun harganya tidak seberapa, tetapi aku merasa ada nilai lebih dari
sekedar harga pisang itu. Ya, rasa persaudaraan! Itulah yang lebih berharga dibanding
materi sebanyak apapun. Sering pula aku mengirimi biskuit dan sirup ke rumahnya yang
sangat sederhana dan terpencil. Memang rumahnya berada di tengah kebun yang penuh
ditanami pisang dan kelapa.
Karena seringnya aku berkunjung ke rumahnya maka tetangga yang letaknya agak
berjauhan sudah menganggapku sebagai bagian dari keluarga Pak Marsan.
Suatu hari, saat aku pulang lembur seperti biasa aku diantar Pak Marsan. Begitu sampai
ke depan rumah tiba-tiba hujan mengguyur dengan derasnya hingga kusuruh Pak Marsan
untuk menunggu hujan reda.
Aku suruh pembantuku, Mbok Rasmi yang sudah tua untuk membuatkan kopi baginya.
Sementara Pak Marsan menikmati kopinya aku pun masuk ke kamar mandi untuk mandi.
Merupakan kebiasaanku untuk mandi sebelum tidur.
Hujan tidak kunjung reda hingga aku selesai mandi, kulihat Pak Marsan masih duduk
menikmati kopinya dan rokok kesukaannya di teras sambil menerawang hujan. Hanya
dengan mengenakan baju tidur babydoll, aku ikut duduk di teras untuk sekedar
menemaninya ngobrol. Kebetulan lampu terasku memang lampunya agak remang-
remang. Memang sengaja kuatur demikian dengan suamiku agar enak menikmati
suasana.
“Gimana sekarang punya anak, Pak? Bahagia kan?” tanyaku membuka percakapan.
“Yach.. bahagia sekali, Bu..! Habis dulu istri saya pernah keguguran saat kehamilan
pertama, jadi ini benar-benar anugrah yang tak terhingga buat saya, Bu.. Apalagi kami
berdua sudah tidak muda lagi…”
“Memang, Pak… Aku sendiri sebenarnya sudah ingin punya anak, tetapi…” Aku tidak
dapat meneruskan kata-kataku karena jengah juga membicarakan kehidupan seksualku di
depan orang lain.
“Tetapi kenapa, Bu… Ibu kan sudah punya segalanya.. Mobil ada… Rumah juga sudah
ada… Apa lagi,” timpalnya seolah-olah ikut prihatin.
“Yach…itu lah pak… dari materi memang kami tidak kekurangan, tetapi dalam hal yang
lain mungkin kehidupan Yu Sarni lebih bahagia.”
“Mmm maksud ibu…” tanyanya terheran-heran.
“Itu lho pak… Pak Marsan kan tahu kalau saya selalu kerja sampai malam sedangkan
Bang Ikhsan juga sering tugas ke luar kota jadi kami jarang bisa berkumpul setiap hari.
Sekarang aja Bang Ikhsan sedang tugas ke Jakarta sudah seminggu dan rencananya baru
empat hari lagi baru kembali ke Padang.”
“Yachh.. memang itulah rahasia kehidupan, Bu… Kami yang orang kecil seperti ini
selalu kesusahan mikir apa yang hendak dimakan besok pagi… sedangkan keluarga Ibu
yang tidak kekurangan materi malah bingung tidak dapat kumpul.”
Matanya sempat melirikku yang saat itu mengenakan babydoll dari satin berwarna pink.
Dalam balutan pakaian itu, pundak dan pahaku yang putih memang terbuka. Aku
mengenakan pakaian itu karena memang tadinya niatnya akan langsung tidur. Di samping
itu aku sudah merasa dekat dengan Pak Marsan yang selama ini selalu bersikap sopan
padaku. Istrinya pun sudah dekat denganku. Demikian pula sebaliknya suamiku dengan
Pak Marsan. Jadi aku tak merasa risih berpakaian seperti itu di depan Pak Marsan.
Baru kusadar sewaktu melihat jakunnya naik turun melihat kemolekan tubuhku. Aku
sadar tubuhku yang terbuka telah membuatnya terangsang. Bagaimanapun, ia tetaplah
seorang lelaki normal…
Mungkin karena hujan yang semakin deras dan aku pun jarang dijamah suamiku
membuat gairah nakalku bangkit.
Aku sengaja mengubah posisi dudukku sehingga pakaianku yang sudah mini itu jadi
tersingkap. Pahaku yang mulus kini sepenuhnya kelihatan. Hal ini membuat duduknya
semakin gelisah. Matanya berkali-kali mencuri pandang ke arah pahaku.
