Oleh
C.Prasetyadi
Jurusan T. Geologi- UPN Veteran Yogyakarta
PENDAHULUAN
Jawa Tengah berdasarkan geologi dan posisi tektoniknya memiliki
keunikan dibandingkan dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Keunikan
tersebut antara lain:
1. Terdapatnya singkapan paling luas batuan dasar Pra-Tersier
yang menjadi pemisah antara Sub-cekungan Serayu Selatan
(Banyumas-Kebumen) dan Sub-cekungan Serayu Utara
(Karangkobar-Cipluk).
2. Terdapat singkapan urutan batuan lengkap mulai dari PraTersier, Paleogen hingga Neogen.
3. Tidak hadirnya fisiografi Zona Pegunungan Selatan dan
kelurusan gunung api kuarter lebih ke utara.
4. Pertemuan 2 sesar utama (sesar Pamanukan-Cilacap dan sesar
Kebumen-Muria) (Satyana, 2007).
5. Banyak terdapat rembesan hidrokarbon yang menunjukkan
sistem minyakbumi aktif tetapi belum ada catatan produksi
yang ekonomis.
Untuk mengetahui lebih dalam mengenai geologi minyakbumi daerah
Jawa Tengah maka perlu diadakan fieldtrip dengan lintasan mulai
dari pengamatan singkapan batuan dasar Komplek Luk-Ulo dan
Batuan Sedimen Eosen Formasi Bulukuning (daerah Banjarnegara)
hingga Batuan Volkaniklastik Neogen (Daerah Cipluk).
2. Stratigrafi :
1. Letak
Daerah Nanggulan terletak sekitar 20 km sebelah barat kota
Yogyakarta. Secara administratif daerah ini termasuk Desa
Kenteng, Kecamatan Nanggulan, Kabupaten Kulonprogo, DIY.
Daerah singkapan batuan Eosen berada di sisi timur
Perbukitan Menoreh, atau Kubah Kulonprogro (Van
Bemmelen, 1949), meliputi daerah seluas (3x4) km2. Batuan
Eosen yang tersingkap merupakan bagian sayap barat antiklin
Nanggulan yang berarah hampir utara-selatan.
2. Penelitian Terdahulu
Di daerah Luk Ulo, Karangsambung dan Perbukitan Jiwo,
Bayat batuan Paleogen tersingkap bersama-sama dengan
batuan Pra-Tersier sedangkan di daerah Nanggulan batuan
Pra-Tersier tidak tersingkap sehingga singkapan batuan
tertua yang dijumpai terdiri dari batuan Eosen. Meskipun
demikian singkapan batuan Eosen di Nanggulan merupakan
singkapan batuan Paleogen yang paling banyak diteliti
dibandingkan ditempat lain di Pulau Jawa terutama karena di
Nanggulan kandungan fosilnya sangat kaya. Nanggulan
dianggap sebagai daerah di Hindia Timur (East Indies)
dimana dijumpai fosil fauna Paleogen yang paling beragam
dan paling baik terawetkan di Asia Tenggara. Di daerah
Nanggulan dapat dikenali fauna moluska berumur Eosen yang
terdiri dari 106 gastropoda, 23 lamellibranchiata, tiga
scaphopoda, dan empat foraminifera (Rutten, 1927; Martin,
1915; dalam Lunt dan Sugiatno, 2003b). Kekayaan daerah
Nanggulan akan fauna Eosen yang unik, dimana fosil moluska
3. Litologi
Penelitian lapangan batuan Eosen di daerah Nanggulan yang
dilakukan oleh Prasetyadi (2007) dilakukan dalam dua tahap.