“Sebentar Pak, saya ambil minuman dulu,” kataku sambil bangkit dan berjalan masuk.
Aku sadar bahwa pakaian yang kukenakan saat itu agak tipis sehingga bila aku berjalan
ke tempat terang tubuhku akan membayang di balik gaun tipisku.
“Oh ya, Pak Marsan masuk saja ke dalam soalnya hujan kan… Di luar dingin…”
“I..iya, Bu..” jawab Pak Marsan agak tergagap karena lamunannya terputus oleh
undanganku tadi.
Jakunnya semakin naik turun dengan cepat. Aku tahu ia tentu sudah lama tidak
menyentuh istrinya sejak melahirkan bulan kemarin, karena usia kelahiran bayinya belum
genap 40 hari. Suasana sepi di rumahku ditambah dengan dinginnya malam membuat
gairahku bergejolak menuntut penuntasan.
Apa boleh buat aku harus berhasil menggoda Pak Marsan, apapun caranya. Demikian
tekad nakalku menari-nari dalam kepalaku.
Pak Marsan pun masuk dan duduk di sofa ruang tamuku. Mbok Sarmi sudah terlelap di
kamarnya di belakang. Aku yang semakin gelisah sibuk mencari-cari akal bagaimana
menundukkan Pak Marsan yang tentu saja tidak mungkin berani untuk memulai karena
aku adalah bosnya di kantor.
Setelah mengambil minuman, aku duduk di ruang tamu berhadap-hadapan dengan Pak
Marsan. Duduknya semakin gelisah melihat penampilanku yang sangat segar habis mandi
tadi. Akhirnya mungkin karena tidak tahan atau karena udara dingin ia minta ijin untuk
ke kamar kecil.
“Eh.. anu, Bu.. Boleh minta ijin ke kamar kecil, Bu.”
“Silakan, Pak.. Pakai yang di dalam saja.”
“Ah.. enggak, Bu saya enggak berani.”
“Enggak apa-apa… Itu, Pak Marsan masuk aja, nanti ada di dekat ruang tengah itu.”
“Baik, Bu…”
Sambil berdiri ia membetulkan celana seragam dinasnya yang ketat. Aku melihat ada
tonjolan besar yang mengganjal di sela-sela pahanya. Aku membayangkan mungkin
isinya sebesar tongkat pentungan yang selalu dibawa-bawanya saat berjaga… atau
bahkan mungkin lebih besar lagi.
Agak ragu-ragu ia melangkah masuk hingga aku berjalan di depannya sebagai pemandu
jalan. Akhirnya kutunjukkan kamar kecil yang bisa dipakainya. Begitu ia masuk aku pun
pergi ke dapur untuk mencari makanan kecil, sementara di luar hujan semakin lebat
diiringi petir yang menyambar-nyambar.
Aku terkejut saat aku keluar dari dapur tiba-tiba ada tangan kekar yang memelukku dari
belakang. Toples kue hampir saja terlepas dari tanganku karena kaget. Rupanya aku salah
menduga. Pak Marsan yang kukira tidak mempunyai keberanian ternyata tanpa kumulai
sudah mendahului dengan cara mendekapku. Napasnya yang keras menyapu-nyapu
kudukku hingga membuatku merinding.
“Ma..maaf, Bu.. say.. saya sudah tidak tahan…” desisnya diiringi dengus napasnya yang
menderu.
Lidahnya menjilat-jilat tengkukku hingga aku menggeliat sementara tangannya yang
kukuh secara menyilang mendekap kedua dadaku. Untuk menjaga wibawaku aku pura-
pura marah.
“Pak Marsan… apa-apaan ini” suaraku agak kukeraskan sementara tanganku mencoba
menahan laju tangan Pak Marsan yang semakin liar meremas payudaraku dari luar
gaunku.
“Ma..af, Bu.. say.. saya.. sudah tidak tahan lagi..” diulanginya ucapanya yang tadi tetapi
tangannya semakin liar bergerak meremas dan kedua ujung ibu jarinya memutar-mutar
kedua puting payudaraku dari luar gaun tipisku.
Perlawananku semakin melemah karena terkalahkan oleh desakan napsuku yang
menuntut pemenuhan. Apalagi tonjolan di balik celana Pak Marsan yang keras menekan
kuat di belahan kedua belah buah pantatku. Hal ini semakin membuat nafsuku terbangkit
ditambah dinginnya malam dan derasnya hujan di luar sana. Suasana sangat mendukung
bagi setan untuk menggoda dan menggelitik nafsuku.
Tubuhku semakin merinding dan kurasakan seluruh bulu romaku berdiri saat jilatan lidah
Pak Marsan yang panas menerpa tulang belakangku. Tubuhku didorong Pak Marsan
hingga tengkurap di atas meja makan dekat dapur yang kokoh karena memang terbuat
dari kayu jati pilihan. Saat itulah tiba-tiba salah satu tangan Pak Marsan beralih
menyingkap gaunku dan meremas kedua buah pantatku.
Aku semakin terangsang hebat saat tangan Pak Marsan yang kasar menyusup celana
dalam nylonku dan meremas pantatku dengan gemas. Sesekali jarinya yang nakal
menyentuh lubang anusku.
Gila..!! Benar-benar lelaki yang kasar dan liar. Tapi aku senang karena suamiku biasanya
memperlakukanku bak putri saat bercinta denganku. Ia selalu mencumbuku dengan
lembut. Ini sensasi lain..!! Kasar dan liar…apa lagi samar-samar kucium aroma keringat
Pak Marsan yang berbau khas lelaki! Tanpa parfum…gila aku jadi terobsesi dengan bau
khas seperti ini. Hal ini mengingatkanku pada saat aku bermain gila dengan Pak Sitor di
kepulauan dahulu.
“Akhh..pakk..Marsannhh jangg…anhhhh” desahku antara pura-pura menolak dan
meminta.
Ya, harus kuakui kalau aku benar-benar rindu pada jamahan lelaki kasar macam Pak
Marsan. Pak Marsan yang sudah sangat bernafsu sudah tidak mempedulikan apa-apa lagi.
Dengan beringas dan agak kasar digigitnya punggungku di sana-sini sehingga membuat
aku menggeliat dan menggelepar seperti ikan kekurangan air. Apalagi saat bibirnya yang
ditumbuhi kumis tebal seperti kumisnya pak Raden mulai menjilat-jilat pantatku.
“Akhh..pakk..akhh..jang..akhh”
Kepura-puraanku akhirnya hilang saat dengan agak kasar mulut Pak Marsan dengan
rakusnya menggigiti kedua belah pantatku!! Luar biasa sensasi yang kurasakan saat itu.
Pantatku bergoyang-goyang ke kanan dan kiri menahan geli saat digigit Pak Marsan.
Mungkin kalau disyuting lebih dahsyat dibanding goyang ngebornya si Inul yang terkenal
itu.
“Emhh..pantat ibu indahh…” kudengar Pak Marsan menggumam mengagumi keindahan
pantatku. Lalu tanpa rasa jijik sedikitpun lidahnya menyelusup ke dalam lubang anusku
dan jilat sana jilat sini.
“Ouch…shh…Am..ampunnhhh” aku mendesis karena tidak tahan dengan rangsangan
yang diberikan lelaki kasar yang sebenarnya harus menghormati kedudukanku di kantor.
Aku benar-benar pasrah total.
Liang vaginaku sudah berkedut-kedut seolah tak sabar menanti disodok-sodok.
Rangsangan semakin hebat kurasakan saat tiba-tiba kepala Pak Marsan menyeruak di
sela-sela pahaku dan mulutnya yang rakus mencium dan menyedot-nyedot liang vaginaku
dari arah belakang.
Secara otomatis kakiku melebar untuk memberikan ruang bagi kepalanya agar lebih
leluasa menyeruak masuk. Aku sepertinya semakin gila. Karena baru kali ini aku bermain
gila di rumahku sendiri. Tapi aku tak peduli yang penting gejolak nafsuku terpenuhi.
Titik!
“Ouch… shh…terushhh.. Ohhh, Pak Marsanhhh…”
Dari menolak aku menjadi meminta! Benar-benar gila!! Pantatku semakin liar bergoyang
saat lidah Pak Marsan menyelusup ke dalam alur sempit di selangkanganku yang sudah
sangat basah dan menjilat-jilat kelentitku yang sudah sangat mengembang karena birahi.
Aku merasakan ada suatu desakan maha dahsyat yang menggelora, tubuhku seolah
mengawang dan ringan sekali seperti terbang ke langit kenikmatan. Tubuhku berkejat-
kejat menahan terpaan gelora kenikmatan.
Pak Marsan semakin liar menjilat dan sesekali menyedot kelentitku dengan bibirnya
hingga akhirnya aku tak mampu lagi menahan syahwatku.