Tahap pertama dilakukan dalam partisipasi dengan kegiatan
penelitian lapangan bagian dari kegiatan eksplorasi minyak
dan gasbumi PSC Coparex b.v di wilayah Blok Banyumas
antara tahun 1998 sampai 2001. Diantara kegiatan ini
termasuk pemboran inti pada tahun 1998 di daerah pusat
antiklin Nanggulan dengan kedalaman 130 meter di daerah
Kenteng, Nanggulan. Tahap kedua penelitian lapangan
dilakukan secara mandiri pada tahun 2004 dan 2005 di
lintasan-lintasan Kali Songo, Kali Watu Puru, dan Kali Putih
dengan tujuan utama melakukan pengambilan sampel
batupasir untuk analisis provenans (Gambar-2).
di beberapa lintasan pengamatan detail didaerah Kali Watupuru, Kali Songo dan Kali Seputih (Gambar-7 dan Gambar-8
Formasi Penosogan :
Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Waturanda,
litologinya terdiri dari perselingan batupasir, batulempung,
tufa, napal dan kalkarenit. Ketebalan formasi ini 1000 meter,
mempunyai umur Miosen Awal - Miosen Tengah
Formasi Halang :
Menindih selaras di atas Formasi Penosogan, dengan litologi
terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, napal, tufa
dan sisipan breksi.Merupakan kumpulan sedimen turbidit
bersifat distal sampai proksimal, pada bagian bawah dan
tengah kipas bawah laut, berumur Miosen Awal - Pliosen.
Anggota Breksi Halang, Sukendar Asikin menamakan sebagai
Formasi Breksi II dan berjemari dengan Formasi Penosogan.
Namun Sukendar Asikin (1974) meralat bahwasanya Anggota
Breksi ini menjemari dengan Formasi Halang.
Formasi Peniron :
Peneliti terdahulu menamakan sebagai Horizon Breksi III.
Formasi Peniron menindih selaras di atas Formasi Halang dan
merupakan sedimen turbidit termuda yang diendapkan di
Zone Pegunungan Serayu Selatan. Litologinya terdiri dari
breksi aneka bahan (polimik) dengan komponen andesit,
batulempung, batupasir dengan masa dasar batupasir sisipan
tufa, batupasir, napal dan batulempung.
Batuan Vulkanik Muda :
Mempunyai hubungan yang tidak selaras dengan semua
batuan yang lebih tua di bawahnya. Litologi terdiri dari breksi
dengan sisipan batupasir tufan, dengan komponen andesit
dan batupasir => merupakan aliran lahar pd lingkungan darat.
Berdasar pada ukuran komponen yang membesar ke
c. Formasi Merawu
Satuan batuan ini diendapkan selaras diatas F. Sigugur,
disusun
oleh
konglomerat,
batupasir
gampingan,
batulempung napalan yang menyerpih serta lapisan tufan
halus. Konglomerat berfragmen kuarsa dan batugamping
berfosil Lepidocyclina, dan batulempung napalannya
mengandung Globigerina. Bagian atas satuan ini tidak
dijumpai konglomerat, dan disusun oleh lapisan - lapisan
batupasir berlapis tipis, batupasir gampingan, dan
batulempung napalan, dengan struktur sedimen sole
mark berupa jejak-jejak cacing pada alas batupasir,
ripple mark. Umur bagian atas Formasi
Merawu ditentukan oleh hadirnya fosil Catacycloclypeus
MARTIN yang menunjukkan Miosen Tengah (Tf), secara
keseluruhan berumur Miosen Awal Miosen Tengah.
Ketebalan absolut formasi ini sulit ditentukan karena telah
mengalami perlipatan sangat kuat.
Lokasi tipe dari
formasi ini di Sungai Merawu, sebelah barat dan tenggara
lembar peta 66.
d. Formasi Penyatan
Formasi ini diendapkan selaras di atas F. Merawu, di
lapangan sulit memisahkan antara F. Penyatan dan F.
Merawu.
Satuan
ini
dipisahkan
berdasarkan
ketidakhadiran lapisan kuarsa klastik, serta bertambahnya
lapisan volkanik andesit sehingga menhasilkan endapan
batuan yang bersifat atau berkomposisi tufaan.
Bemmelen (1937) membagi tiga bagian formasi ini yakni ;
bagian bawah, bagian tengah, dan bagian atas. Bagian
bawah dicirikan hadirnya batupasir, tufa napalan,
breksi tufaan berframen kasar sampai halus mengandung
Globigerina dan foraminifera kecil lainnya,
sebagian
terubah karena proses hidrotermal dengan dijumpai
mineral klorit, serisit, dan zeolit. Bagian tengah, hadirnya
aliran lava basaltik andesitik, berkomposisi sebagian
besar terdiri dari gelas, dan dijumpai lensa-lensa napal
f. Formasi Ligung
Formasi ini hanya tersingkap di bagian tengah sebelah
timur Cekungan Serayu
5 km sebelah timur Desa
Bodaskarangjati.
Bemmelen (1937) memperkirakan
bahwa formasi dapat dipisahkan menjadi empat satuan,
Kompleks Gunungapi Korakan diperkirakan merupakan
pusat erupsi yang menghasilkan aglomerat, intrusi tunggal
batuan beku Andesit hornblenda disebut fase Intrusi
Korakan Formasi Ligung.
Endapan-endapan utamanya
berupa batulempung tufaan dan batupasir serta
interkalasi lapisan tipis konglomerat yang diendapkan pada
bagian atas dan Anggota breksi tua. Satuan ini juga
disebut
sebagai
Transitional Member of Ligung
Formation ,
tersingkap memanjang barat timur
sepanjang 25 km, lebar 3 km ke arah selatan dan
barat dari Komplek G. Korakan.
Penyebaran singkapan
dari Younger Breccia Member of Ligung Formation
merupakan yang terluas dari ke empat satuan yang dapat
dibedakan dari formasi ini. Endapan satuan ini disusun
oleh aglomerat andesit
dan breksi yang tersingkap
disepanjang bagian timur Sungai Serayu. Bemmelen (1949)
menyatakan bahwa Anggota Breksi Tua Formasi Ligung
terletak secara pseudo-conformably di atas perlaisan
Formasi Bodas yang lebih tua,
satuan ini disusun oleh
breksi andesit dan aglomerat kasar,
ketebalannya 600
m dekat Komplek G.Korakan dan berkurang sesuai
dengan pertambahan jaraknya terhadap Gunungapi
Korakan. Umur Formasi Ligung diperkirakan Pliosen
Akhir hingga Pleistosen Tengah, dimana umur ini
ditentukan berdasarkan korelasi terhadap Formasi Damar
yang memiliki kandungan fosil air tawar.
Zona Kendeng di di Jawa Tengah terdiri dari Cekungan Serayu
Utara dan Cekungan Serayu Selatan. Berkembangnya dua
cekungan ini tidak lepas dari hadirnya tinggian struktur yang
13
3
3. Struktur:
Pulau Jawa dikontrol oleh sejumlah struktur utama yang
mencerminkan
evolusi
tektoniknya
(Pulunggono
&
Martodjoyo, 1994) (Gambar-4). Struktur utama Pulau Jawa
terdiri dari struktur Meratus yang berarah TimurlautBaratdaya, struktur Sumatra berarah Baratlaut-Tenggara,
struktur Sunda berarah Utara-Selatan dan struktur Jawa
berarah Barat-Timur.
Jawa Tengah dikontrol oleh struktur-struktur berarah
Timurlaut-Baratdaya dan Baratlaut-Tenggara seperti pada
Gambar-5. Selain itu di Jawa Tengah juga dikenali
terdapatnya dua struktur sesar utama yang mengapit bagian
barat dan timur Jawa Tengah. Sesar utama bagian timur
disebut sesar Kebumen-Muria dan bagian barat disebut sesar
Pamanukan-Cilacap, kedua sesar tersebut dianggap sebagai
faktor yang membuat Jawa Tengah secara fisiografi berbeda
dengan Jawa Barat dan Jawa Timur (Satyana, 2007) (Gambar6).