“Akhhh…Pak Marsannnhhh akhhh…”
Aku mendesis melepas orgasmeku yang pertama sejak seminggu kepergian suamiku ini.
Nikmat sekali rasanya. Tubuhku bergerak liar untuk beberapa saat lalu akhirnya terdiam
karena lemas. Napasku masih memburu saat Pak Marsan melepaskan bibirnya dari
gundukan bukit di selangkanganku. Lalu masih dengan posisi tengkurap di atas meja
makan dengan setengah menungging tubuhku kembali ditindih Pak Marsan.
Kali ini ia rupanya sudah menurunkan celana dinasnya karena aku merasakan ada benda
hangat dan keras yang menempel ketat di belahan pantatku. Gila panas sekali benda itu!
Aku terlalu lemas untuk bereaksi.
Beberapa saat kemudian aku merasakan benda itu mengosek-osek belahan kemaluanku
yang sudah basah dan licin. Sedikit demi sedikit benda keras itu menerobos kehangatan
liang kemaluanku. Sesak sekali rasanya. Mungkin apa yang kubayangkan tadi benar!!
Karena selama ini aku belum pernah melihat ukuran, bentuk maupun warnanya! Tapi aku
yakin kalau warnanya hitam seperti si empunya!!
Aku kembali terangsang saat benda hangat itu menyeruak masuk dalam kehangatan bibir
kemaluanku.
“Hkkk…hhh.. shhh.. mem..mekhh Bu.. Ren..ni benar-benar legithhhh…” Gumam Pak
Marsan di sela-sela napasnya yang memburu. Didesakkannya batang kemaluan Pak
Marsan ke dalam lubang kemaluanku. Ouhhh lagi-lagi sensasi yang luar biasa
menerpaku. Di kedinginan malam dan terpaan deru hujan kami berdua justru
berkeringat…
Gila… Pak Marsan menyetubuhiku di ruang makan tempat aku biasanya sarapan pagi
bersama suamiku! Gaunku tidak dilepas semuanya, hanya disingkap bagian bawahnya
sedangkan celana dalam nylonku sudah terbang entah kemana dilempar Pak Marsan.
“Ouhh Pak Marsann.. ahhhh….”
Aku hanya mampu merintih menahan nikmat yang amat sangat saat Pak Marsan mulai
memompaku dari belakang! Dengan posisi setengah menungging dan bertumpu pada
meja makan, tubuhku disodok-sodok Pak Marsan dengan gairah meluap-luap.
Tubuhku tersentak ke depan saat Pak Marsan dengan semangat menghunjamkan batang
kemaluannya ke dalam jepitan liang kemaluanku! Lalu dengan agak kasar ditekannya
punggungku hingga dadaku agak sesak menekan permukaan meja! Tangan kiri Pak
Marsan menekan punggungku sedangkan tangan kanannya meremas-remas buah
pantatku dengan gemasnya.
Tanpa kusadari tubuhku ikut bergoyang seolah-olah menyambut dorongan batang
kemaluan Pak Marsan. Pantatku bergoyang memutar mengimbangi tusukan-tusukan
batang kemaluan Pak Marsan yang menghunjam dalam-dalam.
Suara benturan pantatku dengan tulang kemaluan Pak Marsan yang terdengar di sela-sela
suara gemuruh hujan menambah gairahku kian berkobar. Apalagi bau keringat Pak
Marsan semakin tajam tercium hidungku. Oh..inikah surga dunia… Tanpa sadar mulutku
bergumam dan menceracau liar.
“Ouhmmm terushh.. terushh.. yang kerashhh..”
Aku menceracau dan menggoyang pantatku kian liar saat aku merasakan detik-detik
menuju puncak.
“Putar, Bu…putarrrhh”
Kudengar pula Pak Marsan menggeram memberiku instruksi untuk memuaskan birahinya
sambil meremas pantatku kian keras. Batang kemaluannya semakin keras menyodok
liang kemaluanku yang sudah kian licin. Aku merasakan batang kemaluan Pak Marsan
mulai berdenyut-denyut dalam jepitan liang kemaluanku.
Aku sendiri merasa semakin dekat mencapai orgasmeku yang kedua. Tubuhku serasa
melayang. Mataku membeliak menahan nikmat yang amat sangat. Tubuh kami terus
bergoyang dan beradu, sementara gaunku sudah basah oleh keringatku sendiri. Pak
Marsan semakin keras dan liar menghunjamkan batang kemaluannya yang terjepit erat
liang kemaluanku. Lalu tiba-tiba tubuhnya mengejat-ngejat dan mulutnya menggeram
keras.