Keberadaan sesar Kebumen-Muria didukung oleh data geologi
bawah permukaan. Smyth et al (2005), menyebut sesar ini
sebagai sesar Progo-Muria dan merupakan batas batuan dasar
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
4. Volkanisme:
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur busur vulkanik tersier
memiliki tiga tahap kegiatan yang berbeda. Berdasarkan
pengelompokan usia radiometrik (Bellon et al. 1990)
(Gambar-8 & -9) dan keterdapatan startigrafi vulkanik ,
dapat disusun sebagai berikut :
1. Awal fase gunung berapi aktif dari sekitar 50-19 jtl
(pertengahan Eosen sampai pertengahan Miosen
Awal).
2. Masa relatif tenang dari sekitar 19 jtl untuk sekitar 11
jtl (akhir Miosen Tengah).
3. Peningkatan besar-besaran aktivitas gunung berapi di
sekitar 11 jtl, dengan jalur vulkanik bergeser sekitar
50 kilometer keutara ke posisi sekarang.
4. Pada 3 jtl merupakan vulkanisme perubahan seri baru
gunung berapi aktif di sepanjang busur utama, akan
tetapi juga lebih kaya K-gunung berapi dari busur tren
(misalnya Gunung Muria [1,1-0,4 jtl], lepas pantai ke
utara di Pulau Bawean [ 0,8-0,3 jtl], dan Gunung
Lasem [1,6-1,1 jtl, tapi tidak dominan K).
Data sumur DSDP (Deep Sea Drilling Project) di barat
Samudera Hindia dan selatan Jawa mendukung data hasil
akhir kedua, ketiga dan tahap terakhir diatas. Sumur DSDP ini
mengandung tuff berumur 11 tahun jtl dan lebih muda,
dengan peningkatan piroklastik Pliosen Akhir atau bagian
bawah Kuarter (sekitar 2-3 MYBP). Dilokasi tersebut di atas
lempeng samudera bergerak kearah utara menghalangi
rekaman aktivitas gunung berapi Jawa jauh sebelum 11 jtl.
Misalnya pada 19 jtl, ketika "Old Andesite" fase berakhir,
lokasi DSDP akan menjadi sekitar 400 kilometer lebih jauh ke
selatan dari busur vulkanik. Perhatikan bahwa antara
peristiwa vulkanik utama ini masih ada beberapa latar
belakang terus vulkanik, seperti yang terlihat oleh tuff hadir
dilapisan Miosen Tengah di selatan Jawa.
5. Potensi Hidrokarbon:
Tektonik Jawa tengah sangat unik mempengaruhi kondisi
geologi minyakbuminya (Gambar-10). Cekungan backarc dan
forearc yang berkembang baik di Sumatra, diJawa Tengah
tergannggu oleh deformasi yang diakibatkan oleh dua sesar
mendatar berlawanan, yang mengakibatkan perubahan besar
pada cekungan backarc dan forearcnya.
Pengangkatan
dibagian selatan dikompensasi oleh penurunan yang cepat
dibagian utara sehingga berkembang dua area cekungan yaitu
utara (North Serayu) dan wilayah selatan (South Serayu/
Banyumas).
Gambar-8. Busur magmatik Tersier (Soeria-Atmadja et al, 1994).
24
25
Gambar-10. Rangkuman sistem minyakbumi daerah Jawa Tengah (Santoso et al, 2007).
Gambar-11: Peta geologi daerah Luk Ulo Utara (Ketner dkk., 1976)
Gambar-16. (A dan B) singkapan lensa meta-konglomerat dalam metaserpih dan, (C) fotomikrograf (nikol silang) sayatan tipis meta-konglomerat
Formasi Bulukuning, lintasan K. Poh.
FOTO-FOTO LAPANGAN
REFERENSI
Asikin, S., 1974, Evolusi geologi Jawa Tengah dan sekitarnya
ditinjau dari segi tektonik dunia yang baru. Lap. Tidak
dipublikasikan, disertasi, Dept. Teknik Geologi ITB, 103 hal.
Baumann, P., de Genevraye, P., Samuel, L., Mudjito, Sajekti,
S., 1973. Contribution to the geological knowledge of
Southwest
Java,
Proceedings
Indonesian
Petroleum
Association, the 2nd Annual Convention, p. 105-108.